Total Pageviews

Translate

Saturday, August 28, 2021

The Collaborations

There was this somewhat familiar feeling when I wrote about the ghostwriting experience, but I couldn't really put my finger on it. Ten days later, as I had a daily habit of going through what had been done and republished it, I saw another blog post called Online Business. Then it dawned on me why it felt like déjà vu: both told the stories of collaboration.

From time to time, I collaborated with high school friends for various reasons. There were things that I couldn't do alone, therefore I needed them. It could also due to the fact that it took more than one person to achieve a greater good. But regardless what the circumstances were, I enjoyed the togetherness. I believe it didn't always have to be about me. There were times when I'd prefer to be just one of us or playing a supporting role.

With Ardian (and Jimmy behind him) in Bali. 
Photo by Endrico.

My earliest recollection of such partnership was the songwriting collaboration. Ardian came up with the music and I wrote the lyrics. He was a talented but reluctant musician, so it was up to me to coax him into doing it, haha. Putting words into the songs wasn't that difficult, but to see him crafting the melody as he strummed the guitar was like witnessing a miraculous act!

The song we wrote, performed by Parno.

If Ardian was the first, he was certainly not the last. Endrico, together with Susan, were definitely the people I'd work with for event organizing and Robinson Travel. I remember the time when we did Reunion 2014 and that trip to Karawang. Wouldn't happen without them. They were great in helping to execute the ideas!

Then there were efforts where everybody chipped in. The first crowdfunding we had, it was memorable. If you ever wanted to know whether it was worth it to scramble like mad for good cause, I'd tell you that it felt extremely good. The feeling of finding out that many people actually cared and knowing that the joint effort would really mean something for the recipient was... priceless. 

Of course not all were as gloomy as the example above. The time we did We Are the World was a much happier occasion. I remember rallying friends to sing a line or two while trying my best to finish this before my trip to London. Just like what Ardian and I did years ago, we created something that may outlast any of us. A legacy, if you like. Every time I listen to the song, it made me smile. I was glad, proud and amused that we actually made it.

We Are the World - our version.

Like I said earlier, sometimes it didn't even have to my idea or me taking charge. I was happy just to be part of the team. I did exactly that in the last reunion. I came up with a quiz in the form of high school exam and performed a cheap IT trick to impress my fellow alumni, haha. It was the same with the ghostwriting. I played second fiddle doing what I did best: writing, mostly done on my trusted BlackBerry.

Sometimes I could hear the song from the Beatles playing in my head, " he's a real nowhere man, sitting in his nowhere land, making all his nowhere plans for nobody." So why did I do this? As far as I was concerned, I didn't get any richer. But I guess the monetary gain wasn't even the point. I did it because I liked it and it made me happy. In this context, I believe that time I enjoyed wasting wasn't wasted. When I looked back, I was one memory richer than before. That's what got me going...

As part of the committee of Reunion 2018. 




Kolaborasi

Ada semacam perasaan yang sepertinya saya kenal ketika saya menulis tentang ghostwriting experience, tapi saat itu tidak bisa saya jelaskan, apa sebenarnya yang saya rasakan. 10 hari kemudian, karena saya memiliki kebiasaan untuk melihat roadblog101 dan menerbitkan ulang apa yang sudah saya tulis, saya menemukan artikel bertajuk Online Business. Lantas saya sadar kenapa perasaan ini sepertinya tidak asing lagi: itu karena dua cerita ini bertema kolaborasi. 

Dari waktu ke waktu, saya bekerja sama dengan teman-teman SMA karena berbagai alasan. Ada saja hal yang tidak bisa saya kerjakan sendiri, jadi saya butuh bantuan mereka. Ada kalanya pula sesuatu yang hendak dicapai itu perlu dikerjakan bersama, jadi banyak teman yang dilibatkan. Apa pun latar belakang kolaborasi ini, saya selalu menyukai kebersamaan yang saya lalui. Saya percaya bahwa tidak semua hal harus berfokus pada diri saya, jadi terkadang saya senang menjadi bagian dari sebuah kebersamaan dan memainkan peran pendukung.  

Bersama Ardian (dan Jimmy di belakangnya) di Bali. 
Foto oleh Endrico.

Kisah paling awal yang bisa saya ingat tentang berbagai kolaborasi yang pernah saya lakukan adalah pengalaman menulis lagu. Ardian menciptakan musiknya dan saya mengarang liriknya. Dia seorang musisi yang berbakat tapi enggan berkarya, jadi saya senantiasa harus membujuk-rayu supaya dia mau menulis lagu dan rekaman, haha. Mengisi nada dengan kata-kata tidaklah begitu sulit, tapi melihat Ardian bersenandung sambil menggeser jemarinya ke kunci gitar yang cocok ini sungguh sebuah pengalaman yang menakjubkan! 

Lagu yang Ardian dan saya tulis, dinyanyikan oleh Parno di sini.

Jika Ardian adalah yang pertama, dia jelas bukan yang terakhir. Endrico, bersama dengan Susan, merupakan rekan kerja yang baik dalam hal menyelenggarakan acara dan liburan Robinson Travel. Saya ingat saat kita mengadakan Reuni 2014 dan perjalanan ke Karawang. Tidak akan terwujud tanpa bantuan mereka!

Kemudian ada lagi kolaborasi dengan banyak peserta, misalnya saat kita menggalang dana untuk pertama kalinya. Sungguh suatu pengalaman yang berkesan. Jika anda mau tahu apakah sepadan rasanya bila kita jadi sibuk sendiri karena ingin berbuat baik, saya bisa jawab bahwa rasanya sangat sepadan. Sewaktu saya menyadari bahwa ternyata ada begitu banyak teman yang peduli, sewaktu saya mengetahui bahwa yang menerima sedikit-banyak merasa terbantu, saya tahu apa yang saya kerjakan itu tidak sia-sia. 

