Total Pageviews

Translate

Sunday, August 11, 2024

My Favorite Hard Rock Moments

This story was originated from a photo of my Hard Rock t-shirts taken by my wife. Only God knows why she suddenly took the picture, but it was so amusing that I could never really forget about the image of the t-shirts lined up nicely on our bed. I somehow remembered it vividly, as if I had just seen the photo a few months ago, so imagine my surprise when I discovered that it was dated November 2022. 

Packing for the next trip!

Looking back, there was a good reason for all this, I suppose. The t-shirts were mementos of the places I had been. Oh yes, those with names, they were from the cities in Asia and Europe I visited before. Then of course there were the Hard Rock moments that happened when I wore certain t-shirts. As said in a blog post called the Details, I had peculiar ways of remembering things and the t-shirts were like memory markers. Good or bad, they were memorable stories. 

The divine intervention!

And it all started with the one I bought in Paris. The purchase was almost an afterthought. My wife and I had just returned to the city after our day trip to Versailles and I suddenly decided to grab me a Hard Rock Cafe t-shirt. It'd been with me for eight years now. It was also the one I wore when we visited the Shwedagon Pagoda in Yangon, but my favourite moment had to be one when I played my part in the divine intervention. Now that's one Hard Rock moment to remember!

In Madura, 2019.

There were a lot of t-shirts came into my possession since then, but at one glance, only some retained memories. The next one was from Fukuoka. My wife and I had just arrived in the city and the Cafe was just next to the station, so we bought one before heading to Tenjin area. It'll always remind me of my one and only visit to Madura with my friend Jimmy. It was surreal to be there, like having a lifelong question answered by just being there!

Relaxing in Vaduz, Liechtenstein.

In 2019, a year after Fukuoka, I was with my friend/colleague Keenan in Kuala Lumpur for Palm Oil Conference. The night after the conference, I crossed the street and got me the KL t-shirt. Many years later, it'd serve as a reminder of the time I visited Vaduz. My daughter snapped the picture of my wife and I sitting on a bench right before we departed Liechtenstein. 

In Isetwald with Yani. 

Some best Hard Rock moments were with my wife, all right. Another one I'd remember was the peaceful moment in Iseltwald. My wife and I were standing not very far from the spot made famous by Crash Landing on You. I wore the t-shirt I bought together with Surianto the night we landed in Manila. To me, it really captured the essence of Switzerland: serene and beautiful. There was a certain calmness that you just wouldn't find elsewhere. 

When we were in Intramuros, Manila.

Talk about Manila, I'd always remember the green t-shirt of St. Patrick's Day. It stood out on the picture thanks to its bright color, haha. And it was a good time to remember, because how often a bunch of high school friends from Pontianak had a chance to explore the Philippines together? Once in a lifetime, perhaps. Manila was never a tourist destination to begin with! 

A day on a wheelchair.

Then of course we can't talk about the Manila trip without mentioning Japan. No, I won't bore you with our story in Japan, but I'd like to talk about the t-shirt I bought from Ueno. This was the one destined to be remembered as the time I screwed up the end-to-end walk in Singapore. I twisted my ankle and ended up on a wheelchair, but it was brilliant how we salvaged the good start with friendship and togetherness. 

24 hours in Jakarta. 

There are more, for sure. Like the time I crossed to JB on foot and made my way to Puteri Harbour. The t-shirt was worn the time I spent 24 hours with friends before heading to Bandung. The same t-shirt also reminded me of the time I met an acquaintance in Lyon. I could also talk about the WWF t-shirt that is now associated the drinking tradition as well as the time when my worlds collided

In Leshan, China.

Yes, I could go on and talk about them, but perhaps we saved the stories for some other time. For now, it was a relief to finally get the idea materialized after having it lodged in my brain since November 2022, haha. More importantly, it once again proves the point that in life, only memories remain after all is said and done. In this context, I'm just glad that they are the definitive Hard Rock moments!

The inspiration.



Momen Hard Rock Favorit

Cerita ini terinspirasi oleh koleksi kaos Hard Rock saya yang difoto oleh istri. Entah kenapa dia tiba-tiba memotret, tapi hasil karyanya terasa menggelitik. Saya tidak pernah lupa dengan kaos-kaos yang berderet rapi di atas kasur, seakan-akan saya baru melihat fotonya beberapa waktu lalu. Jadi anda bisa bayangkan betapa kagetnya saya bahwa foto itu ternyata diambil bulan November 2022. 

Kemas-kemas untuk liburan berikutnya!

Bila saya lihat kembali, ada alasan kuat kenapa foto itu terasa begitu berkesan. Bagaimana pun semua kaos ini merupakan kenangan dari tempat-tempat yang pernah saya kunjungi. Ya, nama-nama di kaos yang ada itu berasal dari kota-kota yang saya kunjungi di Asia dan Eropa. Dan tentu saja ada pula momen Hard Rock yang terjadi di saat saya mengenakan kaos-kaos tertentu. Seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya di artikel berjudul the Details, saya mempunyai cara unik dalam mengingat sesuatu dan kaos Hard Rock ini bagaikan catatan tersendiri. Baik atau buruk, semuanya adalah cerita yang tidak terlupakan. 

