Total Pageviews

Translate

Friday, August 23, 2019

The Humbling Experience

I often said travelling is a humbling experience. This particular quote appeared once in a while since the beginning of Roadblog101, but you might find that I never really elaborated further about it. For this occasion, let's dig deeper! The beauty of travelling, especially to new places, is the whole new world that you will discover. Whatever it was you thought you knew best, it was suddenly rocked to the core as your horizon was broadened.

The very first time I ever realised it was when I travelled to Bali from Jakarta. At that time I seldom travelled, even domestically. I probably only visited Singkawang and Bandung prior to the trip. Based on what I had seen, I had this general idea of how Indonesia looked like: the cities were developing and the atmosphere, regardless whether it had quite a substantial population of Chinese or not, felt quite Islamic.

The first trip to Bali!

Much to my surprise, Bali was so different. It was like visiting a foreign country that happened to use rupiah as its currency. The Hindu influence was so profound there, deeply entrenched into the life of the Balinese that on a very surface level, you'd see canang sari (flowers for puja offering) everywhere! They were proud of their babi guling (suckling pig). Hindu temples, statues that sometimes wore sarong, you'd see them wherever you went. Life was so relax in an island filled with magnificent natural landscapes. People were so friendly and tourists were aplenty.

It was quite liberating to see a totally different lifestyle in Indonesia. Growing up and lived in Pontianak for 22 years, I must be so naive that I subconsciously thought the small town was the center of the universe. I was so used to the culture and not much had really changed for me in Jakarta that I ended up believing it was the only way of life. The visits to Bali opened my eyes. I was wrong and I was glad to be proven wrong in such a fashion. It was good to know that there were choices out there.

With Benny in Khao San Road, Bangkok, 2010.
Photo by Swee Hin.

The next one that gave me a good impression was Bangkok. Okay, Kuching would always be the first foreign city that I visited and Singapore gave me the exposure of a first world country, but it was Bangkok that charmed me the most. It was more modern than Jakarta, but it never lost its characteristics. Everywhere I went, I met people greeting me with a smile, the wai gesture and, "สวัสดีครับ (S̄wạs̄dī khrạb)." It was so infectious that I couldn't help returning the favour in a same manner!

Then of course I had mentioned Japan and its famous hospitality, too. I remember the trip to Tokyo that I had with my wife and daughter in 2014. I lost my way to the hotel and, after deciding that he was getting nowhere in explaining the direction, the person I asked actually brought us to the right exit of Nihombashi train station even though he wasn't heading there! Another great example would be this person that sat next to me at Paul McCartney concert. When he knew that I was from Indonesia, this stranger left his seat and went out to the merchandise store to buy me a keychain as a souvenir. How the Japanese would go for the extra mile!

In front of the hotel we were looking for.
Photo by Evelyn Nuryani.

Experiences like these made you think again, that when things became cynical in life, it was good to know kindness still existed. It taught us not to be afraid to be kind, even though you gained nothing in return, because it was never about gaining. It was always about sincerity in life. If strangers could do that, so could I, and the world would be a better place.

Through travelling, I also learnt to be thankful. Cambodia was so memorable, but I'm afraid not for a good reason. In 2009, even the capital city was so rundown, let alone towns such as Siem Reap. The place was so dry and hot that even the cows were skinny. I'd never forget the dusty cyclone that engulfed the roadside bread cart. It was a sight to remember and when I saw that, I was like, "how on earth are people going to eat that?"

Visiting Bayon Temple, Siem Reap.

Simply put, the condition was so bad that I suddenly realised how blessed I was to be born in Indonesia. All this while, it was easy for Indonesians to complain and forget what we actually had. But seeing was believing. It screamed right at my face that there were less fortunate people out there. I was shocked to see the only entertainment they had at night: the neighbourhood people were either playing rope skipping or doing the slow dance.

And yet the Cambodians looked genuinely happy. They might not have whatever it was that outside world could have then, but they seemed to have a good time. The moral of the story was, if I considered myself blessed but couldn't be at least as happy as they were, something must be wrong inside my heart. What I saw reminded me that one just had to be appreciative in life. It didn't take much to be happy.

I could go on and on, but you might have gotten the gist by now. If you stayed too long in one place and did the same routines all the time, you'd end up believing your way of life was the only way to go. Travel the world, discover new things, and be humbled by the experience. There's a reason why holiday is refreshing. It's meant to be a break from what you are doing everyday, so that you get a new perspective in living your life differently...

Capturing moments in Cambodia.
Photo by Endrico.


 Pengalaman Yang Bersahaja

Saya sering berucap bahwa melanglang buana itu adalah pengalaman yang bersahaja. Perkataan ini muncul berulangkali dari sejak Roadblog101 bermula, namun saya mungkin tidak pernah bercerita lebih lanjut tentang apa makna pernyataan saya ini. Pada kesempatan ini, mari kita bahas lebih jauh! Yang menarik dari liburan, terutama bila kita mengunjungi tempat yang baru, adalah sebuah dunia baru yang terbentang di hadapan kita, menanti untuk dijelajahi. Di saat itu pula, apa pun kiranya yang selama anda ketahui pasti akan berubah karena wawasan anda bertambah luas. 

Saya pertama kali menyadari hal ini saat saya berkelana dari Jakarta ke Bali. Sebelum ini saya jarang ke mana-mana, baik luar negeri maupun domestik. Seingat saya, saat itu saya hanya pernah mengunjungi Singkawang dan Bandung. Berdasarkan apa yang saya lihat, saya memiliki gambaran bahwa Indonesia itu kira-kira seperti ini: kota-kotanya sedang berkembang dan suasananya, tidak peduli apakah kota tersebut memiliki populasi Tionghoa yang cukup banyak atau tidak, tetaplah memiliki pengaruh Islam yang kental.

Endrico di tengah-tengah orang lokal dan turis asing saat kita mengunjungi Tanah Lot, Bali.

Di luar dugaan saya, Bali ternyata sangat berbeda. Rasanya seperti mengunjungi negeri asing yang menggunakan mata uang rupiah. Budaya Hindu terasa sangat dominan dan begitu mengakar di kehidupan sehari-hari masyarakat Bali. Sebagai contoh sederhana, anda bisa melihat canang sari (bunga persembahan) yang bertaburan di pinggir jalan. Mereka bangga dengan masakan babi guling. Pura dan patung yang terkadang memakai sarung pun terlihat segenap penjuru Bali. Hidup terasa begitu santai di Pulau Dewata yang menakjubkan alam dan pemandangannya. Orang-orang di sana sangat bersahabat dan turis dari manca negara tumpah-ruah di Bali. 

Mencengangkan rasanya melihat gaya hidup yang begitu berbeda di Indonesia. Lahir dan tumbuh dewasa di Pontianak selama 22 tahun lamanya, saya begitu naif karena sekian lama terkungkung di kota kecil ini. Saya terbiasa dengan budaya Pontianak dan juga pola hidup yang sama selama saya tinggal di Jakarta. Kunjungan ke Bali sungguh menginspirasi. Selama ini saya salah sangka dan saya senang saat mengetahui bahwa ada pilihan lain di luar sana. 

Di Bangkok.
Foto oleh Endrico.

