Total Pageviews

Translate

Saturday, October 2, 2021

The Lookalike

I got my Titan Pocket last Thursday. Finally! Had been waiting for my turn since... August, I think. It wasn't always like that or felt that way, though. There was a time when I only glanced at Titan Pocket and dismissed it as a BlackBerry wannabe. But then I lost my Pixel 4 (which probably was a good riddance, since the battery life sucked). Left with no other alternative, I rediscovered my KEY2 and had a newfound respect that the phone had never let me down. 

The last BlackBerry on earth, released back in 2018, was just the right fit. But one fine day, I noticed a line on the screen. It cracked! Probably because I left it basking under the sun when I exercised outdoor (oh yes, we'll get to this topic next week). I was heartbroken. This was my first screen crack since I started using mobile phones. As BlackBerry was simply nonexistent in 2021, I began looking at the next available phone with a physical keyboard: Titan Pocket.

Titan Pocket and KEY2. See the difference on the keyboard layout?

If you ever wondered why on earth I still needed a phone with a physical keyboard, I had told you that it felt right. If you wrote on a phone as often as I did, you'd want something that facilitated the creative process. The physical keyboard on BlackBerry did exactly that. Every click had this addictive feedback. The feeling and the sound of it got me going. It had been perfected throughout the years that it did what could be done on a physical keyboard. Not only it doubled as touchpad, but the autocorrect and words suggestion did what I wanted seamlessly in both English and Bahasa Indonesia.

Fuelled by such expectations, I was suddenly keen on having the all-new Titan Pocket. Many said it looked like BlackBerry Classic, but it somehow reminded me of Q10. Anyway, the obsession grew. It was quite a long wait, since those who funded Titan Pocket on Kickstarter would get it first. When September came, I could see Titan Pocket on Unihertz website, but couldn't purchase it for the longest time till September 22, 10am. That's when I got mine! However, there was no news when I would receive Order #1397. The e-mail only indicated that the shipping would start on October 9. Much to my surprise, I got it on September 30. But hey, no complaints here! The sooner, the better!

So I started configuring it. The original launcher was confusing, so I immediately switched it to BlackBerry Launcher. The BlackBerry Hub would soon follow and in no time, it looked like BlackBerry again, except it wasn't. As I looked at the tiny square screen (my first since BlackBerry Passport in 2015), I started typing. It felt different, but that strange, rubbery feeling was something that I would overcome. What actually stunned me the most was the layout. It slotted the space bar between V and M! This really messed up the muscle memory!

Okay, may be Unihertz made the changes to avoid being sued by BlackBerry, but still! Since BlackBerry came first, the physical keyboard had become the standard for the past one decade. And to make it worse, the function keys were all lined up on the first row. It really threw me off balance and yet that wasn't the end of it. I also noticed that the keyboard behaved differently on certain apps. It required further tweaking to get it right, but even now, the backspace is still not working on the title section of Blogger app. And when I said getting it right, what I meant was the setup that worked for me. And that configuration resulted in one row of permanent on-screen keyboard for some punctuation marks. You don't see this on a BlackBerry.

Backspace not working on the title section.
Permanent on-screen keyboard at the bottom.

I could go on and on about the keyboard, but then it dawned on me that the answer was simple: this wasn't a BlackBerry. In a world without BlackBerry, this was the next best thing and instead of grumbling that the standalone letter "i" didn't get capitalized automatically when I typed in English, I just had to live with it. 

Once I get past that, the Titan Pocket seemed to be a pretty decent little device that got the job done. Yes, the software felt slightly buggy (couldn't upgrade Chrome when I tried, then it somehow got done) and I didn't even attempt to install Netflix on Titan Pocket as it was clearly not meant for watching movies. But there are good things, too. I like the smallest font size (a habit I picked up from one of my mentors) as it made things look neat. Battery life was fantastic, though it was probably the reason why Titan Pocket was heavy for a phone released in 2021. Other than that, the rest of the features such as NFC were yet to be tested on day-to-day activities.

Anyway, since you read until this paragraph, I'd let you in on a little secret: this blog post was written on Titan Pocket! Not bad, eh?