Rencana ilahi.

Semua ini bermula dari kaos pertama yang saya beli di Paris. Semuanya terjadi secara spontan. Saat itu saya dan istri baru kembali ke Paris setelah bepergian ke Versailles di luar kota, lalu saya terpikir untuk membeli kaos Hard Rock sebagai oleh-oleh. Delapan tahun kemudian, kaos ini telah sering saya pakai untuk bertualang. Saya mengenakan kaos ini saat mengunjungi Pagoda Shwedagon di Yangon, tapi momen favorit saya adalah ketika kita turut serta mewujudkan rencana ilahi. Ini adalah satu momen yang luar biasa! 

Di Madura, 2019.

Semenjak itu koleksi kaos saya terus bertambah, tapi secara sekilas, tidak semuanya memiliki kenangan yang mendalam. Kaos berikutnya berasal dari Fukuoka. Kala itu saya dan istri baru saja tiba dari Nagasaki dan Hard Rock Cafe kebetulan berada di samping Stasiun Hakata, jadi kita singgah dan beli sebelum lanjut ke kawasan Tenjin. Kini, setiap kali saya melihat kaos ini, saya jadi teringat dengan sekali-sekalinya saya ke Madura bersama teman saya Jimmy. Ini adalah sebuah pengalaman yang menggugah. Sebuah pertanyaan hidup terjawab semata-mata karena saya berada di sana! 

Bersantai sejenak di Vaduz, Liechtenstein.

Di tahun 2019, setahun setelah kunjungan ke Fukuoka, saya dan teman/kolega saya Keenan berada di Kuala Lumpur untuk menghadiri Konferensi Minyak Kelapa Sawit. Di malam setelah konferensi usai, saya menyeberang jalan dan membeli kaos KL. Bertahun-tahun kemudian, kaos itu kebetulan saya pakai sewaktu berada di Vaduz. Putri saya menjepret foto saya dan istri yang sedang duduk di bangku beberapa saat sebelum kita beranjak meninggalkan Liechtenstein. 

Di Isetwald bersama Yani. 

Ya, ada istri di samping saya dalam beberapa momen Hard Rock terbaik. Satu lagi yang saya ingat betul adalah persinggahan kita di Iseltwald. Istri dan saya berdiri tidak jauh dari lokasi yang terkenal karena muncul dalam drama Korea Crash Landing on You. Di hari itu saya memakai kaos yang saya beli bersama Surianto di malam kita mendarat di Manila. Bagi saya, foto tersebut mengabadikan suasana tenang dan indahnya Swiss. Ada nuansa damai yang tidak pernah saya temukan di tempat lain.

Mengunjungi Intramuros di Manila.

Berbicara tentang Manila, saya selalu teringat dengan kaos hijau Hari St. Patrick. Kaos ini menonjol saat difoto karena warnanya yang terang menyala, haha. Dan momen tersebut juga berkesan, sebab seberapa sering sekumpulan teman SMA dari Pontianak menjelajahi Filipina bersama-sama? Mungkin hanya sekali dalam seumur hidup, terlebih lagi karena Manila bukanlah destinasi turis! 

Suatu ketika di kursi roda.

Dan tentu saja kita tidak bisa berbicara tentang Manila tanpa menyebut tentang Jepang. Tidak, saya tidak akan berbicara panjang-lebar tentang liburan ke Jepang, namun saya ingin membahas tentang kaos yang saya beli di Ueno. Kaos ini akan senantiasa dikenang sebagai kaos yang saya pakai saat saya menggagalkan rencana jalan kaki dari ujung ke ujung di Singapura. Saya jatuh terkilir dan berakhir di kursi roda, tapi di hari itu pula saya berkesempatan melihat persahabatan dan kebersamaan dari sudut pandang yang berbeda. 

24 jam di Jakarta. 

Masih ada banyak kisah lainnya lagi. Sebagai contoh, saat saya berjalan kaki menyeberang ke JB dan lanjut ke Puteri Harbour. Kaos tersebut lantas saya pakai saat menghabiskan 24 jam bersama teman-teman di Jakarta. Kaos yang sama pun saya pakai saat bertemu dengan kenalan lama di Lyon. Saya juga bisa bercerita tentang kaos WWF yang kini saya asosiasikan dengan tradisi minum bersama Eday serta  saat berkesan di Leshan

Di Leshan, Cina.

Ya, saya masih memiliki banyak cerita, namun mungkin kita simpan untuk lain waktu. Yang jelas saya kini merasa lega karena telah menulis tentang ide yang mengganjal di benak saya sejak November 2022, haha. Lebih penting lagi, melalui proses bercerita ini, sekali lagi saya diingatkan bahwa setelah semua usai diucapkan dan dikerjakan, yang tersisa hanyalah kenangan. Dalam konteks ini, saya senang bahwa semua ini adalah momen Hard Rock yang terbaik dalam hidup saya. 

Sebuah inspirasi.