Kota berikutnya yang memberikan kesan mendalam adalah Bangkok. Ya, Kuching mungkin saja kota luar negeri pertama yang saya kunjungi dan Singapura memberikan saya pengalaman, seperti apa negara maju itu sebenarnya, tapi Bangkok sungguh mempesona! Ibukota Thailand ini lebih maju dari Jakarta, tapi tidak pernah kehilangan karakteristiknya. Ke mana pun saya pergi, orang-orang selalu menyapa dengan senyum, membungkuk dan mengucapkan, "สวัสดีครับ (S̄wạs̄dī khrạb)."  Sapaan khas Thailand ini begitu menarik sehingga saya pun tanpa sadar membalas dengan cara yang sama!

Selain Thailand, tentu saja Jepang dan keramahtamahannya perlu saya jabarkan. Saya ingat dengan kunjungan pertama ke Tokyo bersama istri dan anak di tahun 2014. Saat itu saya tersesat di stasiun kereta Nihombashi dan, setelah merasa bahwa dia tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata, orang yang saya tanyai itu membawa kami ke pintu keluar yang mengarah ke hotel walaupun dia sebetulnya tidak menuju ke arah yang sama. Contoh lainnya adalah orang Jepang yang duduk di sebelah saya sewaktu konser Paul McCartney di Tokyo. Tatkala dia mengetahui bahwa saya berasa dari Indonesia, orang asing ini beranjak dari tempat duduknya dan keluar untuk membeli gantungan kunci yang merupakan cinderamata konser. Dashyat ramahnya!

Bersama Linda, tak jauh dari Stasiun Nihombashi.
Foto oleh Evelyn Nuryani.

Pengalaman seperti ini jelas membuat anda berpikir lagi, apabila hidup ini terasa sinis, betapa lega rasanya saat mengingat kembali bahwa kebaikan itu masih ada. Hal ini mengajarkan kita untuk tidak takut berbagi kebaikan, meskipun kita tidak diuntungkan sama sekali, sebab intinya bukanlah untung rugi, melainkan ketulusan terhadap sesama. Jika orang asing bisa berbuat seperti ini, saya rasa saya pun bisa, dan dunia ini akan menjadi tempat yang lebih baik. 

Petualangan ke berbagai negara juga membuat saya belajar untuk bersyukur. Kamboja takkan terlupakan, tapi sayang sekali bukan karena alasan yang menyenangkan. Di tahun 2009, bahkan Phnom Penh yang merupakan ibukota negara pun masih terbelakang, jadi kota-kota lain seperti Siem Reap lebih parah lagi. Iklimnya kering dan panas, sampai-sampai sapinya pun kurus. Saya tidak akan lupa dengan angin puting-beliung yang berdebu dan berputar menggulung gerobak roti di tepi jalan. Saat melihat pemandangan itu, di dalam hati saya berkata, "bagaimana caranya orang menyantap roti ini?"

Menyusuri jalan di Phnom Penh bersama kawan-kawan.
Foto oleh Endrico. 

Begitu buruknya kondisi sana sehingga saya jadi berterima kasih bahwa saya lahir di Indonesia. Terkadang lebih mudah bagi kita untuk mengeluh daripada bersyukur atas apa yang kita miliki. Apa yang saya lihat mengingatkan saya kembali bahwa masih banyak orang yang lebih tidak beruntung di luar sana. Saya tertegun saat melihat hiburan mereka di malam hari: orang-orang di sekitar penginapan saya bermain lompat tali dan menari pelan di depan rumah. 

Akan tetapi mereka terlihat gembira. Ya, mereka memang tidak memiliki hiburan seperti yang biasa kita lihat, tapi mereka menikmati hidup mereka. Intinya adalah, jikalau saya yang merasa lebih beruntung tidak bisa segembira mereka, mungkin ada yang salah dalam hati saya. Pengalaman saya di Kamboja mengingatkan saya kembali bahwa tidaklah rumit untuk menjadi bahagia. Yang penting itu bisa bersyukur. 

Saya bisa lanjut bercerita lagi, tapi saya rasa sampai di sini anda sudah mengerti. Bila anda tinggal terlalu lama di suatu tempat dan mengerjakan hal yang sama berulang-ulang, anda lambat-laun akan percaya, seperti itulah hidup. Saran saya adalah, bertualanglah bilamana anda bisa, temukan hal baru dan dapatkan pengalaman yang bersahaja. Ada alasannya kenapa berlibur itu disebut refreshing. Liburan memberikan kesempatan bagi anda untuk berhenti sejenak dari rutinitas sehingga anda memiliki sudut pandang baru dalam menjalani hidup anda...

Wednesday, August 7, 2019

Listen To Dispute

My colleague Uncle Eddie is the venerable IT man known for his favorite catchphrase: no rocket science. He is good, he knows his stuff well and when he's involved in troubleshooting, you'll understand that improving our system is, indeed, no rocket science. What is not known by many is, perhaps, his second favorite catchphrase: listen to dispute. It was something that suddenly came to my mind when I attended the church service last Sunday.

When Uncle Eddie said, "listen to dispute," he was talking about human nature. It was something that I could relate with, because it happened around us. It was like, you'd listen attentively just to wait for the very moment to say no to other people and tell them they were wrong. All the good points went down the drain because they weren't what you were paying attention to.

I'd be lying if I said I didn't have such a revolting tendency. I did it all the time in friendly chat groups I knew and loved, but that was mainly for fun. It was easy for me to counter whatever comments my friends had, because... well, let's just say I had years of practice in talking nonsense, haha. When it was a serious conversation, I would react differently.

There were two reasons why I didn't listen to dispute. The first and positive one was, different opinions were actually normal. To quote Bruce Lee, "absorb what is good, discard what is not." I guess if we were humble enough to listen, we'd always learn something new from others. The second one was the fact that I wasn't wired to be argumentative. I wasn't that fast in reasoning, probably because I wasn't that smart, haha. However, if I knew for sure and the people I was talking to kept arguing, I'd let them have their way. Most of the time, I simply I had neither the drive nor energy to convince people any further if they didn't wish to listen.

This is the reason why I suddenly remembered Uncle Eddie's catchphrase when I was at the church. It came to my mind that Christianity is something that you need to try. If you want it, come and get it. You don't just hear it from others. You have to experience it. May be you'll like the Christian way, may be you won't. The point is, the relationship with God is always personal.

It's a pity when people listened just to slam it down, because you might have missed what was good for you. It's even sadder if the person felt glorious about it. I don't think there'd be anyone emerging as a winner in such a conversation, because it wasn't a debate to begin with. Yes, there'd be time when we had to stand our ground, but you'd recognize it immediately and this certainly wasn't it. Humility is the key here and for all you know, the next time you listen humbly may be the time your life is changed forever for the better. Give it a try...

In Yangon with Uncle Eddie and other colleagues.


Mendengar Untuk Membantah

Kolega saya, Pak Eddie, adalah seorang IT senior yang terkenal dengan slogan favoritnya: no rocket science. Dia tahu apa yang dia kerjakan dan mengerti luar-dalam tentang bidang database yang ditekuninya sedari dulu. Kalau dia membeberkan hasil investigasi tentang suatu masalah IT, anda akan setuju bahwa mengatasi akar permasalahan tersebut bukanlah sesuatu yang rumit. Pokoknya no rocket science. Begitu seringnya dia mengucapkan frase itu sehingga yang berikut ini mungkin luput dari perhatian orang banyak: mendengar untuk membantah. Demikian bunyi frase lain yang suka dipakainya dan frase ini tiba-tiba terngiang di benak saya saat sedang berada di gereja. 

