Total Pageviews

Translate

Saturday, December 21, 2024

Tanjung Balai Karimun

When we did the Pontian trip in August, I had this vision that we could go to Kukup and continue to Tanjung Balai Karimun. However, since it was a magical mystery tour and the next destination was decided by majority, even the proud owner of Robinson Travel would have to follow the crowd. That's how we ended up returning to Johor Bahru and staying overnight in KSL area after our failed attempt to Batam. 

That didn't mean Tanjung Balai was forgotten, though. I still thought that perhaps I should go and take a look. Therefore another trip was planned, this time with my colleagues. The weekend getaway was to be done right after I came back from my Beijing trip. Ferry tickets were booked when I returned to Singapore, but I couldn't get the rooms at Aston, so I eventually settled with Holiday Karimun Hotel due to its proximity to the seaport. 

The arrival!

Together with me were Emerson and Nicholas. James was supposed to be there, too, but he had to cancel due to unforeseen circumstances. We met at Harbourfront and after the two-hour ferry ride, we reached Tanjung Balai in the afternoon. We queued for a while to get our passports stamped, then we stepped out... and travelled back in time.

In 2015, I went to Tanjungpinang. It was mind boggling because the town was so rundown. But at least it had a plaza or two. Fast forward to nine years later, here I was in Tanjung Balai. There was neither malls nor cinemas. The city centre is this tiny Chinatown area that consists of three main roads and it is about 1,5 KM from one end to another. 

Our late lunch at Andrew's Kitchen.

After check-in, as we walked from our hotel to Andrew's Kitchen, we literally covered the city centre in 20 minutes. We had lunch, walked back to Hotel Maximilian for massage, returned to hotel and showered, then called Gojek to Long Beach, which is like two minutes away from Hotel Maximilian. 

Long Beach is a seafood restaurant and at SGD 76 for three, it was the most expensive meal we had in Tanjung Balai. The crab in Padang sauce was especially nice. It was there that we noticed a lot of Indians visiting the town. Later on, when Agu the restaurant owner gave us a lift to Aston Hotel, he told us that Indians from Malaysia go to Tanjung Balai whereas the Chinese from Singapore will visit Batam instead.

At Long Beach.

We wanted to chill at this club called Champion Executive at Aston, but it turned out that the club was closed for renovation, so we called Maxim and headed to Hotel Satria. A bit about Maxim here, it was more popular than Gojek because the fee was cheaper. As a matter of fact, the two times I called Gojek, I got the same guy. He was probably the only Gojek driver in town! 

Now, Hotel Satria felt a bit dodgy. It had a club, but it was either the music was too loud or we were too old that we decided the scene wasn't for us. We asked if there was a place for us to sit and drink, then we were redirected to a table between entrance and receptionist desk. It was just odd to be there!

After finishing our beer, we moved to Wiko Star Club, which was just about 60 meters away. The club was equally loud, but it caught our attention that Wiko had a microbrewery, so we decided to sit outside and try out the beer. Quite decent, I'd say, but when the beer was downed, so our night was done, too. I fired up my Maxim and got a ride back to our hotel.

In front of Channel-U Bak Kut Teh.

The next day, the breakfast was so awful that we chose to replenish our food intake at Channel-U Bak Kut Teh that is located across the street. It was quite delicious and Channel-U was there to cover it a long while ago, hence the name. We ordered not only bak kut teh, but also mutton soup and, for me, pork porridge. 

After breakfast, we went for the one and only sightseeing for the day: Pelawan Beach. I contacted Pandy, our Maxim driver from the night before to bring us there. It was about 15 KM from where we were. We had a quick walk when we got there, then return to the city for foot reflexology for an hour. It was timed pretty well, just nice for us to check out, had our lunch at Restoran Sederhana and headed to the seaport for our ferry ride back to Singapore.

Pelawan Beach.

Looking back, I couldn't help finding it funny how Tanjung Balai overtook Tanjungpinang's reputation in my mind as the most rundown town in Indonesia. I like the mind blowing feeling. For Nicholas, the last time he went there was 27 years ago. We were kidding that if we were to go there again 20 years later, he'd be in his 70s by then. But hey, never say never!



Tanjung Balai Karimun

Ketika kita berlibur ke Pontian di bulan Agustus, saya membayangkan bahwa kita bisa ke Kukup dan lanjut ke Tanjung Balai Karimun. Namun karena liburan tersebut bertema perjalanan misteri, maka destinasi berikutnya pun ditentukan oleh mayoritas peserta. Bahkan Robinson Travel pun hanya bisa menurut. Kita akhirnya kembali ke Johor Bahru dan bermalam di kawasan KSL setelah upaya ke Batam gagal.

Akan tetapi ini tidak berarti Tanjung Balai telah terlupakan. Saya ingin melihat-lihat karena saya sudah begitu lama di Singapura, tapi tak pernah ke sana. Oleh karena itu liburan ke Tanjung Balai pun direncanakan lagi, kali ini bersama teman-teman kantor. Kita akan pergi setelah saya kembali dari Beijing. Tiket feri pun dibeli sehari sebelum keberangkatan, tapi Hotel Aston ternyata sudah penuh, jadi saya akhirnya memesan kamar di  Holiday Karimun Hotel yang dekat dengan pelabuhan.  

Waktu kita tiba!

Rekan-rekan seperjalanan saya adalah Emerson dan Nicholas. James juga seharusnya ikut, tapi dia akhirnya batal karena ibunya kurang sehat. Kita bertemu di Harbourfront dan setelah naik feri selama dua jam, kita tiba di Tanjung Balai pada sore hari. Setelah antri sejenak untuk cap paspor, kita melangkah keluar... dan kembali ke masa lalu. 

