Total Pageviews

Translate

Friday, February 4, 2022

At Least Twice

There was this funny pattern in our high school WhatsApp group: from time to time, there would be an idea that sounded so hilarious that we made fun of it, but then they actually made sense when we really gave it a thought. Off the top of my head, I could think of the grand plan to Japan and the Strava time that got me hooked.

Then came the day when we talked about a controversial book that triggered all sorts of opinions. Our friend Jimmy was adamant that it was a good book, but when asked to give a brief book review, he kept silent. He only said to us, "read it yourself, at least twice."

With Jimmy in Surabaya.
Photo by Jerold Lim.

Jimmy is known as a chatty fellow as he literally types long sentences in one chat, so it was very unusual for him to behave that way. His words got picked up and misused quickly as an in-joke among us. The phrase at least twice worked well with any sarcasm and mockery!

But just like any of its predecessors, that phrase wasn't a bad idea. When put together in a right context, not only it did make sense, it also sounded like nothing but the truth! As I pondered upon it, these three things came together and lingered. They stayed put, waiting to be told!

The first thing in my mind was the songs. The songs by the Beatles, to be specific. Stuff like Let It Be is good and it only got better after I listened to it for the second, third and what probably my one thousandth time for the past 26 years. After doing things at least twice, you might find that, to quote the Beatles, "it's getting better all the time!"  

With Yani, during our trip to Suzhou.

The next one was Suzhou. I remember the first time I visited the city. It was raining the whole day and I was supposed to stay only one night in Suzhou. I certainly wasn't impressed, but I gave it the benefit of the doubt and returned to the city again four years later. I loved it so much this round! That means, sometimes things might not be what they seemed at first and the second chance Suzhou truly deserved changed it all.

The last one happened to be its neighbouring city, Shanghai. I loved it the first time I was there as it felt like a bigger Singapore. So metropolitan, so impressive. But the second time I went there, it gave me the been there, done that kind of feeling. It just wasn't as charming as before. It was probably an illusion until you got disillusioned after the second glance.

Nanjing Road, Shanghai.

It was amazing how I ended up with three different results when I applied the concept of at least twice to what I had experienced. God knows what else you could observe if you tried it yourself, but I could tell you this much: the idea worked. And it was kinda wise to do so.

Now, for a closure, I'd love to tell you this. Looking back, and this pissed Jimmy off, I had decided that I didn't really enjoy visiting Surabaya. It's the second biggest city in Indonesia, but yet I couldn't feel the big city vibe like Jakarta. Jimmy would mumble that I must be an ass for making such a remark based on the few visits I had, but hey, I played by the rule! I visited the city at least twice, haha.



Minimal Dua Kali

Di grup WhatsApp teman-teman SMA, ada pola lucu seperti ini: dari waktu ke waktu, muncul ide yang terasa sangat konyol sehingga diolok-olok, tapi kemudian terasa masuk akal kalau dipikirkan kembali. Sebagai contoh, yang langsung terpikirkan oleh saya adalah rencana ke Jepang dan waktunya Strava yang akhirnya membuat saya ketagihan. 

Lalu tiba hari di mana kita berbincang-bincang tentang sebuah buku kontroversial yang menimbulkan berbagai opini. Teman saya Jimmy bersikeras bahwa ini adalah buku yang sangat bagus, tapi saat kita minta ulasannya, dia tidak mau menjawab. Dia hanya berkata, "baca sendiri, minimal dua kali." 

Bersama Jimmy di Surabaya.
Foto oleh Jerold Lim.

Bagi yang belum tahu, Jimmy ini dikenal sebagai pria yang paling suka menulis kalimat-kalimat panjang dalam satu kali chat, jadi tidak lazim baginya untuk tidak berkomentar. Kontan saja kata-katanya menarik perhatian dan langsung disalahgunakan sebagai lelucon. Frase minimal dua kali cocok digunakan sebagai bahan olok-olok dan sarkasme!  

Akan tetapi, sepertinya halnya dengan celetukan lain yang pernah muncul sebelumnya, frase ini bukanlah ide yang buruk. Ketika diaplikasikan dalam konteks yang benar, hasilnya terasa masuk akal dan benar. Ketika hal ini melintas di benak saya, ada tiga hal yang langsung terpikirkan. 

Yang pertama adalah tentang lagu, tepatnya lagu the Beatles. Contoh seperti Let It Be adalah karya yang bagus dan kian terdengar bagus di kali kedua, ketiga dan mungkin ke-1000 kalinya bagi saya dalam 26 tahun terakhir. Jadi dalam pengertian ini, hal yang sudah baik akan kian terasa baik bilamana dikerjakan minimal dua kali.

Bersama Yani sewaktu mengunjungi Suzhou. 

Yang berikutnya adalah Suzhou. Saya ingat saat pertama kali saya mengunjungi kota ini. Saat itu hujan sepanjang hari, sementara saya hanya menginap semalam di sana. Tentu saja saya tidak terkesan, tapi saya coba ke sana lagi empat tahun kemudian. Ternyata saya suka suasana kotanya! Ini berarti, ada kalanya sesuatu tidak bisa dinilai dari kesan pertama dan keindahan Suzhou yang saya saksikan di kesempatan kedua mengubah persepsi saya. 

Hal terakhir kebetulan berkaitan dengan Shanghai yang terletak tidak jauh dari Suzhou. Saya suka Shanghai dalam pandangan pertama karena suasananya yang mirip tapi jauh lebih luas dari Singapura. Kedua kalinya saya ke sana, saya justru mendapatkan kesan been there, done that. Kotanya tidak lagi memikat seperti sebelumnya. Artinya kesan pertama itu mungkin ilusi sampai anda tersadarkan di kali kedua. 

Jalan Nanjing di Shanghai.