Wednesday, July 31, 2024

Traveling With My Daughters

In our family, we don't always travel together. There are family trips, of course, but sometimes it could be solo trips, just me and my wife, the parent and friends, mother and daughters. I myself had done the father and daughter trip with Linda, but I never traveled with my younger daughter Audrey before, until recently. 

It was an achievement unlocked! Now I can safely say that in my life, I had travel with each daughter. Both gave me fulfilling experiences as a father. I had to be there as the adult who took care and loved them unconditionally, even when they didn't behave. It gave me a glimpse of what my wife went through everyday. It ain't an easy job, I can vouch for it! 

With Linda, at Supadio Airport. 

With Linda, it's always more straightforward. She's playful, a fun travel companion. She could be picky with food, though. A bit difficult when we were in Hong Kong, but it got better when we visited my hometown. Then again, it was two different eras. She was five when we had our first trip and she was 11 when the next one happened. In a way, I got a chance to see her change of personality. Still talkative, but now she enjoyed a good hotel and afternoon nap, haha. 

Audrey is the exact opposite of talkative. Our trip wasn't something that I planned, but something that I needed to do. Audrey is neither cranky or difficult, but she requires more attention and this can be exhausting. She also has this quirk of running towards convenience stores to buy ice cream or candy and she's lightning fast! Once Audrey is in the store, there'll be a lot of convincing to be done. Either that or I simply have to buy her something, haha.

Audrey at SATS Premier Lounge. 

As Linda's stories had been told before, I'd like to share a bit about the trip with Audrey. My brother-in-law passed away, hence the sudden trip to Tasikmalaya. It was noon when Audrey and I reached Changi. We had our meal at SATS Premiere Lounge and everything was fine until she saw the Cocoa Trees. She dashed in and stayed there until an uncle that was in the midst of floor sweeping took pity and gave me four chocolate candies. That got her moving again.

The flight to Jakarta was all right. As the matter of fact, Audrey had been good until we exited the Jakarta immigration and saw Circle K, the 7-Eleven equivalent in Jakarta. She wanted something, but I totally had no cash at all. It was the remaining of four candies that came to the rescue! Right after that, I managed to find the ATM that was working and I finally had some IDR in my wallet. Then we found ourselves waiting for Grab to Halim Station.

Few hours later, inside Whooosh. 

There was another convenience store at the station, but as we waited for our takeaway at HokBen, there wasn't much time left. I told her that we had to hurry and we ran to the platform as fast as we could. 36 minutes later, not long after we finished our meal, we changed train at Padalarang Station and headed to Bandung. Around 7.45 PM, we were already in our room at Harris Hotel. 

That concluded our journey for the day. Audrey had been good and she was rewarded with Häagen-Dazs when we went to the mall connected to Harris. But turned out that ice cream was more tempting than ramen, so I was the one that finished the meal I ordered for her. We returned to hotel, showered and called it a night. 

The next morning, I was wondering what was good for breakfast. Nasi uduk sounded like something she'd love to have, so I fired up Grab Food and ordered one from Nasi Kuning Ibu Leny. It was just a pack of good old nasi uduk, but it was oddly satisfying to see your daughter ate it heartily. It was like, okay, turned out that I was a quite a decent father that knew her daughter well. 

Finally met Mama again. 

The last three hours of our trip to Tasikmalaya was a car ride. We arrived safely and Audrey finally reunited with her mother. There was a sense of relief that I did a good job, but it wasn't the end of our adventure together. Audrey and I explored Tasikmalaya on the following morning and, as we followed Google Maps, we ended up in a small alley that was blocked by cockfight. I mean, there were literally two roosters fighting in the middle of the alley and we couldn't get through!

It was a good and fun memory, though. Linda and Audrey couldn't be more different. The former has a the same sense of humor as mine while the latter is the quiet one. Traveling with Linda is about leisure. Nothing fast-paced, just a relax trip. It also gives me chances to introduce the world to her from my perspective. With Audrey, I am more protective. I have to be. More tiring, but it's worth it. 

Linda and Audrey, on our way to Mirabellgarten. 

Now, how about travelling with a two of them? I foresee that it can be challenging, but I sort of did it last year. We were in Salzburg and Yani went for the Sound of Music tour, so both girls were with me. We lazed around in the room until it was time for us to meet Yani at Mirabellgarten. Audrey could be stubborn at times and it was one of the moments she chose to do so. She wouldn't budge and it was frustrating, but Linda helped persuading her sister as much as she could. 

So, yeah, I don't know how my wife does it so effortlessly, but traveling with two girls is a lot of work! If anything, it only makes me appreciate my wife even more. And if life is about creating memories, then the time when we were together was the time well-spent. The memories would live on. I hope. 

A moment with Linda. 



Berlibur Bersama Linda Dan Audrey

Di keluarga saya, kita tidak selalu berlibur bersama. Ya, tentu saja kita ada liburan keluarga, namun terkadang bisa saja liburan sendiri, hanya berdua bersama istri, bersama teman atau bisa jadi cuma ibu dan anak-anak. Saya sendiri juga pernah liburan ayah dan anak bersama Linda, tapi saja belum pernah jalan-jalan bersama Audrey sebelum bulan Juni lalu. 