Kembaran BlackBerry 

Titan Pocket yang saya pesan tiba Kamis lalu! Akhirnya! Sudah sejak lama saya nantikan telepon genggam ini, mungkin dari bulan Agustus. Sebelumnya, saya hanya melihat secara sekilas dan berpendapat bahwa Titan Pocket ini hanyalah imitasi BlackBerry, namun saya lantas kehilangan Pixel 4 (dan ini mungkin ini bukan hal yang buruk karena baterainya memang parah dan hanya bisa bertahan 4 jam). Karena itu saya menggunakan KEY2 lagi dan kembali terpukau dengan BlackBerry yang tepat guna. 

Ya, BlackBerry terakhir yang diluncurkan di tahun 2018 ini memang pas di tangan. Tapi pada suatu hari, saya melihat ada garis di layar telepon. Layarnya retak! Mungkin karena saya biarkan terjemur matahari selama saya berolahraga di luar (oh ya, saya akan bercerita tentang topik ini minggu depan). Saya jadi merasa sedih. Untuk pertama kalinya saya mengalami layar yang retak terhitung sejak saya mulai menggunakan telepon genggam sejak 20 tahun silam. Karena tidak ada BlackBerry baru di tahun 2021, maka saya mulai melirik telepon lain yang memiliki keyboard fisik: Titan Pocket.

Titan Pocket dan KEY2. Amati perbedaan keyboard-nya.

Jika anda heran kenapa saya masih menggunakan telepon dengan keyboard fisik, sudah saya katakan sebelumnya bahwa fitur ini terasa cocok untuk saya. Bilamana anda sering menulis di hape seperti saya, anda akan membutuhkan sesuatu sebagai fasilitas dalam proses kreatif ini. BlackBerry dengan keyboard fisiknya adalah sarana yang menunjang. Dari setiap ketikan dan efek suara ketikan, muncul semacam sensasi yang mendorong saya untuk terus lanjut berkarya menuangkan pemikiran saya. Keyboard-nya bukan saja bisa berfungsi seperti layar sentuh, tapi juga memiliki fitur autocorrect dan prediksi kata yang handal dalam versi Inggris dan Bahasa Indonesia.

Berbekal harapan yang saya jabarkan di atas, saya jadi ingin menjajal Titan Pocket. Banyak yang berkomentar tentang kemiripannya dengan BlackBerry Classic, tapi saya sendiri jadi teringat dengan Q10 saat melihat bentuknya. Saya menunggu cukup lama karena para pendonor dana lewat Kickstarter akan lebih dulu mendapatkan Titan Pocket. Ketika September tiba, saya bisa melihat Titan Pocket di situs belanja Unihertz, tapi belum bisa membelinya. Penjualan baru dimulai pada tanggal 22 September, jam 10 pagi. Di saat itulah saya melakukan transaksi! Akan tetapi tidak ada kabar kapan saya akan menerima pesanan nomor 1397. Yang tertera di e-mail cuma berita bahwa pengiriman akan dimulai tanggal 9 Oktober. Tak disangka saya sudah menerima paket saya di tanggal 30 September! Saya tidak mengeluh! Makin cepat, makin baik, haha! 

Jadi saya pun mulai mengutak-atik Titan Pocket. Tampilan aslinya terasa membingungkan, jadi saya ganti dengan BlackBerry Launcher. Selanjutnya saya mengunduh BlackBerry Hub dan semuanya terlihat seperti BlackBerry lagi. Saat saya memperhatikan layarnya yang kecil dan berbentuk bujursangkar (terakhir kali saya menggunakan layar dengan bentuk ini adalah saat saya memakai BlackBerry Passport di tahun 2015), saya pun mulai mengetik. Beda rasanya, seperti mengetik di atas karet yang kenyal. Namun yang lebih membuat saya terperanjat adalah tata letaknya. Tombol spasi berada di antara huruf V dan M! Posisi yang tidak lazim ini mengacaukan kemampuan saya dalam mengetik tanpa melihat!