Di tahun 2015, saya pergi ke Tanjungpinang. Ini adalah satu pengalaman yang sangat membekas karena begitu terbelakangnya kota ini. Namun setidaknya Tanjungpinang memiliki satu atau dua pusat perbelanjaan. Sembilan tahun kemudian, saya berada di Tanjung Balai, kota yang bahkan tak ada mal dan bioskop. Pusat kotanya bernuansa Pecinan dan terdiri dari tiga ruas jalan, kira-kira 1,5 KM dari ujung ke ujung. 

Saat makan siang di Andrew's Kitchen.

Setelah menaruh tas, kita berjalan kaki dari hotel ke Andrew's Kitchen. Dalam 20 menit, pusat kotanya selesai kita jelajahi. Kita makan siang, mampir ke Hotel Maximilian untuk pijat, lalu kembali ke hotel kita dan mandi. Selanjutnya saya memanggil Gojek dan menuju ke Long Beach yang berjarak tempuh kira-kira dua menit dari Hotel Maximilian. 

Long Beach adalah restoran seafood dan dengan bon seharga 912.000 rupiah untuk tiga orang, ini adalah menu termahal kita di Tanjung Balai. Kepiting saus Padang-nya sedap nian. Selama bersantap malam, kita melihat banyak Indian. Setelah itu, selagi mendapat tumpangan dari Agu si pemilik restoran, dia bercerita bahwa Indian dari Malaysia biasanya ke Tanjung Balai sementara Tionghoa asal Singapura cenderung pergi ke Batam. 

Emerson dan Nicholas di Long Beach.

Kita maunya bersantai di klub yang bernama Champion Executive di Aston, tapi ternyata klub tersebut tutup karena renovasi. Oleh karena itu, kita pindah ke Hotel Satria menggunakan Maxim. Oh ya, bicara tentang Maxim, aplikasi ini lebih populer dari Gojek karena ongkosnya lebih murah. Berdasarkan pengalaman saya, dua kali saya memanggil Gojek, yang muncul selalu orang yang sama. Dia mungkin satu-satunya pengemudi Gojek di kota ini! 

Hotel Satria terasa agak janggal. Hotel ini ada klub, tapi entah musiknya yang terlalu keras atau kita yang sudah berumur, pokoknya terasa tidak cocok. Saya lantas bertanya, apakah ada tempat yang lebih santai buat kita untuk menikmati bir. Siapa sangka kita malah dibawa ke meja di antara pintu depan dan resepsionis yang penuh dengan orang berlalu-lalang. Janggal sekali rasanya! 

Setelah menenggak sekaleng Bir Bintang, kita berjalan ke Wiko Star Club yang berjarak sekitar 60 meter. Klub ini sama ributnya, tapi kompleks Wiko juga memiliki tempat pembuatan bir, jadi kita duduk di luar dan mencoba. Yang hitam cukup nikmat, namun berakhirnya bir juga berarti berakhirnya malam kita di Tanjung Balai. Saya menyalakan Maxim dan memanggil kendaraan untuk pulang. 

Di depan Channel-U Bak Kut Teh.

Di hari berikutnya, sarapan paginya begitu mengenaskan, sampai-sampai kita pindah ke seberang jalan untuk bersantap di Channel-U Bak Kut Teh. Kelezatannya bisa diacungi jempol dan beberapa waktu lalu memang sempat diliput oleh Channel-U Singapura. Kita memesan bak kut teh, sup kambing dan juga bubur babi untuk saya. 

Selesai bersantap, kita menuju ke Pantai Pelawan. Saya menghubungi Pandy, supir Maxim dari malam sebelumnya. Dia lalu membawa kita ke pantai yang berjarak 15 KM dari tempat kita. Setibanya di sana, kita mengitari pantai sejenak dan lalu kembali ke kota untuk pijat refleksi kaki. Estimasi saya cukup baik sehingga kita masih sempat check-out, makan siang di Restoran Sederhana dan akhirnya kembali ke Singapura. 

Pantai Pelawan.

Kalau dilihat kembali lagi, saya agak geli juga dengan prestasi Tanjung Balai yang mengambil alih reputasi Tanjungpinang sebagai kota paling terbelakang di benak saya. Rasanya seperti mengguncang pemahaman saya selama ini. Bagi Nicholas, terakhir kalinya dia ke Tanjung Balai adalah 27 tahun silam. Saya bercanda bahwa kita akan kembali lagi 20 tahun kemudian, saat dia berusia 70an. Dia turut tertawa, tapi siapa tahu sungguh terjadi nanti! 


Tuesday, December 17, 2024

Beijing At Last

I had been visiting China since 2009 and in the past 15 years, I had gone to many cities such as Nanning, Guangzhou, Hangzhou, Nanjing, Xi'An and many more. But Beijing was glaringly missing from the list. The truth is, the trip to Beijing was supposed to happen back in 2015 as part of the China-Mongolia adventure. However, the plan was immediately scrapped when I heard of Paul McCartney's return to Japan after his failed concerts a year before. 

The route from Beijing to Ulaanbaatar via Inner Mongolia was not mentioned again until the night Eday and I waited for our flight to depart from Phuket earlier this year. From the look of it, it wasn't going to materialize next year, though. It was safe to say that I didn't have a solid plan to Beijing so far, hence imagine my surprise when a plan was made for me instead.

I was never a fan of business trip and winter, but it was just my luck that both came together at the same time, haha. So off we went on the day John Lennon was shot 44 years ago. Call me superstitious, but I did find it unsettling to fly on that day! When we landed in Beijing, I volunteered to travel to the city with my Thai colleague Kun Bank as the car that picked us up was meant for four passengers only. I got to be sneaky, of course, so we took the metro instead!

One night in Beijing!

When we stepped out of the station, the sky had turned dark. It was my first experience of Beijing's winter. I remembered the snowy Gala Yuzawa, but it was nowhere as cold as the -2° Celcius windy night in Beijing! After check-in, we walked a bit to have dinner at Rhapsody. Our host Yinxue ordered the Peking Duck, my first in many years, and it was definitely better than ones I had before. The skin melted in my mouth, making the one I had at Gold Mine in London felt like a joke. 