Rasanya seperti prestasi tersendiri. Sekarang saya bisa berkata bahwa di dalam hidup ini, saya memiliki petualangan tersendiri dengan Linda dan Audrey. Dua pengalaman berbeda ini memberikan saya kepuasan sebagai seorang ayah karena saya harus menjadi orang dewasa yang menjaga dan menyayangi mereka tanpa pengecualian, bahkan di saat mereka sedang rewel. Hal ini juga memberikan saya kesempatan untuk melihat apa yang istri saya jalani setiap hari. Saya berani bersumpah bahwa ini bukanlah pekerjaan yang mudah! 

Bersama Linda di Bandara Supadio. 

Linda lebih gampang diajak jalan-jalan. Dia senang bercanda, tapi ada kalanya sulit dan pemilih saat makan. Menunya terbatas saat kita ke Hong Kong, tapi ada kemajuan sewaktu kita ke Pontianak. Namun perlu saya jelaskan pula bahwa pengalaman ini berdasarkan dua periode yang berbeda. Dia masih berumur lima tahun saat kita bepergian di tahun 2018 dan usianya sudah 11 tahun ketika saya membawanya pulang ke kampung halaman saya. Secara tidak langsung, saya berkesempatan melihat perubahannya dari bocah ke usia remaja. Linda masih aktif berbicara seperti dulu, tapi sekarang dia juga menikmati hotel bagus dan istirahat siang di kamar, haha. 

Audrey memiliki karakter yang bertolak belakang dengan kakaknya. Perjalanan kita bukanlah sesuatu yang saya rencanakan, tapi sesuatu yang harus saya lakukan. Audrey tidaklah rewel atau sulit, tapi dia memerlukan lebih banyak perhatian dan ini cukup membuat cape. Dia juga mempunyai kebiasaan berlari ke toko untuk membeli es krim atau permen dan dia luar biasa gesit! Kalau sudah berada di toko, susah untuk membujuknya keluar. Jalan pintasnya adalah membelikan apa yang dia mau, haha. 

Audrey di SATS Premier Lounge.

Karena cerita Linda sudah dikisahkan sebelumnya, saya ingin bercerita tentang Audrey untuk kesempatan ini. Adik ipar saya meninggal bulan lalu, jadi saya pun mendadak harus ke Tasikmalaya. Hari sudah siang ketika saya dan Audrey tiba di Changi. Kita makan siang di SATS Premiere Lounge. Semuanya berjalan santai sampai Audrey melihat Cocoa Trees. Dia lekas masuk dan berdiam di sana sampai seorang petugas toko yang sedap menyapu merasa iba melihat saya, lalu memberikan empat permen coklat. Audrey akhirnya berhasil disogok. 

Penerbangan ke Jakarta berjalan lancar. Audrey patuh sampai kita melewati imigrasi dan melihat Circle K di bandara. Dia ingin membeli sesuatu, tapi saya tidak mengantongi uang kontan sama sekali. Untung saja permen coklatnya masih tersisa. Segera setelah itu, saya menemukan ATM yang berfungsi untuk menarik rupiah. Selanjutnya kita menanti Grab yang membawa kita ke Stasiun Halim. 

Ada toko serupa lagi di stasiun, namun kita sudah menghabiskan waktu menunggu pesanan di HokBen sehingga sudah mepet waktunya dengan jam keberangkatan kereta. Saya katakan padanya bahwa kita harus bergegas dan kita pun berlari ke platform. 36 menit kemudian, seusai makan, kita berganti kereta di Stasiun Padalarang dan menuju ke Bandung. Sekitar jam 7.45 malam, kita sudah masuk ke kamar di Hotel Harris. 

Beberapa jam kemudian di dalam Whooosh. 

Perjalanan hari itu pun berakhir. Sebagai hadiah atas sikapnya yang lumayan penurut, saya membelikannya Häagen-Dazs. Ternyata es krim lebih menggiurkan daripada ramen, jadi saya yang akhirnya menyantap habis makanan yang saya pesankan untuknya. Kita lantas kembali ke hotel, mandi dan tidur. 

Keesokan paginya, saya berpikir tentang sarapan apa yang cocok untuk Audrey. Sepertinya dia suka nasi uduk, jadi saya pun pesan Nasi Kuning Ibu Leny lewat Grab Food. Hanya nasi kuning yang biasa disantap sebagai sarapan pagi, tapi puas rasanya melihat Audrey makan dengan lahap. Ada perasaan yang seolah-olah berkata, ternyata saya becus juga jadi ayah yang tahu makanan yang disukai oleh anaknya. 

Bertemu dengan Mama lagi.

Tiga jam perjalanan ke Tasikmalaya ditempuh dengan mobil. Kita sampai dengan selamat dan Audrey akhirnya bertemu lagi dengan mamanya. Akan tetapi petualangan kita belum berakhir. Audrey dan saya menjelajah Tasik menggunakan panduan Google Maps. Siapa sangka kita malah masuk ke gang kecil yang diblokir oleh sabung ayam. Maksud saya, tiba-tiba saja terlihat dua ayam jantan yang bertarung di tengah jalan sehingga saya ragu untuk lewat! 