Jadi tiga hal di atas adalah pengalaman yang saya dapatkan sewaktu menerapkan konsep minimal dua kali berdasarkan pengalaman pribadi saya. Anda juga mungkin bisa mengamati lebih lanjut bila anda coba sendiri. Sejauh ini, saya bisa katakan bahwa ide ini bagus dan bijak rasanya untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Nah, sebagai penutup, saya ingin mengakhirinya dengan cerita ini. Berdasarkan pengalaman saya, bisa saya katakan bahwa saya tidak begitu menyukai Surabaya. Meski merupakan kota kedua terbesar di Indonesia, Surabaya tidak memiliki nuansa kota besar seperti Jakarta. Jimmy pun mengomel saat mendengar penuturan ini, tapi saya sudah ikut peraturannya. Saya sudah ke Surabaya minimal dua kali, haha! 

Sunday, January 23, 2022

Memory And Legacy

When I did my Strava time a few days ago, I walked past the junction where my friend Eday and I once stood late at night, waiting for a cab after the Guns N' Roses concert. I took a picture of the empty junction and shared the memory with my high school group chat. Then, as I continued walking, this story came to me.

I knew this for quite some time now, but I was vividly reminded again that as time passed us by, the only thing we left behind were memories. It came right back to me the moment I saw the junction. I didn't immediately thought of how successful or brilliant Eday was, but what I recalled at that point of time was the moment we shared. A good time with a dear friend. Simple as that. It had been years since it happened, but it felt as fresh as yesterday.

Eventually, regardless what our ambition and our achievement were, it was the memories that would live on. I liked how I cherished those good memories in life. I remember the time when I wanted to be a famous writer, but it seemed like a distant memory now. I carried on writing because I loved it, but it wasn't the most important thing in the world anymore. I am not entirely sure if I lost the drive, but I guess as we grew older, the priorities shifted as well. Anyway, for all the things I'd done and failed to do, I'm pretty sure I had left behind memories that people would smile about. 

And that brought us to the legacy. In a way, it was a memory, but also a more profound body of work that was life-changing and useful to many, I suppose. I remember the conversation I had with Eday. He was riding high and I could sense his excitement when he talked about the legacy he'd one day leave behind. I was proud of him and would definitely support him as much as I could, but as I listened to him sharing his ideas, I realized that perhaps I didn't want the same thing. 

Whatever that we did, I believe, we needed to love it first. Without passion, it'd be a halfhearted attempt. I didn't say I stopped trying new things because I still did the exact opposite, for example with the talkshow I hosted every Saturday night. But it was a big deal to be in our 40s. To me, with people my age or younger dying around me, only God knows how much time I had left, so I'd rather do what I liked. 

It was like, if I were to choose between the time spent to achieve the glory and time spent with family and friends, I'd probably opt for the latter. Unless it was a hobby, something that triggered my interest, then I'd put an effort doing it. Otherwise it'd be just work, and I had given my best eight and a half hours a day (just like what Paul sang in Live and Let Die: when you've got a job to do, you gotta do it well).

it could be me at the crossroads, hence I said the things above. I don't know. I reckon not all of us would leave a certain legacy behind. If I had any, that had to be all the thoughts I'd shared on roadblog101.com. While you might or might not agree with the definitions, I hope it got you thinking about memory and legacy, too. After we were all gone, only these two things would inspire the next generation...

With Eday in Hong Kong.



Kenangan Dan Warisan

Ketika saya berjalan sore menikmati waktu Strava beberapa hari lalu, saya melewati persimpangan jalan di mana saya dan teman saya Eday pernah berdiri menanti taksi di tengah malam setelah konser Guns N' Roses. Saya mengambil foto persimpangan yang sepi itu dan berbagi cerita dengan grup WhatsApp teman-teman SMA. Kemudian, ketika saya lanjut berjalan, topik ini muncul di benak saya. 

Saya sudah tahu hal ini, tapi apa yang saya lihat barusan mengingatkan saya kembali bahwa seiring dengan berlalunya waktu, yang tersisa dari kita hanyalah kenangan. Dan kenangan itu segera muncul kembali begitu saya melihat persimpangan tersebut. Saya tidak langsung berpikir tentang betapa sukses atau jeniusnya Eday, tapi yang terkenang secara spontan adalah momen bersama seorang teman baik. Sesederhana itu. Kejadian itu sudah hampir lima tahun lamanya, tapi bagaikan baru terjadi kemarin. 

Pada akhirnya, terlepas dari segala ambisi dan prestasi kita, kenangan bersama adalah apa yang terngiang di benak kita. Bagi saya, hal ini membuat hidup terasa lebih berarti. Saya ingat waktu saya ingin menjadi penulis ternama, namun sekarang itu rasanya seperti kehidupan sebelumnya. Saya tentu akan terus menulis karena saya menyukai aktivitas ini, tapi menulis tidak lagi merupakan hal paling penting di dunia. Saya tidak tahu apakah saya patah semangat, tapi ketika kita bertambah tua, prioritas pun sepertinya berubah. Kendati begitu, untuk semua hal yang berhasil dan juga gagal saya lakukan, saya cukup yakin bahwa saya telah meninggalkan kenangan yang membuat mereka yang mengenal saya tersenyum.

Dan itu membawa kita ke legacy, yang secara harafiah bisa diterjemahkan sebagai warisan. Ini bisa dikatakan mirip seperti kenangan, tapi juga merupakan karya peninggalan yang mungkin mengubah hidup dan berguna bagi banyak orang. Saya ingat percakapan saya dengan Eday. Dia ini pria sukses dan saya bisa merasakan semangatnya ketika dia berbicara tentang legacy yang suatu hari akan dia tinggalkan. Saya bangga dengannya dan saya siap mendukung idenya sebisa saya, tapi selagi saya menyimak, saya jadi menyadari bahwa saya tidak lagi menginginkan hal serupa untuk saya sendiri. 

Apa pun yang kita kerjakan, saya percaya bahwa sesuatu perlu kita sukai terlebih dahulu. Tanpa semangat yang timbul dari rasa suka, upaya kita akan setengah hati. Ini tidak berarti saya mulai anti ide baru. Justru sebaliknya. Kesimpulan di atas ini berdasarkan apa yang saya rasakan saat mencoba hal baru, misalnya inovasi dan ide baru yang saya coba saat talkshow. Akan tetapi memasuki usia 40an juga besar artinya bagi saya. Begitu banyak orang seusia atau bahkan lebih muda dari saya yang telah meninggal. Hanya Tuhan yang tahu, seberapa banyak lagi waktu saya yang tersisa, jadi sekarang saya lebih memilih untuk mengerjakan apa yang saya sukai.

