Total Pageviews

Translate

Wednesday, October 17, 2018

Gotham

John Lennon once wrote, "woman, I know you understand, the little child inside the man." That was his way of saying that men don't really grow up. While I can't speak for all men, I always feel represented by the lyrics. Now, our story today began few nights ago, when I couldn't hide my excitement after I finished watching an episode of the Gotham series. When she asked why, I tried to explain, but I could tell that she looked rather lost. Perhaps she simply failed to understand what was so exciting about some bad guys running loose. Couldn't blame her, though, haha. Still, the scenes meant a lot to me. I just have this urge to write and share about how great the show was, so here we go.

Let's begin from the top: DC superheroes. I'm a big fan and I always think that Hal and Arthur, better known as Green Lantern and Aquaman, are the coolest. Batman, on the other hand... not so much. I mean, he was practically a normal human being, albeit a super rich one. Nevertheless, the character was so popular that the stories were easily found, even in Pontianak.  Thanks to the extensive collection owned by my cousin, I'd been reading about the Dark Knight since I was a kid in the 80s. I also collected those that were published by Misurind back in the 90s. I remember stories about the Joker and the Penguin (always with his umbrella in one hand) running around, scheming against Batman and Robin. Long before the story grew darker and the bad guys became deadly (Killing Joke and a Death in the Family, for example), the Joker and his comrades were rather mild and funny.

The point is, throughout the years, DC had managed to build a vast and very much established Dark Knight lore. We got all sorts of supporting characters such as Alfred, Gordon, Bullock, Dr. Thompkins, the Outsiders, Batgirl, Batwoman, and many more. Talk about Robin, we got not only one, but multiple Robins (though I still prefer Dick Grayson, the original Boy Wonder). On top of that, there was this impressive rogues gallery. This is where things got interesting. The supervillains (and I believe they need no introduction anymore) were actually so badass and charming that readers ended up rooting for them, too.

While I never really like Batman, a good Batman story is always captivating. The Long Halloween was one of them and it had a very engaging storyline: before the rise of the so-called freaks, there were the crime families led by Falcone and Maroni (it was during this period that Harvey Dent was disfigured, causing him to transform into Two-Face). Then there was Batman: Hush, easily my all-time favorite. It was again written by Jeph Loeb, the same person that wrote the aforementioned story. In this series, Batman had to fight his way through Killer Croc, Poison Ivy, the Joker, the Riddler, Scarecrow, Ra's Al Ghul and plenty of others, including Superman! Drawn by the great Jim Lee, Batman: Hush was a gorgeous piece of art!

Those were just two of many good comics starring Batman, but great though they were, none had taken the time to passionately tell the rise of Dark Knight through the medium of comics. Gotham filled that glaring gap and made it so interesting. The series began with the death of Bruce's parents and while I'm pretty sure I know how it's going to end, the untold stories that brought me there are very enjoyable.

In a world before Batman, there was Jim Gordon. Before the future Arkham inmates, there was Don Falcone. But as the story progressed, we could see that the supervillains were rising and Gordon was struggling to bring them down. Oswald Cobblepot, limping like a penguin since the start of the show, was heavily featured and he wasn't the type to be sidelined. Edward Nygma was there, too, and it didn't take long for the likes of them to burst onto the scene. Then there was these lunatic twins, the Joker lookalike. By the end of season four, all hell broke loose. All the supervillains were out of Arkham Asylum, Gotham became no man's land and Gordon lighted up the giant spotlight on the roof, a precursor to Bat-Signal. I was so hyped up when I saw all these. There's only one way this will end: Bruce will become Batman!

While the show was basically an uncharted territory, it also incorporated the familiar ground that comics readers would recognise and they blended in nicely. I like how it started with the end of Falcone only to introduce a much more powerful Sacred Order of Saint Dumas. The Court of Owls appeared after that, then followed by Ra's Al Ghul. While the sequences above weren't exactly how they happened in comics, they fitted in quite well. Then of course there was this scene where Jeremiah shot Selina, a homage to the famous scene from the Killing Joke.

Not all were done properly, though. I personally think that Harvey Dent was underutilised. After some time, he simply disappeared from the story. Same thing happened to Montoya. We never get to see Two-Face and the Question. Lee Thompkins was drastically changed, too. She was de-aged, becoming the love interest of Jim Gordon and she's now dead (but soon to be resurrected by Hugo Strange).

Despite the shortcomings, it's been a great show, though. The last season was superb! Now that the old guard had died and the bad guys were on their way to become the supervillains that we know and love, I was ecstatic to see their interaction, especially when Penguin decided to betray the pseudo-Joker and his allies (even though Penguin was himself a cold-blooded murderer, he wasn't comfortable with how crazy Jerome was). Overall, it's been fun and we're in for one last ride next year (I heard Bane is joining the crowd)! The Dark Knight rises!

Bruce Wayne and James Gordon.
Photo: fox.com

Gotham

John Lennon pernah menulis, "wanita, saya tahu kamu bisa memahami, anak kecil di dalam diri pria." Itu adalah caranya untuk menggambarkan bahwa seorang pria tidak pernah benar-benar tumbuh dewasa. Saya tidak bisa berbicara mewakili semua lelaki, namun saya selalu merasa bahwa lirik ini relevan untuk saya. Contohnya apa yang terjadi beberapa malam yang lalu, ketika istri saya melihat suka-cita yang terpancar di wajah saya. Saat dia bertanya ada apa, saya pun mencoba untuk menjelaskan, namun saya bisa melihat bahwa dia tampak bingung. Barangkali dia gagal paham, apanya yang seru dengan segerombolan penjahat berkeliaran. Saya hanya bisa memakluminya, haha. Kendati begitu, adegan tersebut besar artinya buat saya sehingga saya pun terdorong untuk bercerita. 

Untuk memahami semua ini, mari kita mulai dari awal: para pahlawan super dari DC. Saya adalah seorang penggemar dan saya senantiasa berpikir bahwa Hal dan Arthur, yang mungkin lebih anda kenal sebagai Green Lantern dan Aquaman, adalah pahlawan super yang paling menarik. Tidak demikian halnya dengan Batman. Dia cuma manusia biasa yang kaya-raya. Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa Ksatria Malam ini begitu populer, bahkan di Pontianak pun gampang didapatkan ceritanya. Saya sudah membaca tentang Batman sejak tahun 80an. Kebetulan sepupu saya memiliki koleksi yang cukup ekstensif. Memasuki dekade 90an, saya juga mulai mengoleksi komik Batman yang diterbitkan oleh Misurind. Saya ingat dengan cerita jaman dulu, dimana Joker dan Penguin (yang selalu membawa payung) berseteru dengan Batman dan Robin. Ini adalah zaman ketika musuh Batman masih lucu, jauh sebelum alur cerita komik menjadi kelam dan para penjahat ini bertambah brutal (serial komik a Death in the Family misalnya, dimana Joker membunuh Robin). 

Intinya adalah, setelah beberapa dekade lamanya, legenda Batman pun lahir. Pemeran pendukungnya berlimpah, mulai dari Alfred, Gordon, Bullock, dokter Thompkins, Outsiders, Batgirl, Batwoman dan masih banyak lagi. Kalau kita bicara tentang Robin, sebenarnya Robin bukan cuma satu orang. Sejauh saya bisa mengingat, ada empat Robin, tapi yang menjadi favorit saya tetap Dick Grayson, Robin yang pertama. Tidak hanya itu, Batman juga memiliki aneka musuh yang aneh penampilan dan latar belakangnya. Mereka ini begitu unik sehingga menjadi daya tarik sendiri. Ingat film The Dark Knight? Saya justru lebih suka melihat Joker dibandingkan Batman di film tersebut. Akting almarhum Heath Ledger sangat luar biasa! 