Sewaktu Pak Eddie berujar, "mendengar untuk membantah," dia berbicara tentang kebiasaan manusia. Ini adalah sesuatu yang bisa dilihat di sekeliling kita. Contoh nyata dari frase ini adalah mereka yang menyimak pembicaraan hanya untuk menantikan saat berkata tidak kepada orang lain dan bersikeras kalau lawan bicara mereka salah. Semua hal baik yang terucap selama percakapan akhirnya hilang begitu saja karena bukan itu yang mereka perhatikan.  

Saya pastilah berbohong bila saya katakan kalau saya tidak mempunyai kebiasaan seperti itu. Saya senantiasa melakukannya di chat group, tapi itu karena saya memang iseng. Mudah bagi saya untuk membantah apa saja karena saya berpengalaman puluhan tahun dalam perbincangan yang konyol. Ketika saya terlibat dalam diskusi serius, reaksi saya jelas berbeda. 

Ada dua alasan kenapa saya tidak mendengar untuk membantah. Yang pertama dan berkesan positif adalah karena perbedaan pendapat itu normal. Bruce Lee pernah berucap, "ambil yang baik, buang yang tidak baik." Saya rasa jika kita cukup rendah hati untuk mendengarkan, kita akan selalu bisa belajar hal yang baru dari orang lain. Alasan kedua adalah karena saya bukan tipe orang yang senang berargumen. Terus-terang saya tidak cukup cepat untuk berdebat, mungkin karena saya memang tidak begitu pintar, haha. Jikalau saya tahu pasti akan suatu hal dan lawan bicara saya masih mau membantah, saya hanya akan menggeleng dan membiarkannya. Saya tidak punya cukup energi untuk meyakinkan orang yang tidak mau mendengar. 

Inilah sebabnya kenapa saya tiba-tiba teringat dengan ucapan Pak Eddie ini ketika saya sedang berada di gereja. Terlintas di benak saya bahwa yang namanya Kristen itu sesuatu yang harusnya dicoba. Jika anda mau tahu, datang dan rasakan sendiri. Jangan hanya dengar dari orang lain, tapi alami sendiri. Mungkin anda akan merasa cocok, mungkin juga tidak. Intinya adalah, hubungan dengan Tuhan itu selalu bersifat pribadi antara anda dan yang di atas. 

Saya merasa iba kepada mereka yang mendengar hanya untuk membantah, karena anda mungkin melewatkan apa yang sebenarnya baik untuk anda. Akan lebih menyedihkan lagi bila anda merasa unggul karena membungkam lawan bicara yang sebenarnya hanya ingin berbagi pengalaman dengan anda. Dalam percakapan seperti itu, saya rasa hendaknya tidak perlu ada yang muncul sebagai pemenang, sebab itu bukanlah debat. Ya, ada saatnya anda perlu dengan teguh mempertahankan pendapat anda dan secara naluriah anda akan tahu kalau saatnya tiba. Kalau bukan itu yang anda rasakan, maka dengarkan saja dengan rendah hati, siapa tahu apa yang anda dengarkan itu justru mengubah hidup anda menjadi lebih baik. Silahkan dicoba...

Saturday, August 3, 2019

The Chronicler, The Impresario

This story began with a phrase, "who died and made you..." that lingered in my mind. While it was often used a sarcastic response, the phrase was somewhat relevant with what I went through since high school till now. You see, every generation had one chronicler that brought them together and for ours, that person seemed to be me. No, nobody died and made me take it up. I wasn't nominated and I didn't ask for it, too. I just happened to fit the profile, I subconsciously filled the gap and I grew into the role gradually.

In order to understand how this happened, let's look back at the seemingly random bits and pieces in my life. First of all, I had been blessed with a memory like an elephant that allowed me to remember past events in life clearly. Secondly, as a person who lived apart from my family since high school, I naturally established close relationship with friends who were there for me when I had no one else. They were like my family and I loved them all. Then, of all the prized items a poor young man could have in the 90s, I happened to have a camera to capture the moments! Lastly, I had to admit that I seldom wrote a good story from a scratch. What I did best was blending what I observed and I experienced into writing seamlessly. The result was not my story. Since the very beginning, it was always our story.

1998-2008, our first 10 years. 

To summarise, it was a case of right things fell into right places. I became the person that cared enough to keep in touch and I organized those friendly hangouts, especially after we left high school. As I had latest contacts and updates, I once maintained a website that shared news and photos. Oh yes, while I was never a keen photographer, it seemed like I always had a camera at any point of time. In early 21st century, I was a proud owner of Sony Cyber-shot 3.2 megapixels.

Back to our story, long before Friendster and Facebook existed, there was anthony-ventura.tripod.com, the trusted source for our high school community. It was fine and well-received for a while, but I eventually learnt that some people found it intrusive. I guess I must be too excited in connecting people that I had offended some unknowingly. It was unpleasant as I didn't mean to hurt anyone. That's partly the reason why I quit.

Singing session with Pheng iu, right after Wawa's wedding.
Photo owned by Ng Lina.

The other half of the reason is the fact that I was relocating from Indonesia to Singapore. Things went sour after the last episode and I thought it was an end of era, but at the same time, it was also the beginning of a new one. My relationship with high school friends went on hiatus, replaced by the good times I had with a bunch of housemates now formerly known as Pheng iu. I was far from home, trying to make a living in a foreign country, and Pheng iu was the closest thing to a family that I had. By the way, if the name Pheng iu sounded familiar, that's probably because you might have seen it from the movies or the stories.

The 19 of us didn't stay together for long, but yet we were never really apart. When we moved out from Kembangan, we split into smaller groups and we still made an effort to be together in many occasions, from simple dinner, birthday and even travelling. Oh yes, it was during this time that I caught the wanderlust bug. We travelled to Thailand, Vietnam, Cambodia, Malaysia and, of course, Indonesia!

Markus, Darto, Endrico and I at the night market in Siem Reap, Cambodia.

But all good things must come to an end. In 2011, we either got married or went back to Indonesia. Around the same time, chat group started to become the in-thing. First BBM, then WhatsApp, and I reconnected with my high school friends again. When the old sentimental feeling was building up, I saw my acquaintance's reunion on Facebook. That's when I was inspired to do our own in 2014. Since then, I always organised activities with high school friends. We recorded We Are the World before Smule became popular. We had events such as Parno's SG Outing in 2015, the Karawang trip in 2016, Guns N Roses Concert in 2017 and many more. The last one, happened only few weeks ago, was when my friend and I watched Juventus vs. Tottenham Hotspur.

Were the events always successful? No, I had my fair share of failures, too, like the Sri Lanka trip that was supposed to happen this month or the event of attending Asian Games in Jakarta, back in 2018.

If that's the case, why bother trying? Well, I simply had the passion, I reckon. A friend once told me in 2016, "only you can make I happen. You have what it takes." The sincere remark was made out of the blue. When I heard it, I was stunned. Funny that I never realised it before.

Was it worth it? What's in it for me? As we approached the age of 40, I saw death started happening around us. Yes, be it rich or poor, people our age died. Last June, when I let go of my Dad's ashes into the sea, it dawned on me that only memories remain. When we were around, we touched people's lives. For every moment we spent together in happiness, we were one good memory richer than before. So, yeah, it's definitely worth it...

Lunch at Nasi Campur Alu with Eday.
Photo owned by Angelina. 