Konteksnya sekarang adalah seperti memilih, mau menghabiskan waktu untuk mengejar kesuksesan atau waktu bersama keluarga dan teman. Saya cenderung memilih pilihan kedua. Pengecualiannya adalah untuk hobi atau sesuatu yang membuat saya sungguh tertarik, maka saya pun akan meluangkan waktu dan konsentrasi untuk menekuninya. Kalau tidak begitu, rasanya seperti bekerja dan saya sudah memberikan yang terbaik untuk pekerjaan selama delapan setengah jam sehari (persis seperti apa yang dinyanyikan Paul dalam Live and Let Die: when you've got a job to do, you gotta do it well).

Tulisan ini bisa saja merupakan buah pemikiran hidup di persimpangan jalan. Saya tidak tahu. Saya hanya berpikir bahwa mungkin tidak setiap orang akan meninggalkan legacy. Jika saya memiliki satu, mungkin itu adalah pemikiran yang sudah saya bagikan lewat roadblog101.com. Dan meski anda mungkin setuju atau tidak setuju dengan definisi saya ini, saya harap anda juga berpikir tentang kenangan dan warisan juga. Setelah kita tiada, hanya dua hal ini yang tersisa untuk menginspirasi generasi berikutnya... 

Thursday, January 13, 2022

Book Review: Renegades - Born In The USA

I'm always a fan of Obama. Like the way he speaks. Smart, funny and eloquent. His life story was interesting, too. Read one from the time before he became a president and another that told about his presidency. Both were great books, so naturally, when I saw one about him and Bruce Springsteen, I was interested.

I'm also a big fan of music, but for some strange reason, I never listened to Springsteen apart from few snippets such as two verses he sang in We Are the World and a song called Streets of Philadelphia. I knew he was the Boss, but that was pretty much it. Hence I was wondering how he and Obama could come up with this book. What brought them together?

Out of curiosity, I checked out the library and got the book. It turned out to be a coffee-table book, large and lavishly illustrated. The content was originally a podcast series that was turned into a book. After reading the first few pages, it was obvious that they came together because of one vision: America.

Yes, this book was very... American. It gave you an idea of how it was like to be an American. It gave you an idea of what it meant for the two of them to be Americans. Bruce supported Obama during his campaign and they gradually became friends simply because they believed in the same America.

Born in the USA, as Bruce put it. But reading this as a non-American, I couldn't help feeling that the topic wasn't very engaging. There were things that I couldn't comprehend and after a while, I grew tired of it. As a result, this was one the few books that I glanced through instead of properly reading it. I paid attention only to certain topics, like the parts where Bruce talked about performing with a Beatle (George Harrison) and a Rolling Stone (Mick Jagger) by his sides. It was an achievement for a boy from New Jersey!

Can't say I learnt much about Obama from this book, but I certainly picked up a thing or two about Bruce. No, I'm still not a fan of his songs, but I'm quite impressed with his lifelong friendship with Clarence Clemons. That was probably the most inspiring story about America from the book. Other than that and those nice photos, it was not a great Obama book...

The book and the podcast on Spotify.



Ulasan Buku: Renegades - Born In The USA

Saya selalu menggemari Obama. Saya suka caranya berbicara. Begitu pintar, lucu dan fasih sehingga enak didengar. Kisah hidupnya pun tak kalah menarik. Saya baca buku-bukunya, mulai dari sebelum dia menjabat sampai kisah kepresidenannya. Dua buku yang bagus, maka dari itu saya jadi ingin baca saat melihat buku baru yang menampilkan Obama dan Bruce Springsteen. 

Saya juga suka musik, tapi selama ini tidak pernah benar-benar mendengarkan karya Bruce. Yang pernah saya dengar cuma suara Bruce di We Are the World dan lagu berjudul Streets of Philadelphia. Saya tahu julukannya adalah the Boss, tapi cuma sebatas itu yang bisa saya ceritakan. Oleh karena itu saya jadi penasaran, kenapa dia dan Obama bisa muncul di buku yang sama.

Saya lantas mencari bukunya di perpustakaan. Ternyata bukunya jenis coffee-table book yang berukuran besar dan memiliki banyak gambar. Isi buku ini adalah percakapan yang ditayangkan sebagai podcast, kemudian dibukukan. Setelah beberapa halaman, saya menyadari bahwa mereka bisa berbincang karena visi yang sama tentang Amerika. 

Ya, buku ini sangat bernuansa Amerika. Buku ini memberikan gambaran tentang bagaimana rasanya menjadi orang Amerika. Buku ini juga bercerita tentang apa yang Bruce dan Obama rasakan sebagai orang Amerika. Akan halnya kenapa mereka bisa muncul bersama, ini karena Bruce mendukung Obama di masa kampanye dan mereka akhirnya menjadi teman karena persamaan visi tentang Amerika.

Born in the USA, demikian judul lagu Bruce. Tapi sebagai pembaca yang bukan warga Amerika, saya merasa topik ini kurang mengena. Ada hal-hal yang tidak saya pahami dari cerita mereka, sebab saya bukan orang Amerika, dan akibatnya buku ini terasa agak membosankan. Alhasil buku ini menjadi satu dari sedikit buku yang hanya saya baca selintas dengan cepat. Saya hanya serius membaca di bagian tertentu, misalnya saat Bruce bercerita tentang pengalamannya tampil bersama seorang Beatle (George Harrison) dan seorang Rolling Stone (Mick Jagger) di sampingnya. Ini adalah sebuah prestasi bagi pemuda dari New Jersey!

Tidak banyak yang saya dapatkan tentang Obama dari buku ini, tapi ada satu-dua hal yang saya pelajari tentang Springsteen. Saya masih tidak menyukai lagu-lagunya, tapi saya terkesan dengan persahabatannya dengan Clarence Clemons. Bisa jadi persahabatan mereka ini adalah cerita yang paling memberikan inspirasi tentang Amerika. Di luar kisah ini dan foto-foto yang bagus, saya merasa bahwa ini bukanlah buku Obama yang menarik...

