Total Pageviews

Translate

Sunday, November 7, 2021

The Lupus Generation

This story began about a month ago, when the night was quiet. Out of the blue, as my mind was wandering before I slept, I remembered the short stories called Lupus. Suddenly I wanted to read the first five books again, so I browsed tokopedia.com and send the link to my friend Susan

Not long after that, I received the books from Jakarta. As I read the stories, they brought me back to the time when I first heard of Lupus. It was probably in the early 90s. I was still a primary school student in Pontianak then, definitely too young for Lupus. But I got two cousins who were in high school and another relative I called uncle staying us. One of them must have had the first five novels and that's how I got hold of Lupus.

The novels, a compilation of 10 short stories per book, were very popular among high school students and young adults during its heyday. Lupus, the titular character, was a cool high school student with a hairstyle of John Taylor (the member of Duran Duran) and a habit of chewing bubble gums. The stories, most of them were funny and nonsensical, were about him and his friends.

As I flipped through the pages and enjoyed the stories, I could see why Lupus was charming. There was nothing like it before. Lupus was original. The way Hilman, the author, played with words was unconventional. He made it okay to tell a story the way he liked it, even though it was silly and didn't make any sense at all. He was also brilliant in coming up with hilarious phrases such as died successfully or picnicking everywhere

Years later, when I discovered that I could write, I must have subconsciously remembered all this. The experience of re-reading Lupus was surreal. It felt like recalling the memories from yesteryear only to notice the similarities in my own writing style and tricks. Short stories I did since high school till early 2000s, most notably Crazy Campus, was heavily inspired by Lupus. 

I guess everybody gotta be inspired and start somewhere. As a writer, mine began with this novel, even though my first ever story of this genre would happened in late 1996. Still it was nice to discover my roots. 

With that, came the long overdue recognition and acknowledgement. What Hilman did, if it was never realized before, was a breakthrough. He broke many unwritten rules and boundaries, paving the way and giving the freedom for the next generation. 

In my case, he made writing seem easy and possible, that writing was just about what you wanted to say, not a sophisticated task the teacher taught us at school. From one writer to another, I thank you, Sir, for what you did a long time ago.

The first five novels (book one, two and three are in one book) whereas the fourth and fifth are the original editions. 



Generasi Lupus

Cerita ini bermula kira-kira sebulan yang lalu, di malam yang sunyi. Ketika saya hendak tidur, tiba-tiba saya teringat tentang Lupus. Saya jadi ingin membaca ceritanya lagi, jadi saya pun cek di tokopedia.com dan mengirim link-nya ke teman saya Susan

Tidak lama setelah itu, Susan mengirimkan novel Lupus dari Jakarta. Ketika saya membaca, saya jadi terkenang lagi dengan saat pertama kalinya saya mendengar tentang Lupus di awal dekade 90an. Waktu itu saya masih murid SD di Pontianak dan sebenarnya masih terlalu muda untuk membaca Lupus. Akan tetapi saya memiliki dua sepupu yang sedang menyelesaikan pendidikan SMA dan juga seorang paman yang menumpang tinggal di rumah. Salah di antara mereka pastilah memiliki lima novel pertama Lupus dan dari situlah saya berkesempatan untuk membaca. 

Novel Lupus memiliki 10 cerpen per buku dan saat itu sangat populer di kalangan anak muda. Tokoh utamanya, Lupus, adalah anak muda usia SMA yang hobi mengunyah permen karet dan memiliki gaya rambut John Taylor dari grup musik Duran Duran. Cerpennya yang seringkali lucu dan konyol ini mengisahkan tentang masa remaja Lupus dan teman-temannya. 

Selagi saya menyimak kembali dan menikmati kumpulan ceritanya, saya bisa melihat kenapa Lupus ini terkenal di zamannya. Setahu saya, tidak ada yang seperti ini sebelumnya. Lupus adalah sebuah karya orisinil. Cara Hilman sang pengarang dalam merangkai kata sangat menggelitik. Kreativitasnya dalam bercerita begitu konyol, namun bisa diterima pembaca. Dia juga jenius dalam menciptakan frase lucu seperti tewas dengan sukses atau piknik ke mana-mana.

Bertahun-tahun kemudian, ketika saya menyadari bahwa saya bisa menulis, saya pastilah tanpa sadar mengingat apa yang pernah saya baca dari Lupus. Pengalaman membaca ulang ceritanya baru-baru ini bisa dikatakan unik. Rasanya seperti mengingat kembali cerita lama yang pernah saya ketahui sebelumnya dan mencengangkan rasanya sewaktu menemukan kemiripan antara gaya tulisan saya dan apa yang saya baca. Cerpen yang saya tulis dari masa SMA sampai awal tahun 2000an, terutama Crazy Campus, memiliki pengaruh Lupus yang kental. 

Saya rasa setiap orang pasti terinspirasi oleh sesuatu dan mulai dari inspirasi tersebut. Sebagai penulis, kisah saya dimulai dari novel ini, meskipun cerpen pertama dengan tema serupa baru saya tulis di penghujung tahun 1996. Saya senang bisa menemukan kembali sesuatu yang menjadi asal-mula saya sebagai penulis. 

Dan hal ini berarti dengan jujur mengakui sosok Hilman sebagai penulis. Apa yang Hilman capai adalah sebuah terobosan. Dia mendobrak tradisi yang sudah ada, membuka jalan dan memberikan kebebasan bagi generasi berikutnya.

Bagi saya pribadi, dengan karyanya Hilman membuat menulis itu terlihat gampang dan mungkin untuk ditekuni. Dia meyakinkan saya bahwa menulis itu pada dasarnya hanyalah menuliskan apa yang ingin saya sampaikan, bukan sebuah pekerjaan rumit seperti yang diajarkan guru di sekolah. Dari satu penulis ke penulis lainnya, saya menyampaikan rasa terima kasih atas pembelajaran ini... 