Namun itu adalah pengalaman yang berkesan. Linda dan Audrey memang berbeda. Sang kakak memiliki selera humor yang sama dengan saya sementara adiknya sangat pendiam. Berlibur bersama Linda boleh dikatakan santai. Tidak ada kejar setoran dan saya berkesempatan untuk memperkenalkan dunia lewat perspektif saya padanya. Dengan Audrey, saya lebih protektif. Lebih melelahkan, tapi wajib dilakukan. 

Linda dan Audrey, dalam perjalanan kita ke Mirabellgarten. 

Namun bagaimana halnya bepergian bersama mereka berdua? Saya rasa akan sangat menantang, tapi saya pernah mengalami versi singkatnya di tahun lalu. Waktu itu kita berada di Salzburg dan Yani ikut tur the Sound of Music, jadi anak-anak pun tinggal bersama saya di hotel. Kita bersantai di kamar sampai tiba waktunya untuk menjumpai Yani di Mirabellgarten. Ada kalanya Audrey itu keras kepala dan di hari itu sikapnya muncul. Dia tak mau beranjak dan sangat membuat frustrasi. Namun di satu sisi saya melihat bahwa Linda juga tidak tinggal diam, melainkan ikut membujuk adiknya.

Jadi, ya, saya tidak tahu bagaimana istri saya bisa membuat semuanya terlihat mudah, tapi bepergian dengan dua anak itu tidaklah segampang yang dibayangkan. Setelah mengalaminya sendiri, saya jadi kian apresiasi terhadap upaya istri saya. Dan jika hidup adalah tentang membuat kenangan, maka kebersamaan kita adalah waktu yang dihabiskan dengan baik. Kenangan itu akan hidup selamanya. Saya harap begitu. 

Sunday, July 21, 2024

Book Review: The Kite Runner

A friend of mine, the same one who went to Syria last year, is going to Afghanistan. When he told me that he had bought the tickets, I found myself browsing Wikivoyage, my favourite website for traveling. As I read about Afghanistan, I saw the section about recommended books. I checked those books on the library app and the fourth title was available. It was a novel called the Kite Runner.

I didn't have much expectation, but the book turned out to be almost as engaging as Harry Potter. The first part was about the friendship of Amir and Hassan, two boys from different ethnicities and social status who lived in the same house. The former was the master, the latter was the servant. The story was told from Amir's point of view.

I like the way the author took his time to educate the readers about Afghanistan. There was a time when Afghanistan was fine, though the tensions and differences were always brewing there: the Sunni and the Shi'a, the Pashtuns and the Hazaras. This information was added bit by bit to bring the story forward. It was humorous at times, coupled with a childlike innocence, until it took a sharp turn right before Afghanistan changed. 

The second part was about Amir and his father escaping from Kabul to Peshawar in Pakistan. The next thing we knew was his time as a young man in the US. Not exactly exciting, but a bridge needed by the story before the final adventure back in Pakistan and Afghanistan. Yes, he could run away to America, but his past would eventually catch up with him. 

Then came the last part, the story about his long lost friend Hassan and Amir's encounter with the Taliban. Amir was on a mission that brought him back to Kabul. Lots of twists and turns here, some weren't expected at all. Last but not least, it closed all the loops and reminded us again, why the book was called the Kite Runner. 

PS: my friend Hendra Wijaya told me that there was a movie based on this book, so I immediately watched it after I finished reading. While the movie followed the storyline quite faithfully, it felt rushed and some parts were omitted. I'd say that the movie painted a better picture, but the book told a better story. Overall, highly recommended. 

The Kite Runner.



Ulasan Buku: Pengejar Layang-layang

Teman saya, yang tahun lalu ke Syria, akan pergi ke Afghanistan. Saat saya dikabari bahwa dia telah membeli tiket, saya jadi tergelitik untuk membaca tentang Afghanistan di Wikivoyage, situs favorit saya tentang bepergian ke manca negara. Di situ tertera daftar buku bacaan yang direkomendasikan, jadi saya pun mencari tahu apakah ada yang tersedia di perpustakaan. Buku ke-empat, sebuah novel berjudul Pengejar Layang-layang, berhasil ditemukan.

Saya tidak memiliki ekspektasi apa-apa saat mulai membaca, tapi siapa sangka buku ini menarik sepertinya halnya Harry Potter? Bagian pertama adalah tentang persahabatan Amir dan Hassan, dua bocah yang berbeda etnis dan status sosial, namun tinggal di rumah yang sama. Amir adalah majikan, Hassan adalah pembantu. Ceritanya ditulis dari sudut pandang Amir. 

Saya suka gaya penulisan yang memperkenalkan budaya dan situasi Afghanistan pada pembaca lewat cerita. Afghanistan juga pernah menjadi negara yang damai, meski perbedaan itu selalu ada dan siap bergejolak: ada Islam Sunni dan Shi'a, ada etnis Pashtun dan Hazara. Semua informasi ini disisipkan sedikit demi sedikit. Ceritanya terkadang lucu dan polos, sampai semua itu sirna bersamaan dengan berubahnya Afghanistan. 