Namun tentu saja tidak semuanya bernuansa sedih seperti contoh di atas. Rekaman We Are the World adalah suatu peristiwa yang menggembirakan. Saya ingat saat saya menghubungi teman satu per satu untuk menyumbangkan suara sementara saya mencoba menyelesaikan rekaman ini sebelum liburan saya ke London. Sama halnya seperti apa yang saya kerjakan bersama Ardian bertahun-tahun silam, kita menciptakan sesuatu yang mungkin akan tetap beredar setelah kita tiada. Sebuah warisan dari generasi kita. Setiap kali saya dengarkan kembali lagunya, saya pun tersenyum. Saya senang, bangga dan juga merasa sedikit tidak percaya bahwa kita berhasil mengerjakannya. 

We Are the World - versi alumni '98.

Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, terkadang sebuah kolaborasi tidak harus berdasarkan ide saya atau dikoordinasi oleh saya. Saya juga tidak keberatan menjadi bagian dari sebuah tim dan itu yang saya lakukan ketika kita menyelenggarakan reuni di tahun 2018. Saya menciptakan kuis dalam bentuk ujian sekolah dan menampilkan tipuan IT murahan untuk mengisi acara, haha. Sama halnya juga saat menulis untuk teman baru-baru ini. Saya memainkan peran pendukung dengan melakukan apa yang saya bisa: menulis, yang hampir seluruhnya dikerjakan dengan BlackBerry

Kadang-kadang saya mendengar lagu the Beatles berikut ini di benak saya, "he's a real nowhere man, sitting in his nowhere land, making all his nowhere plans for nobody." Hal ini membuat saya bertanya sendiri, kenapa saya melakukan semua ini. Setahu saya, hal ini tidak membuat saya tambah kaya secara finansial. Akan tetapi keuntungan dari segi keuangan tidaklah menjadi bagian dari pertimbangan. Saya mengerjakan apa yang saya bisa karena saya suka dan ini membuat saya gembira. Dalam konteks ini, saya percaya bahwa waktu yang saya habiskan dengan riang tidaklah sia-sia. Saat saya lihat kembali, saya tahu saya satu kenangan lebih kaya dari sebelumnya. Mungkin inilah yang mendorong saya untuk terus berkarya dan berkolaborasi...

Sebagai bagian dari panitia Reuni 2018. 

Sunday, August 15, 2021

The Quiz

What can be done in the time of corona, when lockdown and all sorts of restrictions happen? Well, you can be creative about spicing up your life! And what we did wasn't something new. We had done it before long ago, from time to time, but we brought it up to a new level recently. 

We had an active high school chat group. I remember one day, as I walked home, I started sending pictures of flags and prominent figures just for friends to guess. Sometimes, when I listened to oldies, I'd also record few seconds of the songs for them to guess.

And this is how it got started.

That fateful night began with Eday talking about ancient history and I casually responded with pictures of places I was browsing. It turned out to be lively and interactive. We all had some fun, so how about making it a real game to score points for some rewards? The following night, we did exactly that. With 1 kg of Aming Coffee and an Indonesian snack called emping, Gunawan and Susan were the first sponsors of the game. 

The competition was fierce and hilarious at the same time. We quickly learnt that Indonesia's internet was much slower than other countries such as Hong Kong and Singapore. Many saw others answering before the pictures appeared on their WhatsApp, so picture guessing was soon omitted. Other than that, typo and autocorrect also made it even more entertaining. For example, Buaton, a teacher's name, was inadvertently corrected as Buatan, an actual word in Bahasa Indonesia. This was a wrong answer!

Autocorrrect in action!

The first night was like a tried-and-true attempt. We got even more creative with the questions afterwards. With topics ranging from high school times to general knowledge, we came up with various types of questions, such as:

Simple and direct questions:
What's the name of roti prata in Indonesia?

Multiple choices:
Who's the member of Spice Girls:
Mel B
Mel C
Mel D
Mel E

Guess the hints:
What's the name of this friend?
Hints: salted fish, j'adore

Fill in the blanks:
D_ _G_N  _AL_
The name of story about the search for seven magic crystal balls that grant one wish.

The simple and direct question. 

And the points increased as we progressed from one category to another! We even threw in 10 points for the final question. The chat group went crazy with answers coming in rapidly. Some were really good and quick, others were trying their best (Tuty was the dark horse!) and then of course there were a few that were not only hopeless and naggy, but also deliberately sabotaging the game with fake questions and lousy answers, haha.

The quiz had run its course now. But looking back, it was amazing how we put on effort to be a little creative. I mean, we could have just done nothing and complained about COVID-19, but no, we chose to act and make the best out of our days instead. Probably that got to do with that we were the graduates from a school with the motto: stay motivated!


Kuis

Apa yang bisa dilakukan di musim korona, ketika PPKM dan berbagai larangan diterapkan? Kita bisa sedikit lebih kreatif untuk tetap bergembira dalam menyikapi perkembangan ini. Apa yang baru-baru ini saya dan teman-teman lakukan bukanlah sesuatu yang baru, tapi beberapa minggu terakhir ini diadakan dengan lebih profesional. 

Sebagaimana yang telah diketahui, saya memiliki grup WhatsApp SMA yang cukup aktif. Suatu ketika, sewaktu berjalan pulang dari kantor, saya iseng mengirim gambar bendera dan tokoh-tokoh ternama sebagai pertanyaan. Terkadang, selagi saya mendengarkan lagu-lagu lama, saya juga tergerak untuk merekam cuplikan lagu dan meminta teman-teman untuk menerka judul lagu atau penyanyinya. 

