Total Pageviews

Translate

Sunday, January 19, 2025

One Week In India: Jaipur And Beyond

Our adventure in Rajasthan began 3.5 hours after we left Fatehpur Sikri Fort in Uttar Pradesh. We went to Abhaneri to see the Chand Baori step well. A very strange architecture that I hadn't seen before! Equally impressive were the birds that hung out there. From time to time, the flock would fly few rounds circularly and back to where they came from. Majestic. 

Two hours later, we reached Jaipur. It was late in the afternoon, but quite a number of kites were still roaming the sky. The festival reminded of me of the Kite Runner, a great book I read last year. It was eventually closed by the firework at night. We managed to watch it while waiting for our Uber. That night, we went to World Trade Park for dinner and I had biryani KFC again, haha.

At Hawa Mahal.

The real sightseeing began the next morning. It became clear to us why Jaipur was nicknamed Pink City. Every building inside the city wall is painted with this earthly red color. And our first stop was Hawa Mahal that can be translated as Wind Palace. It somehow reminded me of the Ruins of St. Paul in Macau, except this one was intentionally built as a one-sided wall! 

From the same spot, we picked up our guide, Gopal, then headed to Amer Fort. This is quite an impressive fort on the hill, complete with 12 apartments for 12 spouses. Also take note that Jaipur was ruled the maharajas, which meant it was mainly under Hinduism, but with a fair share of Islam influence because it was also under the Mughal Empire. 

Visiting Amer Fort.

There were two entrances to the fort. The Sun Gate could be entered by those who opted for the elephant ride. We went in via Moon Gate instead as we carried on with our car. Lots of couples taking pre-wedding picture that day. I think being in love kept the ladies warm as they wore so little for a pretty cold day in Jaipur!

Talk about the elephant, we visited Elejungle. They offered programs such as painting the elephant, feeding the elephant, the elephant ride, showering with the elephant and being lifted up by the elephant. Showering is not possible due to the cold weather, though. We opted for feeding and it was the first time I had the up, close and personal time with the elephants. The skin was rough and hairy!

The elephants of Jaipur. 

On our way out, we went to Jal Mahal, the Water Palace that stands in the middle of the lake. We could only take photos here as the palace isn't open to the public. Then, after a quick visit to see the textiles and gemstones industry, we had our lunch at the Royal Treat to try out Rajasthani food. To be frank, as a non-Indian, I couldn't tell the difference, haha. 

It started raining when we returned to the Pink City to begin the second half of the tour. It was cold and since some parts of the City Palace weren't sheltered, we had to run under the rain. The City Palace had an art gallery and it also offered us a glimpse of what the royal attires were like, back in the days of the maharajas. The last bit of it was the pashmina education at the store.

Inside the City Palace.

The last destination of the day was Jantar Mantar. It was supposed to be a traditional science centre, but since the sky was dark and cloudy, no sundial testing could be done there. On our way out, I grabbed a postcard and stopped for a while at the nearest post office. That, plus another round of dinner at the World Trade Park, closed the night in Jaipur. 

The next day was a ride to Neemrana. We checked in to a hotel that was originally a fort, so for the first time in our trip, the pace slowed down. We just had to relax, enjoying our stay at the fort. It was like experiencing medieval time with a tinge of modernization. We got a short guided tour, then high tea with a view in the late afternoon.

Relaxing in Neemrana. 

The magic happened when the night came. The whole fort lighted up, amplifying its brilliance. It somehow reminded me of Chongqing and the lightings that created the illusion around Yangtze river. The night eventually ended with a delicious Kung Pao chicken that made Jasper wondering if the cook was a Chinese.

The next day, we headed back to New Delhi and checked into WelcomHotel again. Looking back, it was probably the best hotel with the best breakfast throughout our one week in India. As recommended by Mitesh, we went to DLF CyberHub. For the first time ever, high-rise buildings! But it was not exactly in Delhi, but in a state called Haryana, so it didn't count, hehe. 

With Manish, our faithful driver. He's the best.

We walked a bit around here and decided to have late lunch at Chili's. Yeah, after a week of Indian food, something different was definitely welcome. After lunch and sightseeing, we made our way to Hauz Khaz Market. And we were stumped when we reached there. It didn't look like a tourist destination at all. 

Apparently the correct destination was Hauz Khaz Village. Not exactly near, so we hopped into Uber and headed there. We got it right this time, but for once in my life, it felt like visiting a place for a younger crowd. We didn't stay long. After exploring the area, we returned to our hotel. That officially ended our visit in India! Until next time! To the other cities with Hard Rock Cafe, probably Goa, Pune, Chennai or Hyderabad?

Crisscrossing the alley in Hauz Khaz Village.





Seminggu Di India: Jaipur Dan Kota Lainnya

Petualangan kita di Rajasthan bermula 3,5 jam setelah kita meninggalkan Benteng Fatehpur Sikri di Uttar Pradesh. Kita menuju ke Abhaneri untuk melihat sumur tangga Chand Baori. Saya tidak pernah melihat struktur aneh seperti ini sebelumnya! Yang tak kalah menakjubkan juga adalah burung-burung yang bertengger di atasnya. Dari waktu ke waktu, sekumpulan burung ini akan terbang mengitari sumur tangga dan kembali ke tempat semula. Mencengangkan! 

Dua jam kemudian, kita tiba di Jaipur. Saat itu hari menjelang senja, namun masih banyak layang-layang di langit. Festival ini mengingatkan saya pada Kite Runner, novel bagus yang saya baca tahun lalu. Kembang api pun bermunculan sewaktu malam tiba, saat kita sedang menanti Uber di depan hotel. Untuk makan malam, kita pergi ke World Trade Park dan saya menyantap  biryani KFC lagi, haha.

Di depan Hawa Mahal.

Tur baru dimulai keesokan paginya. Akhirnya kita tahu kenapa Jaipur dijuluki Kota Merah Muda. Semua bangunan di dalam tembok kota dicat dengan warna ini. Dan pemberhentian pertama kita adalah Hawa Mahal yang bisa diterjemahkan sebagai Istana Angin. Bentuknya mengingatkan saya pada Reruntuhan Santo Paulus di Macau. Bedanya Hawa Mahal yang berupa satu sisi tembok ini memang dengan sengaja dibangun seperti ini.  

Di tempat yang sama, pemandu wisata bernama Gopal datang bergabung dan kita lantas pergi ke Benteng Amer. Benteng yang lokasinya di atas perbukitan ini cukup mengesankan, luas juga dan memiliki 12 apartemen untuk 12 ratu dan selir. Perlu diketahui pula bahwa Jaipur ini dulunya dipimpin oleh maharaja, jadi berbudaya Hindu. Namun karena India dikuasai oleh Kekaisaran Mughal, pengaruh Islam pun terasa. 

Mengunjungi Amer Fort.