Walau saya tidak begitu menggemari Batman, saya suka membaca cerita Batman yang bagus. The Long Halloween adalah salah satu judul yang pantas untuk disebutkan di sini. Serial ini mengisahkan tahun-tahun pertama Batman, sebelum para penjahat yang kita kenal menguasai Gotham. Saat itu Gotham berada di bawah cengkeraman para mafia yang dipimpin oleh Falcone di satu kubu dan Maroni di kubu lain (Harvey Dent disiram air keras dan cacat wajah membuatnya gila sehingga menjelma menjadi Two-Face). Lantas ada lagi serial yang berjudul Batman: Hush. Cerita favorit saya ini juga ditulis oleh Jeph Loeb, penulis yang mengarang judul sebelumnya. Dalam cerita kali ini, Batman harus bertarung melawan Killer Croc, Joker, Riddler, Scarecrow, Ra's Al Ghul dan bahkan Superman yang berada dalam pengaruh Poison Ivy! Komik yang digambar oleh Jim Lee yang terkenal handal ini adalah sebuah karya seni yang indah!  

Apa yang disinggung secara sekilas di atas hanyalah dua dari banyak cerita menarik dengan Batman sebagai tokoh utamanya. Kendati begitu, sejauh yang saya tahu, belum ada cerita komik yang mengulas asal mula Batman secara detil. Di sinilah letak keunggulan dan daya tarik Gotham yang khusus membahas tentang periode ini. 

Ceritanya bermula dari terbunuhnya orang tua Bruce. Di dunia sebelum Batman, ada Jim Gordon. Sebelum para penghuni Arkham bermunculan, ada Don Falcone. Seiring dengan bergulirnya cerita, kita bisa melihat munculnya para musuh bebuyutan Batman yang kian lama kian menyulitkan Gordon. Oswald Cobblepot yang berjalan tertatih-tatih sejak permulaan film seri bisa dikatakan sebagai salah satu tokoh utamanya. Edward Nygma yang juga sering tampil perlahan-lahan menunjukkan kecintaannya terhadap teka-teki. Karakter mereka semakin lama semakin terbentuk dan akhirnya mereka semua menjadi para penjahat yang kita kenal di komik. Di penghujung seri ke-4, Gotham akhirnya rusuh. Para penjahat yang disekap di Arkham akhirnya meloloskan diri. Di saat Gotham porak-poranda dan menjadi negeri tak bertuan, Gordon akhirnya menyalakan lampu sorot di atas gedung, cikal-bakal Bat-Signal. Saya sungguh terbawa oleh suasana ini. Semua ini akan berakhir dengan berubahnya Bruce menjadi Batman!

Meski kisah yang diangkat di film seri ini boleh dikatakan topik baru yang belum pernah dibahas di komik, para penulis naskah juga memasukkan banyak hal yang bisa segera dikenali para pembaca komik. Saya suka dengan ceritanya yang dibuka dengan berakhirnya era Falcone. Seri ke-2 berfokus pada Sacred Order of Saint Dumas dan menampilkan Azrael. Court of Owls muncul di seri-3, kemudian dilanjutkan dengan munculnya Ra's Al Ghul. Kemudian ada pula adegan dimana Jeremiah menembak Selina. Ini adalah adegan terkenal yang diadaptasi dari komik the Killing Joke.

Namun tidak semuanya berhasil diceritakan dengan baik. Saya senantiasa merasa bahwa penokohan Harvey Dent cenderung terabaikan. Setelah dua seri, dia tidak muncul lagi sampai sekarang. Sama halnya juga dengan Montoya. Alhasil kita tidak pernah melihat Two-Face dan Question. Lee Thompkins juga berubah drastis. Dia ditampilkan lebih muda dan sempat menjadi pacar Jim Gordon dan sekarang dia tewas (walaupun tampaknya dia akan dihidupkan lagi oleh Hugo Strange). 

Walau film seri ini memiliki kekurangan-kekurangan di atas, secara keseluruhan ceritanya sudah tergolong bagus, terutama seri ke-4! Setelah era mafia berakhir, tokoh-tokoh seperti Penguin, Riddler, Scarecrow, Mad Hatter kini berkeliaran di Gotham. Saya suka melihat interaksi mereka, terutama saat Penguin memutuskan untuk mengkhianati persekutuannya dengan Jerome yang mirip dengan Joker (meski Penguin sendiri tidak pernah ragu dalam membunuh, dia tetap merasa ngeri dengan gilanya Jerome). Tahun depan adalah seri terakhir (dan saya dengar Bane juga akan muncul). Mari kita nantikan kemunculan perdana Batman! 

Saturday, October 13, 2018

Book Review: Ahok's Policy

The thing with reading books about Ahok is the mixed emotions that comes with it: you'll be impressed by how capable he is and at the same time, you'll feel sad that he's no longer governing Jakarta. It's a loss that's very hard to swallow, especially when you ever had a big hope that Jakarta would progress really well. This book, written by the man himself, is no exception.

Through this book, Ahok showed us what his job as the Governor of Jakarta was like. The tasks were very complex, covering things that we often heard such as budgeting, traffic jam, flood, housing, transportation and the lesser known things like how he changed the working culture within BUMDs (the enterprises regionally-owned by the government of Jakarta) and optimised their performances for the greater good of Jakarta citizens. Always one who believes in social justice rather than social assistance, Ahok also made it his crusade to ensure that the poor and the needy had the access to health and education. Simply said, the book told us about everything he did in a clean, transparent and professional manner.

Every chapter that he wrote ended with opinions from other people, be it those who worked with him before or those that ever felt like having a governor that was close to his people. Some were funny, others were touching and all revealed a great leader that was often portrayed as an arrogant and temperamental man by media. I recognised some names, such as Marina the director of PD Dharma Jaya, whom was humiliated by Sandiaga Uno before she resigned from her post. Her story gave us a glimpse of how easy-going and trusting Ahok could be: during her job interview, she was insecure because her highest education level was high school, but much to her surprise, Ahok simply said, "you are not an idiot, right? If you are not, then you should be fine."

And Ahok is sorely missed by us partly thanks to his casual remarks and simple gestures. They were unseen, funny and inspiring. Such characters, plus the fact that he was hard working and visionary, are what make this book a great reading. While it came with data, it was written with us laymen in mind, so it is quite easy for us to understand. Definitely recommended for fellow readers who'd like to know how the government worked, especially during Ahok's era!

The reader and the book. 



Review Buku: Kebijakan Ahok

Saya tidak tahu bagaimana pengalaman anda saat membaca buku-buku tentang Ahok, tapi bagi saya pribadi, perasaan yang bercampur aduk ini sering muncul: di satu sisi, saya merasa kagum dengan kecakapannya sebagai pemimpin, tapi di lain sisi, saya merasa sedih karena dia tak lagi memimpin Jakarta. Sudah setahun lebih era Ahok berlalu, tapi rasa kehilangan itu masih terasa pahit, terlebih lagi karena saya pernah turut berbangga dengan kemajuan Jakarta. Buku ini, yang ditulis sendiri oleh Ahok, juga menimbulkan perasaan yang saya deskripsikan di atas. 

Lewat buku ini, Ahok memberikan kita gambaran tentang pekerjaannya sebagai Gubernur Jakarta. Tugasnya sangatlah kompleks. Apa yang ia kerjakan mencakup hal-hal yang dulunya sering diberitakan, misalnya masalah anggaran, kemacetan, banjir, tempat tinggal, transportasi dan juga aspek-aspek lainnya yang jarang diketahui publik, contohnya upaya Ahok dalam mengubah budaya kerja BUMD menjadi perusahaaan-perusahaan yang dikelola dengan baik dan saling bekerja sama untuk kepentingan warga Jakarta. Sebagai orang yang lebih mementingkan keadilan sosial daripada bantuan sosial, Ahok memastikan bahwa akses kesehatan dan pendidikan tersedia terutama bagi warga yang hidup di bawah garis kemiskinan. Singkat kata, buku ini mengulas tentang semua yang Ahok kerjakan secara bersih, transparan dan profesional. 