Sunday, October 24, 2021

Google Nest Wifi

I had always loved the Time Capsule. For almost a decade, I used it for both storage and Wi-Fi. It did well, until it became irrelevant one day. As a storage, the cloud suddenly seemed like a better option these days, therefore I shifted to Google One earlier this year.

Now that it was no longer storing data, the Time Capsule was solely used as AirPort. Pretty underused, I'd say. Just like any other single point Wi-Fi, I couldn't avoid having blind spots in my house. The signal was simply too weak in certain places and I could lose connection from time to time. I had to live with it then, but now I realized that I didn't have to!

Google Nest Wifi router and point.

That's when I looked for an alternative. I had been looking at Google Nest and suddenly there was a rather attractive discount. I could save up to SGD 85, so I grabbed a pair of them. One was called Nest Wifi router and the other was called Nest Wifi point. The former was where you plugged the internet connection cable to and the latter expanded the coverage. 

Google Nest Wifi used the mesh technology. The illustration below was probably the best example to show what it did. Not difficult to configure. You just had to download Google Home and it'd do the rest. What felt more troublesome was the effort to switch other devices to the new Wi-Fi. It was amusing to find that I had accumulated quite a fair bit of wireless devices throughout the years, especially those obscure ones such as Apple TV and printer!

How it works.
Picture: Google.
  

Now, the result? I'd tell you this much: it felt extremely good to sit down and enjoy the smooth sailing movie streaming experience in my bedroom. I must have been subconsciously traumatized by the blind spots that even today, close to one month after I installed it, I still found it unbelievable. It was amazing how the connection was just so stable!

One last thing, the Nest Wifi point came with speakers. This brought in an entirely new digital experience: the interaction with Google Assistant. This was triggered by the fact that you knew the feature was there and you didn't want to waste it. Since then, we used it more often than before to check the weather, the news, set alarm and get her (my Google Assistant had a voice of a female) to play music just by saying, "Hey Google," and asked her to do stuff. My cheeky daughter even figured out that she could ask Google the multiplication questions she couldn't do!


Google Nest Wifi

Saya selalu menyukai Time Capsule yang merupakan produk Apple. Hampir 10 tahun lamanya saya menggunakan Time Capsule sebagai tempat penyimpanan data dan Wi-Fi. Selama itu pula memuaskan hasilnya, sampai hari dimana perangkat ini tidak lagi relevan. Sebagai tempat penyimpanan data, cloud terasa lebih masuk akal sekarang, jadi saya pun pindah ke Google One sejak awal tahun ini.

Semenjak itu, Time Capsule hanya digunakan sebagai AirPort sehingga berkurang drastis manfaatnya. Seperti halnya dengan Wi-Fi tunggal lainnya, saya pun memiliki masalah dengan titik-titik yang parah sinyalnya. Ada bagian rumah yang kurang terjangkau oleh sinyal dan koneksi saya sering putus dari waktu ke waktu. Saat menggunakan Time Capsule sebagai penyimpanan data, saya harus beradaptasi dengan kekurangan ini, tapi sekarang saya bisa melakukan sesuatu.  

Google Nest Wifi router dan point.

Saya lantas mencari solusinya. Saya sempat melirik Google Nest dan ketika ada diskon sebesar SGD 85, rasanya kian menarik untuk dicoba. Akhirnya saya beli satu pasang. Satu namanya Nest Wifi router dan yang satunya lagi disebut Nest Wifi point. Yang pertama adalah perangkat yang terhubung dengan kabel internet dan yang satunya lagi membantu menyebarkan sinyal dari tempat perangkat ini diletakkan.

Google Nest Wifi menggunakan teknologi mesh yang artinya beberapa perangkat yang berfungsi sebagai satu kesatuan. Ilustrasi di bawah ini adalah contoh yang bagus untuk menunjukkan cara kerjanya. Konfigurasinya pun tidak sulit. Anda hanya perlu mengunduh Google Home dan aplikasi ini akan menyelesaikan instalasinya. Yang lebih merepotkan itu justru menghubungkan perangkat lainnya dengan Wi-Fi baru. Saya sempat tertegun juga dengan jumlah perangkat nirkabel yang saya beli dalam beberapa tahun terakhir, terutama dengan piranti yang jarang saya utak-atik seperti Apple TV dan printer!

Cara kerja teknologi mesh.
Foto: Google.

Nah, bagaimana hasilnya? Kesaksian saya adalah seperti ini: nikmat rasanya bisa duduk santai menonton Netflix dengan lancar di kamar. Saya pasti tanpa sadar sudah trauma dengan kondisi sinyal yang parah sehingga sampai hari ini pun, setelah hampir sebulan lamanya, saya masih merasa sulit untuk percaya betapa stabilnya sinyal di rumah sekarang. 

Satu hal terakhir, Nest Wifi point memiliki speakers. Hal ini memungkinkan terjadinya sebuah pengalaman digital yang sama sekali baru: interaksi dengan Google Assistant. Pengalaman ini dipicu oleh fakta bahwa saya tahu tentang keberadaan fitur yang tampak jelas di mata ini dan rasanya mubazir kalau tidak dipakai. Sejak itu, saya dan keluarga mulai menggunakannya untuk mengecek cuaca, berita, memasang alarm jam dan memutar musik hanya dengan bergumam, "Hey Google," dan memerintah Google untuk mengerjakan apa yang kita mau. Bahkan putri saya yang iseng pun kini menyadari bahwa dia bisa menanyakan jawaban dari soal perkalian yang tidak bisa ia kerjakan!

Sunday, October 17, 2021

Roadblog404

On 1 July 2018, when I celebrated Roadblog202, I did jokingly mentioned about Roadblog404, not knowing if it'd really happen. Then the next milestone, Roadblog303, was unlocked on 30 December 2019, right before COVID-19 went berserk. Today, almost two years after we lived through the pandemic, I finally reached Roadblog404.