Ada dua pintu masuk ke benteng. Gerbang Matahari dikhususkan bagi mereka yang datang menaiki gajah. Kita sendiri masuk melewati Gerbang Bulan karena menggunakan mobil. Di hari itu, banyak pasangan muda yang berfoto pranikah. Saya rasa perasaan jatuh cinta membuat para gadis belia itu merasa hangat, meskipun minim pakaian pengantinnya di hari yang dingin di Jaipur! 

Bicara tentang gajah, kita juga pergi ke Elejungle. Mereka menawarkan aneka program seperti melukis gajah, jalan-jalan menaiki gajah, memberi makan gajah, mandi bersama gajah dan diangkat dengan belalai gajah. Berhubung cuaca yang tidak memungkinkan, mandi bersama gajah ditiadakan. Kita coba memberi makan gajah dan itu adalah kali pertama saya sedekat itu dengan gajah. Kulitnya kasar dan berbulu! 

The elephants of Jaipur. 

Dalam perjalanan keluar, kita singgah sejenak di Jal Mahal, Istana Air yang berdiri di tengah danau. Kita hanya bisa berfoto dari jauh karena istana ini tidak dibuka untuk umum. Kemudian, setelah kunjungan singkat ke industri tekstil dan batu permata, kita makan siang di Royal Treat dan mencoba masakan Rajasthan. Jujur saja, sebagai non-Indian, saya tidak bisa rasakan perbedaannya dengan makanan India yang biasa saya makan, haha. 

Hujan turun ketika kita kembali ke Kota Merah Muda untuk melanjutkan tur. Cuaca bertambah dingin dan karena Istana Kota merupakan tempat terbuka, kita harus berlari di bawah hujan. Kota Istana memiliki galeri seni dan juga museum yang berisi aneka pakaian maharaja dan pasangannya. Sebelum kita keluar, kita mendengar sedikit tentang pashmina di toko. 

Di dalam Istana Kota.

Destinasi terakhir adalah Jantar Mantar. Tempat ini merupakan pusat pengetahuan masa silam, namun karena langitnya mendung, jam matahari dan perangkat lainnya pun tidak berfungsi di sini. Di pintu keluar, saya membeli kartu pos dan berhenti sejenak di kantor pos terdekat. Setelah makan malam di World Trade Park lagi, malam di Jaipur pun usai.

Kita berangkat ke Neemrana pada keesokan harinya. Hotel kita kali ini dulunya adalah benteng, jadi untuk pertama kalinya sejak perjalanan dimulai, kita bersantai di hotel saja. Kesannya seperti abad pertengahan yang sudah tersentuh oleh modernisasi. Kita ikut tur singkat, lalu menikmati perjamuan teh dengan pemandangan yang lain dari biasanya.

Bersantai di Neemrana. 

Keindahan Neemrana kian terasa di malam hari. Benteng kini bermandikan cahaya lampu dan terlihat menakjubkan. Saya jadi teringat dengan Chongqing dan ilusi yang tercipta di sekitar sungai Yangtze berkat cahaya lampu. Malam itu akhirnya ditutup dengan ayam Kung Pao yang lezat dan Jasper membayangkan apakah kokinya adalah orang Cina.

Kita kembali ke New Delhi di hari berikutnya dan check in lagi di WelcomHotel. Kalau dilihat kembali, ini adalah hotel terbaik dengan sarapan pagi paling mantap selama kita berada di India. Mengikuti anjuran Mitesh, kita pergi ke DLF CyberHub. Akhirnya, gedung-gedung tinggi! Tapi kawasan ini bukan di Delhi, melainkan di negara bagian bernama Haryana, jadi tidak masuk hitungan, hehe. 

Bersama Manish, supir andalan kita.

Kita jalan-jalan sejenak dan makan siang Chili's. Ya, setelah seminggu menyantap makanan India, menu yang berbeda sungguh terasa sedap. Setelah makan dan mengitari kawasan CyberHub, kita lanjut ke Hauz Khaz Market. Dan kita merasa bingung saat tiba di sana, sebab tempatnya tidak terlihat seperti daerah turis. 

Ternyata tempat tujuan yang benar seharusnya adalah Hauz Khaz Village. Letaknya cukup jauh, jadi kita naik Uber menuju ke sana. Kali ini benar tujuannya, tapi rasanya tempat ini cocoknya untuk kalangan yang lebih muda. Alhasil kita tidak lama di sana dan kembali ke hotel. Liburan di India pun berakhir. Sampai berjumpa lagi di lain kali! Mungkin kota lain dengan Hard Rock Cafe, entah itu Goa, Pune, Chennai atau Hyderabad?

Di dalam gang di Hauz Khaz Village.

Tuesday, January 14, 2025

One Week In India: Agra

Our trip to Agra in Uttar Pradesh started at 8am. It took us 4.5 hours of road trip from Welcomhotel in New Delhi to a hotel called Clarks Shiraz in Agra. After check in and quick lunch, the tour began with Agra Fort. That's when the history was slowly connected.

You see, back in Delhi, we went to Humayun's Tomb. Then at the Agra Fort, I started hearing about Jahangir, the grandson of Humayun. The fort itself was as impressive as it could be. Three other historical sites appeared in my mind when I was there: the Tower of London, the Forbidden City in Beijing and Kraton in Yogyakarta

At Agra Fort.

I suddenly could relate with what my friend Tuty had told me before. The Kraton was dwarfed in comparison. Agra Fort looked so sturdy that Kraton felt... flimsy. It stood tall, a reminder of a civilization from the past that was once as grand as the British and the Chinese. 

And from the window of Agra Fort, we could see Taj Mahal, probably the last thing Shah Jahan saw before he died. When history crossed over with a love story, this is where it got interesting. So while we were on our way to Taj Mahal, I began reading extensively about it.

At Taj Mahal.

It was actually quite a sad story. A king so loved the wife that he eventually built Taj Mahal for her when she died. Yet it didn't end well for Shah Jahan himself. His son imprisoned him and also killed all his own brothers. On top of that, he turned out to be the greatest king of Mughal Empire. Oh, the irony. 

But Taj Mahal itself was a wonder. I remember walking towards the front gate and as I got closer, Taj Mahal was revealed in all its glory. It was so brilliant, so beautiful that I stood there for quite a while in the afternoon, admiring the meaning of Taj Mahal. That long after the Mughal Empire was gone, Taj Mahal still stands the test of time and continues telling a great love story to the future generations. 

I just couldn't help admiring Taj Mahal!
Photo by Surianto.

By the time we left, Surianto said something like, "now that we have seen the Taj, what else is left for us to admire?" Emotionally exhausted, I tended to agree. And we went back to hotel, having seen enough for the day. We didn't go out again. We had a delicious mutton biryani at the hotel instead. 