Since business trip was about work, the next three days were filled exactly with that. Professionalism and hospitality of our Chinese counterpart were impeccable, but came the night and I experienced the culture of Beijing: the brilliant Chinese cuisines as well as the legendary drinking that I heard many times before. 

From left: baijiu, beer, huangjiu.

The first time I had baijiu, I was surprised by how tiny the glass was that I spontaneously made a remark about it. Only when it was poured for me that I realized why the locals used such a small glass to drink it. Baijiu was so potent because it contained 52% alcohol! That, together with the drinking etiquette, could get you high real quick!

Another one worth mentioning is huangjiu that looks like tea and has an acquired taste. The one I drank was seasoned with sliced ginger. Before it was served, it was heated up beforehand. Alcohol level was about 15%. Easier to drink than baijiu, I'd say. 

In front of Tiananmen with Edward, Fulton and Tay Hwee.

The last day we were there, we had a glimpse of Tiananmen and the Forbidden City. It was quite rush, but our host Zhao Yang did his best to provide the info as we walked through the historical site. One interesting fact was how a concubine was selected to accompany the emperor for the night. It was like drawing lots and the name that came out would have the honour to sleep with the emperor. 

After lunch and another round of the fearsome baijiu, we headed to the airport. While I managed to send a postcard and sample the KFC, the whole trip didn't feel right. I definitely need to do a proper visit to Beijing one day. And may be short visit to Tianjin, too, for a Hard Rock t-shirt. It's a wishlist that didn't happen this time...



Akhirnya Ke Beijing Juga

Saya sudah mengunjungi Cina dari sejak tahun 2009 dan selama 15 tahun terakhir, saya telah pergi ke cukup banyak kota seperti Nanning, Guangzhou, Hangzhou, Nanjing, Xi'An dan masih banyak lagi. Tapi Beijing tak ada dalam daftar kota yang telah dikunjungi. Sebenarnya liburan ke Beijing pernah dicanangkan di tahun 2015 sebagai bagian dari petualangan Cina-Mongolia. Namun rencana tersebut langsung bubar begitu saya mendengar bahwa Paul McCartney akan kembali ke Jepang setelah konser yang batal setahun sebelumnya.

Rute dari Beijing ke Ulanbator lewat provinsi Mongolia Dalam pun tak pernah disebut lagi hingga suatu malam di awal tahun ini, ketika saya dan Eday bercakap-cakap saat menantikan keberangkatan pesawat dari Phuket ke Singapura. Kendati begitu, tampaknya rute ini takkan terwujudkan tahun depan. Bisa dikatakan sejauh ini saya tidak memiliki rencana yang matang untuk Beijing, maka bayangkan betapa terkejutnya saya ketika semuanya justru direncanakan untuk saya.

Saya tidak pernah menggemari perjalanan bisnis dan musim dingin, tapi siapa sangka dua-duanya terjadi pada saat yang bersamaan? Haha. Jadi saya pun berangkat di hari John Lennon ditembak 44 tahun silam. Anda boleh anggap saya percaya takhayul, namun saya merasa tidak nyaman selama penerbangan. Ketika kita mendarat, secara sukarela saya menawarkan diri untuk menuju kota bersama rekan Thai saya yang dipanggil Kun Bank karena mobil yang hendak kita tumpangi hanya bisa membawa empat penumpang. Namun tentu saja saya tidak benar-benar patuh dan iseng menjajal metro dari bandara ke kota. 

Suatu malam di Beijing.

Tatkala kita melangkah keluar dari stasiun, langit sudah terlihat gelap. Dan angin pun berhembus, membuat saya teringat dengan Gala Yuzawa yang bersalju, tapi tidak sedingin malam bertemperatur -2° Celcius di Beijing! Setelah check-in, kita berjalan ke restoran Rhapsody. Tuan rumah kita, Yinxue, memesan Bebek Peking. Ini adalah Bebek Peking saya yang pertama setelah bertahun-tahun lamanya dan sungguh lebih lezat daripada apa yang pernah saya cicip sebelumnya. Kulit bebeknya bagaikan meleleh sebelum saya kunyah, begitu lezatnya sehingga apa yang saya makan di restoran Gold Mine di London terasa seperti lelucon.

Karena perjalanan bisnis adalah tentang kerjaan, maka tiga hari berikutnya diisi dengan banyak pertemuan dan diskusi. Profesionalisme dan keramahan rekan-rekan Cina sangat mengagumkan, namun tibalah malam dan say pun mengalami budaya Beijing yang telah saya dengar: aneka makanan Cina yang diselingi alkohol. 

Dari kiri: baijiu, bir, huangjiu.

Saat saya melihat baijiu untuk pertama kalinya, saya heran dengan kecilnya gelas arak, sampai-sampai saya spontan berkomentar. Baru setelah arak dituangkan, saya mengerti kenapa orang lokal menggunakan gelas kecil untuk menenggak minuman keras ini. Baijiu memiliki kandungan alkohol setinggi 52%! Hal ini, ditambah lagi dengan etiket minum di Beijing, bisa membuat anda cepat mabuk! 

Satu lagi yang juga layak disebutkan adalah huangjiu yang terlihat seperti teh dan memiliki rasa yang khas. Huangjiu yang saya minum sudah direndam dengan irisan jahe dan dipanaskan sebelum disajikan. Kandungan alkoholnya sekitar 15%. Lebih gampang diminum daripada baijiu, saya rasa.

Di depan Tiananmen bersama Edward, Fulton dan Tay Hwee.

Di hari terakhir saya di Beijing, saya berkesempatan untuk mampir ke Tiananmen dan Istana Terlarang. Waktu kita tidak banyak, tapi kolega kita Zhao Yang sigap memberikan informasi selagi kita melihat-lihat. Satu hal menarik adalah kisah tentang bagaimana selir dipilih untuk menemani kaisar tidur. Jadi sistemnya seperti cabut undi dan yang beruntung akan mendapatkan kehormatan untuk tidur dengan kaisar. 