Saya rasa Unihertz sengaja melakukan modifikasi ini supaya tidak dituntut oleh BlackBerry, tapi tetap saja terasa janggal hasilnya. Karena BlackBerry muncul duluan, tata letak keyboard fisiknya menjadi standar dalam satu dekade terakhir ini. Yang lebih parah lagi, tombol fungsi kini dijejerkan di baris pertama. Perbedaan ini sangat mengganggu. Selain itu, hasil ketikannya pun tergantung dengan aplikasi yang digunakan. Saya lantas melakukan konfigurasi lebih lanjut untuk mendapatkan hasil yang lebih sesuai harapan, namun sampai sekarang, masih saja ada sedikit masalah dengan tombol backspace di aplikasi Blogger. Tombol ini tidak berfungsi di bagian judul. Hasil konfigurasi yang cukup optimal fungsinya ini pun menyisakan satu baris untuk tanda baca di layar. Masalah seperti ini tidak ada di BlackBerry.

Bila terjadi kesalahan penulisan judul, tombol backspace tidak berfungsi.
Ada satu baris di bawah layar untuk tanda baca.

Saya bisa saja mengeluh dan terus mengeluh tentang kekurangan Titan Pocket, tapi saya akhirnya sadar bahwa jawabannya sangat sederhana: apa yang saya pegang sekarang bukanlah BlackBerry. Di dunia tanpa BlackBerry, ini adalah alternatif terbaik pada saat ini. Daripada menggerutu tentang huruf i yang tidak berubah menjadi huruf besar secara otomatis saat saya mengetik dalam Bahasa Inggris, lebih baik saya menyesuaikan diri dengan apa yang bisa dilakukan oleh Titan Pocket. 

Setelah harapan saya disesuaikan dengan kemampuannya, Titan Pocket ini cukup handal untuk perangkat sekecil ini. Ya, software-nya terasa tidak begitu mulus (saya sempat tidak bisa memperbaharui Chrome) dan saya bahkan tidak mengunduh Netflix karena tidak masuk akal rasanya untuk menonton film di layar dengan dimensi seperti ini. Kendati begitu, ada hal lain yang baik pula, misalnya ukuran hurufnya yang kecil. Saya suka ini karena tulisan jadi terlihat rapi (kebiasaan ini saya dapatkan dari mentor saya dulu). Daya baterai juga fantastis, walaupun mungkin ini alasannya kenapa Titan Pocket lebih berat dari telepon genggam lain yang dirilis di tahun 2021. Selain beberapa hal yang baru saja disebutkan, fitur lain seperti NFC perlu diuji dulu dalam kegiatan sehari-hari.

Nah, karena anda sudah membaca sampai sejauh ini, saya akan beritahukan anda satu rahasia kecil: karangan ini ditulis dengan Titan Pocket! Lumayan, ya? 

Saturday, September 25, 2021

The Talkshow

I had been interested in hosting a talkshow since 2014. We had a high school reunion that year and I thought it could be part of the show. My plan was to invite Eday, Jimmy and Heriyanto, the three men I admired most in terms of career, and we'd talk about how they made it. The idea felt brilliant, but failed to materialise.

Fast forward to 2021, it was the time of corona. Bleak though it was, our WhatsApp group chat had a good laugh with the quiz. When it was about to run its course, Eday and I talked about bringing the good work we did to the next level. When it comes to creativity, the man is always brimming with ideas!

Our first talkshow.

Between the two of us, he was the smart one and I was the impulsive one. That wasn't a bad combination. In fact, that's how we got it done. I was sold after listening to him. If there was a right time well supported by the right technology, it had to be now. Thus the talkshow on Zoom was born. We decided to test water with the most relevant topics of all: COVID-19 and vaccination.

I was quick to do what I did best in our little community: organizing the event. Other than getting the relevant panellists to attract the crowd for our premiere and writing down a couple of questions as a guideline, I didn't really plan much. It was not meant to be perfect, but I knew for sure it'd be warm and friendly because it was an online gathering of old friends. 

On air!