The 404th article happened in the fifth year of Roadblog101. Half a decade now! Still young, but had been quite a journey (luckily a journey I enjoyed). It certainly took some persistency and consistency to get this far, eh? And the past two years had been unusual. Roadblog101 was first started as a travel blog, but without much traveling done since 2020, what else could be told?

It turned out that life itself was an adventure. Just because we couldn't visit other countries, it didn't mean life got stuck here. No, in fact, it allowed us to rediscover Singapore again. For example, my wife and I attempted the Coast-to-Coast Trail. It was always there, but we never noticed it back when life was normal. I treasured the time we spent together. We literally made it through the rain and the heat of the sun!

I got a chance to explore Night Safari, too. My first since my daughter was born nine years ago. I also did a lot of reading, started with the story of an Indian man who cycled all the way to Europe, to the adventures of Marco Polo and Forrest Gump. These two years also allowed me to relook at things such as the Cloud. I had always loved Time Capsule, but it was time to move on. But even though moving on was necessary and unavoidable, it didn't always provide the best experience. Case in point was the BlackBerry lookalike.

An old dream was paid by Crypto. Had a chance to be the ghostwriter again and it reminded me of many collaborations I did before. Also worth mentioning was how myself and friends in WhatsApp group chat actually evolved during the time of corona. I was glad and proud that we were quite positive about life and used our energy to focus on something fun and constructive such as quiz and talkshow!

And that wasn't the end of it. If the pandemic ever taught us anything, it certainly taught us how to be patient! And we had a plan, a grand plan, that we would visit Japan next year, probably in autumn! Oh yes, we had been waiting for two years, so waiting for another year shouldn't be a problem! For all I know, the first holiday story on Roadblog101 next year could be featuring Tokyo, Kawasaki, Yokohama and Kamakura! 

The road to Roadblog404.


Roadblog404

Di tanggal 1 Juli 2018, ketika saya merayakan Roadblog202, saya dengan iseng menyebut Roadblog404 yang entah kapan akan tercapai. Perayaan berikutnya, Roadblog303, terjadi pada tanggal 30 December 2019, tepat sebelum wabah COVID-19 melanda. Hari ini, setelah hampir dua tahun lamanya kita hidup di tengah pandemik, akhirnya tiba hari dimana saya menulis Roadblog404.

Artikel ke-404 ini terjadi di tahun kelima Roadblog101. Sudah setengah dekade umurnya sekarang! Masih muda, tapi sudah cukup lama berjalan (dan syukurlah saya menikmati perjalanannya). Tentunya butuh ketekunan dan konsistensi untuk mewujudkan semua ini, bukan? Apalagi dua tahun terakhir ini sungguh tidak lazim. Roadblog101 ini dimulai sebagai blog perjalanan wisata, tapi tak banyak liburan yang bisa dilakukan sejak tahun 2020, jadi apa lagi yang bisa diceritakan? 

Akan tetapi hidup adalah sebuah petualangan. Hanya karena kita tidak bisa mengunjungi negara lain, ini tidak berarti kita terjebak dalam rutinitas. Bagi saya pribadi, justru ini adalah kesempatan untuk menemukan kembali Singapura sebagai tujuan wisata. Sebagai contoh, saya dan istri berjalan-jalan melihat keindahan Singapura dengan menempuh Coast-to-Coast Trail. Jalur ini sudah ada sejak lama, tapi saya tidak pernah memperhatikannya sebelum korona. Saya sungguh menikmati acara jalan kaki bersama istri. Kita benar-benar melewati derasnya hujan dan panasnya matahari bersama-sama! 

Saya juga berkesempatan untuk mengunjungi Night Safari lagi, kunjungan yang pertama sejak putri saya lahir sembilan tahun silam. Selain itu saya banyak membaca, mulai dari cerita orang India yang naik sepeda sampai ke Eropa; sampai kisah-kisah lain seperti petualangan Marco Polo dan Forrest Gump

Dua tahun ini juga memberikan waktu bagi saya untuk melihat kembali beberapa hal dalam hidup saya, misalnya Cloud. Saya selalu menyukai Time Capsule, tapi sudah waktunya berpindah ke sesuatu yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman. Tapi yang namanya menyesuaikan diri itu, walaupun perlu dan tidak bisa dihindari, belum tentu bagus pengalamannya. Misalnya saja kembaran BlackBerry yang saya pakai sekarang. Biarpun mirip, tetap saja bukan BlackBerry. 

Sebuah impian lama akhirnya terbayarkan secara tunai oleh Kripto. Saya juga menulis untuk orang lain lagi dan hal ini mengingatkan tentang banyak kolaborasi yang saya lakukan sebelumnya. Peristiwa unik lain yang juga pantas untuk disebutkan adalah bagaimana saya dan teman-teman di grup WhatsApp beradaptasi di masa korona. Saya senang dan sekaligus bangga bahwa kita tetap positif di masa sulit ini. Kita justru fokus ke aktivitas yang konstruktif dan seru seperti acara kuis dan bincang bersama narasumber

Dan ini bukan akhir dari cerita. Bila ada sesuatu yang kita pelajari dari COVID-19, maka salah satunya ada belajar bersabar. Kita memiliki sebuah rencana yang akan membawa kita melihat musim gugur di Jepang tahun depan! Oh ya, kita sudah menunggu dua tahun lamanya untuk liburan di usia 40, jadi tidak ada masalah jika harus menunggu setahun lagi. Saya rasa cerita liburan pertama di Roadblog101 tahun depan bisa saja menampilkan Tokyo, Kawasaki, Yokohama dan Kamakura! 
Perjalanan menuju Roadblog404.


Monday, October 11, 2021

The Personal Trainer

The first question I got from some of my friends was, "why bother engaging a personal trainer when you can just check out YouTube?" Then I told them that it wasn't that simple. I simply lacked of motivation in exercising, hence I was never able to bring myself to do what they suggested. It'd be very different if I had people breathing down my neck. In other words, I literally spent money to pay a trainer to tell me off, haha.