Setelah makan siang dan satu ronde baijiu lagi, kita akhirnya berangkat ke bandara. Meski saya sempat mengirim kartu pos dan mencicipi KFC, perjalanan ini terasa tidak sedap. Saya harus berlibur ke Beijing lagi suatu hari nanti. Dan mungkin juga singgah ke Tianjin untuk membeli kaos Hard Rock. Ini adalah impian yang belum terwujudkan kali ini...

Sunday, December 15, 2024

Jony Wong: From Pontianak To Ningbo

It's not everyday you hear about a friend who's still living in your hometown getting a job in China, so I was happy and also quite intrigued when I heard the news from my friend Jony. It was like, wow, that was impressive. How did he get the job? What would he think about China?

But before we go further, let's have a proper introduction about Jony first. Good looking and popular since school days, Jony is a well-known MC and EO in Pontianak for the past 20 odd years. We got him to participate in our reunion as well in 2018 because who could do a better job than the local celebrity of our generation?

Jony the MC.

The story of Jony's journey to Ningbo began roughly two years ago, when a China company called Deli expanded their business to Pontianak. It happened that our friend Hendry, who's also one of Jony's closest buddies, was the main distributor. Thanks to the relationship, any Deli events organized in Pontianak were entrusted to Jony. The success were eventually recognized first by Jakarta and then China. 

Then came the day when he was asked to host an event at Deli's headquarter in Ningbo. Of all the possible candidates from Indonesia, the one from Pontianak was selected! It was almost unbelievable. So you could imagine how excited Jony was. But then... How about language? Did he need to host in Chinese?

He got a ticket to ride!

Luckily the organizer confirmed that Bahasa Indonesia was the main prerequisite. English and Chinese were good to have. So off he went, after he finished doing a meticulous preparation. In fact, I got to know about this because he asked about a couple of things related to his preparation. I informed him about the internet data and told him that he could ask Gunawan further as we just came back from China earlier this year. 

And the hype was built. When Jony posted the good news on his social media account, those who knew him were supportive. It was his first and farthest overseas job to date! And from Pontianak, Jakarta, Shenzhen to Ningbo, it was far indeed! When the event finally took place, Jony got by with a little help from Google Translate. Speaking Chinese was unavoidable!

Traveling to Ningbo.

But result was good. While he was there, Jony was offered another job in Jakarta. He texted me about it as I arrived in Tanjung Balai Karimun. Good for him! But of course I was curious the most about how did it feel for a fellow from Pontianak to see China for the first time ever?

And Jony witnessed another myth busted. The gossip about how dirty and smelly China had been around forever, but Jony encountered nothing like that. To be there himself was an eye opener. It also certainly helped to convince him to work harder, save more money and bring his family to travel and see the world!

Exploring China at night.





Jony Wong: Dari Pontianak Ke Ningbo

Tidak setiap hari anda mendengar tentang seorang teman yang masih tinggal di kampung halaman anda tiba-tiba mendapatkan pekerjaan di Cina, jadi saya turut bergembira dan tergelitik untuk bertanya lebih lanjut ketika Jony memberi kabar. Saya merasa terkesan, penasaran tentang asal mula cerita dan apa pula pendapatnya tentang Cina. 

Akan tetapi, sebelum kita membahas lebih jauh, mari saya perkenalkan sedikit dulu tentang Jony. Teman saya ini tampan dan populer pula di zaman sekolah. Selama dua dekade terakhir, dia juga dikenal sebagai MC dan EO di Pontianak. Di tahun 2018, kita juga mengundangnya untuk mengisi acara reuni, sebab siapa lagi yang lebih cocok kalo bukan selebritis lokal dari generasi kita sendiri? 

Jony sang MC.

Nah, kisah petualangan Jony ke Ningbo ini bermula kira-kira dua tahun silam, ketika perusahaan Cina bernama Deli mulai ekspansi ke Pontianak. Seorang teman bernama Hendry yang juga merupakan karib Jony ini menjadi distributor utamanya. Berkat hubungan kerja ini, acara Deli di Pontianak pun dipercayakan pada Jony. Suksesnya kemudian bergaung, pertama di Jakarta, lalu ke Cina. 

Lantas tibalah harinya di mana dia diminta untuk memandu acara di markas besar Deli di Ningbo. Dari sekian banyak kandidat yang berbakat di seantero Indonesia, yang terpilih justru yang berasal dari Pontianak. Jadi bisa anda bayangkan betapa terperanjat dan senangnya Jony. Tapi bagaimana pula dengan kendala bahasa? Apakah dia harus bercakap-cakap dalam bahasa Mandarin sepanjang acara? 

Siap bertugas!

Pihak perusahaan meyakinkannya bahwa Bahasa Indonesia tetap merupakan syarat utama. Inggris dan Mandarin cuma nilai tambah. Jadi berangkatlah Jony setelah persiapan yang matang. Saya sendiri tahu kabar ini karena dia menghubungi saya untuk menanyakan beberapa hal tentang Cina. Saya ceritakan tentang data internet dan berujar bahwa dia bisa tanya Gunawan untuk tahu lebih lanjut karena kita baru saja ke Cina awal tahun ini. 

Dan kabar tentang kiprah Jony pun berhembus. Sewaktu Jony pos di akun media sosialnya, para kenalan sangat suportif dengan prestasinya. Ini adalah pekerjaan di luar negeri yang pertama dan terjauh baginya! Dan dari Pontianak, Jakarta, Shenzhen ke Ningbo, perjalanannya sungguh jauh! Ketika tiba hari-H, Jony mencetak sukses dengan sedikit bantuan Google Translate. Bicara Mandarin di Cina memang tidak terelakkan! 