The next morning, I thought we'd go straight to Jaipur. Apparently there was one more destination: Fatehpur Sikri Fort. We reached there after an hour drive from our hotel. Then the history lesson resumed. We learnt about King Akbar, Shah Jahan's grandfather. Before moving to Agra, he and his three wives, including one that was allegedly Christian, lived here. The last gate was pretty impressive.

In front of the last gate of Fatehpur Sikri Fort.

But all good things must come to an end. As we finished the sightseeing and drove away from Fatehpur Sikri Fort, we left behind the Mughal Empire. Heading into the new chapter now: Rajasthan, the Land of the Kings!



Seminggu Di India: Agra

Perjalanan kita ke Agra di negara bagian Uttar Pradesh dimulai jam 8 pagi. Durasi jalan darat dari Welcomhotel di New Delhi sampai ke hotel Clarks Shiraz di Agra adalah 4,5 jam. Setelah mendapatkan kamar dan makan siang sejenak, tur pun dimulai dengan Agra Fort. Perlahan-lahan sejarah yang kita dengar pun mulai berkesinambungan. 

Jadi sewaktu berada di Delhi, kita mampir ke Makam Humayun. Lalu di Agra Fort, saya mulai mendengar tentang Jahangir, cucu Raja Humayun. Benteng merah ini cukup berkesan, sampai-sampai saya jadi teringat dengan tiga situs sejarah lain yang telah saya kunjungi: Menara London, Istana Terlarang di Cina dan Kraton di Yogyakarta

Di Agra Fort.

Tiba-tiba saya bisa memahami apa yang teman saya Tuty ceritakan sebelumnya. Kraton terlihat mungil bila dibandingkan dengan Agra Fort. Benteng ini juga kokoh sehingga Kraton terlihat rapuh. Agra Fort berdiri megah, membuat saya membayangkan tentang sebuah kebudayaan yang setara dengan Inggris dan Cina. 

Dan dari jendela di Agra Fort, kita bisa melihat Taj Mahal di kejauhan. Mungkin ini adalah pemandangan terakhir yang dilihat oleh Shah Jahan sebelum dia meninggal. Ketika sejarah bercampur dengan cerita cinta, daya tariknya pun bertambah. Sewaktu kita menuju Taj Mahal, saya pun kian intensif membaca kisahnya. 

Di Taj Mahal.

Cerita Taj Mahal sebenarnya agak sedih. Seorang raja begitu mencintai istrinya dan ketika maut merenggut sang permaisuri, Shah Jahan pun membangun Taj Mahal sebagai bukti cintanya. Namun nasib sang raja sendiri tidaklah baik. Ia dipenjarakan oleh anak yang juga membunuh semua saudara laki-lakinya, lalu menjadi raja terhebat di Kekaisaran Mughal. Sungguh ironis. 

Namun Taj Mahal adalah sebuah keajaiban. Saya masih ingat betul saat saya berjalan menuju ke gerbang depan. Semakin saya mendekat, semakin Taj Mahal terlihat utuh. Begitu menakjubkan dan indah, sehingga tanpa sadar saya berdiri cukup lama mengagumi makna yang tersirat dari Taj Mahal: bahwa lama setelah Kekaisaran Mughal lenyap dari muka bumi, Taj Mahal masih berdiri tegak, tak lekang oleh waktu, dan menjadi saksi bisu bagi generasi mendatang tentang sebuah kisah cinta di masa lampau. 

Terpesona oleh Taj Mahal.
Foto oleh Surianto.

Saat kita beranjak pergi, Surianto berkata seperti ini, "setelah kita melihat Taj Mahal, selanjutnya apalagi yang masih berkesan?" Saya yang masih terngiang-ngiang dengan Taj Mahal cenderung setuju dengan ucapannya. Dan kita pun kembali ke hotel dan tidak ke mana-mana lagi setelah melihat sebuah keajaiban dunia. Untuk makan malam, kita menyantap nasi biryani di hotel.

Keesokan paginya, saya menyangka kita langsung ke Jaipur. Ternyata masih ada satu destinasi: Fatehpur Sikri Fort. Kita mencapai tempat tujuan kira-kira satu jam lamanya dari hotel. Lantas pelajaran sejarah pun berlanjut. Kini kita belajar tentang Raja Akbar, kakek Shah Jahan. Sebelum pindah ke Agra, dia dan tiga permaisurinya yang masing-masing beragama Islam, Hindu dan konon Kristen tinggal di sini. Gerbang terakhir yang kita lewati menjulang tinggi dan mengesankan. 

Di depan gerbang Fatehpur Sikri Fort.

Namun segala sesuatu ada akhirnya. Setelah selesai dan pergi dari Fatehpur Sikri Fort, kita meninggalkan Kekaisaran Mughal dan lanjut ke bab berikutnya: Rajasthan, negeri para raja! 

Monday, January 13, 2025

One Week In India: New Delhi

My third trip to India wasn't solely my idea. About a year ago, I was simply inspired by my colleague Jasper when I saw him going for a long trip to Egypt in January. He was taking a break right after New Year's day, but before CNY! It felt like a good idea that I hadn't done before, so I told him that. 

As Jasper and I talked, it turned out that he was keen on visiting Taj Mahal. For me, I never travelled with anyone to India before. My first two trips, Kolkata and Bangalore, was done solo because nobody wanted to join me. So a chance to travel with a buddy to an exotic destination with Hard Rock Cafe was too good to be missed! 

Around July 2024, we hung out with Mitesh, our colleague from New Delhi. We discussed about the trip and the itinerary was more or less done. The trip was on! I asked Surianto and he was excited. Boon would be the fourth guy to join. And since India is nothing like Japan, Mitesh recommended us to use Jetsave Holidays, a travel agency he knew about. 

While waiting for our flight to depart.

Fast forward to wee hours on 11-Jan-2025, there we were at Gate B5, waiting for our flight to depart. It was Surianto's first time flying with SQ and it was delayed for 1.5 hours. An experience to remember! The night sky was dark as we flew northwest across the time zone. Then the plane descended into the foggy, greyish sky of New Delhi.

Indira Gandhi International Airport was... unassuming. Immigration was smooth, luggage collection was all right, toilet was clean, but as Boon put it, there was no visible landmark for us to take a photo. Our driver Manish met us at gate 4 and, after a car ride of 30 minutes, we reached Welcomhotel in Dwarka Sector 10 area.

The photo taken by the professional photographer.

The hotel was booked from the night before, so we got our rooms immediately, including the breakfast! It was fantastic, as one could expect from the Indian cuisines. Right after that, we headed to our first destination: Swaminarayan Akshardham. It's dedicated to a holy man that we as tourists had never heard of before. 

What I can tell you is this: no phone allowed. And that caused us to have a digital detox involuntarily. The withdrawal symptoms immediately showed. With no ability to google or to take pictures, we were quite unsure how to appreciate the meticulously built temple. On top of that, both Boon and I were sent back to the parking lot as our belongings contained cables and powerbank, haha. 