Sunday, January 9, 2022

Strava Time!

This story began with an attempt to prank a friend of mine. He was suddenly so keen in living a healthy lifestyle that he kept posting his Strava results to encourage us. I thought of joining this Strava thing just to catch him by surprise, because I'd be the last person he knew that would participate in this. 

Little did I know he'd be the one that had the last laugh. Everything just fell into places that I became enamoured by the Strava exercise. While I was never a fan of jogging, I always enjoyed walking since my younger days in Pontianak. I often did it with my friend Parno back then.

The bright blue sky at the end of Singapore. 

It made even more sense to do it in Singapore, because it was a city built with pedestrians in mind. So nice to walk, so many things to see. And just because I had lived here for the past 16 years, it didn't mean I had seen everything. It turned out that there were things you'd only see if you slowed down to appreciate them. 

Then of course there was the map. I never knew this before, but throughout this exercise, I found that I had this quirky fondness of looking at Google Maps, following the routes and reminiscing what I saw along the trails. For some strange reasons, it felt satisfying and memorable.

Making use of the many routes on Google Maps.

It took some trial and error to get the formula right for me. I first used Google Maps just to make sure that I was on the right track. After that, I realized I could look at the MRT map, choose two stations and check the distance on Google Maps to see if it was roughly about 5KM. If you were wondering why 5KM, that's because it could be covered within one hour of walking, which was just nice. Then, while doing that, I figured out why not following the path shown by Google, too?

it sounded like a plan, huh? But I still lost my way from time to time (if you see a pointy line or two jutting out from the trails, it meant I had taken a wrong turn). Mistakes did happen when I didn't enlarge the map to see the route correctly, haha. But apart from the user problem, I also learnt it the hard way that what Google showed was not always correct or the best route ever. It did show me routes that were meant for private access (the first Kranji trail led me to the front gate of a dormitory and the route to West Coast brought me to Anglo-Chinese Junior College and SIT) and I had to detour. When I was walking to Harbourfront, I decided to walk along Keppel when Google showed another route via Kampong Bahru.

Can you spot where I made the wrong turns?

That minor technical issue aside, it was really nice to walk in Singapore. Some routes such as Woodlands to Canberra and Farrer Park to Serangoon were almost like a straight line, very easy and relaxing. Some were more challenging and they led me to places I had never been before. I walked under the bridges, passed by the park connectors, the residence, the cemetery, the lakes and reservoir, the dams, the hills (and I gasped for air as I hiked), the marina, an island that was still green with forest and even some small alleys that went up and down and somehow reminded me of Hong Kong.

It was quite an experience, I'd say. One that I really loved. But as much as I'd like to say that the pavement was always there for pedestrians, I accidentally figured out that it wasn't true in at least two occasions. Both happened to be nearby new MRT stations for Thomson-East Coast line, Orchard and Great World, that were still under construction. There was suddenly no walkway when reaching these two, haha.

Got lost in Kanji!
Photo by Lawrence.

But in the end, it was about having some exercise that was sorely lacking in my life. At least there was one now that I would do willingly. And the result? I had one T-shirt that I seldom wore because it was too tight. But when I tried it again recently, I remember telling my wife that it fitted much better now. So yeah, it looked like this might continue. Strava time!



Waktunya Strava!

Cerita ini dimulai dari upaya untuk mengerjai teman saya. Dia tiba-tiba beralih ke gaya hidup sehat dan sering mengunggah hasil olahraganya lewat aplikasi Strava untuk mendorong kita berolahraga juga. Saya lantas iseng menggunakan Strava hanya untuk membuatnya kaget, soalnya saya mungkin adalah orang terakhir di benaknya yang bakal turut berolahraga. 

Akan tetapi tidak pernah saya bayangkan kalau dia mungkin yang tertawa paling akhir. Maksud hati mau menggoda teman, tapi malah jadi suka sendiri dengan Strava. Saya bukanlah tipe yang menyukai jogging, tapi saya selalu menikmati aktivitas berjalan kaki dari sejak waktu saya berada di Pontianak. Saya sering berjalan kaki ke mana-mana bersama teman saya Parno dulu. 

Langit biru di ujung Singapura.

Semua ini terasa lebih masuk akal lagi untuk dilakukan di Singapura, sebab kota ini memberikan perhatian khusus bagi pejalan kaki dalam rancangan tata kotanya. Sangat cocok untuk berjalan, sangat banyak pula yang bisa dilihat. Meski saya sudah tinggal di sini selama 16 tahun, ini tidak berarti saya sudah melihat semuanya. Ternyata masih ada banyak yang bisa dilihat jika saya berjalan dan mengamati pemandangan di sekeliling saya. 

Dan tentu saja kita harus berbicara tentang peta. Saya tidak pernah tahu akan hal ini sebelumnya, namun dari aktivitas Strava, saya jadi menyadari bahwa saya memiliki kebiasaan yang agak unik dan aneh. Saya suka melihat Google Maps, mengikuti rutenya dan mengingat kembali apa yang saya lihat selama berjalan kaki. Pengalaman ini terasa memuaskan dan berkesan. 

Menggunakan Google Maps untuk rute Strava.

Proses menggunakan peta ini melibatkan beberapa uji coba sebelum saya menemukan cara yang pas untuk saya. Awalnya saya menggunakan Google Maps untuk memastikan bahwa saya tidak salah jalan. Setelah itu saya sadari bawa saya bisa melihat peta MRT, memilih dua stasiun dan melihat jaraknya di Google Maps, apakah berkisar 5KM. Jika anda ingin tahu kenapa patokan saya adalah 5KM, ini karena jarak tersebut bisa ditempuh dalam satu jam perjalanan dan durasi ini terasa pas bagi saya untuk berolahraga. Dari sini saya lantas berpikir, karena Google tahu jaraknya, jadi saya ikuti saja rutenya. 