Bagian kedua berkisah tentang perjalanan hidup Amir dan ayahnya yang melarikan diri dari Kabul ke Peshawar di Pakistan. Kemudian dia pindah dan tumbuh dewasa di Amerika. Bagian ini agak datar, namun diperlukan untuk menjembatani cerita sebelum tokoh utama kembali ke Pakistan dan Afghanistan. Ya, dia bisa saja meninggalkan kehidupan sebelumnya dan hijrah ke Amerika, tapi masa lalu kembali mendatanginya.

Kemudian tibalah bagian terakhir yang kembali mengisahkan tentang Hassan. Selain itu Amir juga kembali ke Kabul yang kini dikuasai oleh Taliban. Banyak kejutan di sini dan beberapa di antaranya di luar dugaan. Di akhir cerita, semua alur dituntaskan dan pembaca pun diingatkan kembali, kenapa buku ini berjudul Pengejar Layang-layang. 

Catatan kaki: Teman saya Hendra Wijaya memberitahu bahwa ada film yang dibuat berdasarkan novel ini, jadi saya lekas menonton setelah menamatkan bukunya. Film keluaran tahun 2007 ini mengikuti alur di buku dengan cukup setia, tapi terasa tergesa-gesa dan beberapa bagian dihilangkan pula. Bila dibandingkan, film memang memberikan visual tentang cerita, tapi novel bisa bercerita dengan lebih baik. Direkomendasikan untuk membaca. 

Monday, July 15, 2024

Book Review: The McCartney Legacy: Volume 1

I read a similar book about the Beatles back in 2013. I remember it well because the book called Tune In by Mark Lewisohn was unusually thick (944 pages) and it covered only the first few years of the Beatles. It was all the more memorable because I was in Bangkok, reading the book in my room while taking care of my daughter who had high fever. Her mum was taking a day off, exploring the city with her siblings.

11 years later, I discovered the McCartney Legacy: Volume 1: 1969 - 73. The book had 720 pages, not as thick, but equally comprehensive. It began in 1969, starting from Get Back that eventually became Let It Be. It was quite in-depth, peppered with tiny details I never knew before. It was exciting, but the excitement lasted only until the Beatles disbanded. 

In 1970, John, Paul, George and Ringo went their separate ways. The book did well in revealing Paul's darkest days after the Beatles. It hit him the hardest, for he loved being a Beatle and yet he had to be the one to publicly quit the Beatles, much to John's chagrin. And it was quite an ordeal before he managed to pull himself up again, with a lot help from Linda. 

But then it got less interesting from here onwards. As I continued reading, I realized that I didn't really care much about Wings and its members. Yes, people like Denny Seiwell and Henry McCullough were talented, but they were pretty much Paul's sidekicks. To make it more obvious, the band was sometimes billed as Paul McCartney and Wings. As a comparison, back when he was a Beatle, Paul was simply one of the guys and the four of them were equally interesting.

So apart from learning the history of songs from post-Beatles era such as Maybe I'm Amazed, My Love and, of course, Live and Let Die, the best part of the book got to do with Paul's interaction with John, George and Ringo. The last bit that talked about Band on the Run and its recording sessions in Lagos was great, though.

Overall, I think the writers did a good job compiling the story. It's not their fault that most of it aren't that interesting, because as good as Wings were, the Beatles were a tough act to follow. It is just impossible to tell a good story right after the greatest story ever told. 





Ulasan Buku: The McCartney Legacy: Volume 1

Di tahun 2013, saya membaca buku serupa tentang the Beatles. Saya ingat betul karena buku berjudul Tune In karya Mark Lewisohn ini tergolong sangat tebal (944 halaman) dan hanya bercerita tentang beberapa tahun pertama karir the Beatles. Kenangan itu kian membekas karena saat itu saya membaca di kamar hotel sambil menjaga putri saya yang demam. Kala itu istri saya dan saudara-saudarinya berjalan-jalan menjelajah kota Bangkok. 

11 tahun kemudian, saya menemukan The McCartney Legacy: Volume 1: 1969 - 73. Buku ini setebal 720 halaman dan sangat detil pula. Kisahnya dimulai di tahun 1969, mulai dari Get Back yang akhirnya berubah menjadi Let It Be. Banyak cuplikan cerita yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya, jadi buku ini seru di bagian awal sampai bubarnya the Beatles. 

Di tahun 1970, John, Paul, George dan Ringo berpisah. Buku ini lantas mengisahkan hari-hari Paul yang depresi setelah the Beatles usai. Dia sangat terpukul terutama karena dia senang menjadi seorang Beatle, tapi dia pula yang harus mengumumkan bahwa dia telah berhenti dari grup, satu hal yang membuat John jengkel. Dan hari-harinya terasa tidak berarti sampai akhirnya dia bangkit lagi dengan bantuan istrinya, Linda. 