Dan pertanyaan seperti ini menjadi pemicu kuis di grup.

Pada suatu malam, Eday bercerita tentang tempat-tempat bersejarah dan saya pun turut menanggapi dengan foto-foto tempat yang terlintas di benak saya. Ternyata banyak yang ikutan menjawab. Karena banyak yang antusias dan menikmati, akhirnya kita coba jadwalkan acara kuis berhadiah di malam berikutnya. Gunawan dan Susan menjadi sponsor satu kilo Kopi Aming dan emping

Kompetisi pun berlangsung seru dan kocak. Kita lantas menyadari bahwa internet di Indonesia kalah cepat dengan negara lain, misalnya Hong Kong dan Singapura. Banyak yang melihat jawabannya sebelum gambarnya muncul di WhatsApp, jadi acara menebak gambar pun dihilangkan di kuis berikutnya. Selain itu, kesalahan pengetikan dan fitur autocorrect juga menjadi kendala yang cukup menghibur. Contohnya adalah nama Buaton yang merupakan nama guru, namun dikoreksi menjadi Buatan sehingga salah jawabannya.

Fitur autocorrrect yang menimbulkan masalah!

Kuis di malam pertama tak ubahnya seperti percobaan. Setelah itu kita kian kreatif dalam membuat pertanyaan. Beraneka topik, mulai dari kisah di SMA sampai hal-hal umum, pun dibuat menjadi berbagai pertanyaan: 

Cepat-tepat: 
Apa sebutan roti prata di Indonesia?

Plihan ganda:
Siapa saja yang merupakan anggota Spice Girls:
Mel B
Mel C
Mel D
Mel E

Menerka petunjuk:
Siapa nama teman yang satu ini?
Petunjuk: ikan asin, j'adore

Melengkapi jawaban:
D_ _G_N  _AL_
Kisah mencari tujuh bola berbintang yang mengabulkan satu permintaan.

Salah satu pertanyaan cepat-tepat!

Dan poin yang diraih peserta akan kian tinggi setiap kali kategori pertanyaan berganti. Tidak jarang pula satu pertanyaan terakhir memiliki nilai 10 poin. Grup WhatsApp pun menjadi luar biasa sibuk karena jawaban yang masuk secara beruntun. Ada teman yang memang cepat dan betul pula jawabannya, ada yang sudah berupaya sebisa mungkin (Tuty seringkali tampil mengejutkan) dan ada satu atau dua orang yang kerjanya cuma mengeluh dan mengacaukan permainan, haha. 

Setelah beberapa waktu, kuis tidak lagi seheboh sebelumnya. Namun kalau dilihat kembali, yang menakjubkan adalah niat untuk melakukan sesuatu yang sedikit kreatif. Kita bisa saja tidak berbuat apa-apa dan bersungut tentang COVID-19, tapi kita justru memilih untuk melakukan sesuatu yang lebih berarti dalam mengisi waktu luang kita. Mungkin semua ini ada hubungannya dengan fakta bahwa kita adalah lulusan sekolah yang memiliki semboyan Tetap Bersemangat! 

Monday, August 9, 2021

The Ghostwriter

I remember those early days when I started writing. It was year 1997 and the newfound ability clearly came handy to impress girls in high school. I volunteered to write on their behalf in composition writing, but I immediately learnt that I was overconfident. Just because I had a few good short stories under my belt, that didn't automatically make me a hit maker. 

The ghostwriting process was such a struggle that it wasn't enjoyable at all. I soon learnt that the thought of not wanting to disappoint people's expectation and the deadline of the project added the unnecessary pressures I certainly could do without. I write because it's fun. And it wasn't fun when it became a chore. 

Since then, I never really helped others to write anymore. I was happier that way, haha. Then, a year after I started roadblog101, I realized that I might alienate Indonesian readers if I wrote only in English. That's when I began writing in bilingual. 

The books and the ghostwriter.

Shortly after that, my friend Eday approached me. For those of you who didn't know, Eday represents the best of my generation. Even though we came from a small town, some of us really hit the big time. Some are household names in Indonesia these days, but Eday is probably the only one that is well-known internationally. And Eday is the expert in what he does best: art. 

It was an honor when a friend like him said he liked my writing style. It was a privilege when he wanted me to help him with his books. I'd certainly lend a hand! About two decades after I first gave it a try, I was finally ghostwriting again. 

This time was slightly different, though. At the very least, I didn't have to start from scratch, so it didn't feel like a burden. Eday wrote in a mixture of Bahasa Indonesia and English, so I what I had to do was to position myself, how I would write this if I were Eday. It wasn't easy, because what he wrote was quite specific and the content was nothing like what I had done before.

The books by Eday.

His first book was called Wood Soul. It was fascinating and also a great reminder of how different we were, even though we were friends since secondary school. I wouldn't for the life of me have any interests in wood crafts, old boxes, bronze pots, etc. But here I was, writing about these from his perspective. What would have been junks for me became art in his hands. It gave me the first hand experience to appreciate his mastery.

The second book, just released recently, was about another hobby he had: Gundam. Remember what I said earlier, about him being international? He was the 2012 world champion of Gundam tournament and now I had the chance to look at things that made him great. I used to wonder what ver.ed was about until I wrote about it few months ago. He surely was a legend among his fellow Gundam enthusiasts.

ver.ed's Gundams.