Kedengarannya seperti rencana yang bagus, bukan? Namun saya masih saja tersesat dari waktu ke waktu (jika anda melihat garis yang menonjol dan terlihat tidak lazim di rute Strava, itu artinya saya salah jalan). Kesalahan kadang terjadi karena saya tidak memperbesar peta untuk melihat rutenya dengan jelas, haha. Selain kesalahan pengguna, ada kalanya Google sendiri yang tidak beres. Terkadang rutenya melibatkan jalur privat yang tidak bisa diakses (rute pertama Kanji membawa saya ke depan kompleks asrama dan rute ke West Coast mencakup kawasan Anglo-Chinese Junior College dan SIT yang tidak dibuka untuk umum) dan akhirnya saya harus berputar mengambil jalur lain. Ketika saya menuju Harbourfront, saya memutuskan untuk berjalan menyusuri Keppel walaupun Google menunjukkan rute lewat Kampong Bahru.

Bisakah anda lihat dimana saya salah belok?

Terlepas dari masalah teknis di atas, berjalan kaki di Singapura adalah suatu kenikmatan tersendiri. Beberapa rute seperti dari Woodlands ke Canberra dari dari Farrer Park ke Serangoon hampir seperti satu jalur yang lurus, gampang dan santai untuk ditempuh. Ada pula yang lebih menantang dan membawa saya ke tempat-tempat yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Saya melewati kolong jembatan, taman, perumahan, kuburan, danau dan waduk, dam, bukit (dan saya agak terengah-engah saat jalan menanjak), marina, hutan di pulau dan juga gang-gang kecil yang naik turun dan mengingatkan saya dengan Hong Kong.

Ini adalah pengalaman yang menarik. Lewat pengalaman ini, saya juga menyadari bahwa meski saya selalu ingin mengatakan kalau trotoar di Singapura tidak pernah putus bagi pejalan kaki, ternyata asumsi ini tidak sepenuhnya benar. Setidaknya ada dua kesempatan dimana saya dikejutkan oleh penemuan tak terduga ini. Dua peristiwa ini terjadi dekat stasiun MRT Thomson-East Coast line yang sedang dibangun, Orchard and Great World. Ketika saya sedang berjalan, tiba-tiba trotoarnya hilang, haha. 

Tersesat di tengah hujan di Kranji!
Foto oleh Lawrence.

Pada akhirnya, semua ini adalah tentang olahraga yang benar-benar minim dalam hidup saya. Sekarang minimal ada satu aktivitas yang bisa saya tekuni dengan senang hati. Hasilnya? Saya memiliki sebuah kaos yang jarang saya pakai karena terlalu ketat, namun ketika saya coba lagi baru-baru ini, saya ingat kalau saya bergumam pada istri saya bahwa kaos ini terasa lebih pas sekarang. Jadi, ya, kemungkinan ini akan berlanjut terus. Waktunya Strava! 


Monday, December 20, 2021

Book Review: Journey To The West

While it's true that Pontianak is a small town that only had its first KFC outlet in year 2000 (and it still doesn't have McDonald's today), I'd say it was lively enough for us to grow up there in the 80s. When I compared notes, it turned out that our childhood was comparable with friends that grew up in Singapore. In my case, even though I was from Pontianak, I probably watched, read and played more than my fellow Singaporeans.

One of the things we had back then was something called parabolic antenna. Installed on a roof, it enabled us to receive overseas TV channels from Malaysia to China. Every night, I'd be sitting in front of TV with my mother to watch Journey to the West. It was in Chinese and I didn't understand the language, but it was still a fascinating show for a boy who was born in the year of the Monkey.

Around the same time, I also read the comics books in Bahasa Indonesia. The format was unusual, therefore memorable. It had two pictures per page and one paragraph of narration under each picture. Back in the days before Tiger Wong and the available comics were only DC, Marvel or European stuff such as Asterix and Tintin, this one became my earliest exposure of Chinese cultures. 

In a way, I guess you can't be Chinese without knowing about Journey to the West at all. It was featured so prominently throughout the years in every phase of my life, be it on TV, comics (most notable was the first arc of Dragon Ball) or films. Even Stephen Chow had two spoofs or more about the Monkey King. When I saw the English version of the novel at the book shop, I was so curious I simply couldn't help searching for it at the library.

Now that I'm in my forties, I had a better understanding about Chinese cultures, including the historical journey of Xuanzang to India. Re-reading the book again, albeit the abridged version, gave me a rather interesting insight about this classic. This was indeed a brilliant novel!

It was basically a three-part story which began with the birth of Monkey. It quickly established how powerful he was, culminating with the Monkey wrecking havoc in heaven and it ended with his downfall. The second part was the journey to the west that started 500 years later. While each chapter wasn't the same, I couldn't help feeling that was rather formulaic. You could see the pattern in each story, i.e. Xuanzang was captured and Wukong would save him either by defeating the demons or seeking assistance from the deities. The last part was about the time they reached India.

It was an easy reading and the first part was the most interesting one. The translation was as good as it could be, though it would help if it used the pinyin for names of the deities instead. For example, it took me quite some time to figure out that the Divine Kinsman was actually Erlang Shen, haha. The storytelling was smart, emphasized by the excellent choice of words used here, especially the poetry. The interaction among disciples, particularly Wukong and Bajie, were the source of amusement. 

It was also interesting to learn how Taoism, Buddhism and, to a certain extent, Confucianism coexisted and were incorporated into the story. It was through the reading of this book that I first realized all the gods from Jade Emperor to Nezha were actually from Taoism, which was native to China. This is why journey to the west happened: because they wanted to obtain the real teachings of Buddha in India.

Overall, it was a fun reading. As I read on, suddenly the scenes that I watched in the past kept flashing back. I remember when Wukong tried to jump out of Buddha's palm, the time he was defeated by Hong Hai-er, the turtle that shook them off while they crossed the river and many more. Good times! 

Journey to the West.