Setiap bagian dari topik yang ditulisnya diakhiri dengan opini mereka yang pernah bekerja dengannya atau mereka yang merasa pernah memiliki gubernur yang dekat dengan rakyatnya. Beberapa opini tersebut lucu dan ada pula yang menyentuh, namun bisa dikatakan bahwa semuanya berkisah tentang seorang pemimpin yang luar biasa, berbeda dengan sosok angkuh dan pemarah yang sering kali ditonjolkan di media massa. Beberapa nama dari kontributor ini pernah saya dengar sebelumnya, misalnya Marina, mantan Direktur Utama PD Dharma Jaya yang pernah dipermalukan Sandiaga dan akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya. Cerita Marina memberi kita kesan sekilas tentang bagaimana karakter Ahok yang lucu namun menghargai prestasi orang lain. Saat Ahok menawarkan jabatan tersebut kepadanya, Marina merasa ragu karena dia hanyalah tamatan SMA. Saat ia mengungkapkan hal tersebut, Ahok hanya menjawab, "kamu tidak idiot, kan? Kalau tidak idiot, ya tidak apa-apa." 

Dan ucapan serta tindakan Ahok yang di luar dugaan itulah yang membuat banyak orang merasa kehilangan. Aksi seorang Ahok tidak pernah terlihat sebelumnya, sungguh lucu dan menginspirasi. Karakternya ini, ditambah lagi dengan fakta bahwa dia adalah seorang yang pekerja keras dan memiliki pandangan jauh ke depan, membuat buku ini menarik untuk dibaca. Isi buku ini juga didukung dengan data yang tersedia, namun ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami oleh orang awam. Sangat direkomendasikan bagi para pembaca yang ingin tahu bagaimana kerja Pemprov DKI itu sebenarnya, terutama di era Jokowi-Ahok!

Monday, October 8, 2018

The Perspective

Two months ago, right before my birthday, I received the news about the death of a friend. I heard such news now and then these days, but just like what happened on Valentine's day 2017, this one hit me hard. The person that passed away was not only my schoolmate, he also sat right next to me when we were in Primary 2. He was this tall guy with a water bottle hanging on his neck (and, if I remember correctly, he also had a dark blue President briefcase, a popular school bag then). He stayed not never far from my great grandmother's house. I remember laughing, so we must have had good times. We lost touch for the longest time since then. When I looked at his pictures that were forwarded to me after his death, it was safe to conclude that he was in his prime: he had a lovely family, a very successful job and traveled a lot. But for a person who looked so fine, he just died, allegedly due to pneumonia.

That's when it hit me. People my age die. We're not even 40 years old yet. His death was a reminder of my own mortality. I couldn't help thinking about the childhood days and the upbringing I went through. It wasn't bad, but one full of advices such as study well, get a good job, save the money for the rainy day, travel the world when you are old and grey.

Now, Mum and Dad came from a big family. In Dad's case, he was raised by a stern father who didn't talk much but worked extremely hard to provide for his family. Both of them had seen the difficult times of being Chinese, especially after the last day of September 1965. They were shaped by the hardship in the world where internet didn't exist, the same world where taking aeroplane was a luxury not many could afford then. I guess that's where all the advices came from.

Those were good advices and I used to believe them wholeheartedly, but the death of my friend made me rethink the last one. When I looked at my Mum and her sisters, only one of them is physically and financially healthy enough in her 60s to travel the world. The rest, they either have money but not fit enough or the other way around. Worst case scenario is, one doesn't even have both. To think that they are last ones from what I called the strong men generation. People these days, my generation, we are so fragile we can just die, apparently. Reaching a ripe old age has become something that can't be taken for granted. 

To be frank, death is not even the scariest part. Yes, it's sad that we have to part ways with everyone we love one day, but the worst part in life is when you work so hard for the future you fail to concentrate on the present. If you don't live your life today, what if tomorrow never comes? It's a question that everyone should ponder from time to time.

My answer is no, I'm not going to wait. I believe in Bon Jovi when he sang the lyrics, "it's my life, it's now or never. I ain't gonna live forever." As long as I can provide for my family, I'm entitled to pursue what I love, too. And I love traveling. I'm not going to wait until I'm old and grey to do that. The bottom line is, do what you want while you can. It doesn't even have to be about traveling. No, most importantly, it's about passion.

Coming from Pontianak, I know people often say pang tia lai. It can roughly be translated as, "relax, we can do it later." It's no secret that I dislike hearing this stupid phrase. After reading this, I hope you can see the reason why. Life, my friends, simply doesn't wait. It moves on. Always. 

Travel to the end of the line.
Photo by Endrico Richard. 



Kisah Sebuah Perspektif

Dua bulan yang lalu, sebelum hari ulang tahun saya, terdengar kabar bahwa seorang teman telah meninggal. Berita seperti ini mulai sering terdengar, namun sama halnya dengan apa yang terjadi di hari Valentine tahun lalu, berita kali ini berdampak besar buat saya. Orang yang meninggal ini bukan hanya teman sekolah saya, tetapi juga teman sekelas yang duduk tepat di sebelah saya pada saat kita duduk di kelas dua SD. Saya ingat bahwa untuk ukuran bocah, dia tergolong tinggi dan dia selalu masuk ke kelas dengan botol minum yang tergantung di lehernya (dan kalau saya tidak keliru, tas sekolahnya adalah koper biru President berwarna biru tua, sebuah merek yang terkenal pada saat itu). Tempat tinggalnya tidak jauh dari rumah nenek buyut saya. Kita banyak bercanda dan tertawa sewaktu duduk sebangku. Setelah lulus SD, saya kehilangan kontak dengannya, namun dari foto-foto yang saya terima dari teman-teman lain setelah dia meninggal, saya bisa melihat bahwa dia telah berkeluarga dan karirnya sangat bagus sehingga memungkinkan dia untuk berlibur ke mana-mana. Namun siapa sangka orang yang terlihat prima kondisinya ini malah meninggal begitu saja, disinyalir karena pneumonia

Hal inilah yang membuat saya tersentak. Orang-orang seumuran saya meninggal, padahal kita belum lagi mencapai 40 tahun. Apa yang terjadi dengan teman saya ini membuat saya berpikir lagi bahwa saya pun tidak akan hidup abadi. Saya lantas teringat tentang masa kecil saya, masa kecil yang penuh dengan nasihat seperti belajar yang rajin, cari kerja yang baik, menabung untuk hari esok, berlibur setelah pensiun di usia senja. 

Untuk memahami hal ini, saya mundur lagi ke belakang dan melihat kembali keluarga Papa dan Mama. Mereka berasal dari keluarga besar dan khususnya Papa, dia dibesarkan oleh seorang ayah yang tidak banyak berbicara dan bekerja keras setiap hari untuk membiayai keluarganya. Orang tua saya tumbuh di hari-hari dimana mereka melihat susahnya menjadi seorang Tionghoa, terutama setelah hari terakhir September 1965. Mereka dibentuk oleh kerasnya hidup di dunia yang belum ada internet, dunia yang sama dimana menaiki pesawat adalah suatu kemewahan yang tidak bisa dicapai banyak orang. Saya rasa dari pengalaman mereka inilah nasihat-nasihat ini lahir. 