The ghostwriting was quite a unique experience, I'd say. It was like having a glimpse of how Eday looked at things. I mean, when two old friends met up, we'd joke around instead. Through the books, I had a rare opportunity to see how he was actually like when he was serious and passionate about something. He understood branding and he had the skills, consistency and passion to build it up. A brilliant man, and I guess that's what set him apart from us...

PS: I once explained to my daughter that Uncle Eday was famous for what he did. Then she innocently asked, "since you are a friend of a famous person, does this make you famous, too?" I laughed and told her that it didn't work that way. But it was great to be part of his books. All the best, buddy!



Pengarang Untuk Orang Lain

Saya ingat masa-masa ketika saya baru mulai menulis. Di tahun 1997, kemampuan yang baru saya temukan ini sangat berguna untuk membuat teman wanita di masa SMA terkesan. Saya secara sukarela menawarkan untuk mengerjakan tugas pelajaran mengarang, namun setelah itu saya sadari bahwa saya terjebak oleh rasa terlalu percaya diri. Hanya karena saya bisa menulis beberapa cerpen yang disukai teman, itu tidak berarti setiap tulisan saya sudah pasti bagus. 

Pengalaman menulis untuk orang lain terasa seperti perjuangan dan sama sekali tidak bisa saya nikmati. Beragam pikiran, misalnya perasaan tidak ingin mengecewakan orang lain dan juga batas waktu tugas, menambah beban saya sebagai penulis. Saya menulis karena saya suka. Beda rasanya ketika menulis itu menjadi sebuah tugas dan bukan lagi hobi. 

Semenjak itu, saya jarang membantu orang lain dalam perihal menulis lagi. Rasanya lebih lega, haha. Kemudian, setahun sesudah saya memulai roadblog101, saya menyadari bahwa saya bisa kehilangan pembaca Indonesia bila saya hanya menulis dalam bahasa Inggris. Oleh karena itulah saya kini menulis dalam dua bahasa. 

Buku Eday dan the ghostwriter.

Tidak berapa lama setelah itu, teman saya Eday bertanya apakah saya bisa membantunya. Bagi anda yang belum tahun, Eday ini adalah yang terbaik dari generasi saya. Meski kita semua berasal dari kota kecil, beberapa dari kita kini teramat sangat sukses. Tidak sedikit yang sudah termashyur namanya di Indonesia, tapi saya kira hanya Eday yang dikenal di kalangan internasional. Dan Eday adalah ahli di bidang yang ditekuninya: seni. 

Adalah suatu kehormatan tersendiri saat seorang teman seperti Eday berkata bahwa dia menyukai gaya tulisan saya. Ketika dia ingin saya membantunya menulis buku, saya pun menyanggupi permintaannya. Setelah hampir dua puluh tahun lamanya tidak menulis untuk orang lain, akhirnya saya pun mencoba lagi. 

Proses kali ini sedikit berbeda dari sebelumnya. Saya tidak perlu lagi memulai dari awal, sehingga tidak terasa seperti sebuah beban. Eday sudah menulis apa yang hendak disampaikannya, namun dalam perpaduan Bahasa Indonesia dan Inggris. Berdasarkan karangannya, saya lantas mengambil pendekatan berikut ini: bilamana saya adalah Eday, seperti apa kira-kira tulisannya. Tidak mudah juga, sebab topik yang dibahas olehnya cukup spesifik dan berbeda dengan apa yang pernah saya kerjakan sebelumnya. 

Buku-buku karya Eday.

Buku pertamanya berjudul Wood Soul. Pengalaman menulis buku ini terasa menggelitik dan juga mengingatkan saya kembali, betapa berbedanya pola pikir kita berdua, meskipun kita berteman dari sejak SMP. Saya tidak pernah tertarik dengan kerajinan kayu, kotak tua, pot perunggu dan lain-lain, namun sebagai Eday, saya menulis tentang semua ini berdasarkan perspektifnya. Apa yang pasti sudah menjadi sampah di tangan saya berubah menjadi seni berkat sentuhannya. 

Buku kedua yang baru saja dirilis bercerita tentang hobi lain yang dimilikinya: Gundam. Masih ingat yang saya katakan tentang prestasinya yang internasional? Dia adalah juara dunia turnamen Gundam di tahun 2012 dan saya kini berkesempatan untuk melihat langsung hal-hal yang menunjukkan kehebatannya. Dulu saya sempat heran, apa sebenarnya ver.ed, dan buku ini memberikan jawabannya. Dia memang legenda di kalangan penggemar Gundam. 

Gundam ver.ed.

Pengalaman mengarang untuk Eday tergolong unik. Biasanya, di kala bertemu, kita cenderung bersenda-gurau. Lewat buku-buku ini, saya jadi bisa melihat, seperti apa teman saya ini di kala serius menekuni hobinya. Eday mengerti pentingnya sesuatu khas dari karyanya dan dia memiliki kemampuan, konsistensi dan semangat untuk mengerjakannya. Memang orang yang luar biasa dan kualitas inilah yang membedakannya dengan saya dan teman-teman lainnya... 

NB: baru-baru ini saya jelaskan pada putri saya bahwa Paman Eday terkenal karena hasil karyanya. Mendengar hal itu, anak saya lantas dengan polos bertanya, "karena Papa berteman dengan orang terkenal, apakah ini berarti Papa terkenal juga?" Saya tertawa dan menjelaskan pula bahwa prosesnya tidaklah seperti itu. Namun saya senang bisa turut berpartisipasi dalam buku-bukunya. Sukses selalu, sobat lama! 