And there we had it live on the night of August 28, our first talkshow ever! It was another old dream realized and it felt good, but I had to say that I wasn't the most natural presenter. It was admittedly awkward and I struggled with the role, haha. Keeping the audience engaged and entertained by talking was a skill I didn't really have!

Still, despite the fact that I was lousy, the show lived on. Eday hosted the next episode that talked about Pontianak food and I returned on the following week for the topic about travels. After that, we switched to online quiz for one week before trying out a new idea called storytelling, again hosted by Eday. Before we knew it, five weeks had passed since we first started the talkshow!

Looking back, COVID-19 surely changes many things in life, but if there's one thing I learn here, it has to be our ability to adapt and bounce back. We either sat there and mourned about the freedom we lost or we did something to learn from each other and have a little laugh. When time was difficult and life could be daunting, I am glad that we chose to do the latter...

The one we had last night!



Obrolan Santai

Saya sudah tertarik untuk mengadakan talkshow sejak tahun 2014. Saat itu saya dan teman-teman SMA menyelenggarakan reuni dan saya pikir bahwa sesi obrolan dan tanya-jawab ini bisa menjadi bagian dari rangkaian acara. Saya bayangkan narasumber adalah Eday, Jimmy dan Heriyanto, tiga orang yang saya kagumi dalam hal karir, dan kita bisa berbicara tentang bagaimana mereka mencapai sukses. Ide ini bagus, tapi tidak terwujud. 

Tujuh tahun kemudian, kita hidup di zaman korona. Meski suram kelihatannya, grup WhatsApp kita tetap bisa tergelak, salah satunya karena kuis yang saya adakan. Ketika acara ini sudah mulai kehilangan momentum, Eday dan saya berdiskusi tentang bagaimana caranya membawa karya dan upaya ini ke level berikutnya. Kalau bicara tentang ide, orang ini memang jagonya! 

Acara Obrolan Perdana!

Di antara kita berdua, dia adalah yang pintar dan saya adalah yang impulsif. Ini bukan kombinasi yang buruk. Justru dari perpaduan dua karakter inilah impian sejak lama bisa terwujud. Saya jadi yakin setelah mendengarkan pemaparannya. Jika ada saat yang tepat dan didukung pula oleh teknologi yang tepat, maka sekaranglah waktunya. Talkshow lewat Zoom pun lahir. Kita sepakat untuk menguji minat pemirsa lewat topik yang paling relevan pada saat ini: COVID-19 dan vaksin.

Saya bergerak cepat mengerjakan apa yang mahir saya kerjakan di komunitas kecil kami: menggelar acara. Selain menghubungi para narasumber yang cocok dan bisa menarik perhatian khalayak ramai, saya tidak membuat rencana yang detil. Dalam benak saya, ini tidak akan menjadi acara yang sempurna, tapi saya tahu ini akan menjadi acara yang penuh kehangatan dan persahabatan karena yang berkumpul secara online adalah teman-teman lama. 

Ketika acara berlangsung.

Dan siaran perdana pun mengudara di malam hari, tanggal 28 Agustus. Saya berhasil mewujudkan apa yang saya impikan sejak lama, tapi harus saya akui bahwa membawakan acara bukanlah sesuatu yang bisa saya lakukan secara alami. Tetap saja ada kesan canggung meski saya telah berusaha keras melakoni peran ini, haha. Berinteraksi dengan penonton dan membuat mereka terbawa suasana hanya dengan modal bercakap-cakap saja bukanlah keahlian yang saya miliki.  

Kendati saya tidak becus, acara ini tetap berlanjut seminggu sekali. Eday menjadi moderator untuk episode berikutnya yang mengupas topik makanan Pontianak. Setelah itu saya kembali lagi dengan tema jalan-jalan. Kemudian saya mengadakan kuis online sebagai selingan. Jumat lalu, Eday mencoba ide baru dimana pembawa acara bercerita dengan sarana presentasi. Tidak terasa lima minggu pun sudah terlampaui! 