As we headed to the Lotus Temple.

Second destination was the Lotus Temple. This was again another culture lost in translation. I mean, it is grand, all right, but since we didn't speak Hindi, I totally had no idea why we queued only to enter a quiet hall that had no attraction inside. 

We had our dinner at Gulati, a recommendation from Mitesh. Great butter chicken and mutton biryani! From there, we headed to Hard Rock Cafe. Up until then, I had visited a total of three Hard Rock Cafes (Bangalore had two when I was there) and the t-shirts collection had been a letdown. Apparently Hard Rock Cafe New Delhi was no exception, too. 

Having dinner at Gulati.

That rainy night, after a futile attempt to queue for KFC, we took Uber back to hotel. We were soon reminded again of what our driver said earlier that day. Three things were required to drive in Delhi: good horn, good brake and good luck. The honking never stopped and the traffic jam was worse than what I encountered in Jakarta! Even when an ambulance was blaring its sirene behind us, it seemed like none understood the urgency to give way! 

The vehicle that had a better success in parting the crowd was the rickshaw. The experience was equal to sitting on the front seat to see Moses parting the Red Sea. The sea of people in Old Delhi market would just give way to our rickshaw. One pedestrian was clumsy enough to get his banged by the rickshaw and they all just moved on like nothing happened! How incredible!


When Surianto entered the door at Jama Mosque.

Anyway, we took the rickshaw because we were visiting Jama Mosque. For the third time in a row since yesterday, we took off shoes to visit the site. For this one, we even gotta fork out INR 100 to pay for the thin sandals that had the name J.W. Marriott written on them. But the mosque, said to be the third biggest in the world after the Blue Mosque and the one in Mecca, was indeed quite impressive. I like the part where Surianto spontaneously opened the door, creating a gap for a faint ray of light to shine in.

Once we were done with Jama Mosque, we skipped the Red Fort and headed to Rajghat and India Gate. We also drove around to see the Presidential Palace and other government offices. Then came the time for lunch at Connaught Clubhouse. The place was classy. We opted for light lunch and German Beer. Soon we were in the car again, going to Humayun's Tomb. 

Lunch at Connaught Clubhouse.
Photo by Boon.

One of the emperors from Mughal Empire, Humayun died at the age of 47 after he fell down from the stairs. He was the great, great grandfather of Shah Jahan, the one that built Taj Mahal. His mausoleum was like a palace, but as I walked into the centre of it, there was this anticlimactic feeling when I saw the marble tomb. In the end, the king was still a human that only occupied the human-sized tomb like any of us. 

The last attraction of the day was Qutub Minar. I found this very uniquely carved. The surface combined the shapes of round and square, making it very unusual. No wonder it was featured in Tintin, too, when he visited India during Tintin in Tibet

Qutub Minar, the impressive minaret behind me.
Photo by Jasper.

As the tour ended, we asked our driver to drop us in Khan Market. An interesting place, it felt like high-end shophouses for the riches. We had our dinner here at Breadtalk of all places! Boon and Jasper tried the laksa and they thought it tasted more like tomyum.

Then we walked to the metro station and experienced the 1.5 hours that included the slight confusion of the train detour. The train we were taking turned back before reaching our stop! Turned out that the concept was similar to Circle Line. Certain trains only reached Stadium whereas others would bring you all the way to Harbourfront. 

Taking the metro to Vegas Mall.

We stopped at a station called Dwarka Sector 14 and walked to Vegas Mall. Not bad. Probably one of the higher buildings and I finally got my localized KFC there! That pretty much ended the journey of our second day in Delhi. At the time of writing this, we were on our way to Agra and up until now, I hadn't seen any CBD area with tall buildings like Raffles Place in Delhi! 



Seminggu Di India: New Delhi

Liburan ke India untuk kali ketiga ini bukanlah sepenuhnya ide saya. Kira-kira setahun silam, saya terinspirasi oleh kolega saya Jasper saat saya melihat dia libur panjang ke Mesir di bulan Januari. Dia cuti setelah tahun baru berlalu, sebelum Tahun Baru Cina tiba! Saya katakan padanya bahwa ide bagus ini belum pernah saya coba sebelumnya. 

Tatkala Jasper dan saya berbincang, ternyata dia berminat mengunjungi Taj Mahal. Bagi saya sendiri, saya belum pernah berlibur bersama siapa pun ke India. Dua perjalanan sebelumnya, Kolkata and Bangalore, saya lakoni sendiri karena tidak ada yang mau ikut. Jadi petualangan bersama orang lain ke destinasi yang eksotis dan memiliki Hard Rock Cafe rasanya tak boleh dilewatkan! 

Sekitar bulan Juli 2024, kita minum bersama Mitesh, kolega kita yang berasal dari New Delhi. Kita berbincang tentang liburan dan rencana perjalanan pun lekas tersusun. Saya tanyakan pula pada Surianto dan dia juga ingin ke sana. Boon lantas menjadi orang ke-empat yang turut bergabung. Karena India bukanlah Jepang yang praktis, Mitesh menyarankan agar kita sebaiknya memakai tur dan ia perkenalkan Jetsave Holidays.

Saat menunggu keberangkatan pesawat.

Setengah tahun kemudian, di subuh hari pada tanggal 11-Jan-2025, kita berkumpul di Gate B5, menanti penerbangan kita. Ini adalah pertama kalinya Surianto terbang dengan SQ dan penerbangan kita tertunda 1,5 jam! Pasti jadi kenangan tak terlupakan. Langit tengah malam terlihat gelap sewaktu kita terbang menuju ke arah barat laut melintas zona waktu. Kemudian, saat pesawat turun dari ketinggian, terlihatlah langit New Delhi yang berkabut dan senantiasa abu-abu. 

Bandara Internasional Indira Gandhi tidaklah istimewa. Imigrasinya lancar, pengambilan bagasi tergolong cepat dan toiletnya pun bersih, namun seperti kata Boon, tak ada bagian yang menarik untuk berfoto. Kita dijemput oleh Manish di Gate 4 dan setelah berada di mobil selama 30 menit, kita tiba di Welcomhotel yang berlokasi di Dwarka Sector 10.

Foto di Swaminarayan yang diambil oleh fotografer resmi.

Karena hotel sudah dipesan semalam sebelumnya, kita langsung mendapatkan kamar dan juga makan pagi. Menunya lezat, sesuai harapan penggemar makanan India. Sesudah sarapan, kita menuju ke tempat wisata pertama: Swaminarayan Akshardham. Kuil ini dipersembahkan untuk orang kudus yang tak pernah kita, sebagai turis, dengar sebelumnya. 

Pengalaman yang bisa saya jabarkan adalah seperti ini: tak boleh ada telepon selama di sana. Jadi kita pun dipaksa berwisata tanpa teknologi. Dampaknya langsung terlihat. Tanpa kemampuan untuk google dan berfoto, kita kesulitan untuk menikmati kuil yang dibangun dengan banyak ukiran detil ini. Selain itu, saya dan Boon juga disuruh kembali ke mobil di pelataran parkir karena tas kita ternyata berisi kabel dan powerbank, haha. 