Perjalanan ke Ningbo.

Tak disangka hasil yang baik ini membuahkan kejutan lain pula. Selagi berada di Ningbo, Jony juga ditawarkan acara lain di Jakarta! Dia memberikan kabar saat saya berlabuh di Tanjung Balai Karimun. Sekali lagi saya ikut bersuka-cita. Namun saya juga penasaran, apa sudut pandang orang Pontianak yang melihat Cina untuk kali pertama? 

Apa yang dialami Jony adalah mitos yang terkuak. Telah beredar sejak lama bahwa Cina itu kotor dan bau, tapi Jony tidak melihat yang seperti itu. Berada di sana dan melihat sendiri adalah satu hal yang membuka wawasan. Selain itu, Jony juga tambah yakin bahwa dia perlu bekerja lebih keras dan menabung lebih banyak lagi untuk membawa keluarganya melihat dunia! 

Jalan-jalan malam di Cina.

Saturday, December 7, 2024

A Different Exposure

My daughter graduated from her primary school recently. As she moved on to the next phase, we went through quite a fair bit of processes and eventually my wife shared that she felt I was barely involved in a lot of things. And anything about education, in general. That got me thinking for a while: what gives? 

And I immediately thought of the time when I wrote about why people are different. I remember the moment when I got into secondary school. It was quite a straightforward decision I made after checking with my friend Rudy. Years later, long after I completed my education in my hometown Pontianak, here I am, speaking English and doing just fine in Singapore. 

Now that I really thought of it, indeed it was a different kind of exposure. A rather unusual one, if compared with what most of my peers had gone through. It turned out well for me, but at the same time, I ended up having a very different view in life. 

I failed to see why the secondary school registration was a big deal. I also had this mindset that, if I could do it with only education from a small town that didn't speak English at all, I couldn't see how my daughter who studied here in Singapore could fare any worse. I don't think I'm stubborn, but I am just not convinced that I should worry a lot about her education. She definitely has it better than me. 

The question now is more of how she responds to and appreciates the education she has here. In this case, my role model as a Dad is Lawrence. Oh yes, the same Lawrence who visited Pontianak and went to China with me. I think he did great with his kids. And he told me back in December 2020 that he always encouraged the kids to dig deeper and think. Now that they all grew up, they look all right, cheerful and they love their father dearly. 

Lawrence's experience makes sense to me. I can certainly relate with that. If my daughter Linda is anything like me, then encouragement is the way to go. She just needs to love what she's doing and she'll excel. Throughout the first twelve years of her life, I already tried my best to give her the happiest childhood I could provide. I allow her to fail and learn from her mistakes, too. I guess the next step is to help her learning and loving what matters for her in the next phase of her life...

Father and daughter.



Pengalaman Yang Berbeda

Putri saya baru-baru ini lulus SD. Dia naik ke jenjang berikutnya dan kita pun ikut sibuk dengan proses pendaftaran sekolahnya. Suatu hari, istri saya berkomentar bahwa saya hampir tidak terlibat apa-apa dalam hal ini dan juga perihal edukasi secara umum. Saya jadi tertegun dan berpikir: kenapa begini, ya? Apa yang salah? 

Dan saya lekas teringat dengan tulisan saya tentang kenapa setiap orang berbeda. Saya juga terkenang dengan saat saya masuk SMP. Kala itu saya cuma bertanya pada Rudy, apakah kita daftar ke Petrus. Bertahun-tahun setelah saya menyelesaikan pendidikan di Pontianak, di sinilah saya berada, berbicara dalam bahasa Inggris dan baik-baik saja di Singapura. 

Kalau saya pikirkan kembali, sepertinya pengalaman saya ini berbeda. Proses yang saya lalui ini boleh dikatakan tidak lumrah pula apabila dibandingkan dengan apa yang rata-rata dialami oleh teman dan kenalan saya. Walau baik hasilnya untuk saya, di saat bersamaan, saya jadi memiliki pandangan yang berbeda. 

Alhasil saya tidak paham kenapa pendaftaran SMP perlu dikerjakan dua orang tua. Saya juga memiliki pola pikir bahwa bila saya yang hanya berbekal pendidikan dari kota kecil yang tidak berbahasa Inggris pun bisa bersaing di Singapura, maka tidak ada alasan kenapa putri saya yang lahir dan sekolah di sini bisa lebih buruk hasilnya. Saya rasa saya tidak keras kepala, tapi saya tidak yakin saya harus sedemikian khawatirnya dengan pendidikan anak saya. Dia jelas memiliki pendidikan yang lebih baik dari saya. 

Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana dia menyikapi pendidikan yang ada. Dalam hal ini, teladan saya sebagai seorang ayah adalah Lawrence. Ya, Lawrence yang sama, yang pernah ke Pontianak dan ke Cina bersama saya. Suatu ketika di bulan Desember 2020, dia bercerita bahwa dia selalu mendorong anak-anaknya untuk berpikir dan memahami tentang manfaat pendidikan bagi diri mereka. Sekarang mereka sudah dewasa dan mereka terlihat baik, gembira dan menyayangi ayahnya. 

Pengalaman Lawrence ini masuk akal bagi saya dan saya bisa merasakan relevansinya. Jika Linda memiliki karakter yang sama seperti saya, maka dukungan adalah apa yang dia butuhkan. Dia hanya perlu menyukai apa yang dia kerjakan dan dia akan berhasil di bidangnya. Selama 12 tahun pertama dalam hidupnya, saya sudah sedaya upaya memberikan masa kecil yang gembira untuknya. Saya juga mengawasi dan memberikannya kesempatan untuk berbuat salah dan belajar dari kegagalannya. Saya kira langkah berikutnya adalah membantunya belajar dan mencintai apa yang penting baginya di fase selanjutnya... 