Truthfully speaking, I didn't look for a personal trainer (PT). My wife attended an online course and one of her classmates happened to be a PT. She asked if I was willing to interview him and I didn't mind, so I met this guy named Quek. As I sat and talked to him, I realized that it made more sense to try it out myself. I mean, rather than writing about he said, I reckoned it'd be easier to write about my experience instead. 

Then I signed up for a package of 11 weeks and the training schedule would be once a week on Saturday morning. Quek came over to the fitness corner near my place and he brought with him the training equipment such as resistance band and suspension trainer. He was a punctual man. That must be lesson number one!

With the personal trainer.

The training would begin with notes taking and body fat measurement. The workout then started after the warming up (jumping jack, stretching, squat, etc). We'd do three sets and the routines comprised of shuffle lunge, inclined pull up, mountain climber, burpee and many more. Then we closed each set with few minutes of jogging. Before we called it a day, we'd wrap it up with core and arm exercises, such as plank, crunch and biceps curl.

I'd always remember the first week. Not only I made a rookie mistake by skipping breakfast, I was also so spent that I got cold sweat and felt like vomiting. It was embarrassing, but that's where Quek's experience as a personal trainer made a difference. He didn't say things I wanted to hear as a client, which I respected, but yet he managed to encourage me to continue. He made it okay for me to have a weak start as he ensured me that it'd only get better.

But of course exercising once a week wouldn't make any difference if I didn't practice diligently throughout the week. Quek expected a certain level of commitment and I agreed to train on my own twice a week. Frankly speaking, I disliked this and forcing myself to do it reminded me again why I never exercised in the first place, haha. But since I said I would, I did it the best I could. I'd start with drumming as a form of warming up, then did few moves he taught me before wrapping it up with stair climbing. The HDB flat I'm staying in has 17 floors and for the first few attempts, I'd stop at level 7, 11, 14 and 17 to catch my breath.

Outdoor training.

It was only after the fifth meeting that I could tell there was an improvement. I wouldn't say that I was impressive, but at least I didn't feel like fainting anymore. Yes, I was still panting, but I did feel like I could do it. And Quek was good in mixing the routines accordingly. He could tell when I pushed too hard for the first two sets, then he'd swap some of the moves to less taxing ones, let's say from mountain climber (I hated this one) to burpee.  

11 weeks went by and all good things must come to an end. When we had our last session, we switched to indoor training in my living room so that I had a better idea of what could be done at home when I didn't feel like going outside. We missed out the training experience at the gym pod (it only allowed one occupant in the time of corona), but I guess we covered most of it. And being a good trainer he was, he left me a set of exercise instructions and a parting gift: a resistance band!

I'm never a sporty person, but from little that I know, it's been great to train with Quek. Not boring, as he's a talkative person, but yet he's focused on what he is doing. He's also knowledgeable (heart rate became part of my vocabularies now) and is able to explain what he means in layman's term. Best of all, I had no injuries, which means he knows what he's doing. So, yeah, if you are new to this and wish to have a good start, you should contact him at @strengthelements on Instagram!



Pelatih Kebugaran Jasmani

Pertanyaan pertama dari teman-teman saya adalah, "kenapa pakai pelatih pribadi, padahal bisa cek sendiri di YouTube?" Saya lantas jelaskan pada mereka bahwa permasalahannya tidak sesederhana itu. Saya senantiasa tidak memiliki disiplin dan motivasi untuk berolahraga, jadi saya tidak pernah bisa melakukan apa yang mereka sarankan. Beda ceritanya kalau ada orang yang mengawasi. Dengan kata lain, saya perlu mengeluarkan uang untuk diomeli, haha. 

Jujur saya katakan, saya tidak mencari pelatih kebugaran jasmani. Hanya saja kebetulan seorang teman sekolah istri saya memiliki profesi ini. Dia kemudian bertanya apakah saya berminat untuk mewawancarai temannya ini. Saya tidak keberatan, jadi saya pun menemui pria bernama Quek ini. Setelah berbincang dengannya, saya merasa bahwa lebih masuk akal bila saya mencobanya sendiri. Jadi daripada menulis tentang apa yang dia sampaikan, akan lebih mudah untuk menuliskan pengalaman saya sendiri. 

Saya mendaftar untuk paket 11 minggu dan jadwal latihannya adalah seminggu sekali setiap Sabtu pagi. Quek akan datang ke pojok fitness di dekat rumah saya dan dia membawa serta berbagai peralatan seperti resistance band (semacam pegas dari bahan karet yang bisa tarik-ulur) dan suspension trainer (peralatan yang bisa diikatkan ke tiang dan dijadikan tumpuan untuk pull up). Quek sangat tepat waktu dan ini pastilah pelajaran nomor satu! 

Bersama sang pelatih.

Latihan dimulai dengan pencatatan berat badan dan pengukuran lemak tubuh. Setelah itu ada pemanasan (jumping jack, stretching, squat dan lain-lain), kemudian diteruskan dengan tiga set gerak badan yang mencakup shuffle lunge, inclined pull up, mountain climber, burpee dan masih banyak lagi. Setiap set lantas ditutup dengan lari beberapa menit. Selanjutnya kita melatih otot perut dan lengan dengan plank, crunch dan biceps curl.

Saya selalu terkenang dengan minggu pertama. Saya dengan ceroboh menunda sarapan dan beraktivitas dengan perut kosong, akibatnya saya kelelahan dan merasa mual seperti akan muntah. Sungguh memalukan, namun di sinilah peran Quek sebagai pelatih yang berpengalaman membuat perbedaan. Dia tidak berkomentar yang muluk hanya karena saya adalah kliennya, tapi dia bisa meyakinkan saya untuk terus berlatih. Dia jelaskan kepada saya bahwa meskipun ini bukan permulaan yang baik, tapi latihan secara rutin akan membuahkan hasil.