Saya dulu selalu mempercayai wejangan ini dengan sepenuh hati, tapi meninggalnya teman saya ini membuat saya berpikir ulang. Ketika saya melihat Mama dan adik-adiknya, hanya satu yang cukup sehat secara fisik dan finansial untuk berlibur di usia 60an. Yang lainnya, ada yang cukup berada tapi tidak sehat dan ada pula yang sebaliknya. Skenario terburuk adalah mereka yang tidak sehat dan juga tidak memiliki cukup uang, padahal mereka adalah angkatan terakhir dari generasi yang saya sebut sebagai generasi orang yang kuat fisiknya. Orang-orang setelah generasi tersebut, mereka yang seangkatan dengan saya, ternyata kita begitu rapuh dan bisa meninggal kapan saja.  

Saya katakan dengan jujur bahwa kematian sebetulnya bukanlah hal yang paling mengerikan. Ya, tentu sedih rasanya karena kita harus berpisah dengan mereka yang kita cintai, namun hal terburuk yang bisa terjadi dalam hidup ini adalah ketika anda bekerja terlalu keras untuk hari esok dan gagal menikmati hari ini. Jika anda selalu menunda untuk menikmatinya, bagaimana jika hari esok tidak lagi tiba bagi anda? Ini adalah pertanyaan yang perlu ditinjau dari waktu ke waktu. 

Jawaban saya pribadi adalah, tidak, saya tidak akan menunggu. Saya percaya Bon Jovi ketika dia menyanyikan lirik, "ini adalah hidup saya, sekarang atau tidak sama sekali. Saya tidak akan hidup selamanya." Jadi selama saya bisa menafkahi keluarga saya, maka saya berhak melakukan hobi yang saya sukai. Dan saya suka jalan-jalan, oleh karena itu saya tidak akan menunggu sampai saya menjelang usia senja untuk melakukannya. Intinya adalah anda harus melakukan apa yang anda mau selagi anda bisa. Ini tidak hanya berarti liburan dan jalan-jalan. Yang penting adalah bagaimana anda mengejar apa yang menjadi impian anda. 

Sebagai penutup, sebagai orang yang berasal dari Pontianak, saya tahu orang-orang sering berkata pang tia lai. Frase ini kira-kira bisa diterjemahkan seperti ini, "santai saja, nanti juga bisa dikerjakan." Bukan rahasia lagi bahwa saya tidak menyukai frase bodoh ini. Saya harap tulisan kali ini memaparkan alasan kenapa saya sangat anti dengan ucapan tersebut. Hidup tidak menunggu. Hidup selalu beranjak maju ke depan, meninggalkan mereka yang tidak mau turut serta. Karena itu jangan sia-siakan waktu anda...

Saturday, October 6, 2018

Ticket To Ride

I remember the first time I ever travelled on my own. In mid 1996, My friend Agus Yanto and I boarded KM Sirimau, the seven-storey and biggest ship I ever saw at that time. It was actually a horrible trip, but for some strange reasons, I always cherish the memories. Yes, the meals were awful and served on metal trays as if we were in prison. Yes, there were many people sleeping on the floor and competing with us for the limited clean water that often stopped flowing while we were brushing teeth or showering. And yes, there were always small cockroaches creeping nearby, adding this constant fear that we'd be infiltrated as we tried to sleep on the already uncomfortable hard sleeper cabin (and true enough, Agus got this little bug invading his ear during one of the trips he had after this one).

But I smile every time I reminisce. I fondly recall the moment when I came rushing down to the pier in Lampung so I could claim that I'd been to that province in Sumatera. I remember the joy of feeling the nonstop sea wind breeze that got rougher during the rain. Thanks to that experience, I could also relate with how grand Titanic was when the movie was showing. I was feeling nostalgic when I watched the film (but of course the voyages I had didn't end up with the ship sinking into the ocean).

Inside the ferry from Singapore to Batam.
Photo by Franky Ng.

While I never tried any cruises before, the point I'd like to make is, I love traveling by a big, steady ship. It had been fun so far. Same can't be said for boats, though. Even a short ride such as Singapore-Batam route could be bumpy. I remember when the ferry rode the waves and came crushing down. I extremely disliked that feeling!

My preferred mode of traveling from one city to another destination is road trip, be it by car, by coach or by train. Yes, it is slower, but it feels safer and we get more things to see. This is particularly true when we were visiting Europe. The scenery was more beautiful and colourful down there.

When we detoured to Taman Safari Prigen during our way back from Malang to Surabaya.
Photo by Endrico Richard.

Road trip by car, especially when it's a private car and you are sharing the ride with family or friends, is enjoyable. However, the lack of space can be a problem if it's a very long ride. You'll feel confined and restricted. The longest trip I ever did was from Jakarta to Bali that took us two days and one night. I was lucky that I had the back seats all by myself so I could lie down and doze off as I wished, haha. The fact that we had a stop every time we had been on the road for three or four hours also made it bearable. 

A two-three hour car ride is just nice. I'll prefer taking a coach for any journey longer than that.  A coach is spacious and the vehicle has more rooms for us to stretch our legs. It also helps when the coach is not speeding like mad. Best ride so far? From London to Stonehenge and Bath. It was very scenic. The trip from Singapore to Malacca was fine as well, mainly because the coach was nice and comfortable. The most unforgettable ride? That must be the Vietnam-Cambodia trip! Even the big bus had to be ferried to the other side of the river! Interesting!

Dragging the luggage into the train as we headed back from Hakone to Tokyo.
Photo by Evelyn Nuryani.

Then of course we have to talk about the train rides. This is definitely my favorite. I had tried the five-minute ride from Singapore to Johor Bahru with Wawa, the old train from Nanning to Guilin where the street vendors would get up and sell the little red book of Chairman Mao, the overnight ride of Thanaleng-Bangkok rail route (for your information, Thanaleng is a station not very far from Vientiane, Laos), the bullet trains in China, the punctual shinkansen in Japan, the Eurostar train from London to Paris and Virgins train from Liverpool to London. Whatever the train is, I just love the experience. It's a very relaxing way of traveling, except when you had big luggage to carry, haha.

So if train ride is the most ideal way of traveling for me, what is the least preferred transportation, then? Well, I have this fear of flying and it scares the shit out of me when it gets bumpy, so naturally aeroplane is the worst. My first encounter with the horrifying turbulence was when I took Sriwijaya Air from Jakarta back to Pontianak. It was so shaky that I kept staring at the ceiling, wondering if it would break apart. The last night flight from Tokyo to Hong Kong was also equally frightening. It was Dragonair, a much smaller plane if compared with the two-level Cathay Pacific that flew me from Hong Kong to Tokyo at the beginning of the trip. The plane felt like shaking violently. When the stewardess offered me the in-flight meal, I could only stare at her in disbelief. The thought of that very meal would be my last supper made me lose my appetite. In the end, I just shook my head and said no.

With Swee Hin, as we landed in Kota Kinabalu.

Talk about night flight, I tend to think that it's a better choice for long-haul flights because you'll fall a sleep for at least a few hours. My benchmark these days is the seven-hour flight from Singapore to Tokyo. It was doable, so when I flew from Singapore to London, I was more than happy to transit in Dubai. By doing so, the 14-hour trip was split into two and it wouldn't be too taxing. It's worth noting that big aircraft does make a difference. It is steadier. I'd say the Emirates flights did give me a peace of mind, but I still stayed awake for most of the flight duration and ended up watching almost the whole first season of the Flash, haha.

So there you go, the ups and downs of traveling by the sea, by land and by air. Like I mentioned earlier, train is the best. I have a dream that I'll be taking the Trans-Mongolian Railway from Ulaanbaatar to Beijing. Let's see which one will happen at the age of 40: that or the Armenia-Georgia train adventure!

Evelyn Nuryani and I, when we took Eurostar from London to Paris.