Saturday, July 31, 2021

Book Review: A Promised Land

This book is thick! If you read the blog post called Reading: Not Just a Hobby that was published in March, you'd have noticed this book lying next to a bowl of KFC porridge, haha. I couldn't finish reading it then. Had to return the book to the library and waited for my turn to borrow it again. Was on queue for about three months and finally got it when June was ending. 

Now, was it any good? Prior to this, I happened to read another book Obama wrote called Dreams from My Father. The previous book told about his childhood and younger days,  so A Promised Land was like the next chapter of his life, when he started campaigning and became president. It was like picking up where I left off.

I liked how Obama began the book with life before presidency. You could see how his life totally changed the moment he became POTUS. I mean, White House is not just an office. He really lived there with his family and everywhere he went, he was followed by Secret Service agents and reporters. It was a strange life with not much freedom that I don't think was envied by many. 

Then there were events that became movies, namely The Big Short, Captain Phillips and Deepwater Horizon. The subprime mortgages was explained based on what his saw and experienced right before the financial crisis happened. As a president, he never thought he had to deal with the pirates of Somalia. Certainly didn't see that one coming! Finally, there was the BP oil spill.

It was fun to read about Obama's overseas trips and how he described the countries and his counterparts. His description about China was interesting. He had a good impression about Singapore and I liked it when he mentioned about Indonesia from time to time. But it came to the Middle East, the US foreign policies were such a mess. As a non-American, I couldn't help feeling that the US had this habit of interfering other country's affair. More often than not, it didn't end well. Libya was a good example of how disastrous it could be.

Talk about being a non-American, it was interesting to learn the relationship between Democrats and Republicans. You'd think that a country as advanced as the US would know how to put aside their differences and worked together, but that wasn't always the case. In fact, it was kind of rare. Apart from certain exceptional figures such as John McCain, Republicans had this tendency to block whatever Obama was doing, haha. The relationship among Senate, House and President was also rather convoluted from the perspective of an outsider.

Overall, it was a good book that offered a glimpse of how busy a US President was. Talk about the responsibilities he had and the challenges he faced, Fox News, Republican, Putin and even Donald Trump certainly didn't make it easy for Obama, haha. But still, the book was a great reminder of how cool Obama was. His conscience was clear. If that didn't make him a great president in the eyes of some Americans, at the very least he was a very decent human being that ever became the president of the most powerful nation on earth. 

Books by Obama.




Ulasan Buku: A Promised Land

Buku ini tebalnya lebih dari 700 halaman! Kalau anda sempat membaca artikel berjudul Membaca: Bukan Sekedar Hobi, anda pasti melihat buku ini tergeletak di samping bubur KFC, haha. Saat itu saya tidak sempat membaca sampai habis, jadi terpaksa saya kembalikan ke perpustakaan karena tidak bisa diperpanjang. Buku baru ini banyak peminatnya dan saya harus menunggu kira-kira tiga bulan lamanya dan baru mendapatkan giliran lagi di akhir bulan Juni. 

Apakah ini buku yang bagus? Setahun sebelumnya, saya membeli buku berjudul Dreams from My Father yang juga ditulis oleh Obama. Buku ini bercerita tentang masa mudanya di Amerika, Indonesia dan Kenya. Nah, buku A Promised Land ini bagaikan kelanjutan dari buku yang saya sebutkan barusan. Kisahnya tentang masa kampanye dan periode pertamanya sebagai presiden. 

Saya suka dengan cara Obama mengawali ceritanya dengan kehidupan sebelum menjadi presiden. Pembaca jadi bisa membayangkan bagaimana hidupnya berubah drastis setelah dia menjadi POTUS. Gedung Putih itu ternyata bukan sekedar tempat kerja, tapi juga rumah dan tempat tinggal presiden dan keluarganya. Semenjak menjabat, setiap langkahnya selalu diikuti oleh agen rahasia dan wartawan. Hilang sudah kebebasannya. Rasanya tidak seperti kehidupan yang membuat orang lain iri. 

Setidaknya ada tiga peristiwa dalam periode pertama ini yang kemudian diangkat menjadi film-film berjudul The Big Short, Captain Phillips dan Deepwater Horizon. Obama bercerita tentang asal-mula krisis ekonomi dari apa yang dilihat dan dialaminya sebelum dan selagi menjabat. Sebagai presiden, tidak terbayangkan olehnya bahwa dia harus berurusan dengan bajak laut Somalia. Dan kemudian ada pula bencana tumpahnya minyak bumi di Teluk Meksiko.

Seru rasanya membaca tentang kunjungan kerja Obama ke luar negeri. Pendapatnya tentang Cina sangat menarik. Dia juga terkesan dengan Singapura dan ada rasa senang saat membaca cerita singkatnya tentang Indonesia. Akan tetapi terasa pula bahwa politik luar negeri Amerika itu menimbulkan kekacauan di negara-negara Timur Tengah. Ada kesan bahwa Amerika itu suka ikut campur urusan negara lain. Hasilnya seringkali malah tambah ricuh. Libia adalah contoh hilangnya kestabilan dalam negeri setelah Amerika mendepak Gaddafi. 

Sebagai orang luar, hubungan antara Demokrat dan Republican itu cukup rumit dan membingungkan. Saya sempat menyangka bahwa negara liberal semaju Amerika pastilah bisa mengesampingkan perbedaan pendapat dan bekerja sama, namun kenyataan seperti itu jarang terjadi. Hanya beberapa tokoh yang berjiwa besar seperti John McCain yang bisa membedakan kepentingan partai dan rakyat. Alhasil, Republican sering menghambat dan menolak kebijakan Obama, haha. 