Yang Mencatat Dan Membuat Acara

Cerita berikut ini dimulai dengan sebuah frase bahasa Inggris yang terngiang-ngiang di benak saya: "who died and made you..." Walau frase ini sebenarnya adalah respon sarkasme, namun ada relevansinya dengan yang senantiasa saya kerjakan dari sejak SMU sampai sekarang. Setiap generasi memiliki seseorang yang mencatat berbagai kisah para teman dan untuk angkatan saya, sepertinya penulis itu adalah saya. Tidak, saya tidak dinomasikan ataupun mencalonkan diri. Saya hanya kebetulan memiliki kepribadian yang cocok, kemudian mengerjakan apa yang saya kerjakan dan akhirnya menikmati peran tersebut. 

Untuk memahami bagaimana ini bisa terjadi, mari kita lihat berbagai penggalan kisah hidup saya. Pertama-tama, saya diberkati dengan ingatan yang luar biasa kuat sehingga bisa mengingat berbagai kejadian di masa lampau. Kedua, sebagai seorang yang hidup terpisah dari keluarga sejak SMU, saya menjadi dekat dengan teman-teman yang berada di sekeliling saya di saat saya membutuhkan kehadiran mereka. Teman-teman ini tak ubahnya seperti saudara dan saya menyayangi mereka. Kemudian, dari semua harta berharga yang mungkin dimiliki oleh seorang pria muda miskin di akhir tahun 90an, saya memiliki sebuah kamera yang bisa dipakai untuk mengabadikan berbagai peristiwa. Terakhir, saya harus mengakui bahwa saya jarang menulis cerita bagus yang orisinil. Apa yang bisa dan sering saya lakukan dengan baik dan benar adalah menggabungkan beraneka kisah yang saya amati dan alami. Hasilnya bukanlah cerita saya. Dari sejak awal, apa yang saya tulis adalah sebuah kisah bersama.

Makan malam di Dangau, Pontianak. Foto kamera Ricoh, sebelum era digital. 

Dari paragraf di atas bisa disimpulkan bahwa apa yang terjadi adalah beragam faktor yang akhirnya membuat saya memainkan peran ini. Saya menjadi orang yang peduli untuk tetap menjalin hubungan dan menghubungi teman-teman untuk berkumpul, terutama setelah kita lulus SMU. Karena saya senantiasa memiliki informasi terbaru, saya pun berbagi cerita dan foto lewat situs internet. Bicara soal foto, meskipun saya tidak pernah benar-benar tertarik dengan bidang fotografi, saya sepertinya selalu memiliki kamera di setiap waktu. Di awal tahun 2000an, saya memiliki kamera digital Sony Cyber-shot 3.2 megapixels, sebuah piranti keras yang terbukti berguna pada saat itu!

Kembali ke cerita kita, jauh sebelum Friendster dan Facebook muncul, anthony-ventura.tripod.com adalah situs terpercaya bagi komunitas teman-teman SMU. Pada awalnya situs ini mendapat tanggapan positif, namun kemudian saya mendapat kabar bahwa ada yang merasa kalau keberadaan situs ini sangatlah intrusif. Saya mungkin terlalu bersemangat dalam mengumpulkan berita sehingga tanpa sadar telah menyinggung beberapa orang. Ini adalah pengalaman yang tidak menyenangkan karena saya sama sekali tidak bermaksud seperti itu. Pada akhirnya saya pun berhenti.

Suhendi di Carrefour Cempaka Mas. Buku di tangannya adalah panduan Sony Cyber-shot yang baru saja saya beli. 

Alasan lain yang juga membuat saya memutuskan untuk berhenti adalah kepindahan saya dari Indonesia ke Singapura. Rasanya seperti akhir dari sebuah era, namun zaman yang baru pun bermula pada saat yang bersamaan. Hubungan saya dengan teman-teman SMU digantikan oleh saat-saat seru bersama teman-teman serumah yang kemudian dikenal dengan sebutan Pheng iu. Saat itu saya berada jauh dari rumah, mengadu nasib dan mengais rejeki di negeri asing. Pheng iu boleh dikatakan sebagai kerabat terdekat saya pada waktu itu. Oh ya, kalau nama Pheng iu terdengar akrab, itu mungkin karena anda pernah melihat film atau membaca ceritanya

Ada 19 orang termasuk saya pada saat itu. Kita sebenarnya hanya tinggal serumah dalam waktu yang singkat, tapi kita pun tidak pernah benar-benar berpisah. Ketika kita pindah dari Kembangan, kita berpencar menjadi kelompok yang lebih kecil dan kita masih menyempatkan diri untuk berkumpul dalam berbagai acara, mulai dari makan malam, ulang tahun, Natal dan bahkan berlibur. Di saat bersama Pheng iu inilah saya mulai senang jalan-jalan. Bersama-sama kita berkelana ke Thailand, Vietnam, Cambodia, Malaysia dan tentu saja Indonesia!

Makan malam perpisahan dengan Tommy di 2010.
Foto oleh Endrico.

Namun semua hal yang baik harus berakhir. Di tahun 2011, banyak di antara kita yang menikah atau kembali ke Indonesia. Di saat bersamaan, chat group mulai populer dan mengubah cara berinteraksi. Dari BBM dan kemudian WhatsApp, saya kemudian terhubung lagi dengan teman-teman SMU. Ketika persahabatan kembali terjalin, seorang kenalan yang hadir di reuni mengunggah fotonya di Facebook. Saya jadi terinspirasi untuk mengadakan reuni juga dan akhirnya terwujud di tahun 2014. Sejak saat itu, saya selalu mengadakan berbagai aktivitas bersama teman-teman SMU. Kita merekam lagu We Are the World sebelum Smule populer. Kita memiliki acara seperti Parno's SG Outing di tahun 2015, liburan ke Karawang di tahun 2016, menghadiri konser Guns N Roses di tahun 2017 dan masih banyak lagi. Yang terkini, yang baru saja berlalu beberapa minggu lalu, adalah ketika saya dan Muliady menonton Juventus vs. Tottenham Hotspur.

Apakah acara yang saya organisir selalu sukses? Tidak juga. Beberapa di antaranya gagal, misalnya liburan ke Sri Lanka yang dijadwalkan pada bulan ini. Contoh lainnya adalah acara menyaksikan pertandingan bulutangkis di Asian Games Jakarta di tahun lalu.

Jika terkadang gagal, lantas buat apa mencoba? Hmm, singkat cerita, karena saya senang melakukannya. Di tahun 2016, seorang teman berkata pada saya, "hanya kamu yang bisa melakukan hal seperti ini. Dari segi karakter, kamu memiliki apa yang diperlukan untuk mewujudkan kegiatan seperti ini." Ungkapan yang tulus dan tiba-tiba itu membuat saya tertegun. Lucu rasanya karena saya tidak pernah menyadari hal ini sebelumnya. 

Kalau begitu, apakah hasilnya sepadan dengan jerih payahnya? Apa untungnya bagi saya? Jujur saya katakan, di usia kita yang hampir mendekati umur 40, saya melihat banyak yang telah meninggal. Ya, kaya atau miskin, teman seusia saya meninggal. Juni lalu, ketika saya melepaskan kantung abu ayah saya ke dalam laut, saya jadi sadar bahwa yang tersisa dari manusia hanyalah kenangan. Selagi kita masih hidup, kita menyentuh kehidupan orang di sekitar kita. Untuk setiap kesempatan yang kita lewatkan bersama dalam kegembiraan, kita menjadi satu kenangan lebih kaya dari sebelumnya. Dengan demikian, bisa dengan mantap saya katakan, "ya, hasilnya sungguh sepadan." Sebisa mungkin jangan pernah berpikir lain kali saja baru ikut, karena kita tidak tahu kapan waktu kita akan berlalu. Ciptakanlah kenangan selagi bisa.