Metode Perjalanan

Saya ingat ketika saya pertama kalinya berlibur tanpa didampingi oleh orang tua. Di pertengahan tahun 1996, teman SMA saya Agus Yanto dan saya menumpang KM Sirimau, kapal tujuh lantai dan juga kapal terbesar yang pernah saya lihat langsung pada saat itu. Perjalanan tersebut sebetulnya sangat tidak menyenangkan, namun saya selalu merasa bahwa pengalaman tersebut layak untuk dikenang. Ya, makanannya luar biasa parah dan disajikan di atas baki logam, seakan-akan kita adalah narapidana. Ya, banyak orang yang tidur di lantai dan berebut menggunakan persediaan air bersih yang kadang berhenti mengalir begitu saja di saat kita sedang sikat gigi atau mandi. Dan, ya, kecoak-kecoak kecil senantiasa terlihat, menambah perasaan cemas di kala kita mencoba untuk tidur di atas dipan yang keras di kabin (dan di salah satu perjalanan serupa yang dilakukan Agus Yanto setelah pelayaran perdana ini, serangga kecil ini masuk ke telinganya). 

Akan tetapi saya selalu tersenyum ketika saya bercerita tentang pengalaman ini. Saya ingat betapa saya bersuka-cita saat berlari turun untuk menginjakkan kaki di pelabuhan Lampung hanya karena saya iseng ingin bercerita dengan jujur pada suatu hari nanti bahwa saya sudah pernah ke Lampung. Saya juga suka dengan hembusan angin laut yang bertambah kencang ketika hujan datang. Berkat pengalaman melaut ini, saya juga bisa membayangkan bagaimana serunya kapal Titanic. Sedikit banyak saya jadi bernostalgia saat melihat filmnya (tapi saya bersyukur bahwa kapal yang saya tumpangi tidak tenggelam).

Soedjoko, beberapa saat setelah feri yang kita tumpangi meninggalkan Batam.

Walau saya belum pernah mencoba kapal pesiar seperti Royal Caribbean, saya rasa saya cukup menikmati perjalanan lewat laut, terutama saat menaiki kapal yang besar dan kokoh dalam mengarungi lautan. Kalau naik kapal kecil, feri dari Singapura ke Batam misalnya, bahkan perjalanan singkat pun terasa tidak nyaman saat laut bergelora. Saya paling tidak suka perasaan saat feri terangkat dan dihempaskan oleh ombak.

Kalau saya diminta untuk memilih, sarana transportasi yang saya sukai adalah perjalanan darat, baik dengan menggunakan mobil, bis atau kereta api. Cara ini memang lebih lambat, tapi juga lebih aman dan banyak yang bisa dilihat, terutama saat kita menjelajahi benua Eropa. Pemandangannya lebih indah dan berwarna-warni di sana.

Markus dan Hady, saat kita menaiki bis dan bertolak dari Phnom Penh ke Siem Reap.
Foto oleh Endrico Richard.

Perjalanan darat menggunakan mobil, terlebih lagi mobil pribadi yang ditumpangi bersama teman atau keluarga, pastilah terasa lebih menyenangkan. Kendati begitu, terbatasnya ruang gerak bisa menjadi masalah bila perjalanannya memakan waktu berjam-jam. Perjalanan darat terpanjang yang pernah saya tempuh adalah Jakarta-Bali yang membutuhkan waktu dua hari satu malam. Selama perjalanan tersebut, untunglah saya duduk sendiri di belakang sehingga saya bisa berbaring dan tidur kapan pun saya mau, haha. Perjalanan tersebut juga terasa lebih manusiawi karena kita berhenti dari kota ke kota setelah kita berada di mobil selama tiga sampai empat jam lamanya. 

Saya rasa perjalanan darat menggunakan mobil selama dua atau tiga jam tidaklah begitu terasa melelahkan. Kalau lebih dari itu, saya lebih memilih menaiki bis karena lebih enak tempat duduknya dan lega ruang geraknya sehingga kita bisa meluruskan kaki. Tentu saja pengemudi bis yang tidak ugal-ugalan akan membuat perjalanan terasa lebih santai. Berdasarkan pengalaman sejauh ini, tur antar kota dari London ke Stonehenge dan Bath adalah yang paling berkesan dan indah pemandangannya. Di urutan kedua mungkin perjalanan dari Singapura ke Melaka. Bisnya bagus dan nyaman. Kalau bicara tentang perjalanan bis yang paling tidak terlupakan, saya rasa yang menduduki posisi puncak adalah rute dari Vietnam ke Kamboja. Bisnya yang besar bahkan harus masuk ke feri supaya kita bisa menyeberangi sungai! 

Bersama Parno, Junaidi dan Sudarman di kereta kelas ekonomi dari Jakarta ke Bandung.

Setelah mobil dan bis, yang paling seru dan menjadi favorit saya adalah kereta. Saya sudah mencoba kereta berdurasi limat menit dari Singapura ke Johor Bahru, kereta tua dari Nanning ke Guilin yang senantiasa dihampiri para pedagang yang menawarkan buku merah Mao Zedong, kereta malam yang membutuhkan waktu 12 jam dari Laos ke Thailand, kereta cepat Cina, shinkansen Jepang yang tepat waktu, Eurostar dari London ke Paris, kereta Virgins dari Liverpool ke London dan masih banyak lagi. Apa pun keretanya, saya menyukai perjalanannya. Kereta adalah cara berkelana yang paling rileks, kecuali saat kita harus membawa koper-koper yang besar, haha. 

Jadi kalau kereta adalah transportasi yang paling ideal bagi saya, lantas sarana apa yang paling tidak saya sukai? Saya takut terbang dan selalu gelisah ketika pesawat berguncang, jadi jawabannya adalah pesawat terbang. Pengalaman pertama saya saat terbang di cuaca buruk adalah sewaktu saya menaiki Sriwijaya Air dari Jakarta ke Pontianak. Pesawatnya bergoyang hebat, sampai-sampai penumpang berdoa dalam agama masing-masing. Saya juga sempat menatap langit-langit pesawat karena getarannya meyakinkan saya bahwa sebentar lagi pesawat ini akan terbelah. Penerbangan malam dari Tokyo ke Hong Kong juga sama menakutkannya. Saat itu saya menaiki Dragonair, pesawat yang lebih kecil ukurannya bila dibandingkan dengan Cathay Pacific berlantai dua yang saya tumpangi di awal liburan ke Tokyo. Pesawat Dragonair ini juga bergetar-getar ketika pramugarinya muncul menyajikan makanan. Saya terpana menatapnya dan ketika saya membayangkan bahwa makanan ini mungkin saja menjadi perjamuan malam terakhir bagi saya, selera saya langsung hilang. Saya akhirnya menggeleng dan menolak tawarannya. 

Transit di Dubai, meluruskan kaki dan menginjak bumi lagi setelah mengudara selama tujuh jam.
Foto oleh Evelyn Nuryani.

Berbicara tentang penerbangan malam, saya cenderung berpendapat bahwa ini adalah pilihan yang baik untuk penerbangan jarak jauh. Kalau kita terbang di malam hari, peluang kita untuk terlelap minimal beberapa jam pastilah lebih besar. Patokan saya sekarang ini adalah durasi tujuh jam dari Singapura ke Tokyo. Tujuh jam di udara tidaklah selama yang saya bayangkan sebelumnya, jadi saya dengan senang hati singgah di Dubai saat pergi ke Inggris. Dengan demikian, durasi 14 jam ini bisa dibagi dua dan tidak begitu terasa melelahkan. Perlu diingat bahwa pesawat berukuran besar juga membuat penerbangan terasa lebih stabil. Penerbangan yang saya tempuh dengan Emirates terasa mulus, walau pun saya hampir selalu terjaga di sepanjang perjalanan dan akhirnya menghabiskan waktu saya dengan menonton the Flash, serial TV yang kebetulan bisa saya saksikan di pesawat, haha. 