Secara keseluruhan, buku ini menawarkan gambaran yang gamblang tentang betapa sibuknya kehidupan seorang Presiden Amerika. Berat tanggung jawabnya, banyak pula tantangannya. Fox News, Republican, Putin dan bahkan Donald Trump silih berganti mendatangkan kesulitan baginya. Tapi di sisi lain, kita diingatkan kembali dengan sosok Obama yang kharismatik. Sebagai seorang politisi, nuraninya masih jalan. Jika itu tidak membuatnya menjadi presiden yang hebat di mata rakyatnya sendiri, setidaknya dia tetap dikenang sebagai pemimpin yang apa adanya dari sebuah negara adidaya. 

Sunday, July 25, 2021

The Fusion

We had been living in a strange time. It was very fragile and uncertain. After a month of lockdown, we finally had a dine-in option again. But little did we know it'd only last for few days. Just when we thought the situation had gotten better, we went straight back to take-out again. 

Dinner time!

The last day before that happened, my wife asked me out for dinner, just the two of us. I thought it was a date night, but she quickly briefed me that it was an undercover mission for her online school project, haha. She said we were going to an Italian, Japanese meat-free fusion restaurant called Sufood. Bizarre, eh? But I reckon a restaurant related to Putien should have some standard, so I was game. 

So off we went. The restaurant was at Raffles City Mall. The ambience was alright and, at about SGD 30, the price was reasonable for a six-course meal. I think it was counted as six because of the inclusion of handmade rosemary breadsticks, but the first one on the platter was the Wholesome Trio. The appetizer consisted of matcha soba, plum tomato and sesame tofu. Nice presentation, but rather forgettable. 

The appetizers.

Next one was a big bowl of Caesar Salad. This was quite common and could be found elsewhere as well, but it was good and I kind of liked it. Same couldn't be said for the Cream of Pumpkin Soup, though. There was a bitter aftertaste for each spoonful that I gulped down, so after few tries, I simply put it aside.

The main course was Pan-Fried Tofu with Toona Rice. The name somehow reminded me of tuna fish, but it was vegetarian! After googling it, apparently toona was some leaves used for cooking, hehe. This was nice, but the portion was suitable only as part of six-course meal. Otherwise it's be too small. 

Main course.

The dinner was eventually concluded with Snow "Bird Nest" (Xue Yan) Beancurd. The sweetener, probably made of palm sugar, was not enough and I ended up eating a rather bland dessert. Needless to say, it didn't end on a high note! Still it was quite an experience. I mean, Japanese Italian vegetarian! That's a lot to be fused! But seriously, between Putien and this, I reckon the former is a better choice.

The dessert.


Restoran Fusion

Sekarang ini kita hidup di masa yang aneh. Rasanya begitu rentan dan penuh ketidakpastian. Setelah lockdown kurang-lebih sebulan lamanya, akhirnya kita memiliki kesempatan untuk makan di luar lagi. Tapi siapa sangka kebebasan ini hanya bertahan beberapa hari? Ketika kita berpikir bahwa situasi telah membaik, tiba-tiba kasus COVID-19 melonjak naik dan tempat-tempat makan pun dilarang menerima tamu lagi.

Di hari terakhir sebelum peraturan ini berlaku, istri saya mengajak saya makan malam berdua. Saya pikir boleh juga idenya, tapi kemudian dijelaskan oleh istri saya bahwa ini adalah dalam rangka tugas sekolah, haha. Dia berkata bahwa kita akan mencicipi menu fusion Itali-Jepang-vegetarian di restoran bernama Sufood. Kombinasi yang mencengangkan, bukan? Namun saya lantas berpikir bahwa restoran yang sama bosnya dengan Putien pastilah memiliki standar. 

Dinner time!

Jadi kita pun bertemu di Raffles City Mall dan pergi bersama. Suasana restorannya cukup enak dan harga SGD 30an untuk satu set dengan enam macam menu cukup rasional. Yang pertama dihidangkan adalah roti panjang tipis yang disebut handmade rosemary breadsticks dalam Bahasa Inggris, lalu disusul dengan hidangan pembuka bernama Wholesome Trio yang terdiri dari mie soba teh hijau, tomat mungil dan tahu wijen. Menarik penyajiannya, tapi biasa rasanya. 

Yang datang berikutnya adalah Caesar Salad. Menu ini sebenarnya biasa dan bisa ditemukan di tempat lain juga, tapi rasanya sedap dan saya suka. Beda ceritanya dengan Cream of Pumpkin Soup. Ada rasa pahit setelah sup ditelan, jadi setelah beberapa sendok, saya pun pinggirkan sup labu ini.

The appetizers.

Menu utamanya adalah Pan-Fried Tofu with Toona Rice. Namanya terdengar seperti ikan tuna, tapi harusnya ini menu vegetarian. Saya lantas cari di Google. Ternyata toona itu nama daun yang digunakan untuk masakan, hehe. Saya cukup menikmatinya, tapi porsinya hanya cocok sebagai bagian dari set dengan enam macam menu. Kalau hanya dipesan terpisah, kekecilan porsinya. 

Main course.

Santap malam pun berakhir dengan disajikannya Snow "Bird Nest" (Xue Yan) Beancurd. Pemanisnya yang mungkin terbuat dari gula kelapa tidaklah cukup sehingga hidangan pencuci mulut ini terasa tawar. Secara keseluruhan, rasanya tidak terlalu memuaskan. Akan tetapi ini tetap merupakan satu pengalaman unik. Maksud saya, tidak setiap hari kita bisa mencoba masakan Itali-Jepang-vegetarian. Namun kalau harus memilih antara Putien dan Sufood, saya rasa Putien adalah pilihan yang lebih logis.