Namun justru cerita menjadi kurang menarik setelah Paul memulai lagi dari awal. Semakin dibaca, semakin saya menyadari bahwa saya tidak peduli dengan Wings dan anggotanya. Ya, musisi seperti Denny Seiwell and Henry McCullough memang berbakat, tapi mereka lebih condong seperti pemeran pembantu. Dan kesan itu diperkuat dengan nama grup yang kadang disebut Paul McCartney dan Wings. Sebagai perbandingan, saat dia masih seorang Beatle, Paul cuma satu dari empat karakter yang sama-sama memiliki pesona dan daya tarik. 

Selain informasi tentang sejarah lagu-lagu setelah era the Beatles, misalnya Maybe I'm Amazed, My Love dan Live and Let Die, bagian yang juga cukup menarik adalah interaksi Paul dan John, George serta Ringo. Beberapa bab terakhir yang bercerita tentang Band on the Run dan sesi rekaman di Lagos juga seru untuk dibaca.

Secara keseluruhan, saya kira dua penulisnya sukses dalam merangkum cerita sedetil ini. Bukan salah mereka kalau sebagian ceritanya kurang menarik. Meski Wings populer di zamannya, tidak gampang bagi mereka untuk menandingi the Beatles yang fenomenal. Siapa pun pasti akan kesulitan melanjutkan cerita setelah kisah paling inspiratif yang pernah terjadi di tahun 60an.  

Monday, June 24, 2024

The Longest Trip To Tasikmalaya

There are news you don't wish to know right before you sleep. In my case, it was disturbing to read that my mother-in-law started getting ready for her son's funeral. I was worried that I'd wake up to a really bad news. And that's exactly what happened. So bad that I was emotionally overwhelmed when I heard my wife crying on the other end of the phone. 

After that, I made a couple of phone calls and sent a couple of texts. I, too, needed to prepare. Linda stays back in Singapore. She is doing P6 now and school is about to start. Audrey could skip school, so I booked last minute tickets to Jakarta for both of us. Thus began the longest trip ever to Tasikmalaya. 

As Roadblog101 is heading into its eighth year, I guess it's pretty much established that I love traveling. But this one felt different. It was going to be done with a weary heart. Just the thought of traveling from Singapore to Bandung via Jakarta before resuming another 3-hour journey on the following morning was exhausting.

Audrey and I as we began our journey. 

But it also gave me time to look as far back as 2005. Almost two decades ago. That was probably the first time I met my future brother-in-law. He was an architect. Academically smart, but not exactly a serious type. He was blessed with a quirky sense of humor that always made his siblings laugh. It was as if he didn't even try. His honest answer was somehow funny. 

I remember asking what he usually did during the weekend, when he was growing up in a small town named Tasikmalaya. Much to my surprise, he said he used to spend time with friends at the church. I found it quite hilarious as none of my friends that I hung out with really did that. But I knew there and then he was a nice person.

Visiting Chinese Garden. 

A year later, he visited me in Singapore. I just managed to find a job after so much uncertainty during the transition, so it was good to see familiar faces from the previous phase of my life. We went to places such as Chinese Garden and Snow City. The time he slided down from the snow slope and accidentally hit the Snow City staff was just unforgettably funny. 

We still met whenever we had chances, be it in Tasik, Bandung or Jakarta. I attended his wedding banquet and he was there the day I got married. Together with almost all of his siblings, we went to Bangkok to support my father-in-law as he participated in the Standard Chartered half marathon at the age of 72. 

In Bangkok, right after the half marathon. 

My wife and I also welcomed him when he visited Singapore again. I was someone he knew during his first visit, someone who was hopelessly in love with his sister. He was a family man and I had been his brother-in-law for six year during his last visit. It'd been quite a journey for us.

Then came the Chinese New Year earlier this year. His birthday happened to be on the same day as the reunion dinner. A happy occasion and he was in a good mood, considering all the bad news he had to go through for the past two years. Little did we know it would be his last celebration. 

Birthday celebration. His birthday was the same Audrey's!

He was ill again four months after that. We still talked, though. I even included Gunawan so that he felt motivated and looked forward to his Penang trip. But it wasn't meant to be. Three days after our conversation, his life took turn for the worse. He was brought back to life twice with CPR, but no more miracle when his heart rate monitor went flat line for the third time. 

So there I was today to pay respect and have a glimpse of him for one last time. It was very surreal to see him lying there, motionless and lifeless. Earthly life is fragile indeed. But as I talked to my wife, she mentioned that he was the funniest among the siblings. I was stunned. That's exactly how I felt, too! 

So rest in peace, Brother-in-Law. For the fact that your sister and I could only think of the same thing, you must have left behind the memorable times that we cherish so much. In my book, that's a life well-lived. 



Perjalanan Panjang Ke Tasikmalaya

Ada kabar tertentu yang kiranya tidak ingin kita ketahui sebelum kita tidur. Dalam konteks ini, saya jadi risau saat membaca tentang ibu mertua saya yang berkata bahwa hendaknya kita mulai menyiapkan keperluan rumah duka putranya. Rasanya akan terdengar kabar buruk saat saya bangun nanti. Dan benar saja, itulah yang terjadi. Saya jadi ikut merasa emosional saat mendengar istri saya terisak di telepon. 