Jadi demikianlah suka-duka berlibur menggunakan sarana transportasi laut, darat dan udara. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, kereta adalah sarana yang paling nyaman. Saya mempunyai impian bahwa suatu hari nanti saya akan menaiki Trans-Mongolian Railway dari Ulaanbaatar ke Beijing. Mari kita saksikan bersama-sama, apa yang akan terwujud di usia 40: apakah Trans-Mongolian atau perjalanan kereta dari Armenia ke Georgia! 

Evelyn Nuryani, sesaat sebelum kereta meninggalkan Paris dan menuju Versailles. 

Wednesday, September 26, 2018

The Artist

When we see someone riding high, sometimes it's easy for us to neglect what they had gone through before they are at the top of their game. We admire the success and conveniently forget about their hard work to get there. To put things in perspective, that someone is my friend Eday Ng, a great man with seemingly endless talents. You might have seen him, you might have read about him, but I was there long before today. This is why I find the story worth telling. Here's a little known insight, told here for the first time ever.

Eday and I had known each other since we were secondary school students, but we became close friends only much later on, when we went to the same class again in high school. Throughout the years, his reputation preceded him. I always heard that he was good in art, but I saw none of that, though. In those days, we were more of partners in crime. I was Robin to his Batman and we did all those pranks, outrageous even by today's standard. But no, I won't tell you more about this, haha.

Eday was good in calligraphy then, but he's better than ever now!

My first recollection of Eday as an artist was the day he showed us his calligraphy skill. He would impress the girls by writing their names in Old English, the artistic font that was often found on certificates back then. When I asked him to teach me, he showed me how to do it and what should be used for best result. The brand of the pen that he used at that time was Pilot Hi-Tec-C and it would cost us students a fortune! Looking back, he'd been endorsing good products since then, perhaps before any of us knew what the word endorsement actually meant.

Eventually, under his tutelage, I could do the same thing, too. But when I saw our results, I could tell that they were worlds apart. His art was gracefully done whereas mine was stiff as I struggled to get it right. That's the thing with art. It comes naturally for the gifted ones. That's when I realised he was on a different league altogether. But still we had a chance to collaborate. We worked on our contribution for the so-called yearbook that was published to commemorate our high graduation. I did the writing, something that I was more comfortable with, and Eday did the illustration. The result was heavily censored because a certain creativity simply couldn't be appreciated, haha.

We went our separate ways after graduation and crossed paths from time to time. He already lived in Hong Kong when I went there in 2005 (didn't meet him, though, as he was on business trip to Guangzhou). By the way, do remember that this was back when Yahoo Messenger was something that you installed on your computer so, being guys, we didn't really spend time sitting in front of computer to chat or write email to each other. But I did hear about him and got a vague idea about what he did for living. I remember thinking he would do well because he was good in art.

Eday's bio on his gunpla profile. 

It was only after the dawn of Facebook and WhatsApp that I came to realise how good he was. He did extremely well in his work and more! I mean, he was the world champion of Gunpla Builders World Cup 2012! Can you even begin to fathom how significant this was? We are talking about the guy from a small town called Pontianak and the same person that sat next to me when we were in high school. I never had the slightest idea that one day I would be able to say, "hey, do you know that World Champion is my friend and his current gunpla work is being displayed at Gundam Base Tokyo in Japan?" Eday had come a long way and he definitely made us proud! I remember when we gathered and had a lunch last year in Jakarta. A son of our friend was staring at Eday in disbelief. That boy must be having a hard time in processing the fact that his idol is his father's friend, haha.

And the beauty of his story is, it doesn't just end there. It gets better instead. I had the privilege of helping him out with his latest work recently. It was through this opportunity that I learnt how visionary the man was. He saw things differently and his artistic side enabled him to do so. That explains how the one-off occasion of refining his window grill ended up becoming a lifelong interest in interior design. To make it even better, he sure knew how to express his passion through his work: he understood the importance of aesthetic; he paid attention to little things that were so ordinary, things that we might have taken for granted; and he knew when to draw from his childhood experience and recreate the memory.

The result was something astounding called Wood Soul (you can get your copy here: https://www.ver-ed.com/product-page/book-wood-soul). It's a book that offers us a glimpse of his unique vision and how he looks at the world. Very inspiring and revolutionary, really. To think that it took me years to finally understand just the surface of his talents, there's no telling to what extent he's going to surprise us with all his might. Just imagine...

Wood Soul - available now!



Sang Seniman

Ketika kita membaca tentang seseorang yang sedang berada di posisi puncak, ada kalanya perjuangan mereka dari awal hingga menjadi yang terbaik terabaikan oleh kita. Kita sering kali mengagumi sukses seseorang, namun lupa begitu saja dalam mencari tahu tentang kisah kerja keras mereka. Sehubungan dengan topik ini, seseorang yang saya maksudkan di sini adalah teman saya Eday Ng, seorang pria yang berlimpah bakatnya. Anda mungkin pernah mendengar atau membaca tentang Eday, tapi saya kenal langsung dan melewati berbagai hal bersamanya jauh sebelum hari ini tiba. Kisahnya menarik untuk diceritakan. Berikut ini adalah cerita tentang Eday yang hanya bisa ditulis oleh seorang teman. 

Eday dan saya berteman sejak SMP, namun baru menjadi karib sejak SMU. Reputasinya sebagai seorang yang berbakat seni senantiasa saya dengar, tapi saya hampir tidak pernah melihatnya secara langsung. Di masa itu, pertemanan kita lebih condong ke arah aktivitas yang iseng. Kita sering berulah dan membuat lelucon yang tergolong berlebihan, bahkan untuk standar zaman sekarang. Tapi tidak, kita tidak akan membahasnya di sini, haha.

Eday saat diwawancarai. 

Kenangan pertama saya tentang Eday sebagai seorang seniman adalah hari dimana dia menunjukkan keahliannya dalam bidang kaligrafi. Saat itu dia membuat teman-teman wanita terkesan dengan kemampuannya dalam menulis nama mereka dengan huruf Old English (ini adalah huruf-huruf artistik yang lazim ditemukan dalam nama seseorang di sertifikat). Ketika saya memintanya untuk mengajar saya, dia dengan senang hati memberikan contoh dan menunjukkan pena khusus yang dipakainya. Pena itu adalah Pilot Hi-Tech-C, sebuah merk yang cukup mahal untuk ukuran murid sekolah biasa yang pas-pasan uang sakunya seperti saya! Kalau saya kenang kembali, Eday sudah dari dulu memberikan pengabsahan untuk produk-produk berkualitas yang dipakainya jauh sebelum kita paham apa arti dari kata endorsement itu sebenarnya. 

Singkat cerita, di bawah bimbingannya, saya pun menguasai seni kaligrafi ini. Kendati begitu, begitu saya membandingkan karya kita berdua, saya bisa merasakan bahwa karya Eday lebih luwes dan elegan, sedangkan karya saya cenderung kaku. Karya seni tidaklah berbohong. Apa yang merupakan hobi baginya terasa bagaikan pekerjaan bagi saya, sehingga dengan bakatnya, hasil karyanya pun terlihat alami. Saat itulah saya sadar bahwa dalam hal ini, kemampuannya berada jauh di atas rata-rata. Meskipun demikian, kita masih berkesempatan untuk bekerja sama. Kontribusi kita berdua dimuat dalam buku kenangan yang diterbitkan saat perpisahan SMU. Di kala itu saya menulis dan Eday mengerjakan ilustrasinya. Dan hasilnya pun disensor habis-habisan karena kreativitas tertentu dianggap tidak cocok untuk lingkungan sekolah yang akademis dan berakhlak, haha.

Eday dan Gundam yang dirakitnya.