Akan tetapi tentu saja latihan seminggu sekali tidak akan membuat banyak perbedaan. Oleh karena itu Quek ingin agar saya meluangkan waktu untuk berlatih di kala senggang dan saya pun setuju untuk berolahraga sendiri dua kali seminggu. Jujur saya katakan bahwa saya harus menyeret diri saya untuk berolahraga sendiri, tapi karena saya sudah menyanggupinya, mau tidak mau saya harus melakukannya. Biasanya saya memulai pemanasan dengan bermain drum, setelah itu saya mengulang gerakan yang diajarkan olehnya, lalu saya tuntaskan dengan menaiki tangga. Saya tinggal di blok setinggi 17 lantai dan ketika saya melakukannya untuk beberapa kali pertama, saya sering berhenti di lantai 7, 11, 14 and 17 untuk memulihkan napas saya yang terengah-engah.  

Latihan di luar.

Saya baru merasakan peningkatan setelah pertemuan ke-5. Perubahannya tidaklah drastis, tapi saya jadi merasa lebih bugar dan tidak lagi terasa seperti hendak pingsan. Stamina saya kini lebih baik dari sebelumnya dan di satu sisi, Quek juga pintar membaca situasi. Jika dia melihat bahwa saya terlalu menguras tenaga di dua set pertama, dia bisa mengubah rangkaian di set berikutnya dengan gerakan yang lebih sesuai kondisi, misalnya dari mountain climber (saya tidak suka gerakan yang satu ini) ke burpee.  

11 minggu pun berlalu dan tidak terasa bahwa latihan pun akan segera berakhir. Di pertemuan terakhir, kita mencoba latihan di rumah supaya saya memiliki gambaran, apa saja yang bisa saya lakukan di ruang tamu. Kita tidak sempat mencoba di gym pod (semacam gym di ruang container di tengah taman) karena hanya bisa digunakan oleh satu orang di musim korona. Dan ketika semua berakhir, dia memberikan instruksi latihan dan hadiah: sebuah resistance band!

Saya bukanlah orang yang gemar berolahraga, tapi dari apa yang saya jalani, saya senang berlatih dalam bimbingan Quek. Tidak membosankan, karena dia sangat aktif berbicara tentang apa saja, tapi tetap fokus dengan perannya sebagai pelatih. Dia juga berwawasan luas dan bisa menjelaskan dengan baik dalam sudut pandang orang awam. Yang lebih mantap lagi, saya tidak cedera dan ini berarti dia tahu apa yang dilakukannya. Jadi bila anda baru di bidang ini dan ingin uji coba, anda bisa menghubunginya di @strengthelements lewat Instagram!

Saturday, October 2, 2021

The Lookalike

I got my Titan Pocket last Thursday. Finally! Had been waiting for my turn since... August, I think. It wasn't always like that or felt that way, though. There was a time when I only glanced at Titan Pocket and dismissed it as a BlackBerry wannabe. But then I lost my Pixel 4 (which probably was a good riddance, since the battery life sucked). Left with no other alternative, I rediscovered my KEY2 and had a newfound respect that the phone had never let me down. 

The last BlackBerry on earth, released back in 2018, was just the right fit. But one fine day, I noticed a line on the screen. It cracked! Probably because I left it basking under the sun when I exercised outdoor (oh yes, we'll get to this topic next week). I was heartbroken. This was my first screen crack since I started using mobile phones. As BlackBerry was simply nonexistent in 2021, I began looking at the next available phone with a physical keyboard: Titan Pocket.

Titan Pocket and KEY2. See the difference on the keyboard layout?

If you ever wondered why on earth I still needed a phone with a physical keyboard, I had told you that it felt right. If you wrote on a phone as often as I did, you'd want something that facilitated the creative process. The physical keyboard on BlackBerry did exactly that. Every click had this addictive feedback. The feeling and the sound of it got me going. It had been perfected throughout the years that it did what could be done on a physical keyboard. Not only it doubled as touchpad, but the autocorrect and words suggestion did what I wanted seamlessly in both English and Bahasa Indonesia.

Fuelled by such expectations, I was suddenly keen on having the all-new Titan Pocket. Many said it looked like BlackBerry Classic, but it somehow reminded me of Q10. Anyway, the obsession grew. It was quite a long wait, since those who funded Titan Pocket on Kickstarter would get it first. When September came, I could see Titan Pocket on Unihertz website, but couldn't purchase it for the longest time till September 22, 10am. That's when I got mine! However, there was no news when I would receive Order #1397. The e-mail only indicated that the shipping would start on October 9. Much to my surprise, I got it on September 30. But hey, no complaints here! The sooner, the better!

So I started configuring it. The original launcher was confusing, so I immediately switched it to BlackBerry Launcher. The BlackBerry Hub would soon follow and in no time, it looked like BlackBerry again, except it wasn't. As I looked at the tiny square screen (my first since BlackBerry Passport in 2015), I started typing. It felt different, but that strange, rubbery feeling was something that I would overcome. What actually stunned me the most was the layout. It slotted the space bar between V and M! This really messed up the muscle memory!

Okay, may be Unihertz made the changes to avoid being sued by BlackBerry, but still! Since BlackBerry came first, the physical keyboard had become the standard for the past one decade. And to make it worse, the function keys were all lined up on the first row. It really threw me off balance and yet that wasn't the end of it. I also noticed that the keyboard behaved differently on certain apps. It required further tweaking to get it right, but even now, the backspace is still not working on the title section of Blogger app. And when I said getting it right, what I meant was the setup that worked for me. And that configuration resulted in one row of permanent on-screen keyboard for some punctuation marks. You don't see this on a BlackBerry.

Backspace not working on the title section.
Permanent on-screen keyboard at the bottom.

I could go on and on about the keyboard, but then it dawned on me that the answer was simple: this wasn't a BlackBerry. In a world without BlackBerry, this was the next best thing and instead of grumbling that the standalone letter "i" didn't get capitalized automatically when I typed in English, I just had to live with it. 