Ulasan Buku: Perjalanan Ke Barat

Pontianak mungkin hanyalah sebuah kota kecil, yang sedemikian kecilnya sehingga baru memiliki KFC di tahun 2000 (dan sampai hari ini pun belum ada McDonald's), tapi saya rasa tetap saja memiliki cukup banyak hiburan bagi generasi yang tumbuh di tahun 80an. Ketika saya mencari tahu tentang masa kecil teman-teman di Singapura, ternyata apa yang saya lewati cukup sebanding dengan pengalaman mereka. Bahkan boleh dikatakan kalau sebenarnya saya lebih banyak menonton, membaca dan bermain game bila dibandingkan dengan mereka yang berada di Singapura. 

Salah satu keunggulan kita yang tinggal di Pontianak pada saat itu adalah antena parabola. Antena yang dipasang di atap rumah ini memungkinkan kita untuk menangkap siaran dari Malaysia sampai Cina. Setiap malam, saya akan duduk di depan TV bersama ibu saya untuk menonton Perjalanan ke Barat. Film seri ini ditayangkan dalam Bahasa Mandarin. Walaupun saya tidak mengerti, tontonan ini tetap saja menarik bagi anak yang lahir di tahun monyet. 

Di saat yang sama, saya juga membaca komiknya yang berbahasa Indonesia. Formatnya tidak begitu lazim, karena itu saya ingat betul. Komik ini memiliki dua gambar per halaman dan setiap gambar memiliki narasi satu paragraf. Jauh sebelum Tiger Wong, di zaman yang hanya memiliki komik DC, Marvel dan bacaan dari Eropa seperti Asterix dan Tintin, komik Perjalanan ke Barat ini mengenalkan saya pada budaya Cina. 

Saya rasa boleh dikatakan bahwa tidak mungkin bagi orang keturunan Cina untuk sama sekali tidak mengetahui tentang kisah Perjalanan ke Barat. Dalam setiap jenjang kehidupan saya, cerita ini senantiasa terdengar, baik dalam bentuk film seri di TV, komik (dan yang paling terasa kemiripannya waktu itu adalah kisah pertama Dragon Ball) serta film-film bioskop yang dibintangi oleh Stephen Chow. Sewaktu saya melihat buku dalam versi bahasa Inggris baru-baru ini, saya jadi tergelitik untuk mencari bukunya di perpustakaan.

Sekarang, di usia 40an, saya memiliki pemahaman yang lebih baik tentang budaya Cina, termasuk sejarah petualangan Xuanzang ke India. Setelah membaca kembali buku ini, meskipun hanya versi ringkasnya, saya bisa merasakan betapa buku ini sebuah karya klasik. 

Berdasarkan alur cerita, sebenarnya kisah ini bisa dibagi tiga. Bagian pertama adalah tentang lahirnya Kera Sakti dan petualangannya yang mengguncang langit dan surga. Sepak-terjang Wukong akhirnya dihentikan oleh Budha dan dia dihukum 500 tahun lamanya. Setelah Wukong dibebaskan oleh Xuanzang, bagian kedua yang mengisahkan perjalanan ke India yang pun dimulai. Setiap bab memang berbeda isinya, tapi ada kesan bahwa ceritanya ditulis berdasarkan pola yang sama. Pokoknya Xuanzang selalu ditangkap dan Wukong akan menolongnya, baik dengan cara membasmi siluman ataupun meminta bantuan dewa-dewi. Bagian terakhir adalah tentang perjumpaan dengan Budha di India. 

Kisah Perjalanan ke Barat ini gampang dibaca dan saya rasa bagian pertama adalah yang paling lucu dan heboh. Terjemahan bahasa Inggrisnya pun bagus dan akan lebih baik lagi kalau penerjemah menggunakan nama asli dewa-dewi yang diceritakan. Sebagai contoh, saya harus mencari cukup lama di internet untuk menemukan bahwa Divine Kinsman itu sebenarnya Erlang Shen, haha. Gaya bahasanya bagus, terutama karena penggunaan kata-kata yang cocok di bagian puisi.

Yang tidak kalah menariknya adalah cerita tentang Taoisme, Budhisme dan Konfusianisme. Lewat buku ini, saya baru diingatkan kembali bahwa banyak dewa-dewi, misalnya Raja Langit dan Nezha, adalah bagian dari ajaran Taoisme yang berasal dari Cina. Inilah alasannya kenapa Perjalanan ke Barat terjadi: karena Xuanzang ditugaskan untuk mengambil kitab suci Budha di India.

Secara keseluruhan, ini adalah bacaan yang santai dan lucu. Saat membaca, saya pun teringat lagi dengan berbagai adegan yang pernah saya tonton sebelumnya. Saya jadi ingat dengan adegan saat Wukong melompat dari tapak Budha, saat dia dikalahkan oleh Hong Hai-er, tentang kura-kura yang marah dan membuat kitab basah di sungai dan masih banyak lagi. Pokoknya berkesan! 

Saturday, December 18, 2021

The Staycation

One of the things I liked about travelling was the hotels. I loved lazing around in a nice hotel ambience after exploring a foreign city all day long. But if I did the same thing in the city I was living, which was the basic idea of staycation, it felt really weird. It was like, "err, I know my house is not very far from here and I can go home any time I want, so why do I do this again?"

With that thought in mind, I doubted that I would even try it out if it was up to me. The first staycation I had was based on an indirect request from my daughter. Back in 2016, she was crazy about bunk beds, so instead of buying her one, we checked in to D'Resort in Pasir Ris. Nice place, but apart from the facilities in the vicinity, the hotel was pretty isolated. 

The staycation.

The next time I had a staycation again was three years later in 2019. It was a wedding anniversary and I certainly didn't mind the idea of staying at Hard Rock Hotel in Sentosa. Hard Rock was like a rock and roll shrine, so I was receptive to the idea. And indeed the idea was good. Sentosa was a tourist spot, so it did feel like we were having a holiday. On top of that, the swimming pool was easily the best.

Then came COVID-19 not long after that. Staycation had been a thing prior to that, but it was now a norm and probably the closest thing to a vacation at the height of COVID-19. It suddenly felt like the only option, so we went for a night at the Parkroyal Hotel behind Hong Lim Park. I remember my wife loving the design so much (it was green and eco-friendly) and the high ceiling was definitely a plus point. Chinatown Point was just next to it, so food options were abundance. 

Linda and Audrey at Parkroyal.