Sunday, November 24, 2024

The Three Wise Men

Throughout our lives, we continued evolving. For the betterment of ourselves, we learnt from the experience and exposure that shaped us. Along the way, some might gain a certain reputation as a wise person, knowledgeable and so forth. It was all fine and dandy, until you clung to it as if it was the only thing that mattered.

Reputation here could be defined as how a person was highly regarded by others. It must be great to reputable, therefore when cornered, one would defend his or her reputation fiercely. Asians in general had the mindset of giving face, saving face, anything that had to do with face, so excuses would be made up. They often sounded wise to the uninitiated, seamlessly sugarcoating the actual problem: the unwillingness to listen and get things done. They were also especially constructed to gain sympathy, the last resort to save the failing reputation. 

The craziest thing was, it would actually work on the audience that felt represented. Those who dared not to dream and take actions. Those who felt the world had been unfair and failing them. So you see the chain reaction here? In their attempt of saving their own skin, this first type of wise men had discouraged their followers under the pretext of being realistic. 

Then there were the second wise men. Ones that would come across as know-it-all. The people who either knew this or knew someone who knew that. They just had this insatiable need to constantly show that they knew more. But dug deeper and you'd realize that it was all superficial. Simply no substance. The funniest part was, apparently being confronted could be traumatizing. In the end, they chose not to speak up, worried that people would ask further. If something was accidentally blurted out, it would be recalled or deleted.

If the previous type was paranoid, The third group of wise men was perhaps over confident. They looked respectable and admirable until proven to be weren't as decent as they seemed. But they were patience enough to wait until opportunity knocked. Then they'd hop on anything that worked towards their advantage just to make a point. It'd be like field days, the moment they had been waiting for. You know, I'd been writing since high school, but even I was surprised to hear the story they were able to spin out!

Now, why am I telling you this? Like I said before, I am the chronicler. It is my thing to observe, ponder and write about it. I'm neither wise nor smart, but through what I did, I learnt from the wise men about what I don't want to be. They served as a reminder how human beings were susceptible to the reputation they built throughout the years. What was once an achievement had also become the weakness.

And I was also reminded that self-actualization, as preached by Bruce Lee many years ago, was better. Be yourself, not what people think or expect you to be. It's easier that way, for we don't always know or have all the answers. 

And be contented, too. Pursue reputation and you are at mercy of constant approval from others. But by being contented, something peaceful blossoms from within. That's the one thing that makes you smile and happy. 

Contented. I'd like to think I already am.
Photo by Yani.



Tiga Orang Bijak

Sepanjang hidup ini, kita akan senantiasa terus berevolusi. Dalam upaya kita untuk menjadi lebih baik, kita belajar dari pengalaman dan apa yang kita alami pun membentuk karakter kita. Beberapa di antara kita yang melewati proses pendewasaan ini bisa jadi meraih predikat orang bijak, berwawasan dan sebagainya. Semua ini baik adanya, sampai kita mendekap erat predikat yang kita sandang, seolah-olah ini adalah satu-satunya hal paling penting di dunia. 

Reputasi yang dimaksudkan di sini bisa dijabarkan sebagai cara bagaimana seseorang dipandang tinggi oleh orang lain. Tentunya hebat bila memiliki reputasi, namun tidak jarang orang menjadi defensif ketika reputasinya terancam. Kebanyakan orang Asia masih berkutat di pola pikir memberi muka, menyelamatkan muka, pokoknya segala sesuatu yang berhubungan dengan muka. Demi semua itu, segala macam alasan pun dibuat-buat. Bagi yang hanya menyimak secara sekilas, alasan tersebut bukan saja terdengar bijak, tapi juga menyamarkan masalah sesungguhnya: ketidakrelaan untik mendengar dan melakukannya. Dan alasan-alasan itu dirancang sedemikian rupa untuk menarik simpati, satu upaya terakhir untuk menyelamatkan reputasi yang goyah. 

Yang paling menarik adalah betapa semua alasan ini terdengar masuk akal bagi mereka yang merasa terwakilkan. Mereka yang tidak berani untuk bermimpi dan melakukan sesuatu. Mereka yang merasa dunia tidak adil dan telah mengecewakan mereka. Jadi bisa anda lihat siklus yang berkesinambungan ini. Dalam rangka menyelamatkan reputasi mereka, tipe pertama orang bijak ini secara tidak langsung memadamkan semangat pengikutnya dengan dalih realistis.

Kemudian ada pula orang-orang bijak yang berbeda. Kategori yang kedua ini adalah mereka yang kesannya serba tahu. Mereka tahu hal ini atau kenal dengan orang yang tahu akan hal itu. Sepertinya ada kebutuhan yang tidak terpuaskan, sampai-sampai mereka setiap waktu ingin menunjukkan bahwa mereka lebih tahu. Tapi tanya lebih lanjut dan maka akan anda temukan bahwa pengetahuan mereka cuma kulitnya saja. Tak ada isinya. Yang lucunya lagi, ternyata dicecar dengan pertanyaan bisa membuat trauma. Pada akhirnya orang bijak ini justru tak mau berkomentar lagi karena khawatir akan ditanya lebih lanjut. Jika sesuatu tanpa sengaja terucapkan, maka akan ditarik balik atau dihapus.

Jika tipe di atas adalah paranoid, maka yang ketiga ini justru terlalu percaya diri. Orang-orang tampak terhormat dan mengagumkan, sampai anda lihat sendiri bahwa mereka tidaklah seperti apa yang mereka proyeksikan. Namun mereka sabar menanti sampai munculnya kesempatan. Begitu hari tersebut tiba, mereka mengaitkan apa saja demi apa yang hendak disampaikan. Dan anda tahu, meski saya sudah menulis dari sejak SMA, saya tetap terkesima mendengar cerita karangan mereka.  