Once I get past that, the Titan Pocket seemed to be a pretty decent little device that got the job done. Yes, the software felt slightly buggy (couldn't upgrade Chrome when I tried, then it somehow got done) and I didn't even attempt to install Netflix on Titan Pocket as it was clearly not meant for watching movies. But there are good things, too. I like the smallest font size (a habit I picked up from one of my mentors) as it made things look neat. Battery life was fantastic, though it was probably the reason why Titan Pocket was heavy for a phone released in 2021. Other than that, the rest of the features such as NFC were yet to be tested on day-to-day activities.

Anyway, since you read until this paragraph, I'd let you in on a little secret: this blog post was written on Titan Pocket! Not bad, eh?


Kembaran BlackBerry 

Titan Pocket yang saya pesan tiba Kamis lalu! Akhirnya! Sudah sejak lama saya nantikan telepon genggam ini, mungkin dari bulan Agustus. Sebelumnya, saya hanya melihat secara sekilas dan berpendapat bahwa Titan Pocket ini hanyalah imitasi BlackBerry, namun saya lantas kehilangan Pixel 4 (dan ini mungkin ini bukan hal yang buruk karena baterainya memang parah dan hanya bisa bertahan 4 jam). Karena itu saya menggunakan KEY2 lagi dan kembali terpukau dengan BlackBerry yang tepat guna. 

Ya, BlackBerry terakhir yang diluncurkan di tahun 2018 ini memang pas di tangan. Tapi pada suatu hari, saya melihat ada garis di layar telepon. Layarnya retak! Mungkin karena saya biarkan terjemur matahari selama saya berolahraga di luar (oh ya, saya akan bercerita tentang topik ini minggu depan). Saya jadi merasa sedih. Untuk pertama kalinya saya mengalami layar yang retak terhitung sejak saya mulai menggunakan telepon genggam sejak 20 tahun silam. Karena tidak ada BlackBerry baru di tahun 2021, maka saya mulai melirik telepon lain yang memiliki keyboard fisik: Titan Pocket.

Titan Pocket dan KEY2. Amati perbedaan keyboard-nya.

Jika anda heran kenapa saya masih menggunakan telepon dengan keyboard fisik, sudah saya katakan sebelumnya bahwa fitur ini terasa cocok untuk saya. Bilamana anda sering menulis di hape seperti saya, anda akan membutuhkan sesuatu sebagai fasilitas dalam proses kreatif ini. BlackBerry dengan keyboard fisiknya adalah sarana yang menunjang. Dari setiap ketikan dan efek suara ketikan, muncul semacam sensasi yang mendorong saya untuk terus lanjut berkarya menuangkan pemikiran saya. Keyboard-nya bukan saja bisa berfungsi seperti layar sentuh, tapi juga memiliki fitur autocorrect dan prediksi kata yang handal dalam versi Inggris dan Bahasa Indonesia.

Berbekal harapan yang saya jabarkan di atas, saya jadi ingin menjajal Titan Pocket. Banyak yang berkomentar tentang kemiripannya dengan BlackBerry Classic, tapi saya sendiri jadi teringat dengan Q10 saat melihat bentuknya. Saya menunggu cukup lama karena para pendonor dana lewat Kickstarter akan lebih dulu mendapatkan Titan Pocket. Ketika September tiba, saya bisa melihat Titan Pocket di situs belanja Unihertz, tapi belum bisa membelinya. Penjualan baru dimulai pada tanggal 22 September, jam 10 pagi. Di saat itulah saya melakukan transaksi! Akan tetapi tidak ada kabar kapan saya akan menerima pesanan nomor 1397. Yang tertera di e-mail cuma berita bahwa pengiriman akan dimulai tanggal 9 Oktober. Tak disangka saya sudah menerima paket saya di tanggal 30 September! Saya tidak mengeluh! Makin cepat, makin baik, haha! 

Jadi saya pun mulai mengutak-atik Titan Pocket. Tampilan aslinya terasa membingungkan, jadi saya ganti dengan BlackBerry Launcher. Selanjutnya saya mengunduh BlackBerry Hub dan semuanya terlihat seperti BlackBerry lagi. Saat saya memperhatikan layarnya yang kecil dan berbentuk bujursangkar (terakhir kali saya menggunakan layar dengan bentuk ini adalah saat saya memakai BlackBerry Passport di tahun 2015), saya pun mulai mengetik. Beda rasanya, seperti mengetik di atas karet yang kenyal. Namun yang lebih membuat saya terperanjat adalah tata letaknya. Tombol spasi berada di antara huruf V dan M! Posisi yang tidak lazim ini mengacaukan kemampuan saya dalam mengetik tanpa melihat!

Saya rasa Unihertz sengaja melakukan modifikasi ini supaya tidak dituntut oleh BlackBerry, tapi tetap saja terasa janggal hasilnya. Karena BlackBerry muncul duluan, tata letak keyboard fisiknya menjadi standar dalam satu dekade terakhir ini. Yang lebih parah lagi, tombol fungsi kini dijejerkan di baris pertama. Perbedaan ini sangat mengganggu. Selain itu, hasil ketikannya pun tergantung dengan aplikasi yang digunakan. Saya lantas melakukan konfigurasi lebih lanjut untuk mendapatkan hasil yang lebih sesuai harapan, namun sampai sekarang, masih saja ada sedikit masalah dengan tombol backspace di aplikasi Blogger. Tombol ini tidak berfungsi di bagian judul. Hasil konfigurasi yang cukup optimal fungsinya ini pun menyisakan satu baris untuk tanda baca di layar. Masalah seperti ini tidak ada di BlackBerry.

Bila terjadi kesalahan penulisan judul, tombol backspace tidak berfungsi.
Ada satu baris di bawah layar untuk tanda baca.