Then a year after that, 2021, still pretty much a life in the time of corona. Since my idea of travelling didn't include PCR, we opted for staycation again. It sounded like an idea, especially now that SingapoRediscover vouchers we had were about to expire, haha. So we booked a room at Four Seasons Hotel. Since we still got some balance and my daughter was curious about Hotel Mono, we booked that one, too.

Hotel Mono was in Chinatown. It was not literally as monotone as the name suggested because some walls in the room were painted with pink color, haha. My daughter and I went there just for the fun of it and we visited the Buddha Tooth Relic Temple, too. Few days later, we checked in to Four Seasons in Orchard. Not a new hotel, but was still very grand and well maintained. Among all the rooms we booked for staycation, this one had the most luxurious feel and the only one with a bathtub.

With Linda at Hotel Mono.

After experiencing it before and during COVID-19, I'd say that for a leisure activity, staycation was not immediately enjoyable. I mean, Singapore isn't really big, so regardless where I stayed, be it in Sentosa or Orchard, I couldn't help feeling that I know the places quite well and my house was just nearby. 

I found it hard to reconcile the thought sometimes. In fact, it was so odd that I actually had to attune to the right mindset by pretending I was a tourist exploring an area that I usually passed by rather frequently in real life. I just had to look for a new angle! Then and only then it made more sense. But in the time when travelling wasn't possible, staycation was indeed better than nothing. It was still a nice family time after all.

Linda, Mum and Audrey at Four Seasons.



Staycation 

Salah satu hal yang saya sukai saat liburan adalah tinggal di hotel. Saya suka bersantai menikmati suasana hotel setelah seharian berjalan-jalan di kota asing. Akan tetapi jika saya melakukan hal yang sama di kota tempat saya berdomisili (dan ini pada dasarnya merupakan konsep dari staycation) rasanya sungguh janggal. Yang timbul justru perasaan seperti, "eh, saya tahu rumah saya tidak jauh dari sini dan saya bisa pulang kapan pun saya mau, jadi kenapa saya menginap di sini, ya?"

Dengan pemikiran seperti ini di benak saya, saya ragu kalau saya akan memiliki inisiatif untuk staycation. Pertama kalinya saya mencoba staycation itu karena permintaan tidak langsung dari putri saya. Di tahun 2016, dia tergila-gila dengan tempat tidur dua tingkat, jadi daripada saya beli, saya dan keluarga akhirnya menginap di D'Resort di Pasir Ris. Tempatnya bagus, tapi agak terpencil dan yang bisa dinikmati hanyalah fasilitas di sekitar hotel.

Hotel-hotel tempat staycation.

Tiga tahun kemudian, saya mencoba staycation lagi. Waktu itu saya dan istri merayakan ulang tahun pernikahan dan saya tidak keberatan untuk menginap di Hard Rock Hotel di Pulau Sentosa. Hard Rock ini bagaikan tempat diabadikannya rock and roll, jadi saya sangat setuju. Sentosa juga merupakan kawasan turis, jadi rasanya seperti sedang berlibur. Selain itu, kolam renangnya yang berpasir boleh dikatakan paling mantap sampai sejauh ini. 

Setelah itu dunia dilanda COVID-19. Staycation yang sebelumnya sudah merupakan hal yang unik dan memiliki daya tarik kini menjadi sesuatu yang paling menyerupai liburan di tengah hebohnya  COVID-19. Tiba-tiba saja staycation menjadi satu-satunya pilihan, jadi saya sekeluarga menginap di Parkroyal Hotel yang berlokasi di belakang Hong Lim Park. Saya ingat bahwa istri saya menyukai tata ruang hotel yang hijau dan ramah lingkungan. Langit-langitnya yang tingi pun menjadi nilai tambah. Chinatown Point berada di sebelah hotel, jadi banyak pilihan makanan. 

Linda dan Audrey di Parkroyal.

Setahun kemudian corona masih tetap merajalela. Karena saya tidak ingin menjalani liburan yang wajib PCR, kami kembali memilih untuk staycation lagi. Ini ide bagus, terutama karena kupon subsidi SingapoRediscover hampir habis masa berlakunya, haha. Saya lantas memesan kamar di Four Seasons Hotel. Karena masih ada sisa dan putri saya tertarik dengan Hotel Mono, saya pun pesan kamar yang ini juga. 

Hotel Mono berada di daerah Chinatown. Warnanya tidaklah monoton karena ada warna merah muda di dinding, haha. Yang menginap di sana hanya saya dan putri sulung saya dan kami sempat mengunjungi Kuil Buddha Tooth Relic selama berada di sana. Beberapa hari kemudian, kami check-in ke Four Seasons di Orchard. Ini bukanlah hotel baru, tapi masih terasa berkelas dan terawat. Dari semua kamar yang saya pesan selama staycation, yang satu ini terasa paling mewah dan satu-satunya kamar yang memiliki bak mandi. 

Bersama Linda di Hotel Mono.

Setelah mencoba staycation sebelum dan selama COVID-19, saya pribadi merasa bahwa aktivitas ini bukanlah sesuatu yang bisa saya nikmati secara langsung. Maksud saya, Singapura bukanlah negara yang luas, jadi di mana pun saya tinggal, baik itu di Orchard maupun Sentosa, saya tanpa sadar selalu merasa bahwa saya tahu tempat ini dan rumah saya tidaklah jauh.

Pemikiran di atas sungguh terasa janggal, sampai-sampai saya harus meyakinkan diri saya sendiri bahwa saya ini turis di kawasan yang sebenarnya sering saya lewati. Singkat kata, saya harus memiliki sudut pandang yang baru dan tepat untuk menikmatinya. Setelah itu barulah terasa lebih masuk akal. Kendati begitu, di masa ketika liburan ke luar negeri sulit untuk diwujudkan, masih lebih baik staycation daripada tidak ke mana-mana. Yang penting tetap ada liburan keluarga. 

Tuesday, December 7, 2021

Google Home And Music

When I set up Google Nest Wifi, the existence of the speaker meant for Google Assistant simply couldn't be ignored as if it was begging for you to use it. One thing that I immediately tested right after noticing it was to play music. 