Sekarang, kenapa saya menceritakan semua ini? Seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya, saya adalah seorang pencatat di generasi saya. Apa yang saya lakukan adalah mengamati, merenungkan dan menuliskan apa yang saya lihat. Saya tidaklah pandai ataupun bijak, tapi dari apa yang saya lakukan, dari orang-orang bijak ini saya belajar tentang kelakuan yang sedapat mungkin saya hindari. Tiga orang bijak ini adalah bukti nyata bahwa manusia itu lemah dalam menyikapi reputasi yang mereka bangun selama bertahun-tahun. Apa yang pada awalnya adalah sebuah prestasi pada skhirnya hanya sebuah kelemahan. 

Dan saya juga turut diingatkan kembali bahwa aktualisasi diri, seperti yang dicetuskan oleh Bruce Lee, jelas lebih cocok. Jadilah diri kita sendiri, bukan menjadi seperti apa yang orang lain bayangkan tentang kita. Akan lebih mudah menjadi diri sendiri, sebab kita tidak selalu tahu semua hal dan memiliki semua jawaban. 

Dan bersyukur serta bergembiralah pula. Mengejar reputasi membuat anda senantiasa tergantung pada pengabsahan orang lain. Namun bila anda bisa bersenang hati, sesuatu yang damai lahir dari dalam. Itu adalah ,satu-satunya hal yang membuat anda tersenyum, tenang dan bahagia. 

Saturday, November 9, 2024

Passing The Torch

This story about passing the torch had been lodging in my mind since July, actually. I got the idea after the dinner with my ex-colleagues Jerold and Suresh. I let it sink in, knowing that if it ever got matured, it would resurface again after some time. Meanwhile, I moved on, but only to reminded of it through things I experienced at work and at home. The inspiration to write about it finally came when I was listening to a sermon last week. 

I remember specifically the conversation that happened as we took the escalator up. The gist of it is about the changes we can make if we are in the right position. The context is like this: at work, we may not always like the ideas or how we were being treated by our predecessors or supervisors. Hence when you are in the right position to change all that, you should put a stop so that it won't be passed down to the next generation anymore. 

Talk about the next generation, from time to time I would ask my daughter Linda if I had been a good Dad to her and whether she's happy with her life and family. While it is always nice to hear that she is appreciative of her funny Dad, it is far more important to know that she actually digs deeper and is grateful to be our daughter. She understands that things are tougher for those who came from a broken home whereas she has a relatively happy childhood. 

So now that I am in my forties, I learn that I am in that position where things I did are not only observed by the next generation, but would also have an impact in their lives, regardless how big or small it would be. 

This leaves us with only two choices. If you are being petty about life, you do exactly the same way your predecessors did to you. Know that by doing so, you are instrumental in extending the vicious cycle. Alternatively, what's not good end should with you so that the next generation doesn't have to experience it anymore. They'll start anew by not inheriting the mistakes from the past. 

We could make a difference. 

It's a matter of choice. 

And doing it right.

With Jerold and Suresh.



Untuk Generasi Berikutnya 

Cerita tentang apa yang kita wariskan untuk generasi berikutnya ini sudah muncul di benak saya sejak bulan Juli. Saya dapat ide ini setelah makan malam bersama mantan rekan kerja saya, Jerold dan Suresh. Akan tetapi saya acuhkan ide tersebut supaya matang bersama waktu. Bisa sudah tiba masanya, ide itu akan muncul lagi. Sementara itu, tak jarang saya diingatkan kembali tentang ide ini, baik di kantor maupun di rumah. Inspirasi akhirnya muncul saat saya mendengarkan khotbah pada hari Minggu lalu.

Saya ingat betul dengan perbincangan yang terjadi saat kita menaiki eskalator di Waterway Point. Inti dari percakapan tersebut adalah bagaimana kita bisa membuat perubahan saat berada di posisi yang tepat. Konteksnya seperti ini: di lingkungan kerja, ada kalanya kita tidak menyukai ide atau perlakuan senior kita yang berasal dari generasi sebelumnya. Oleh karena itu, bilamana kita berada di posisi yang tepat, anda bisa menghentikan semua itu supaya tak lagi berlanjut ke generasi berikutnya. 

Bicara tentang generasi setelah kita, terkadang saya bertanya pada putri saya Linda, apakah saya telah menjadi ayah yang baik baginya dan juga apakah dia bahagia dengan hidupnya dan sebagai bagian dari keluarga. Tentu saja senang rasanya mendengar bagaimana seorang anak menghargai orang tuanya, namun yang lebih penting lagi, di usianya yang tergolong muda, dia sebenarnya mengerti dan bersyukur telah terlahir di keluarga ini. Dia paham bahwa teman-temannya yang diasuh oleh orang tua tunggal yang mengalami perceraian itu melewati kesulitan yang jauh berbeda dengannya. Dan dia tahu bahwa masa kecilnya sudah cukup baik. 

Jadi di usia 40an ini, saya belajar bahwa saya kini berada di posisi bahwa apa yang saya lakukan bukan saja diamati oleh generasi berikutnya, tapi juga memiliki dampak dalam hidup mereka, entah itu besar atau kecil. 

Dan pada akhirnya hanya ada dua pilihan. Jika kita berpikir secara picik, kita bisa saja meneruskan hal yang sama seperti yang telah kita rasakan dari generasi sebelumnya. Tapi ketahuilah bahwa jika itu yang kita lakukan, maka kita punya andil dalam meneruskan lingkaran setan. Alternatif lainnya, apa yang tidak baik itu hendaknya berakhir bersama kita supaya generasi berikutnya tak lagi perlu mengalaminya. Mereka bisa memulai tradisi yang baru karena tidak mewarisi kesalahan dari masa lalu. 

Kita bisa membuat perbedaan. 

Ini hanyalah masalah pilihan. 

Dan juga melakukannya dengan baik. 

Saturday, November 2, 2024

The Culture

As I was talking with my wife about my upcoming trip to India, I was reminded again why I love traveling. No, it's not much about the nature, as I am always a city person and I thrive well when my cards work best. If there's one thing I like the most, it has to be this: the culture. 