Menjadi teknisi di acara saat reuni 2014 berlangsung.

Saturday, July 27, 2019

The Sports, Featuring Juventus Vs. Tottenham

If you've been following Roadblog101 for a while, you'll notice that I never talked about sports before. However, that doesn't mean I don't enjoy sport at all. Admittedly, I'm not a sporty type, but I used to play volley ball in high school. Looking back, I wouldn't see a better example of Darwin's theory of natural selection in a modern society than my inclusion in the team: they'd choose me only if they didn't have enough players, haha. I was an awful player that was barely able to serve the ball, so my friends were actually happier to have me outside the court, keeping scores for them.

While my participation was minimum or next to nothing, I don't mind watching sports from time to time. In fact, I loved watching Mike Tyson before he started biting ears. I also followed tennis when Steffi Graf ruled the game. I remember those unforgettable matches between Chicago Bulls and Utah Jazz in 1998. Then of course there was World Cup. I probably had started watching it since 1994, when Romário and Bebeto were playing, but the memories were rather conflicting because my earliest recollection of football was van Basten and Gullit from the late 80s.

Heading to the National Stadium with Muliady The. 

I happened to have some experiences with live games, too, since early age. While this might not be known by many, my hometown Pontianak actually hosted Indonesia Open 1989 and I got the chances to see the likes of Huang Hua and Xiong Guobao live in action. Prior to that, the Chinese badminton players had an up, close and personal session at Kartika Hotel and I seem to recall the legendary Yang Yang was there, too.

During the last year of high school, we had a soccer tournament. My classmates fashioned themselves after Juventus and named the team Lickersfull, haha. The amateur matches were held at Sepakat, an uneven football field that was full of potholes. From time to time, you'd see players disappear while running as they tripped and fell down. I was watching from the courtside when Mul AW scored the one and only goal that made us the champion of the league!

That low resolution picture from 21 years ago. Muliady The was the second from the right, next to the girl. 

The opportunity to watch a professional soccer game came 10 years later in 2008, when Singapore played against Brazil. This is one the matches that you'd know how it'd end. The part we didn't know is how bad it was going to end for Singapore and we were there to witness it, haha. It turned out to be 3-0. Not bad, actually. One of the goals was contributed by Ronaldinho. It was so phenomenal as he didn't even kick the ball to score. He moved past few players and the goalkeeper, then literally dribbled the ball right into the goal!

Fast forward to 2019, 21 years after my classmates posed as pseudo-Juventus, there was a news that the real deal was coming to Singapore. This was a group that meant something to us back in the days, so I asked around to see if anybody was keen to watch. Muliady The, one of Lickersfull members, said yes and I immediately booked the tickets. So there we were, few months later, at the National Stadium.

Bumped into my colleague, Ariff.
(Photo owned by Ariff)

The atmosphere was brilliant! It was the main reason why I loved to be in the crowd and watched it live. You could feel the excitement. It was electrifying! At the same time, the thought of other friends watching the same game from TV while the two of us were there was somewhat strange, haha. Thanks to WhatsApp chat group, we could talk about it even though we were far away from each other. 

And what a good game it was. To be frank, since I don't really follow soccer and both teams had players with jersey number seven, I actually couldn't tell which one was Juventus, haha. It took me a while to figure out that Tottenham was wearing dark blue. I was surprised by how good they were and it was only fitting that they scored the first goal. The second half was when it got really exciting. Juventus struck back and scored two goals. Tottenham made it even afterwards. Up to minute 90, it was a tie. Then Harry Kane took a shot from the middle of the field during injury time. Not only it was spectacular, it was also a game changer. I came to watch simply because of Juventus and I left the stadium with a newfound respect for Tottenham...

Muliady, looking happy before the game started. 


Olahraga, Juventus Dan Tottenham

Jika anda sudah cukup lama mengikuti Roadblog101, mungkin pernah terpikirkan oleh anda kenapa saya tidak pernah berbicara tentang olahraga. Ini tidak lantas berarti saya tidak menyukai olahraga. Saya akui bahwa saya bukanlah orang yang berbakat dalam aktivitas ini, tapi dulu saya senang bermain voli di sekolah. Kalau saya lihat kembali, apa yang terjadi saat itu adalah penerapan dari teori Darwin tentang seleksi alami: teman-teman hanya akan memanggil saya kalau mereka kekurangan pemain. Ini dikarenakan oleh ketidakbecusan saya dalam bermain, haha. Saya bahkan sering kali gagal dalam servis sehingga membuat mereka tegang pada saat penentuan, jadi teman-teman sebenarnya lebih senang kalau saya berada di luar lapangan dan membantu mereka menghitung hasil pertandingan yang sedang berlangsung.

Walau partisipasi saya dalam bidang olahraga boleh dikatakan minimum atau hampir tidak ada, saya tidak keberatan untuk menyaksikan pertandingan dari waktu ke waktu. Saya selalu mengikut pertarungan Mike Tyson, jauh sebelum dia mulai menggigit telinga. Saya juga mengikuti tenis ketika Steffi Graf mendominasi permainan cabang olahraga ini. Saya juga ingat masa-masa tidak terlupakan ketika Chicago Bulls melawan Utah Jazz di tahun 1998. Dan Piala Dunia sudah mulai saya tonton sejak tahun 1994, saat Romário and Bebeto merajai lapangan rumput, namun sepertinya saya berkenalan dengan sepak bola sejak van Basten dan Gullit menjadi idola di akhir tahun 80an.

Kebetulan saya juga mendapat kesempatan untuk menyaksikan pertandingan langsung dari sejak kecil. Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa Pontianak pernah menjadi tuan rumah Indonesia Open di tahun 1989. Saat saya menyaksikan para pemain seperti Huang Hua dan Xiong Guobao berlaga di lapangan bulutangkis. Sebelum itu, delegasi dari Cina ini sempat dijamu di restoran Hotel Kartika. Seingat saya, pemain legendaris Yang Yang juga hadir.

Bersama Cicilia (tengah) dan Ardian (paling kanan) serta dua teman sekampus. Ardian cemberut, mungkin karena kalah bertanding, haha. 

Di tahun terakhir masa SMU, para murid menggelar liga pelajar. Teman-teman sekelas saya mengenakan kostum Juventus dan tim mereka bernama Lickersfull, haha. Pertandingan amatir ini diadakan di Sepakat, sebuah lapangan bola yang bergelombang dan banyak lubangnya. Dari waktu ke waktu, pemain yang sedang berlari bisa tiba-tiba lenyap dari pandangan karena jatuh tersungkur. Saya menonton dari samping lapangan ketika Mul AW mencetak satu-satunya gol di babak final dan mengantarkan kelas kita menjadi juara liga.

Peluang untuk menonton pemain bola profesional muncul 10 tahun kemudian. Singapura bertanding melawan Brazil di tahun 2008. Ini adalah pertandingan yang kira-kira sudah terbayang hasilnya. Yang ingin saya saksikan adalah seberapa parah hasilnya bagi Singapura dan saya ingin berada di sana untuk menyaksikannya secara langsung. Singapura dicukur 3-0 oleh Brazil. Tidak terlalu buruk sebenarnya. Yang mengesankan adalah gol yang dicetak oleh Ronaldinho. Dia melewati banyak pemain dan mengecoh kiper, lalu menggiring bolanya ke gawang! Memang dashyat!