The dessert.

Sunday, July 18, 2021

The Price Of Dignity

The high school chat group that we had, not only it could be quite funny, but it also made you think sometimes. This was one of such instances. One night, we talked about how wrong it was to deliberately do what was against the law. A friend was adamant that it was due to pure greed and lack of dignity. 

Then, the next morning, when I had a breakfast with Endrico, he said it was a rather complex situation and knowing this simple-minded friend from Pontianak, he wouldn't be able to say no to the request. It was a innocent remark, but one that was easily blown out of proportion. Being a good gas stove in the group, I was quick to pick it up and rephrase it to, "Endrico thinks Pontianak people are simpletons, therefore they don't break the law because they don't even understand it."

Thus began the bashing session. A friend from previous night insisted that the person who did it clearly had no dignity, but it turned out that he seemed to be the only one who thought so. One of our friends, a doctor, even gave an analogy that defended the accused. In the midst of all this, I kept suggesting that, unlike Endrico, the accuser clearly didn't understand the way Pontianak people think. What made it more hilarious was, the accused indeed felt no remorse. He didn't think it was wrong at all and he did it because he was promised a free trip and an iPhone.

It was a stunning outcome. When all was said and done, I couldn't help thinking that dignity was not for everyone. Some people were born with it. These people tend to be proud people and they have a clear conscience. Some, apparently, had to learn it. Dignity (or greed, as they are only separated by a thin red line) is what’s left after the fight between what you want and what you can afford. 

As much as I laughed about at the iPhone incident above, I could actually relate with it. I remember back in the days, when I was in Jakarta, I also downloaded comics and music. It was an act of piracy, but when you lived in a country where everyone else seemed to be doing it, it didn’t feel wrong. It was only later on, when I moved to Singapore, that I stopped doing what I did. I realised that piracy was a crime and it also helped that I was able to afford what I wanted.

Do take note that I didn’t condone what is wrong. I was merely explaining the thought process that might occur when one was in such a difficult situation. It was easy to talk about dignity when you could afford it, but the real challenge was when you were not financially able and yet had to resist the way of the world. 

In the end, both opinions had good points. Endrico was only being realistic when he made that comment. The other friend was emphasising on what’s right. You don’t go breaking the law, regardless how much you want things. Realistic and right. Combine these two principles and you’ll have a better understanding on how to navigate in life…

An iPhone, the price of dignity?



Harga Diri

Grup WhatsApp teman-teman SMA ini terkadang bukan cuma lucu, tapi juga bisa membuat saya melihat kembali dan berpikir lagi tentang hidup ini. Kisah berikut ini adalah salah satu contohnya. Suatu malam kita berbincang tentang betapa salahnya jika kita secara sadar melakukan sesuatu yang melanggar hukum. Seorang teman bersikeras bahwa semua ini terjadi karena pelaku serakah dan tidak memiliki harga diri. 

Keesokan paginya, sewaktu saya bersantap pagi dengan Endrico, dia bergumam bahwa ini adalah situasi yang rumit dan kalau dilihat dari sudut pandang teman yang pola pikirnya sederhana ini, dia tidak akan bisa menolak meskipun permintaan ini melanggar hukum. Pernyataan Endrico ini polos, tapi bisa dengan gampangnya disalahtafsirkan. Sebagai kompor gas di grup, saya dengan gesit menangkap kalimat ini dan menyampaikan ulang kepada teman-teman, "Endrico berkata bahwa orang Pontianak itu cetek pemahamannya, karena itu tidak melanggar hukum." 

Lalu berlanjutlah topik yang membuat panas grup. Seorang teman yang bersikeras di malam sebelumnya kembali mengulang bahwa pelaku ini tidak memiliki harga diri, tapi apa yang terjadi berikutnya sungguh di luar dugaan. Seorang teman lain yang berprofesi dokter justru menulis sebuah analogi yang membela pelaku. Di tengah kericuhan, saya dengan iseng kembali mengingatkan bahwa yang menuduh ini jelas tidak paham pola pikir orang Pontianak. Yang lebih kocak lagi, tertuduh ternyata sungguh tidak merasa bersalah. Dia melaksanakan permintaan yang dianggap melanggar hukum itu semata-mata karena dijanjikan liburan gratis dan iPhone. 

Ini adalah sebuah akhir yang mencengangkan. Seusai pembahasan, saya jadi berpikir bahwa yang namanya martabat itu bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh semua orang. Ada yang terlahir dengan martabat. Orang-orang ini biasanya memiliki karakter yang terkesan angkuh (padahal apa adanya) dan mereka paham betul prinsip benar dan salah. Ada pula yang ternyata harus pelan-pelan mempelajari, apa sebenarnya harga diri itu. Martabat (atau keserakahan, karena tipis bedanya) adalah apa yang tersisa dari pergumulan antara apa yang anda inginkan dan harga yang sanggup anda bayar.

Meski saya tertawa geli saat mendengarkan tentang iming-iming iPhone, sedikit-banyak saya bisa mengerti kenapa konsep harga diri ini mungkin terasa asing bagi yang tidak terbiasa. Sewaktu saya berada di Jakarta dulu, saya juga sering mengunduh komik dan lagu. Ini adalah pembajakan, tapi bila anda hidup di negara dimana hampir semua orang yang anda kenal melakukan hal serupa, rasanya tidak seperti sebuah kesalahan. Setelah saya pindah ke Singapura, saya baru menyadari bahwa pembajakan adalah tindakan kriminal. Di saat yang sama, karena saya mulai mampu membeli apa yang saya mau, saya pun akhirnya berhenti mengunduh.