Sewaktu kita berjalan ke Lotus Temple.

Destinasi berikutnya adalah Lotus Temple. Yang berikut ini adalah kasus budaya yang gagal dipahami. Ya, bangunannya memang megah, tapi karena kita tidak mengerti Hindi, kita tidak tahu untuk apa kita antri masuk ke aula yang sepi dan tidak ada atraksi. 

Kita lantas makan malam di Gulati yang direkomendasikan oleh Mitesh. Ayam mentega dan biryani daging kambing terasa empuk dan sedap! Dari Gulati, kita lanjut ke Hard Rock Cafe. Sampai sejauh ini, saya sudah mengunjungi tiga Hard Rock Cafe (Bangalore memiliki dua kafe sewaktu saya berada di sana) dan koleksi kaosnya terasa mengecewakan. Ternyata yang di Delhi pun sama saja tanpa pengecualian. 

Makan malam di Gulati.

Di malam yang rintik-rintik itu, setelah kita sia-sia mengantri di KFC, kita pulang ke hotel menggunakan Uber. Perjalanan itu mengingatkan kita kembali dengan ucapan supir kita. Ada tiga hal yang penting untuk mengemudi di Delhi: klakson yang bagus, rem yang bagus dan keberuntungan yang bagus. Klaksonnya tiada henti di tengah kemacetan! Bahkan ketika ambulan di belakang kita membunyikan sirene pun tak ada yang peduli dan memberikan jalan. 

Kalau ada kendaraan yang berhasil melewati keramaian, maka itu adalah riksaw. Pengalaman ini serupa dengan duduk di kursi paling depan dan menyaksikan Musa membelah Laut Merah. Lautan manusia di pasar Old Delhi memberi jalan bagi riksaw. Satu pejalan kaki yang ceroboh langsung terbentur kepalanya oleh riksaw, tapi semua biasa saja seakan tak ada apa pun yang terjadi. Memang menakjubkan! 

Ketika Surianto membuka pintu di Mesjid Jama. 

Oh ya, kita naik riksaw karena kita mengunjungi Mesjid Jama. Untuk ketiga kalinya sejak kemarin, kita melepaskan sepatu untuk mengunjungi situs. Khusus yang satu ini, kita mengeluarkan INR 100 untuk membayar sandal tipis yang bertulisan J.W. Marriott. Namun mesjid yang konon merupakan ketiga terbesar di dunia setelah Mesjid Biru dan yang di Mekah ini memang mengagumkan. Saya suka dengan siraman cahaya yang masuk ketika Surianto kebetulan membuka pintu. 

Sesudah Mesjid Jama, kita tidak mampir Red Fort dan langsung pergi ke Rajghat dan India Gate. Selain itu kita juga melewati Istana Presiden dan gedung pemerintah lainnya. Lantas tibalah waktunya untuk makan siang di Connaught Clubhouse. Tempat ini klasik dan berkesan. Kita makan pizza ayam tanduri dan Bir Jerman. Tak lama sesudah itu, kita pun berangkat lagi, kali ini ke Makam Humayun. 

Makan siang di Connaught Clubhouse.
Foto oleh Boon. 

Humayun adalah raja kedua dari Dinasti Mughal yang jatuh terpeleset dari tangga dan akhirnya meninggal di usia 47 tahun. Dia adalah leluhur Shah Jahan, raja yang membangun Taj Mahal. Makamnya besar seperti istana, tapi ketika saya masuk ke tengah ruangan, ada perasaan antiklimaks saat melihat peti marmernya. Pada akhirnya, seorang raja tetaplah manusia biasa dengan peti seukuran rakyat biasa pula.  

Atraksi terakhir pada hari tersebut adalah Qutub Minar. Saya terpesona dengan arsitekturnya. Permukaan menara ini dipahat dalam bentuk melingkar dan persegi sehingga benar-benar terlihat unik. Tak heran bahwa Tintin pun mengunjungi situs ini dalam petualangan Tintin di Tibet

Qutub Minar, menara mengesankan di belakang saya.
Foto oleh Jasper.

Tatkala tur berakhir, kita minta pada supir agar diturunkan di Khan Market. Tempat ini menarik dan kesannya seperti deretan ruko klasik untuk orang-orang kaya. Dan kita makan Breadtalk karena tergelitik dengan keberadaannya di India. Boon dan Jasper mencoba laksa dan ternyata rasanya lebih mirip tomyum.

Selanjutnya kita berjalan ke stasiun metro dan kembali ke arah hotel. Perjalanan pulang itu memakan waktu 1,5 jam, termasuk kebingungan yang terjadi karena keretanya tiba-tiba berbalik arah sebelum mencapai stasiun yang hendak kita tuju. Setelah ditelaah lagi, konsepnya sama dengan Circle Line di Singapura. Kereta tertentu hanya mencapai Stadium sedangkan yang setelahnya akan membawa anda sampai ke Harbourfront.

Naik metro ke Vegas Mall.

Kita turun di Stasiun Dwarka Sector 14 dan berjalan ke Vegas Mall. Bangunannya tergolong tinggi. Selain itu, akhirnya kesampaian pula niat saya untuk mencoba KFC di India. Dan malam itu pun mengakhiri petualangan kita di Delhi. Saat tulisan ini ditulis, saya sudah dalam perjalanan menuju Agra. Sampai sekarang, saya masih tidak melihat gedung-gedung tinggi yang menjulang seperti di Sudirman, Jakarta! 

Tuesday, January 7, 2025

Friendship In Our Forties

About a decade ago, I wrote a series called friendship in our thirties. Apart from the friendship itself, it also covered topics such as traveling, money, relationship and marriage. When I reached the big 40, I knew the series needed to be updated. Now that I'll be in my mid 40s soon, I think it's time. I'll start with the opinions I had this far.

Prior to entering the decade of my 40s, I imagined that, as we aged, it'd be more physically challenging. Now that I went through it, the first half had been all right. I could say it remained the same as the previous decade, except for the fact that I sprained my leg and suffered from malpractice, haha. But it got better real quick thanks to my friend Alvin. There was one health scare as well, but it turned out to be fine and most importantly, it got me thinking. 

Mentally, however, I always have this feeling that I have started pulling back the net from the sea. The analogy goes like this: when I was younger and just starting out, I casted the net as far as possible. Now that I'm in my 40s, there's this lingering feeling that I'm already half way there or may be more, so I start doing stocktaking and count my blessings. 

Despite how it sounds, trust me that it actually ain't that gloomy. I am still cheerful and doing my best, but I simply realize that I'm also older and all the more I want to enjoy my life. The best part is, I'm not alone. At some point in my life, my friends and I somehow decided that we started having enough time for old friends again and, voila! We are lucky to have that for the past 10 years! The cushion provided by the friendship keeps me sane! 