Kalau saya lihat kembali, COVID-19 memang mengubah banyak hal dalam kehidupan kita, namun bila ada satu hal yang saya pelajari dari pengalaman ini, maka itu adalah kemampuan manusia dalam beradaptasi. Kita saja duduk diam dan mengeluh tentang kebebasan yang hilang di masa ini atau kita justru melakukan sesuatu untuk belajar dari satu sama lain dan tertawa bersama-sama. Di kala hidup terasa sulit, saya senang bahwa kita memilih untuk melakukan alternatif kedua, belajar dan tertawa...

Acara obrolan semalam. 


Wednesday, September 15, 2021

Book Review: Forrest Gump

Certain characters can be so iconic that you'll immediately think of the actors that played them. This is one of the cases. The moment I started reading this book, I immediately thought of Tom Hanks. In my mind, the way he talked in the movie became the voice that narrated the novel I read.

The story began with a feeling that probably I should watch Forrest Gump again. After spending 2 hours 23 minutes on Netflix, I did some reading about the movie I just watched and was reminded that it was based a novel with the same name. It was written by Winston Groom and originally published in 1986. 

I learnt that the novel was quite different than the movie, so I got curious and browsed the library collection. Got my copy and, the moment I started reading, I just had to smile. Told in a first-person narrative, the wording was full of spelling and grammatical errors. The way it was written hinted that the person who told the story was retarded. If you had watched the movie before, you'd immediately think of Tom Hanks as Forrest Gump.

Some familiar characters such as Jenny Curran and Bubba were featured in the story. Their portrayals in the book and movie were quite similar. Lieutenant Dan, on the other hand, was slightly different than his movie counterpart. Forrest himself was very much aware that he was an idiot, but yet he could do the impossible such as solving mathematical problems, playing harmonica or defeating many chess grandmasters.

One of the highlights in the movie, moments he met people like Elvis and John Lennon, was not in the book. Both the book and the movie did tell about Forrest in Vietnam and his meetings with US presidents, but the time he joined NASA space program, the few years he was stranded in Papua New Guinea or his adventure as a wrestler could only be found in the novel. 

I'm not sure if i'd like the book if I never watched the movie, but I had to say that I chuckled a lot in the train when I read it on my way to and from office. Because he was an idiot, the way he viewed things were quite funny and innocent at the same time. Overall, a good reading and a great reminder that even a fool had a chance to succeed in this world, as long as he did it wholeheartedly!

Forrest Gump: the movie and the book.



Ulasan Buku: Forrest Gump 

Karakter-karakter tertentu bisa sangat identik dengan pemerannya sehingga anda langsung teringat dengan aktornya. Contohnya Forrest Gump. Begitu saya mulai membaca, Tom Hanks pun muncul di benak saya. Novel yang saya baca mengingatkan saya dengan gaya bicaranya. 

Cerita kali ini dimulai dengan suatu perasaan yang mengingatkan saya kembali untuk menonton Forrest Gump. Setelah menghabiskan 2 jam 23 menit di Netflix, saya iseng membaca tentang film yang baru saja saya tonton. Saya pun teringat kembali bahwa film ini diangkat dari novel. Ditulis oleh Winston Groom, cerita fiksi ini diterbitkan di tahun 1986. 

Berdasarkan apa yang saya baca, novel ini konon agak berbeda dengan filmnya. Saya pun jadi ingin tahu dan mulai mencari bukunya di perpustakaan. Saya dapatkan bukunya dan jadi tersenyum sendiri saat mulai membaca. Kisah yang diceritakan dalam sudut pandang orang pertama ini banyak kesalahan penulisan yang disengaja. Gaya penulisannya pun memberikan kesan bahwa yang sedang bercerita ini adalah orang idiot. Bila anda sudah pernah menonton filmnya, pasti langsung teringat dengan Tom Hanks yang berakting sebagai Forrest Gump. 

Beberapa karakter di film seperti Jenny Curran dan Bubba juga muncul di novel dan hampir sama pula kisahnya. Yang agak berbeda itu Lieutenant Dan. Forrest di novel sangat menyadari bahwa dia adalah orang bodoh, tapi seringkali tanpa sadar bisa mengerjakan hal yang mustahil, misalnya matematika, bermain harmonika dan mengalahkan para pecatur tangguh. 