Saya tidak bangga dan juga tidak mendukung perbuatan yang salah ini. Saya hanya mencoba menjelaskan pola pikir yang mungkin terjadi saat seseorang berada di posisi yang sulit. Mudah untuk berbicara tentang harga diri ketika kita mampu, tapi tantangan sesungguhnya adalah tatkala kita tidak mampu secara finansial dan harus berjuang melawan arus yang salah.

Akhir kata, opini Endrico dan teman yang satu ini memiliki maksud yang baik. Endrico hanya bersikap realistis saat mengungkapkan pendapat, sedangkan teman lainnya ini menekankan pada prinsip benar dan salah. Pokoknya jangan melanggar hukum, tak peduli seberapa besar keinginan anda dalam mencapai sesuatu. Realistis dan benar. Kombinasikan dua ide ini dan semoga anda memiliki sudut pandang yang lebih baik dalam menjalani hidup ini...

Wednesday, June 30, 2021

Book Review: The Reason I Jump

Autism is often a thing you have heard before, but never really care about until you encounter it in the form of someone you love dearly. Autistic people are neither stupid nor deranged, but they view the world and react so differently that they are typically misunderstood. When they did things that didn't seem to make any sense, the general response would be, "what are they thinking?"

It's a question not many can answer, so when a movie called The Reason I Jump was in cinema, my wife and I went to watch. The film began with a rather strange narration, then split into a few sections showing the lives of five individuals who lived with autism spectrum disorder. 

The movie was unusual, probably not recommended for the uninitiated as it could be quite depressing. But it also offered an explanation of... literally the reason they jumped. The key here was Naoki Higashida. At age 13, he managed to write a book about what he thought and felt as an autistic kid. The movie was sort of adapted from his book.

After watching the show, I was so curious that I immediately checked the library collection and reserved the book. And what an intriguing book it was! Most of the pages were in Q&A format. They were questions commonly asked by normal people and, through his answers, Naoki gave the readers a glimpse of how his brain and body worked.

It was interesting to see how he actually processed an image, for example a rainy day. It was quite touching to learn that inside his heart, he could be emotional just like any of us. It was painful to read that he couldn't help it when his body behaved differently, so much different than what he had in mind. It wasn't an easy reading, but coming from an autistic kid, it was an eye-opener. More than that, it showed that beyond the odd behaviours, there was a soul longing to be accepted and loved. 

And the fact that he could write all this and some short stories, especially the last one, was a proof that there was a beautiful mind trapped inside the body. It could be a bumpy and challenging journey to meet the real person beneath this autistic demeanour. This book was a great reminder for the readers not to give up and lose hope. 

The book and the movie poster.



Ulasan Buku: Alasan Saya Melompat

Autisme adalah sesuatu yang mungkin sering anda dengar, tapi tak pernah dimengerti sampai anda menemukannya sendiri dalam bentuk orang yang anda sayangi. Orang-orang autis tidaklah bodoh atau tidak waras, tapi cara mereka memandang dunia dan tingkah mereka begitu berbeda sehingga seringkali disalahpahami. Ketika mereka melakukan hal-hal yang tidak jelas artinya, tak jarang kita berpikir, "apa sebenarnya yang mereka pikirkan?" 

Ini adalah satu pertanyaan sulit yang hanya bisa dijawab oleh orang autis, jadi ketika film berjudul The Reason I Jump ditayangkan di bioskop, saya dan istri pun pergi menonton. Film ini dimulai dengan narasi yang terdengar aneh, lalu menampilkan kisah lima muda-mudi yang autis. 

Film ini tidak lazim dan barangkali tidak disarankan bagi orang awam karena berat materinya dan menyedihkan pula. Akan tetapi film ini juga menawarkan sebuah penjelasan tentang... kenapa mereka melompat. Kuncinya di sini adalah Naoki Higashida. Di usia 13 tahun, dia menulis buku tentang apa yang dia pikirkan dan rasakan sebagai bocah yang autis. Film ini merupakan adaptasi dari bukunya. 

Seusai menonton, saya menjadi sangat ingin tahu sehingga saya segera mengecek koleksi perpustakaan dan memesan buku tersebut. Saat saya dapatkan dan baca, ternyata unik bukunya. Sebagian besar isinya ditulis dalam format Q&A. Pertanyaan-pertanyaan ini adalah apa yang biasa muncul di benak orang normal dan lewat jawabannya, Naoki menjelaskan cara kerja pikiran dan tubuhnya sebagai orang autis.

Menarik rasanya saat mengetahui bagaimana Naoki memahami apa yang sedang dilihatnya, misalnya saat hujan. Saya jadi terenyuh sewaktu membaca tentang apa yang dirasakannya, sebab dia pun ternyata memiliki perasaan. Ada rasa sedih pula saat Naoki bercerita tentang perbuatan dan prilaku yang luar kendalinya. Baginya, semua itu terjadi begitu saja dan dia tidak bisa mencegahnya. Ini bukan buku yang gampang dibaca, tapi sangat membuka wawasan. Buku ini juga mengingatkan kembali bahwa di balik semua tingkah laku yang aneh itu, ada seorang bocah yang berharap diterima dan dicintai apa adanya.

Fakta bahwa dia bisa menulis semua ini dan juga beberapa cerpen lainnya, terutama yang terakhir, menunjukkan bahwa ada sebuah kecerdasan yang terkurung dalam tubuh yang autis. Butuh perjuangan untuk bisa bertemu dengan sosok sejati dari pengidap autisme yang sulit dimengerti ini. Bilamana anda merasa lelah, buku ini bisa menguatkan anda kembali supaya tetap tegar dan tidak putus asa.