Then of course there's traveling, something that I'm passionate about since my first trip to Thailand in 2007. It had been great so far. Yes, I fulfilled my earlier dreams in my 30s, but after that, I came up with new ones, too. I made the Japan and China trip and many more happened. But one thing is always burning bright consistently: the urge to travel together to see the world, creating memories we'll cherish and talk about.

As for money, looking back at what I wrote, I could sense the naivety. It was my first taste of friends borrowing money. It was shocking at that time, that even friends who did so well at school could also end up doing this. But it didn't bother me anymore. My friend Muliady The posted a good stuff about making money on his Instagram recently, but I can only tell you this much: it's good to have enough. But what is enough? My definition is: when the basic stuff is taken care of. Anything else, well, life is what happens to you while you are busy making other plans. 

As for those who are in a relationship, I don't think my opinion matters anymore. You do you and, to quote my friend Jimmy, as long as you are happy, I'm happy. Family, on the other hand, is something that I happen to know. I can't say that I'm a brilliant husband or father, but I guess I'm pretty good in juggling those roles. And after all is said and done, I'd like to think that I had been a decent friend... And a decent host. And a decent chronicler. And a decent impresario

So to summarize, our 40s, it has been a good run, if not better. Let's do this for few more years and see what 50s will bring...

PS: Back to the juggling thing, my daughter Linda told me that she had a happy childhood, so I probably did it quite right for the past 12 years. As for my wife, from the the day she offered me the last piece of her 29th birthday cake till now, 20 years had passed since then. We had our disagreements, but I also believe that we had done it pretty well. 

Friendship in our forties: family and friends.



Persahabatan Di Usia 40an

Kira-kira 10 tahun silam, saya menulis seri yang bertajuk Persahabatan di Usia 30an. Selain tentang persahabatan itu sendiri, saya juga mengupas topik jalan-jalan, uang, hubungan dan kehidupan pernikahan. Ketika saya mencapai usia 40, saya tahu bahwa tulisan ini perlu diperbaharui. Sekarang, di usia menjelang 45, saya rasa sudah waktunya. Saya akan mulai dulu dengan opini pribadi saya. 

Sebelum memasuki dekade usia 40an, saya membayangkan bahwa seiring dengan bertambahnya umur, secara fisik kita akan melemah. Namun setengah dekade pertama ini masih baik-baik saja. Boleh dikatakan masih sama dengan dekade sebelumnya. Yang berbeda cuma kaki saya yang terkilir dan kian parah setelah dipijat dengan sembrono oleh teman-teman. Untunglah Alvin datang dan menyembuhkan, haha. Selain itu, ada pula indikasi mencurigakan pada hasil check up saya. Pada akhirnya tidak bermasalah, tapi semua itu membuat saya berpikir.  

Secara mental, saya cenderung merasa bahwa di usia sekarang ini, saya mulai menarik kembali jala yang saya tebarkan ke laut. Analoginya seperti ini: di masa muda, ketika saya mulai terjun ke dunia kerja, saya menebarkan jala sejauh mungkin. Sekarang, setelah merasa bahwa saya sudah setengah jalan atau lebih, saya mulai meninjau kembali apa yang telah saya kerjakan dan bersyukur atas berkat yang sudah saya terima. 

Meski terdengar suram, percayalah bahwa semuanya baik-baik saja. Saya masih ceria seperti biasa dan berupaya sebaik mungkin, tapi saya juga menyadari bahwa usia sudah bertambah dan semakin saya ingin menikmati hasil jerih-payah saya. Dan syukurlah saya tidak sendiri. Bertahun-tahun silam, banyak di antara kita yang memutuskan bahwa kita mulai memiliki cukup waktu untuk teman lama dan kini, tanpa terasa bahwa kita sudah berkumpul dan bersama mengarungi kehidupan dalam 10 tahun terakhir ini! Persahabatan yang ada memberikan saya kekuatan untuk melewati berbagai hal. 

Kemudian ada pula liburan, sesuatu yang membuat saya bersemangat semenjak liburan pertama saya ke Thailand di tahun 2007. Sejauh ini semuanya fantastis. Ya, saya menggapai beberapa impian masa muda di umur 30an, tapi saya juga bermimpi dan mewujudkan yang baru pula, misalnya liburan ke Jepang, ke Cina dan masih banyak lagi. Namun satu hal senantiasa konsisten: keinginan untuk bersama-sama melihat dunia, menciptakan kenangan yang akan kita ingat dan bicarakan selalu. 

Akan halnya tentang uang, ada kesan naif saat saya membaca kembali apa yang saya tulis. Itu adalah pertama kalinya saya melihat teman meminjam uang. Kaget rasanya menyaksikan bahwa yang cerdas di sekolah pun bisa terpuruk dan butuh uang. Tapi kini semua ini tak lagi membuat saya tercengang. Teman saya Muliady The sempat mengunggah pendapat menarik di akun Instagramnya, namun saya bisa katakan satu hal: alangkah baiknya kalau punya uang yang mencukupi. Tapi apa definisi cukup? Bagi saya, cukup itu adalah tatkala semua hal mendasar sudah terpenuhi. Lebih dari itu, hmm, hidup adalah apa yang terjadi pada anda ketika anda sibuk berencana. 

Bicara tentang hubungan, saya rasa pendapat saya tidak penting. Lakukan apa yang anda mau dan, mengutip teman saya Jimmy, bila anda senang, saya pun turut senang. Namun kalau bicara keluarga, sedikit banyak saya tahu. Mungkin saya bukan suami atau ayah paling mantap, tapi saya rasa saya cukup handal dalam memainkan semua peran ini. Sesibuk-sibuknya saya dengan keluarga, rasanya saya masih merupakan teman yang lumayan. Dan juga tuan rumah yang lumayan. Dan juga pencatat dan penggagas yang lumayan pula.

Jadi bila disimpulkan, usia 40an ini masih boleh tahan atau bahkan lebih baik. Mari pertahankan beberapa tahun lagi dan kita lihat bersama, seperti apa umur 50an nanti... 

PS: kembali ke perihal memainkan semua peran, putri saya Linda berkata bahwa masa kecilnya bahagia, jadi sepertinya saya cukup becus selama 12 tahun terakhir. Mengenai istri saya, dari sejak dia dengan tulus memberikan potongan kue terakhir di ulang tahunnya yang ke-29 hingga hari ini, 20 tahun sudah berlalu. Ada kalanya kita cekcok, tapi saya percaya kita bisa bersama sampai sejauh ini karena ada sesuatu yang istimewa di antara kita berdua.


Saturday, December 28, 2024

The League Of Extraordinary Businessmen

Recently, I met a couple of old friends from my hometown. We weren't that close back in the days, but are still close enough to keep in touch again, mostly thanks the group chat we had. I met them in different occasions, but here is the similarity: these people own businesses.