Di tahun 2019, 21 tahun setelah teman-teman sekelas saya berpose sebagai tim Juventus gadungan, beredar berita bahwa tim tersebut akan datang ke Singapura. Ini adalah tim besar yang menjadi inspirasi kita pada masa remaja, jadi saya pun bertanya kepada teman-teman, apa ada yang berminat untuk menonton. Muliady The, mantan anggota Lickersfull, menyambut tawaran ini dengan antusias, jadi saya langsung membeli tiket sebelum kehabisan. Beberapa bulan kemudian, kita pun berada di National Stadium dan hadir sebagai penonton.

Tiket pertandingan. 

Suasananya sungguh luar biasa dan mengingatkan saya kembali, kenapa saya suka berada di tengah keramaian untuk menyaksikan pertandingan secara langsung. Anda bisa merasakan energi dan semangat yang meluap dari penonton. Begitu gegap gempita! Pada saat bersamaan, sempat terpikir oleh saya bahwa teman-teman juga menonton pertandingan yang sama dari layar TV. Berkat WhatsApp, kita pun bisa berdiskusi sepanjang pertandingan. 

Dan Juventus vs. Tottenham adalah sebuah pertandingan yang layak untuk disaksikan. Secara jujur saya akui bahwa saya tidak selalu mengikuti perkembangan sepakbola dan karena dua tim ini memiliki pemain bernomor punggung tujuh, awalnya saya tidak tahu yang mana sebenarnya Juventus, haha. Setelah beberapa saat kemudian, baru saya sadari bahwa pemain Tottenham mengenakan kaos biru tua. Saya jadi terpukau oleh penampilan timnya yang prima. Tidak mengherankan kalau mereka bisa mencetak gol pertama. Namun Juventus mulai memberikan perlawanan di babak kedua dan mengoyak kandang lawan dengan dua gol dalam kurun waktu kurang dari lima menit. Tottenham lantas membalas dan menyamakan kedudukan menjadi 2-2. Sampai menit ke-90, permainan tetap berimbang. Sesuatu yang gemilang akhirnya terjadi pada saat waktu tambahan di penghujung babak kedua. Harry Kane menembak dari tengah lapangan dan masuk! Golnya bukan saja spektakuler, tapi juga memenangkan timnya. Saya datang untuk menyaksikan Juventus dan saya pulang dengan kekaguman terhadap Tottenham...

Muliady menantikan pertandingan dimulai. 

Tuesday, July 23, 2019

Moral Orang Indonesia Yang Meresahkan

Tulisan ini berawal dari keresahan saya terhadap moral sebagian orang Indonesia. Saya melihat medsos Indonesia yang berkelakuan seenaknya dan mulanya saya berpikir mungkin di medsos aja, tetapi setelah saya perhatikan, di dunia nyata pun kurang lebih sama. Lalu saya teringat dan mengenang rekan-rekan kerja yang bersikap dan berprilaku serupa. 

Contoh:
1. Tuhan sudah sangat baik merancang manusia untuk hamil selama sembilan bulan sebelum melahirkan, artinya sebagai calon ayah kita diberi kempatan selama itu untuk menabung biaya persalinan. Namun fakta yang saya temukan sangat mengejutkan. Ada yang istrinya akan melahirkan tetapi sang ayah cuman punya Rp. 20.000 untuk naik taksi saja. Di mana tanggung jawab sang ayah? 

2. Ada juga yang sudah berjanji untuk melaksanakan kerjaan sesuai bayaran dan telah menerima uangnya pula, tetapi pas di hari-H malah tidak masuk dan tidak mendelegasikan kerjaan kepada penggantinya. Lebih parah lagi lagi, bahkan tidak dapat dihubungi. Ini aneh bagi saya.

Setelah contoh pengalaman di atas, saya lantas coba teliti lebih jauh. Pada suatu sore, saya melihat anak SD buang sampah seenaknya di jalan dan perbuatan itu disaksikan namun diabaikan oleh orang tuanya. Ketika saya tegur malah saya yang dipelototin oleh orang tuanya. Berbagai pikiran pun muncul di benak saya. Apakah sekolah sudah berhenti mengajarkan moral tentang apa yang baik dan apa yang tidak baik? Apakah orang tuanya juga mengajarkan? Bagaimana pula dengan lingkungannya? Padahal naik mobil SUV yang mahal. Di sini saya merasa bersyukur telah sekolah di lingkungan yang penuh disiplin.

Kembali ke bangku sekolah.

Contoh berikutnya, suatu malam saya ajak anak saya makan di tempat yang banyak permainan anak. Di situ ada peraturan yang mewajibkan anak-anak untuk membereskan mainan masing-masing setelah selesai bermain. Saya perhatikan di sebelah saya ada anak kecil dengan banyak mainan tumpah-ruah di lantai, tetapi orang tuanya malah mengajak anaknya pergi dan membiarkan mainan itu berserakan di lantai.

Dari situ saya sadar bahwa bobroknya mental/moral orang Indonesia itu berasal dari orang tua yang malas mengajarkan kepada anaknya, apa yang baik dan apa yang buruk. Menurut saya, orang tua kaya atau miskin tetap bisa mewariskan harta paling berharga kepada anak, yaitu moral, budi pekerti, tanggung jawab dan mental yang baik. Semua itu gratis, tapi sepertinya lupa diajarkan oleh sebagian orang tua di Indonesia. Mungkin mereka berpikir bahwa menyekolahkan anak sudah cukup. 

Hai, orang tua. Anak hanya berada di sekolah selama lima jam dan guru mengajar setidaknya 20 murid. Mana cukup untuk mengajarkan ilmu di luar kurikulum? Hal-hal yang sederhana bisa kita contohkan sebagai orang tua, misalnya jangan buang sampah sembarang atau menghormati orang yang lebih tua. Ajarkan tanggung jawab, ilmu tata kelola keuangan dan lain-lain yang tidak diajarkan di sekolah...


Sunday, July 21, 2019

The Fast Food

This story began perhaps as early as mid 80s. I must be around four years old when Mum brought me to this restaurant not very far from Dipo, a supermarket situated exactly at where Harum Manis is now. There we had the fried chicken, the fries, the soup and the bread. It turned out to be the most delicious meal ever for a kid in Pontianak to experience! For the first time ever, a picky eater like me understood the earthly joy of eating. Yes, before KFC, McDonald's and anything else, it was American Fried Chicken that first introduced us to the heavenly sinful taste of fast food! There was no turning back since then!

Despite the name, American Fried Chicken is actually a local brand. It's even more localised than California Fried Chicken (CFC), its only competitor at that time. The former is found only in Pontianak while the latter also has outlets outside my hometown, albeit in unexpected and godforsaken spots. Now, if the second half of the previous sentence sounded unfavourable, that's because CFC's quality was, to put it mildly, not that good. The last time I ever bought the CFC meal was in June 2018, at Paskal Food Market, Bandung. My main course was actually tongseng kambing, an authentic Indonesian food, while CFC was meant for my daughter, as she's another picky eater who loves fast food, haha.

A plate of American Fried Chicken.
Photo by Harry. 

For the longest time, American Fried Chicken reigned supreme. Its biggest challenge appeared much later on, when KFC opened a branch in Pontianak. KFC is, to quote its slogan, finger lickin' good! In Indonesia, it was aptly promoted as jagonya ayam. It could be roughly translated as chicken expert, but when it was phrased in Bahasa Indonesia, you got the ultimate feeling that KFC is second to none. I first had it in Jakarta and it was an enlightenment! It was like, whatever I had previously suddenly didn't matter anymore. KFC became the golden standard of fried chicken!