Saya bisa saja mengeluh dan terus mengeluh tentang kekurangan Titan Pocket, tapi saya akhirnya sadar bahwa jawabannya sangat sederhana: apa yang saya pegang sekarang bukanlah BlackBerry. Di dunia tanpa BlackBerry, ini adalah alternatif terbaik pada saat ini. Daripada menggerutu tentang huruf i yang tidak berubah menjadi huruf besar secara otomatis saat saya mengetik dalam Bahasa Inggris, lebih baik saya menyesuaikan diri dengan apa yang bisa dilakukan oleh Titan Pocket. 

Setelah harapan saya disesuaikan dengan kemampuannya, Titan Pocket ini cukup handal untuk perangkat sekecil ini. Ya, software-nya terasa tidak begitu mulus (saya sempat tidak bisa memperbaharui Chrome) dan saya bahkan tidak mengunduh Netflix karena tidak masuk akal rasanya untuk menonton film di layar dengan dimensi seperti ini. Kendati begitu, ada hal lain yang baik pula, misalnya ukuran hurufnya yang kecil. Saya suka ini karena tulisan jadi terlihat rapi (kebiasaan ini saya dapatkan dari mentor saya dulu). Daya baterai juga fantastis, walaupun mungkin ini alasannya kenapa Titan Pocket lebih berat dari telepon genggam lain yang dirilis di tahun 2021. Selain beberapa hal yang baru saja disebutkan, fitur lain seperti NFC perlu diuji dulu dalam kegiatan sehari-hari.

Nah, karena anda sudah membaca sampai sejauh ini, saya akan beritahukan anda satu rahasia kecil: karangan ini ditulis dengan Titan Pocket! Lumayan, ya? 

Saturday, September 25, 2021

The Talkshow

I had been interested in hosting a talkshow since 2014. We had a high school reunion that year and I thought it could be part of the show. My plan was to invite Eday, Jimmy and Heriyanto, the three men I admired most in terms of career, and we'd talk about how they made it. The idea felt brilliant, but failed to materialise.

Fast forward to 2021, it was the time of corona. Bleak though it was, our WhatsApp group chat had a good laugh with the quiz. When it was about to run its course, Eday and I talked about bringing the good work we did to the next level. When it comes to creativity, the man is always brimming with ideas!

Our first talkshow.

Between the two of us, he was the smart one and I was the impulsive one. That wasn't a bad combination. In fact, that's how we got it done. I was sold after listening to him. If there was a right time well supported by the right technology, it had to be now. Thus the talkshow on Zoom was born. We decided to test water with the most relevant topics of all: COVID-19 and vaccination.

I was quick to do what I did best in our little community: organizing the event. Other than getting the relevant panellists to attract the crowd for our premiere and writing down a couple of questions as a guideline, I didn't really plan much. It was not meant to be perfect, but I knew for sure it'd be warm and friendly because it was an online gathering of old friends. 

On air!

And there we had it live on the night of August 28, our first talkshow ever! It was another old dream realized and it felt good, but I had to say that I wasn't the most natural presenter. It was admittedly awkward and I struggled with the role, haha. Keeping the audience engaged and entertained by talking was a skill I didn't really have!

Still, despite the fact that I was lousy, the show lived on. Eday hosted the next episode that talked about Pontianak food and I returned on the following week for the topic about travels. After that, we switched to online quiz for one week before trying out a new idea called storytelling, again hosted by Eday. Before we knew it, five weeks had passed since we first started the talkshow!

Looking back, COVID-19 surely changes many things in life, but if there's one thing I learn here, it has to be our ability to adapt and bounce back. We either sat there and mourned about the freedom we lost or we did something to learn from each other and have a little laugh. When time was difficult and life could be daunting, I am glad that we chose to do the latter...

The one we had last night!



Obrolan Santai

Saya sudah tertarik untuk mengadakan talkshow sejak tahun 2014. Saat itu saya dan teman-teman SMA menyelenggarakan reuni dan saya pikir bahwa sesi obrolan dan tanya-jawab ini bisa menjadi bagian dari rangkaian acara. Saya bayangkan narasumber adalah Eday, Jimmy dan Heriyanto, tiga orang yang saya kagumi dalam hal karir, dan kita bisa berbicara tentang bagaimana mereka mencapai sukses. Ide ini bagus, tapi tidak terwujud. 

Tujuh tahun kemudian, kita hidup di zaman korona. Meski suram kelihatannya, grup WhatsApp kita tetap bisa tergelak, salah satunya karena kuis yang saya adakan. Ketika acara ini sudah mulai kehilangan momentum, Eday dan saya berdiskusi tentang bagaimana caranya membawa karya dan upaya ini ke level berikutnya. Kalau bicara tentang ide, orang ini memang jagonya! 

Acara Obrolan Perdana!

Di antara kita berdua, dia adalah yang pintar dan saya adalah yang impulsif. Ini bukan kombinasi yang buruk. Justru dari perpaduan dua karakter inilah impian sejak lama bisa terwujud. Saya jadi yakin setelah mendengarkan pemaparannya. Jika ada saat yang tepat dan didukung pula oleh teknologi yang tepat, maka sekaranglah waktunya. Talkshow lewat Zoom pun lahir. Kita sepakat untuk menguji minat pemirsa lewat topik yang paling relevan pada saat ini: COVID-19 dan vaksin.

Saya bergerak cepat mengerjakan apa yang mahir saya kerjakan di komunitas kecil kami: menggelar acara. Selain menghubungi para narasumber yang cocok dan bisa menarik perhatian khalayak ramai, saya tidak membuat rencana yang detil. Dalam benak saya, ini tidak akan menjadi acara yang sempurna, tapi saya tahu ini akan menjadi acara yang penuh kehangatan dan persahabatan karena yang berkumpul secara online adalah teman-teman lama. 

Ketika acara berlangsung.