And after the ice breaker, the conversation soon revolved around money and assets. One told me how crowded his shop was, not to mention other things he has been doing. The other told me about how he calculated the assets of his best friend and the ballpark figure of the money his friend had made by now.

I mean, of course I'm happy for friends who made it in life, but should this be the only thing that dominated our conversation and discussed again and again? What about other hobbies such as art? Whatever happened to things we loved when we were younger? Or perhaps let's talk about rekindling the friendship and togetherness instead? 

This got me thinking again about why people are different. This got me thinking about myself, too. Throughout my life, if you could pick up Anthony from the late 90s and put him side by side with today's Anthony, I think you'll get pretty much the same person: the one that loves Godzilla, Zelda, and the Beatles, treasures friendship the most and has the same mindset that money is good to have, but it isn't everything. 

There area  few possibilities here. Maybe people changed. Maybe I was the one that didn't change much. I don't know. It could be a bit of both, perhaps. But I believe there are more things two old friends can talk about. If you try too hard on a subject that glorifies you as a businessman, then it's as good as a desperate attempt to have audience to hear you overcompensating. To quote a good friend of mine, perhaps it's due poor mindset, culture and lack of exposure. How about something light and funny for a change? Food for thought...

PS: my wife sometimes wondered why I spent time meeting all kinds of friends. First, we're the hosts in Singapore. No guest of ours shall be neglected. On top of that, I wouldn't be here today if it wasn't for my friends. Secondly, now this is fairly personal, meeting people actually inspires me. The interaction, the things they say, often made me think and write. And I like this very much.

Consistency: from there to eternity?



Liga Pedagang

Baru-baru ini saya bertemu dengan beberapa teman lama yang juga bersekolah di kampung halaman saya. Boleh dikatakan kita tidak berteman akrab dulu, tapi masih cukup dekat untuk saling bertemu lagi bertahun-tahun kemudian, terutama karena kita semua berada di grup SMA. Saya bertemu dengan teman-teman ini di kesempatan yang berbeda, tapi ada benang merah yang bisa ditarik: semua orang ini adalah pengusaha. 

Dan setelah basa-basi lama tidak bertemu, percakapan pun lekas berkutat di sekitar uang dan aset. Satu bercerita tentang betapa ramai usahanya dan juga aneka bisnis yang kini ditekuninya. Yang lain sempat membahas tentang bagaimana dia menghitung aset teman dekatnya dan menyimpulkan total harta yang telah terkumpulkan. 

Saya tentu saja senang mendengar kabar teman yang sukses secara finansial, tapi apa perlu topik ini mendominasi percakapan dan dibahas terus? Bagaimana dengan hobi lainnya, misalnya seni? Atau tentang hal-hal yang kita sukai sewaktu kita masih muda dulu? Bagaimana kalau kita bercerita tentang persahabatan dan kebersamaan? 

Pertemuan seperti ini membuat saya berpikir lagi, kenapa setiap orang berbeda. Pertemuan yang sama pun membuat saya melihat kembali diri saya. Sepanjang hidup saya, jika anda bisa menarik keluar Anthony dari era 90an dan menjajarkannya di samping saya sekarang, saya rasa anda akan menemukan orang yang serupa: orang yang mencintai Godzilla, Zelda, dan the Beatles, yang menghargai persahabatan dan juga memiliki pola pikir bahwa uang itu bagus untuk dimiliki, tapi bukan segalanya. 

Ada beberapa kemungkinan di sini. Mungkin orang berubah. Atau mungkin saya sendiri yang tidak berubah. Saya tidak tahu. Mungkin kombinasi keduanya. Tapi saya percaya bahwa masih ada banyak hal yang bisa dibicarakan oleh dua teman lama. Jika topik yang dibahas terus adalah kesuksesan sebagai seorang pengusaha, maka ini sama saja dengan upaya berlebihan untuk mendapatkan pendengar tentang kisah sukses anda. Mengutip seorang teman baik saya, ini terjadi karena minimnya budaya, pola pikir dan wawasan yang sudah dialami. Daripada bicara tentang sukses, bagaimana kalau sesuatu yang ringan dan lucu saja? Layak dipikirkan... 

PS: istri saya kadang heran, kenapa saya mau-maunya meluangkan waktu untuk bertemu berbagai teman. Pertama-tama, saya, Endrico dan yang lainnya adalah tuan rumah di Singapura. Tamu yang mampir tidak akan kita abaikan. Ini penting, sebab saya tidak akan memiliki hari ini pula jika bukan karena teman-teman. Yang kedua, dan ini condong bersifat pribadi, karena bertemu dengan orang lain membuat saya terinspirasi. Interaksi dan ucapan yang saya dengar sering membuat saya berpikir dan menulis. Ini yang saya sukai. 

Thursday, December 26, 2024

Tetralingo

This story began in July 2024, when I was waiting for my muifan. When I was browsing the news on my phone, I suddenly saw the ad of Duocards (the wooly mammoth was eye-catching). As I always had an interest in language learning, it piqued my curiosity. I checked with my friends on the group chat to see if anyone had tried learning language via app. Turned out that Surianto had already been using Duolingo, so I tested it out, too.

Duolingo felt natural whereas Duocards required much effort to understand what it was all about. I quickly dropped the latter and continued with Duolingo. As I worked at a Chinese company, it was a common sense to pick up Chinese. I also resumed studying French. Always love the language as it sounded sexy. 

The two accounts.

Because I started Duolingo on iPad using my Apple ID, I realized that I wouldn't be able to use it on my Google Pixel. This is how I ended up with two accounts. As I proceeded with my second account, I chose another two languages, this time Dutch and Russian. In total, I learnt four languages concurrently.

But how does learning four languages at one go feel like? The answer is, surprisingly, pretty seamless. First of all, thanks to the learning streaks, we see the words everyday. So often that they gradually grew on you. I was also amazed to discover how the brain could actually adjust to what I was learning. For example, doing one Chinese lesson and then switching to French immediately after that was actually not a problem.

Acing Chinese.

What could be challenging was the human nature to embrace the new language with what we already knew. In this case, my benchmark was English. I'd say something like, "I eat at the French restaurant," but in French, it became, "je mange au restaurant français." So français came after the word restaurant. The grammar could be confusing at times. 

As I picked up four languages at once, I noticed that the lessons created for each language could be quite different. French language has the most advanced features such as stories and games catered for listening and speaking skills. It even had a bit of pointers for grammar. But the other three, especially Dutch, had almost none, so you had to figure it out yourself.

About the languages, I am familiar with Chinese and I am able to read pinyin, so it is more of a refresher course for daily practice and also for knowledge expansion. 

French is my real love and it is fun learning it. Some parts, like how to differentiate le and la, have no proper explanation and you just have to memorize them. 