My wife likes the original recipe while I prefer the crispy ones, but KFC offers not only these two. From time to time, it would experiment with something else. Some were surprisingly good, others not so. Grilled chicken, for example, didn't have the KFC feel as it looked like something that we could have ordered elsewhere. Parmesan chicken, on the other hand, was beyond expectation. It's also worth noting that, depends on where you are, the signature meal may have a slightly different look. In Indonesia, it comes with rice, but that's not the case in Singapore. The most memorable one thus far was the meal I had in the Philippines. It had gravy!

KFC's parmesan chicken. 

Then of course there are KFC lookalikes. I am not a fan of A&W, but I'll go for its root beer floats, especially when I visit Batam. Texas Chicken had been around for quite some time, too. It's not exactly a favourite, but my friend Bernard and I frequented the one at Star Vista when we had lunch there. Popeyes, another household name that I knew only after I moved to Singapore, serves biscuits that I like. I was craving for it recently (I always thought the last time I had it was after watching Tom Cruise's Edge of Tomorrow in 2014, but Swarm app showed that I still went there in 2016), so I went there with my daughter after church. It was her first time and though she resisted the idea, she ended up liking it after trying.

Apart from those mentioned above, there are others that are not from the US. 4FINGERS is, much to my surprise, from Singapore. I always thought it was a Korean fast food chain. The fried chicken is so tasty, but the problem is once you get past the skin, the meat feels almost tasteless. The tofu rice box might be less known, but it actually tasted really good. Then there's Marybrown from Malaysia that apparently exists in Singapore, too. I think the last time I had it was at Senai Airport, when I travelled with Swee Hin from Johor Bahru to Kota Kinabalu. Another one worth mentioning is Jollibee, the pride of the Philippines! I had it when I visited Manila and Cebu. I remember reading the review saying that Jollibee's fried chicken was better than KFC and when I tried it again at Lucky Plaza, it seemed to be true. The chicken meat was tastier than KFC's!

McGriddles! I'm lovin' it!

KFC also has a signature burger called Zinger, but I'd go to McDonald's for burgers. Yes, McD. Not Burger King and it's Whopper, a favourite of my friend Nicholas. My choice is McDonald's and here's the reason why: McDonald's was not available in Pontianak and throughout my formative years, I always saw the advertisement on Malaysia's TV3! How I wished I could try and the dream came true when I first visited Singapore. I was expecting Big Mac, but I had to make do with a regular beef burger. But sad though it might sound, it was one hell of a beef burger. I loved it then, I love it still. To this day, I still order it. Just the beef burger with a layer of cheese and egg, not the meal set. On top of that, McDonald's Indonesia actually serves Paket Panas that I enjoy eating: rice, fried chicken, fried egg and drink. Good stuff! McDonald's rules!

Now, if KFC is jagonya ayam and McDonald's is the real burger king (love McGriddles so much!), then there are some that are neither nor here nor there. The first one that falls into this category is Long John Silver's. It's supposed to be famous for its fried fish, but yet what I like is the SGD 5 rice set. The other one is MOS Burger. I just went there last week and I wasn't quite sure what to order because the burgers didn't seem to be tempting. Same goes with Wendy's. Only God knows what it is really good at, but I happened to love its chili (the beef stew, not the sauce). It was nice! Too bad Wendy's is already out of business for quite some time in Singapore.

Long John Silver's rice with chilli crab sauce. 

Unlike the three names above, Subway is pretty specialised in selling mainly submarine sandwiches. Coming from a society that needs a plate of rice for every meal, I didn't like Subway at first. Not only it was kind of tough to substitute rice with bread, it also tasted really dry. I tried again in 2016, this time with the combination of sweet onion and BBQ sauce. It was good and I grew to like it since then. That was my proper introduction to a rather healthy fast food. It also prompted me to try Pret a Manger, a popular sandwich shop chain in UK that I first saw on a picture posted by my ex-colleague Vany Hartono. Throughout my visit to London and Paris, I often ate there. The crayfish salad and soup were very good, but I partly love Pret because of the name: it sounds like kampret, which means bat in bahasa Indonesia, haha.

Up until here, you'll notice that fast food restaurants above are selling either fried chicken, burgers, salads or sandwiches. Kungfu, the China based fast food chain, is unique because it sells steamed and soupy Chinese cuisines instead. When we were visiting China, especially during the time in Guangzhou, we went to Kungfu frequently. The food was satisfying. Mum loved especially the warm, white coloured drink with goji berries that tasted a bit like soymilk. When I went to Shanghai last year, I just had to go there again. With the image of Bruce Lee as their logo (but they'd argue that the guy in yellow jumpsuit wasn't him), they surely couldn't go wrong!

Kungfu's breakfast at Shanghai Pudong Airport. 


Makanan Cepat Saji

Cerita ini bermula kira-kira dari sejak pertengahan tahun 80an. Saya mungkin berumur sekitar empat atau lima tahun ketika Mama membawa saya ke sebuah restoran yang tidak jauh dari Dipo, supermarket yang berada persis di posisi Harum Manis sekarang. Di restoran itu kita mencicipi ayam goreng, kentang goreng, sup dan roti. Apa yang disantap itu ternyata menjadi makanan paling sedap bagi seorang bocah kecil di Pontianak di zaman itu! Untuk pertama kalinya saya yang rewel dalam soal makanan ini mengerti nikmatnya makan enak. Ya, sebelum KFC, McDonald's dan lain-lain, American Fried Chicken (yang sering disingkat sebagai AmChick oleh penduduk setempat) adalah restoran pertama yang memperkenalkan makanan cepat saji yang lezat tapi tidak sehat kepada saya dan banyak anak-anak lainnya. Sejak saat itu, saya pun terjerumus!

Meski namanya berbau asing, AmChick sebenarnya adalah merek domestik, bahkan lebih lokal daripada California Fried Chicken (CFC), kompetitor satu-satunya pada saat itu. AmChick hanya ada di Pontianak, sedangkan CFC masih ditemukan di luar Pontianak, meskipun lokasinya mungkin tidak strategis dan terpencil. Oh ya, kalau anda merasa kenapa deskripsi tentang CFC di kalimat sebelumnya terasa negatif, ini karena kualitas makanannya yang tidak begitu mantap. Terakhir kalinya saya membeli CFC adalah Juni 2018, ketika saya berada di Paskal Food Market di Bandung. Saat itu sebenarnya saya menyantap tongseng kambing dan saya hanya mencomot sedikit kentang goreng CFC yang saya belikan untuk anak saya, hehe.

KFC di kota Bath, Inggris. 

Kembali ke AmChick, restoran ini berjaya di Pontianak untuk jangka waktu yang lama. Tantangan sebenarnya baru muncul ketika KFC membuka cabang di Pontianak. KFC memiliki slogan finger lickin' good yang memberikan kesan bahwa ayam gorengnya begitu nikmat sampai kita menjilat jari. Kendati begitu, KFC di senantiasa dipromosikan sebagai jagonya ayam di Indonesia, sebuah julukan yang lebih pantas dan terasa cocok. Saya pertama kali mencoba KFC di Jakarta dan rasanya memang dashyat! Saya jadi lupa seperti apa kenikmatan AmChick yang saya agungkan sebelumnya. Pokoknya ini baru ayam goreng! Semenjak itu KFC menjadi tolok ukur di dunia ayam goreng. 