The staycation where the inspiring talk took place. 

And it started long before I even realized it. Looking back, that's why Bali felt so different and charming. Because it is the only place in Indonesia with a thick Hindu influence. It's the culture that makes Bali so beautiful and welcoming. 

Same goes for India. I'd normally describe my experience like this: the colors, the noise, the smell, never before my senses had to work this hard! But it's the way the people carry on the age-old traditions, the delicious bannur mamsa chops I had in Bangalore, how all the religions come together in Kolkata, how I smashed the clay cup after drinking chai, that'll always be the incredible India I remember. 

The bannur mamsa chops that washed away the bland European taste.

If traveling is a humbling experience, then it's the culture that gets you thinking. I remember walking in Paris, seeing people enjoying life under the red awnings of the cafe and restaurant. For all the time we spent working, it was nice to see it with our own eyes that there was another option out there. 

And that boat ride from Interlaken to Iseltwald got me thinking, despite all the hard work we Asians did, we would never be as rich as the Swiss who woke up everyday to this heavenly view anyway. It opened up your mind and filled it with many questions: how rich is rich enough? Where are we in this life? What's the point of all this? 

Audrey and Yani in the breathtaking Iseltwald.

This is a break that most of us never know we need. We can be so focus in what we are doing to the extent that we believe this is it and the only way. In their ignorance, some even tell me that instead of travelling, you can just see it on YouTube. 

But it doesn't work that way. How the Indians still practice their 5000 years old belief in daily basis, how the Chinese is so advanced in their technologies such as Alipay, how the Japanese can be so hospitable, the magnitude of all this can only be appreciated when you are there. 

The guy who prepared the chai for me. He is the master! 

And embracing the culture helps you to reset your point of view. Every time you are skewed, the humbling experience brings balance to the force. The humility of it. That's the greatest part. People talk about healing. This is one. But don't let me bluff you. Try it yourself. 



Budaya

Sewaktu saya berbincang dengan istri saya tentang liburan saya ke India di bulan Januari 2025, saya jadi teringat kembali kenapa saya suka jalan-jalan. Tidak, ini bukan tentang alam, karena saya lebih menyukai kota dan saya berfungsi dengan baik di tempat di mana saya bisa mengibaskan kartu kredit. Jadi jika ada satu hal yang paling saya sukai dari berlibur, maka itu adalah budaya. 

Staycation tempat kita berbincang tentang topik yang membuat saya terinspirasi.

Dan semua ini sudah berlangsung lama, bahkan jauh sebelum saya menyadarinya. Bila saya lihat kembali, ini alasannya kenapa Bali terasa berbeda dan memikat. Bali memiliki daya tarik luar biasa karena inilah satu-satunya tempat di Indonesia yang begitu kental budaya Hindunya. Adalah budaya yang membuat Bali terasa indah dan ramah. 

Sama halnya dengan India. Saya seringkali menggunakan ilustrasi berikut ini: warna-warni, aroma dan volume suara di India, belum pernah panca indra saya bekerja sekeras ini! Namun budaya ribuan tahun yang masih dijalani warganya, daging kambing bannur mamsa yang kaya rempah-rempah di Bengaluru, beraneka ragam agama yang berdampingan di Kolkata, hingga hal kecil seperti saat saya membanting cawan tanah liat setelah menenggak chai, inilah India akan selalu terkenang di benak saya. 

Daging kambing bannur mamsa yang super lezat.

Jika berlibur melihat dunia adalah sebuah pengalaman yang bersahaja, maka budaya yang kita alami adalah apa yang membuat kita berpikir. Saya ingat saat berjalan di Paris, melihat bagaimana orang-orang duduk santai menikmati hidup di bawah tenda merah di depan kafe dan restoran. Saat teringat bagaimana kita menghabiskan waktu untuk bekerja, lega rasanya melihat sendiri bahwa ada opsi lain dalam hidup ini. 

Dan di kapal yang menyusuri danau dari Interlaken ke Iseltwald itu saya berpikir, seberapa keras pun kita yang di Asia bekerja, kita tidak akan pernah sekaya orang Swiss yang bangun dengan pemandangan seindah ini setiap hari. Semua ini lantas membuat saya bertanya: jadi seberapa kaya baru cukup? Di mana posisi kita sekarang dalam kehidupan ini? Apa makna dari semua yang kita jalani ini? 

Audrey dan Yani sewaktu kita tiba di Iseltwald.

Keluar dari rutinitas dan masuk ke lingkungan yang sama sekali baru ini adalah sesuatu yang kita perlukan, meski tak banyak yang menyadari, apalagi mencoba. Terkadang kita bisa terlalu fokus pada apa yang kita lakukan, sampai-sampai kita percaya bahwa hidup hanyalah seperti ini dan ini adalah satu-satunya cara. Dalam ketidaktahuan mereka, ada saja yang dengan naifnya berkata bahwa semua ini bisa dilihat di YouTube. 

Tapi tentu saja caranya tidak seperti itu. Bagaimana orang India masih berpegang teguh pada kepercayaan yang sudah 5000 tahun lamanya dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana orang Cina bisa begitu maju dan canggih dengan teknologi seperti Alipay, bagaimana orang Jepang bisa begitu ramah, anda hanya bisa mengapresiasi budaya mereka saat berada di sana. 

Sang penyaji teh di cawan tanah liat!  

Dan mengalami sendiri budaya asing membantu kita meluruskan kembali sudut pandang kita. Setiap kali kita mulai oleng, pengalaman bersahaja ini menyeimbangkan kita kembali. Kerendahan hati dan ide yang kita dapatkan, itu adalah hal yang berharga. Orang-orang sering berkata tentang healing. Inilah hasilnya. Tapi jangan percaya begitu saja dengan apa yang saya katakan. Anda harus coba sendiri.