Setelah itu, saya menelepon dan mengirimkan beberapa pesan lewat WhatsApp. Saya juga perlu bersiap-siap. Linda harus tetap tinggal di Singapura. Dia sudah kelas enam sekarang dan liburan sekolah baru saja usai. Audrey bisa bolos, jadi saya pun memesan tiket ke Jakarta untuk berdua. Perjalanan panjang ke Tasikmalaya pun bermula. 

Roadblog101 kini memasuki tahun ke-delapan. Dari cerita-cerita yang sudah ada, saya rasa sudah jelas bahwa saya suka jalan-jalan. Akan tetapi yang satu ini terasa berbeda. Ada rasa berat dan lelah di hati sebelum perjalanan dimulai. Saat saya membayangkan perjalanan dari Singapura ke Bandung lewat Jakarta yang kemudian dilanjutkan dengan tiga jam lagi ke Tasik pada keesokan paginya, saya jadi kian letih. 

Audrey and I as we began our journey. 

Tapi panjangnya perjalanan juga memberikan saya kesempatan untuk melihat kembali ke tahun 2005. Sudah hampir dua dekade lamanya. Di tahun tersebut saya bertemu dengan calon adik ipar saya untuk pertama kalinya. Dia adalah seorang arsitek. Dia pintar secara akademis, tapi bukan merupakan tipe yang serius. Selera humornya unik dan selalu membuat adik-adik dan kakaknya tertawa. Dia tidak terlihat seperti berusaha melucu, tapi jawabannya yang polos itu mengundang gelak tawa.

Saya ingat ketika saya bertanya, apa yang biasanya dia lakukan di akhir pekan, saat dia masih anak sekolah di Tasikmalaya. Di luar dugaan, jawabannya adalah menghabiskan waktu bersama teman-teman di gereja. Saya jadi tercengang sekaligus tergelitik, sebab rasanya tidak ada teman-teman saya di Pontianak yang seperti ini. Namun saya jadi tahu bahwa dia ini baik kepribadiannya. 

Mengunjungi Chinese Garden. 

Setahun kemudian, dia mengunjungi saya di Singapura. Kala itu saya baru saja dapat kerja setelah masa transisi yang penuh ketidakpastian, jadi senang rasanya bisa bertemu dengan wajah-wajah yang saya kenal dari fase kehidupan saya yang sebelumnya di Jakarta. Kita mengunjungi tempat-tempat seperti Chinese Garden dan Snow City. Ada kenangan lucu sewaktu dia meluncur turun dan tanpa sengaja menabrak karyawan Snow City sampai pingsan, haha. 

Setelah itu, kita masih bertemu di beraneka kesempatan, entah itu di Tasik, Bandung atau Jakarta. Saya menghadiri pernikahannya dan dia tentu saja hadir saat saya menikah. Bersama dengan hampir semua adik-adiknya, kita ke Bangkok untuk mendukung ayah mertua saya yang mengikuti setengah maraton di usia 72. 

Di Bangkok, setelah setengah maraton selesai. 

Saya dan istri menyambut kedatangannya saat ia mampir lagi ke Singapura. Saya adalah seorang kenalan yang jatuh cinta dengan kakaknya ketika dia pertama kali ke Singapura. Di kali terakhir ke Singapura, dia adalah seorang kepala keluarga dan saya adalah abang iparnya selama enam tahun terakhir. Satu perjalanan hidup telah kita tempuh sampai sejauh ini.

Kemudian tibalah Tahun Baru Cina di awal tahun ini. Ulang tahunnya bertepatan dengan makan besar keluarga. Itu adalah hari yang gembira dan dia terlihat riang, terutama setelah berbagai berita buruk yang harus dia jalani selama dua tahun terakhir. Tak pernah kita sadari bahwa itu akan menjadi perayaan ulang tahun yang terakhir baginya. 

Perayaan bersama Audrey karena hari ulang tahunnya sama.

Dia sakit lagi empat bulan kemudian. Kita masih sempat berbincang dan saya bahkan memperkenalkan Gunawan supaya dia bisa bertukar cerita dan memotivasi adik ipar saya untuk berobat lebih lanjut ke Penang. Siapa sangka semua itu buyar begitu saja. Tiga hari setelah percakapan kita, kondisinya memburuk. Ketika monitor jantung kembali menunjukkan garis lurus untuk ketiga kalinya, hidupnya pun berakhir. 

Jadi di kampung halamannya saya hadir hari ini untuk memberikan penghormatan terakhir. Saya sempat berdiri di samping peti untuk melihatnya. Sulit untuk percaya bahwa dia terbujur kaku di dalamnya, tak bergerak dan tak lagi hidup. Dunia fana memang rapuh. Sewaktu saya mengobrol dengan istri saya, dia menyeletuk bahwa adiknya ini adalah yang paling lucu dari enam bersaudara. Saya tertegun karena saya juga merasakan hal yang sama. 

Jadi beristirahatlah dengan tenang, Adik Ipar. Kita yang ditinggalkan bahkan bisa memikirkan hal yang sama tentang dirimu. Itu artinya engkau telah meninggalkan kenangan terbaik yang akan senantiasa hidup di hati kita. Bagi saya, itulah hidup yang telah dijalani dengan sebaik mungkin.