Setelah lulus, kita berpisah jalan dalam upaya menggapai masa depan masing-masing. Kita berjumpa sesekali waktu saat liburan kuliah, kemudian baru bertemu lagi setelah saya pindah ke Singapura. Saat saya berkunjung ke Hong Kong di tahun 2005, Eday sudah menetap di sana, namun kita tidak sempat bertemu karena dia sedang berada di Guangzhou dalam rangka bisnis. Oh ya, perlu diingat bahwa awal tahun 2000an adalah era dimana Yahoo Messenger adalah aplikasi yang masih anda instalasi di komputer, jadi tentu saja kita tidak duduk di depan komputer dan berkomunikasi setiap hari. Kendati begitu, saya selalu mendengar kabar tentang Eday dari waktu ke waktu. Sedikit-banyak saya tahu apa profesinya. Saya ingat bahwa saat itu saya berpikir kalau dia akan sukses dalam karirnya karena bakatnya di bidang seni. 

Setelah Facebook dan Whatsapp muncul, barulah saya sadari betapa suksesnya Eday. Dia bukan saja melonjak karirnya, tapi juga berhasil dalam hal-hal yang berkaitan dengan hobi dan kreativitas. Sebagai contoh, dia adalah juara dunia dalam merakit Gundam di tahun 2012! Anda bisa bayangkan betapa besar arti dari keberhasilannya itu? Jangan lupa bahwa dia adalah pria yang berasal dari Pontianak, sebuah kota kecil yang jarang dikenal orang. Lebih dari itu, dia adalah teman yang duduk di sebelah saya di masa SMU. Seumur-umur saya tidak pernah membayangkan bahwa suatu hari saya akan bisa berkata, "hei, anda tahu kalau juara dunia ini adalah teman saya dan karya gunpla terbarunya sekarang dipajang di Museum Gundam di Tokyo?" Eday sudah melewati banyak hal dan kesuksesannya yang mendunia sungguh membuat semua yang mengenalnya turut merasa bangga. Saya ingat ketika kita berkumpul dan makan siang di Jakarta tahun lalu. Anak dari seorang teman kita memandang Eday dengan tatapan sulit untuk percaya. Bocah ini pasti serasa bermimpi karena idolanya adalah teman ayahnya, haha.

Eday di tengah teman-teman dan anak remaja yang mengaguminya. 

Dan indahnya cerita Eday ini adalah fakta bahwa menjadi juara dunia bukan berarti akhir dari cerita. Baru-baru ini saya mendapatkan kehormatan untuk membantunya dalam mengerjakan karya terbarunya. Lewat kesempatan ini, saya menyadari bahwa visinya dalam seni adalah teramat sangat unik. Dia melihat sesuatu dalam sudut pandang yang berbeda, sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang berjiwa seni. Ini alasannya kenapa upayanya dalam memperindah jeruji jendela apartemen akhirnya menjadi aktivitas rutin dalam merancang tata ruang. Lewat kegiatan ini, Eday menyalurkan visi yang ada di benaknya. Dia mengerti pentingnya estetika dalam tata ruang. Hal-hal kecil yang kita anggap biasa pun tidak luput dari perhatiannya. Selain itu, dia juga tahu kapan harus bercermin pada pengalaman masa lalunya di Indonesia dan menciptakannya kembali di saat ia mendekorasi rumahnya.  

Hasil dari hobi yang ditekuninya ini adalah sebuah koleksi yang menakjubkan dan diberi nama Wood Soul (anda bisa pesan di sini: https://www.ver-ed.com/product-page/book-wood-soul). Buku ini memberikan gambaran tentang visinya yang unik dan sangat memberikan inspirasi! Saat saya membacanya, saya jadi tersenyum sendiri. Puluhan tahun kita berteman, namun baru di saat itulah saya mengerti kenapa dia begitu berbakat dan istimewa. Yang lebih mencengangkan lagi, saya yakin apa yang saya pahami itu hanyalah sedikit dari potensi seorang Eday. Dengan talentanya, dia akan berkiprah lebih jauh lagi dan membuat kita terpana dengan karya-karya berikutnya. Nantikan saja tanggal mainnya!

Kata pengantar dari buku Wood Soul.

Sunday, September 23, 2018

The Exotic Delights

I sat on our bedroom floor the other night with my daughter in tow. As we were waiting for the sleepy feeling, I aimlessly glanced through the pictures of various dishes shown on my Swarm app. Before long, my daughter cheered if she saw something that she liked and she'd boo if she thought otherwise. It was kind of funny and it went on for a while (I had about 1000 pictures because I had checked in since 2014).

As we did that, it slowly dawned on me that Singapore really had a lot of cuisines to offer, from the Singapore delight to something exotic. Upon seeing the mouth-watering food, I was reminded again of the fact that Singapore is truly a melting pot. Even when we excluded the standard Indian, Malay and local Chinese culinary skills as well as the usual Thai, Korea and Japanese food, we still got plenty to eat here.

Enjoying the food at Inle Myanmar Restaurant with my old friend Taty.
Photo by Eday Ng.

First off, something that I never ate or tried before even after staying for a few years in Singapore was the Myanmar food. It took a lot of courage to get past the acquired taste (or strong odor in this case), but it was worth it. I remember the first time I tried it with my ex-housemates. We went to this restaurant called Inle Myanmar Restaurant at Peninsula Plaza. I didn't exactly know my way, so I ended up entering from the back door instead. The pungent smell was no joke, but I made it and we had a good time. Apparently Myanmar food is like the hybrid of Thai and Chinese food, which means it consists of salad, green curry, char kway teow and all the familiar cuisines. The unique dish, one that was often mentioned by my wife, was mohinga. It was tasty, but the most memorable one was, of course, the crispy eel. I had returned to the restaurant many times since the initial visit. Brought my parents, my brother-in-law, my colleagues and my friends there for a taste of Myanmar.

Next one that I'd like to share with you is the authentic Mainland Chinese food in Chinatown. I once tagged along with my colleagues and I was not exactly ecstatic when I heard about where our lunch destination was going to be. I mean, how different could it be with local Chinese food? I'd been to China and while the food was edible, I was not particularly fond of it. When we were at Dong Fang Mei Shi Fan Dian (东方美食饭店) and the Mainland Chinese colleague passed me the menu, I just smiled politely and muttered something like, "surprise me." I let them ordered and when I noticed that one of dishes was eggplants, I was skeptical. I disliked eggplants, but out of respect, I put on my brave face and gave it a bite. I was immediately blown away. It was good and crispy, unlike the gooey eggplants that I had before. And there were many more good stuff, but one that I would reorder myself time and again on my subsequent visits was gong bao chicken. The Northeastern style is good and delicious!

Gong bao chicken.

As for Western food, when I didn't feel like queuing for my lunch, I'd go for buritto bowl. The price was rather on a high side, which was probably the reason why there wasn't much queue, haha. Thanks to the tomato, cheese, black bean and avocado known as guacamole, the Mexican rice bowl tastes really fresh. It's totally different than other rice-based dishes such as nasi lemak or nasi uduk. When I had more time to spend in the evening, I'd go for German food. Beef goulash, a bowl of beef stew, was a nice appetiser before I went for German sausages and the tempting pork knuckle. After that, I'd wash them all down with Erdinger Weißbiers. Life could be that good, really!

Nevertheless, if those still weren't exotic enough for your taste, I guess this one would top the bill: the Lebanese cuisines, all came with the names that I couldn't even pronounce. There was this restaurant called Urban Bites on Telok Ayer Street, not very far from Amoy Street Food Centre. A French man introduced the place to me (oh yes, we Chinese were so careful we wouldn't dare to try it out ourselves) and I fell in love with the lunch set immediately. It was a plate of rice with two types of kebab, some flatbread and hummus. Very nice. But one day, the restaurant shifted the location a bit. It also changed the interior design and the menu, too. When I asked, I was informed that the previous owner, the father, had passed away. That explained why. Under the new management, the set lunch is now different from day to day and it's a good thing. Dawood basha is basically a bowl of meatballs with a very rich taste. Mloukhieyeh is meat cooked with vegetables, very unusual. Kousa mehshi is... I don't know, I'd forgotten what that was, but I reckoned it was also good, haha.