Istri saya menyukai resep asli Kolonel Sanders, sedangkan saya lebih suka ayam yang garing kulitnya. Akan tetapi KFC tidak hanya menawarkan dua pilihan ini. Dari ke waktu waktu, KFC akan melakukan eksperimen ke publik. Ada yang enak, ada pula yang gagal. Ayam panggang KFC, misalnya. Ada kesan aneh ketika saya mencoba ayam panggang di KFC, sebab terasa tidak seperti sesuatu yang unik dari KFC dan bisa dibeli di tempat lain, misalnya di kedai ayam penyet. Beda halnya dengan ayam goreng parmesan. Kelezatannya sungguh tidak terduga! Menarik untuk dicatat pula bahwa menu khas KFC memiliki sedikit perbedaan dalam penyajiannya, tergantung di mana anda berada. Di Indonesia, KFC menyertakan nasi, tapi tidak demikian halnya di Singapura. Yang paling mengesankan sampai sejauh ini adalah KFC di Filipina. Ada saus kaldu kental yang berwarna coklat!

Menu nasi dan ayam di Popeyes.

Ada banyak lagi restoran cepat saji yang mirip-mirip KFC. Saya bukanlah penggemar A&W, namun bilamana saya ke Batam, terkadang saya menyempatkan diri ke sana untuk menikmati segelas sarsi yang disajikan dengan es krim mengapung di atasnya. Restoran lainnya, Texas Chicken, juga telah lama beredar. Ini juga bukan favorit saya, tapi saya terkadang makan siang bersama teman saya Bernard di cabang Star Vista. Popeyes, nama yang baru saya kenal setelah pindah ke Singapura, menyajikan biskuit yang cukup saya sukai. Baru-baru ini saya ingin mencicipinya lagi (saya selalu mengira bahwa terakhir kali saya makan di Popeyes adalah setelah saya menonton Edge of Tomorrow yang dibintangi Tom Cruise dan dirilis di tahun 2014, tapi aplikasi Swarm menunjukkan bahwa saya masih ke sana di tahun 2016). Lantas saya pun mampir setelah gereja bersama putri sulung saya. Awalnya dia protes karena tidak pernah mendengar tentang Popeyes, tapi setelah dicoba, ternyata dia pun menyukainya.  

Selain nama-nama yang telah disebutkan di atas, masih ada lagi yang lain, yang tidak berasal dari Amerika. Saya baru mengetahui bahwa 4FINGERS ternyata berasal dari Singapura. Awalnya saya kira dari Korea Selatan. Bumbu dan kecap sangat terasa di kulit ayam gorengnya, tapi dagingnya terasa agak hambar. Pilihan lain yang lebih enak namun mungkin tidak begitu terkenal adalah menu nasi tahu. Kemudian ada lagi yang namanya Marybrown dari Malaysia, yang ternyata juga memiliki cabang di Singapura. Seingat saya, terakhir kali saya menjajal Marybrown adalah di Bandara Senai, ketika saya dan Swee Hin bertualang dari Johor Bahru ke Kota Kinabalu. Satu lagi yang sangat layak untuk disebutkan adalah Jollibee, kebanggaan Filipina. Saya mampir di sana saat berada di Manila dan Cebu. Suatu ketika, saya membaca artikel yang mengatakan bahwa ayam goreng Jollibee lebih mantap dari KFC. Ketika saya makan di Lucky Plaza, saya harus mengakui kebenaran berita tersebut. Daging ayamnya lebih menyerap bumbu sehingga lebih kelezatannya lebih terasa.

Ayam goreng dan spaghetti di Jollibee Lucky Plaza. 

KFC juga menjual burger yang bernama Zinger, tapi saya memilih McDonald's kalau urusan burger. Ya, McDonald's, bukan Burger King yang terkenal dengan Whopper, favorit teman saya Nicholas. Kecintaan pada McDonald's ini bermula dari seringnya saya melihat iklan McD di TV3 Malaysia, tapi tidak pernah berkesempatan untuk mencobanya karena McD tidak pernah hadir di Pontianak. Mimpi ini akhirnya menjadi kenyataan ketika saya pergi ke Singapura untuk pertama kalinya bersama orang tua. Saya mengharapkan Big Mac, tapi cuma mendapat burger sapi biasa. Walau kesannya seperti tidak kesampaian, burger sapi itu sangat saya nikmati. Sampai sekarang saya masih memesan burger sapi berlapis keju dan telur. Selain itu, McDonald's Indonesia juga memiliki menu Paket Panas berisi yang saya gemari. Isi paketnya adalah nasi, ayam dan telur goreng serta minuman. Pokoknya ramah terhadap uang di saku dan nikmat pula untuk disantap! 

Nah, kalau KFC itu jagonya ayam dan McDonald's adalah raja burger yang sebenarnya, ada pula kedai makanan cepat saji yang tidak jelas menu andalannya. Yang pertama adalah Long John Silver's. Tempat makan ini harusnya terkenal dengan daging ikan gorengnya, tapi yang lebih saya sukai justru menu nasi seharga SGD 5. MOS Burger juga sama. Saya baru saja ke sana minggu lalu dan saya sempat bingung dengan apa yang harus saya pesan karena burger di menunya tidak terlihat menggiurkan. Demikian juga halnya dengan Wendy's. Saya tidak pernah tahu apa menu utamanya, tapi saya ingat kalau chili (sapi rebus, bukan saus cabe) di sana cukup enak. Sayang sekali Wendy's sudah gulung tikar di Singapura.

Roti lapis isi kalkun dari kedai Subway. 

Berbeda dengan tiga nama di atas, Subway terkenal dengan roti lapis sayur dan daging. Sebagai orang Indonesia yang terbiasa dengan nasi, awalnya saya sama sekali tidak menyukai Subway. Anehnya rasanya makan roti sebagai pengganti nasi, apalagi rotinya terasa kering. Akan tetapi saya coba lagi di tahun 2016, kali ini dengan kombinasi saus bawang manis dan BBQ. Perpaduan ini cocok untuk saya dan sejak saat itu saya sering membeli makanan cepat saji yang konon tergolong lebih sehat ini. Saya juga akhirnya tergerak untuk mencoba Pret a Manger, toko sandwich ternama di Inggris yang pertama kali saya lihat di foto yang diunggah oleh mantan kolega saya. Selama kunjungan saya di London dan Paris, saya sering mampir ke Pret. Salad udang karang dan juga supnya merupakan favorit saya, tapi sejujurnya saya juga menyukai Pret karena namanya yang mirip kampret. Lucu kedengarannya, haha. 

Sampai di sini, anda pasti sudah mengamati kalau yang namanya restoran cepat saji itu rata-rata menjual ayam goreng, burger, salad atau roti lapis. Kungfu, restoran serupa yang berasal dari Cina, menjadi unik karena menunya berbeda. Walau konsepnya tetap cepat saji, yang dijualnya justru makanan Cina yang direbus dan berbasis sup. Sewaktu saya dan orang tua saya berkunjung ke Cina, terutama saat kita berada di Guangzhou, kita sering sekali makan di Kungfu. Enak nian. Mama menyukai minuman berwarna putih yang ditaburi goji beri dan agak mirip rasanya dengan susu kacang kedelai. Ketika saya berkunjung ke Shanghai tahun lalu, saya pun makan lagi di sana. Dengan gambar Bruce Lee sebagai logonya (mereka akan menyangkal bahwa gambar pria berjaket kuning itu bukanlah Bruce Lee, haha), Kungfu sungguh saya rekomendasikan untuk dicoba!

Sarapan bubur Pret di Liverpool.