In order to play the music seamlessly without ads, you'd have to link the Google Home with either Spotify or YouTube Music. Prior to this, I never used any music app before. As you might have noticed, I was an avid CD fan, but I was so intrigued this time that I just had to try it out. 

Spotify was the first one that I tried out. As a result, it became a benchmark, too. The app interface was so intuitive that I felt like I knew what to do with it to get what I wanted. I also liked the lyrics that kept scrolling up as I played the song. 

Now, with Spotify as my introduction to music app, I'd naturally expect YouTube Music to be more superior. I mean, it was from Google, so the user experience must be better, right? Turned out that it wasn't exactly true. Yes, it was capable of switching from audio to video, but when the intention was to only listen to music, I found that I wasn't even bothered to switch on the video, so the feature was unused. And, while this might look trivial, I disliked the extra step of clicking the lyrics tab. It didn't feel seamless. 

After the trial version expired, I switched from YouTube Music to Apple Music. I'd have to say it was worse than the previous one. It felt like a mobile version of iTunes and in a world where it had to compete with Spotify, it certainly felt outdated. To make it worse, it wasn't compatible with Google Home, at least in Singapore. It couldn't be used as a music provider!

It was fatal. After going through the privilege of just literally asking Google to play the songs I'd like to hear, I was now deprived from it. I disliked the feeling. It was like knowing that the feature was there but I couldn't use it because Apple Music was incompatible.

Confused? Okay, let's have a step back. Nowadays there was this little something called casting. What it did was broadcasting what we played on the phone to another devices such as TV and speakers. In this context, I was referring to Google Nest speakers. 

All three apps I mentioned earlier could cast the songs. No issue with this. But what I fancied was the ability to play music by just saying hey Google and what I wanted to hear spontaneously. While this worked perfectly with Spotify and YouTube Music, it simply couldn't be done with Apple Music because it wasn't listed as music providers.

Back to the original statement above, I had been a CD fan for the longest time, but the experience was so cool that I might have had a change of heart. I liked the newfound freedom that I could play music as I stepped into any room in my house. It was something I couldn't do before. And as for the music provider, I think Spotify worked best for me...

Google Home and music.




Google Home Dan Musik

Ketika saya memasang Google Nest Wifi, keberadaan speaker berkomunikasi dengan Google Assistant tidak bisa diabaikan begitu saja karena terlihat jelas di depan mata. Oleh karena itu saya lantas melakukan uji coba dengan cara memutar lagu. 

Supaya lagu-lagu bisa dipilih dan diputar tanpa selingan iklan, saya harus menghubungkan Google Home dengan penyedia musik, misalnya Spotify atau YouTube Music. Saya lantas membuka akun dan mencoba versi gratis selama sebulan. Sebelum ini, saya tidak pernah menggunakan aplikasi musik di telepon genggam. Seperti yang mungkin sudah anda ketahui, saya adalah pencinta CD lagu, tapi kali saya sungguh tergelitik sehingga mencoba fitur yang tersedia. 

Spotify adalah aplikasi pertama yang saya coba pakai dan hasilnya pun menjadi standar bagi aplikasi selanjutnya. Aplikasi ini terasa intuitif dan saya tidak mengalami kesulitan penggunaan. Saya juga suka dengan liriknya yang dinamis dalam menampilkan bagian yang sedang dinyanyikan. 

Setelah sebulan bersama Spotify, saya berharap bahwa YouTube Music akan lebih bagus lagi aplikasinya. Maksud saya, ini produk asli dari Google, jadi seharusnya lebih mantap, bukan? Namun ternyata tidak begitu ceritanya. Ya, YouTube Music bisa menampilkan audio dan video, tapi apa yang saya inginkan hanyalah mendengarkan musik, jadi saya bahkan tidak pernah sempat untuk menonton videonya sehingga fitur ini sama sekali tidak terpakai. Dan satu hal lain yang mungkin terlihat remeh tapi tidak praktis adalah langkah ekstra untuk melihat lirik lagu. Dari sudut pandang pengalaman seorang pengguna aplikasi, ini bukanlah hal yang positif.

Setelah versi gratis selama sebulan berakhir, saya berpindah dari YouTube Music ke Apple Music. Saya jujur katakan bahwa rasanya ini lebih buruk dari aplikasi sebelumnya. Tampilannya seperti versi ringkas dari iTunes dan di dunia dimana Apple Music harus bersaing dengan Spotify, aplikasinya terasa ketinggalan zaman. Lebih parah lagi, Apple Music tidak bisa dipakai sebagai penyedia musik bagi Google Home di Singapura!

Ini sungguh fatal. Setelah merasakan betapa praktisnya berujar meminta Google Assistant untuk memutar lagu, kebebasan saya bagaikan direnggut paksa. Saya tidak suka perasaan dimana saya tahu fitur ini ada, tapi tidak bisa dipakai karena Apple Music.

Anda merasa bingung? Baiklah, mari kita mundur selangkah. Sekarang ini ada yang namanya casting. Teknologi ini memungkin pengguna aplikasi untuk memancarkan apa yang sedang dimainkan di telepon genggam ke TV atau speaker. Di dalam konteks cerita kita ini, yang saya maksudkan adalah speaker Google Nest.

Tiga aplikasi di atas bisa melakukan casting. Tidak ada masalah dengan fitur ini. Tapi yang saya sukai adalah kebebasan dalam memutar lagu hanya dengan mengucapkan hey Google dan juga lagu yang ingin saya dengarkan secara spontan. Ini yang kini tidak bisa dilakukan lagi karena Apple Music tidak terdaftar sebagai penyedia musik di Google Home.

Kembali ke pernyataan di atas, saya adalah penggemar CD dari sejak dulu kala, namun kini pendapat saya berbeda. Saya suka dengan kebebasan baru yang saya miliki dan memungkinkan saya untuk bisa memutar lagu di setiap ruangan di rumah. Ini adalah sesuatu yang tidak bisa saya lakukan sebelumnya, saat mendengarkan musik dari CD. Akan halnya pilihan untuk penyedia musik, saya rasa Spotify paling cocok untuk saya...