The word rekening is also used in Bahasa Indonesia.

Dutch is more for a historical reason, since Bahasa Indonesia took a lot of words from the Dutch language. As a matter of fact, the way we read the words is quite similar with Bahasa. But as I progress, I find that the grammar was very challenging! 

As for Russian, it was almost like encrypted alphabets. Every sentence was a riddle, but the structure somehow felt rudimentary. Instead of spelling them out word by word, the sentence could be very short instead. For instance, rather than saying, "Mark is a politician," you can say it like this in Russian: Марк — политик.

Now, after 149 days of learning, what's the result? Let's try out. Here goes nothing:

我是姓李. 我叫玉軒. 我每天学习汉语. 我会说, 也会听一点中文, 但死不会读. 可是我会懂拼音. 我用拼音慢慢写, 慢慢读. 还可以吧! 现在最总要的是跟你们说话!

J'apprends aussi le français. J'adore français. J'aime écouter Luc et Sylvie parler dans l'émission de télévision, Emily à Paris. Très bon, mais difficile à comprendre, haha.

Ik studeer ook Nederlands. Ik wil naar Amsterdam. Wil het eten proberen en het uitzicht gezien. Nederlands is makkelijk te lezen, maar moeilijk te schrijven. Het kan heel anders zijn dan Engels.

Русский язык не легкий. Я умею читать, но не умею писать. 

So there you go! My work in progress! Not sure how it is going to be, but it's surely fun while it lasts! 

2024 year in review.





Tetralingo

Cerita kali ini dimulai di bulan Juli 2024, sewaktu saya menanti muifan di That Coffee Place pada saat makan malam. Selagi melihat-lihat berita di telepon genggam saya, tiba-tiba tampak iklan Duocards (saya suka gajah purba yang menjadi logonya). Karena saya ada ketertarikan dengan belajar bahasa, saya jadi ingin mencari tahu lebih lanjut di grup SMA. Ternyata Surianto sudah mulai belajar menggunakan Duolingo, jadi saya pun ikut mencoba. 

Duolingo terasa lebih alami sementara Duocards memerlukan banyak upaya untuk memahami cara penggunaannya. Saya lantas berhenti menjajaki Duocards dan lanjut dengan Duolingo. Karena saya bekerja di perusahaan Cina, maka saya pun memilih pelajaran Mandarin. Selain itu saya juga meneruskan pelajaran Perancis. Saya suka bahasanya yang terdengar seksi.

Dua akun saya.

Karena saya memulai Duolingo di iPad menggunakan Apple ID, saya lantas menyadari bahwa saya tidak akan bisa lanjut berlatih dengan Google Pixel. Inilah sebabnya kenapa saya memiliki dua akun. Di akun kedua, saya memilih bahasa Belanda dan Rusia. Secara keseluruhan, saya belajar empat bahasa secara bersamaan. 

Namun bagaimana kesannya belajar empat bahasa sekaligus? Jawabannya, menurut saya, cukup lancar. Karena Duolingo memiliki fitur streaks yang membuat pengguna termotivasi untuk belajar setiap hari, lama-kelamaan kita jadi hafal dengan kata-kata yang sering diulang. Saya juga tertegun tatkala menyadari bagaimana otak kita ini bisa beradaptasi dengan baik sewaktu belajar. Sebagai contoh, saya bisa belajar satu pelajaran Mandarin dan pindah ke bahasa Perancis segera setelah itu. Tidak ada masalah. 

Nilai 100 untuk Mandarin.

Apa yang terasa menantang adalah bagaimana kebiasaan kita dalam menyikapi bahasa baru dengan apa yang sudah kita ketahui. Dalam hal ini, patokan saya adalah Bahasa Inggris. Sebagai perbandingan, saya mengucapkan, "I eat at the French restaurant," tapi dalam bahasa Perancis, kalimatnya berubah, "je mange au restaurant français." Jadi français berada di posisi setelah kata restaurant. Struktur kalimat yang berbeda ini bisa terasa membingungkan. 

Karena saya belajar empat bahasa, saya jadi bisa melihat bahwa pelajaran untuk setiap bahasa ini berbeda-beda. Bahasa Perancis paling beragam pelajarannya dan mencakup cerita dan game yang dirancang untuk melatih pendengaran dan pengucapan. Bahasa Perancis ini juga memiliki petunjuk untuk tata bahasa. Tiga bahasa lainnya boleh dikatakan tidak ada sehingga kita sendiri yang harus memperhatikan pola tata bahasa yang sedang dipelajari. 

Tentang bahasa yang saya pelajari, saya paling berpengalaman dengan Mandarin. Saya juga bisa membaca pinyin, jadi apa yang saya pelajari lebih cenderung untuk mengingat kembali dan juga menambah wawasan. 

Bahasa Perancis adalah bahasa yang saya sukai dan untuk dipelajari. Kendati begitu, beberapa bagian seperti mengidentifikasi penggunaan le dan la tidak memiliki penjelasan yang baik sehingga satu-satunya cara adalah harus dihafal. 

Kata rekening berasal dari Bahasa Belanda.

Bahasa Belanda saya ambil lebih condong karena sejarah Bahasa Indonesia yang menyerap kata-kata dari bahasa tersebut. Cara bacanya pun mirip. Namun setelah dipelajari, tata bahasanya cukup memusingkan juga! 

Akan halnya bahasa Rusia, huruf-hurufnya seperti sandi. Setiap kalimatnya jadi terlihat seperti teka-teki, namun uniknya Bahasa Rusia ini adalah tata bahasanya yang primitif. Bukannya kata per kata seperti lumrahnya bahasa lain, Bahasa Rusia ini kadang terasa ringkas. Misalnya dalam bahasa Inggris, kalimatnya lengkap seperti ini, "Mark is a politician," namun dalam Bahasa Rusia, cukup begini: Марк — политик.

Nah, setelah belajar selama 149 hari, bagaimana hasilnya? Mari kita coba: 

我是姓李. 我叫玉軒. 我每天学习汉语. 我会说, 也会听一点中文, 但死不会读. 可是我会懂拼音. 我用拼音慢慢写, 慢慢读. 还可以吧! 现在最总要的是跟你们说话!

J'apprends aussi le français. J'adore français. J'aime écouter Luc et Sylvie parler dans l'émission de télévision, Emily à Paris. Très bon, mais difficile à comprendre, haha.

Ik studeer ook Nederlands. Ik wil naar Amsterdam. Wil het eten proberen en het uitzicht gezien. Nederlands is makkelijk te lezen, maar moeilijk te schrijven. Het kan heel anders zijn dan Engels.

Русский язык не легкий. Я умею читать, но не умею писать. 

Jadi demikianlah hasilnya. Saya tidak tahu akan seperti apa nantinya, tapi yang jelas nikmati saja selagi seru! 

Hasil di tahun 2024.