So there you go, a glimpse of exotic delight in Singapore. There are more, such as Filipino cuisines or Vietnamese (although it seems like Vietnamese food is a bit mainstream these days). Oh, there was even a Costa Rican food at Lau Pa Sat, but too bad, it'd been closed down recently. I have yet to find Cambodian and Laotian restaurants here, but I'm quite optimistic that we can find various food from Southeast Asia in Singapore. Until then, keep eating!

Dawood basha.



Masakan Eksotis

Suatu malam, saya duduk di lantai sementara putri saya tengkurap di atas ranjang yang berada di belakang saya, mengamati apa yang saya lakukan. Saat itu, selagi menantikan rasa kantuk, saya melihat kembali foto-foto makanan yang ada di aplikasi Swarm. Putri saya berseru riang saat melihat makanan yang disukainya. Dia juga mencemooh apa yang menurutnya tidak enak. Interaksi spontan yang lucu itu berlangsung cukup lama karena saya memiliki sekitar 1000 gambar (oh ya, ini adalah hasil check-in sejak tahun 2014). 

Saat kami melakukan hal tersebut, perlahan-lahan saya sadari bahwa Singapura benar-benar memiliki beraneka jenis makanan, mulai dari selera lokal sampai sesuatu yang eksotis. Sewaktu saya melihat makanan-makanan yang menggiurkan ini, saya teringat lagi bahwa Singapura adalah tempat bertemunya beragam budaya. Seandainya seorang turis dengan iseng mencoret makanan-makanan yang sudah lumrah dijumpai dari daftar menunya, misalnya masakan India, Melayu, Cina serta Thai, Korea dan Jepang, turis tersebut masih akan menemukan berbagai makanan lezat di Singapura.

Masakan pertama yang ingin saya ceritakan adalah masakan Myanmar. Saya ingat saat pertama kali mencobanya bersama teman-teman serumah saya. Kita berjanji untuk menikmati makan malam di restoran Inle Myanmar yang berada di Peninsula Plaza. Saya tidak begitu paham jalan menuju ke restoran tersebut, jadi saya akhirnya muncul di sana melalui pintu belakang. Aroma masakannya menyerupai bau rebung sangatlah menusuk, namun saya bertahan dan akhirnya bersantap malam di sana. Ternyata masakan Myanmar itu seperti kombinasi masakan Thai dan Cina. Menunya terdiri dari salad, kari hijau, kwetiau goreng dan masih banyak lagi. Satu yang unik, yang sering disebut oleh istri saya, adalah mohinga. Masakan yang berbahan dasar telur, daging dan mie putih ini lumayan enak, tapi yang paling berkesan dari masakan Myanmar adalah belut goreng yang garing. Saya kembali lagi ke restoran tersebut setelah kunjungan perdana itu. Saya membawa orang tua saya, adik ipar, rekan kerja dan teman-teman untuk mencicipi sedapnya masakan Myanmar yang jarang diketahui orang.

Kunjungan perdana ke restoran Cina Daratan. 

Yang menarik untuk dibahas berikutnya adalah masakan Cina Daratan yang otentik. Saya pertama kali ke sana bersama kolega saya dan ketika saya mendengar tentang restoran yang hendak kita tuju, saya terus-terang merasa tidak tertarik. Di dalam hati saya berpikir, apa bedanya masakan Cina lokal dan Cina Daratan? Lagi pula saya sudah pernah ke Cina dan masakannya biasa-biasa saja. Tatkala kita tiba di Dong Fang Mei Shi Fan Dian (东方美食饭店) dan kolega Cina Daratan menyodorkan menu restoran, saya hanya tersenyum sopan dan mempersilahkannya memilih. Ketika pelayan menyajikan terong, saya kian ragu. Saya tidak suka terong, namun saya mencicipinya karena sudah dipesan. Dan saya terkejut. Tidak seperti masakan terong yang biasanya lembek, gaya masakan Timur Laut Cina ini garing dan enak dikunyah. Menu-menu berikutnya juga nikmat, tapi yang saya ingat betul adalah gong bao chicken. Saya pasti memesannya kalau berkunjung ke sana! 

Bicara tentang masakan Barat, di kala saya hanya memiliki sedikit waktu dan tidak sempat untuk antri, biasanya saya akan membeli burrito bowl yang cepat-saji. Agak mahal sebetulnya, tapi itu mungkin alasannya kenapa antriannya tidak panjang, haha. Berkat bahan makanan seperti tomat, keju, kacang hitam dan alpukat yang dikenal sebagai guacamole, masakan Meksiko ini terasa segar dan mentah. Pokoknya sangat berbeda dengan masakan lainnya yang juga berbasis nasi, misalnya nasi lemak atau nasi uduk. Di saat saya memiliki waktu untuk bersantai di kala makan malam, saya suka menikmati makanan Jerman. Ada yang namanya beef goulash, daging sapi yang direbus secara perlahan sehingga empuk, cocok disantap sebagai hidangan pembuka. Setelah itu, saya biasanya lanjut dengan sosis Jerman dan kaki babi panggang, lalu membasuh dahaga saya dengan Erdinger Weißbiers. Hidup memang nikmat di kala kita makan enak!

Burrito bowl, menu masakan Meksiko.

Jikalau menu-menu di atas belum cukup eksotis untuk selera anda, saya rasa yang berikut ini akan menduduki peringkat puncak: masakan Lebanon yang bahkan tidak bisa saya baca namanya! Di Telok Ayer Street, tidak jauh dari pujasera Amoy Street, ada sebuah restoran bernama Urban Bites. Saya pertama kali ke sini bersama seorang berkebangsaan Perancis dan saya langsung suka menu makan siangnya: sepiring nasi dengan dua jenis kebab dan juga roti putih yang bulat-pipih dan disantap dengan cara diolesi humus. Akan tetapi, ketika saya ke sana lagi pada suatu hari, tiba-tiba saja restorannya pindah lokasi dan berbeda tata-ruang serta menunya. Ketika saya bertanya, saya diberitahu bahwa pemilik sebelumnya, sang ayah, telah meninggal. Restoran ini sekarang diurus oleh sang putri dan kini menu makan siangnya berbeda dari hari ke hari. Tidak terlalu buruk juga idenya, sebab sekarang saya bisa mencicipi lebih banyak jenis makanan Lebanon. Ada yang namanya dawood basha yang pada dasarnya adalah semangkok bakso. Ada juga yang disebut mloukhieyeh, daging yang dimasak dengan sayur. Selanjutnya ada kousa mehshi, tapi saya lupa apa sebenarnya masakan ini, haha. Yang saya ingat, rasanya cukup enak. 

Jadi demikianlah sekilas tentang makanan eksotis di Singapura. Masih ada lagi masakan lain seperti menu Filipina dan Vietnam (walaupun masakan Vietnam sebenarnya sudah cukup umum sekarang ini). Oh, dulu di Lau Pa Sat bahkan ada yang jualan masakan Costa Rica, tapi sayang sudah tutup. Saya belum menemukan restoran Kamboja dan Laos di sini, tapi saya rasa masakan Asia Tenggara harusnya bisa ditemukan di sini. Saya akan kabari kalau ketemu, tapi sementara anda menunggu, silahkan dicoba dulu rekomendasi di atas!

Menikmati makanan Jerman bersama teman-teman.