Dan siaran perdana pun mengudara di malam hari, tanggal 28 Agustus. Saya berhasil mewujudkan apa yang saya impikan sejak lama, tapi harus saya akui bahwa membawakan acara bukanlah sesuatu yang bisa saya lakukan secara alami. Tetap saja ada kesan canggung meski saya telah berusaha keras melakoni peran ini, haha. Berinteraksi dengan penonton dan membuat mereka terbawa suasana hanya dengan modal bercakap-cakap saja bukanlah keahlian yang saya miliki.  

Kendati saya tidak becus, acara ini tetap berlanjut seminggu sekali. Eday menjadi moderator untuk episode berikutnya yang mengupas topik makanan Pontianak. Setelah itu saya kembali lagi dengan tema jalan-jalan. Kemudian saya mengadakan kuis online sebagai selingan. Jumat lalu, Eday mencoba ide baru dimana pembawa acara bercerita dengan sarana presentasi. Tidak terasa lima minggu pun sudah terlampaui! 

Kalau saya lihat kembali, COVID-19 memang mengubah banyak hal dalam kehidupan kita, namun bila ada satu hal yang saya pelajari dari pengalaman ini, maka itu adalah kemampuan manusia dalam beradaptasi. Kita saja duduk diam dan mengeluh tentang kebebasan yang hilang di masa ini atau kita justru melakukan sesuatu untuk belajar dari satu sama lain dan tertawa bersama-sama. Di kala hidup terasa sulit, saya senang bahwa kita memilih untuk melakukan alternatif kedua, belajar dan tertawa...

Acara obrolan semalam. 


Wednesday, September 15, 2021

Book Review: Forrest Gump

Certain characters can be so iconic that you'll immediately think of the actors that played them. This is one of the cases. The moment I started reading this book, I immediately thought of Tom Hanks. In my mind, the way he talked in the movie became the voice that narrated the novel I read.

The story began with a feeling that probably I should watch Forrest Gump again. After spending 2 hours 23 minutes on Netflix, I did some reading about the movie I just watched and was reminded that it was based a novel with the same name. It was written by Winston Groom and originally published in 1986. 

I learnt that the novel was quite different than the movie, so I got curious and browsed the library collection. Got my copy and, the moment I started reading, I just had to smile. Told in a first-person narrative, the wording was full of spelling and grammatical errors. The way it was written hinted that the person who told the story was retarded. If you had watched the movie before, you'd immediately think of Tom Hanks as Forrest Gump.

Some familiar characters such as Jenny Curran and Bubba were featured in the story. Their portrayals in the book and movie were quite similar. Lieutenant Dan, on the other hand, was slightly different than his movie counterpart. Forrest himself was very much aware that he was an idiot, but yet he could do the impossible such as solving mathematical problems, playing harmonica or defeating many chess grandmasters.

One of the highlights in the movie, moments he met people like Elvis and John Lennon, was not in the book. Both the book and the movie did tell about Forrest in Vietnam and his meetings with US presidents, but the time he joined NASA space program, the few years he was stranded in Papua New Guinea or his adventure as a wrestler could only be found in the novel. 

I'm not sure if i'd like the book if I never watched the movie, but I had to say that I chuckled a lot in the train when I read it on my way to and from office. Because he was an idiot, the way he viewed things were quite funny and innocent at the same time. Overall, a good reading and a great reminder that even a fool had a chance to succeed in this world, as long as he did it wholeheartedly!

Forrest Gump: the movie and the book.



Ulasan Buku: Forrest Gump 

Karakter-karakter tertentu bisa sangat identik dengan pemerannya sehingga anda langsung teringat dengan aktornya. Contohnya Forrest Gump. Begitu saya mulai membaca, Tom Hanks pun muncul di benak saya. Novel yang saya baca mengingatkan saya dengan gaya bicaranya. 

Cerita kali ini dimulai dengan suatu perasaan yang mengingatkan saya kembali untuk menonton Forrest Gump. Setelah menghabiskan 2 jam 23 menit di Netflix, saya iseng membaca tentang film yang baru saja saya tonton. Saya pun teringat kembali bahwa film ini diangkat dari novel. Ditulis oleh Winston Groom, cerita fiksi ini diterbitkan di tahun 1986. 

Berdasarkan apa yang saya baca, novel ini konon agak berbeda dengan filmnya. Saya pun jadi ingin tahu dan mulai mencari bukunya di perpustakaan. Saya dapatkan bukunya dan jadi tersenyum sendiri saat mulai membaca. Kisah yang diceritakan dalam sudut pandang orang pertama ini banyak kesalahan penulisan yang disengaja. Gaya penulisannya pun memberikan kesan bahwa yang sedang bercerita ini adalah orang idiot. Bila anda sudah pernah menonton filmnya, pasti langsung teringat dengan Tom Hanks yang berakting sebagai Forrest Gump. 

Beberapa karakter di film seperti Jenny Curran dan Bubba juga muncul di novel dan hampir sama pula kisahnya. Yang agak berbeda itu Lieutenant Dan. Forrest di novel sangat menyadari bahwa dia adalah orang bodoh, tapi seringkali tanpa sadar bisa mengerjakan hal yang mustahil, misalnya matematika, bermain harmonika dan mengalahkan para pecatur tangguh. 

Salah satu bagian yang menarik di film, saat Forrest bertemu dengan Elvis dan John Lennon, tidak ada di buku. Kisahnya di Vietnam dan pertemuannya dengan presiden Amerika ada di buku dan film, tapi pengalamannya sebagai astronot dan pegulat serta petualangannya di Papua Nugini hanya ada di novel. 

Saya tidak tahu apakah saya akan menyukai buku ini kalau saya tidak pernah menonton filmnya, tapi saya akui bahwa saya berulang kali tertawa sendiri di kereta dalam perjalanan ke dan pulang kantor. Secara keseluruhan, buku ini menarik untuk dibaca dan juga mengingatkan kita kembali bahwa orang bodoh pun bisa sukses di dunia ini kalau dia berupaya sepenuh hati!