Salah satu bagian yang menarik di film, saat Forrest bertemu dengan Elvis dan John Lennon, tidak ada di buku. Kisahnya di Vietnam dan pertemuannya dengan presiden Amerika ada di buku dan film, tapi pengalamannya sebagai astronot dan pegulat serta petualangannya di Papua Nugini hanya ada di novel. 

Saya tidak tahu apakah saya akan menyukai buku ini kalau saya tidak pernah menonton filmnya, tapi saya akui bahwa saya berulang kali tertawa sendiri di kereta dalam perjalanan ke dan pulang kantor. Secara keseluruhan, buku ini menarik untuk dibaca dan juga mengingatkan kita kembali bahwa orang bodoh pun bisa sukses di dunia ini kalau dia berupaya sepenuh hati! 

Wednesday, September 8, 2021

Robinson Travel

If you read what I wrote about a week ago, you'd notice a little something called Robinson Travel. It was an in-joke in our high school chat group, came about after I needed a name for trips I organized. Oh yes, I often made the plans. It's what I do! Some did happen, some failed to materialise. But how and when did this start?

I wish I could tell you that it began long ago, when Ardian, Jimmy, Endrico and I visited Bali in our mid 20s, but Robinson Travel came only much later, after our trip to Karawang in 2016. It was the first event we did after we had the WhatsApp group chat and that's when Robinson Travel was born.

When we were in Karawang.

And it didn't stop there. The portfolio kept growing after that. A year later, we had a walking tour in Singapore. The Lion City is best seen on foot, hence we walked. A lot! Probably quite torturous for tourists from Indonesia, haha. Still it was fun. I enjoyed showing them the beauty of Singapore.

In 2018, we had the parents and children trip to Hong Kong. In hindsight, the different timing of school holiday between Indonesia and Singapore certainly wasn't very accommodating. Only Endrico participated this time, so off we went to Hong Kong with our daughters. Quite an experience, I'd say. It'd probably become the one and only father and daughter trip for us. At the same time, it was good to know we were pretty capable fathers, too!

Ocean Park! Hong Kong!

Then came 2019 and I thought it was time to play host again. Hence we had another Singapore tour! The theme this round was destinations by request and we went to places the participants wanted to see. Walking was cut down a lot this time, but since this is Singapore, they still needed to walk, haha. We went to peculiar places that I wouldn't normally go, such as Grab office, Haw Par Villa and Apple Store.

Before the year ended, I organized another one, this time to Semarang in Indonesia. I always wanted to visit this city so I invited some to tag along. It turned out to be well-received, so there were five of us heading from Jakarta to Semarang by train while the other two drove from Surabaya and Sragen respectively. The tour eventually brought us to main cities such as Yogyakarta, Solo and Surabaya.

Exploring Semarang.

Next one would have been a trip to Da Nang, Vietnam, to celebrate the big 40 in 2020. It was a milestone! Life began at 40! But it was cancelled due to the rise of COVID-19. It had been roughly a year and a half since then and there was no certainty when we could travel again, but a grand plan inspired by Parno's dream had been made. We'll go to Japan, covering Tokyo, Kawasaki, Yokohama and Kamakura (because John Lennon once had a pancake there). 

So why Robinson Travel? That's because I like reading, daydreaming and planning. No doubt that I screwed up sometimes (and I always had a memorable Guangzhou trip in mind when I thought of this), but it was fun. More than that, it was about making a dream come true. People like me were driven by that. To me, it was like, "okay, we had done a trip together in Indonesia. How about going somewhere far for once in our lives?"

I guess the key is the phrase for once in our lives. We don't know when our time is up, but if I could, I would want to go with not much regrets in life. I dream and I make it happen, knowing that we'll have that memory we'll treasure for the rest of our lives.

The future is unknown. Little did we know that COVID-19 would happen after this.



Robinson Travel

Jika anda membaca apa yang saya tulis kira-kira seminggu yang lalu, anda pasti menemukan sesuatu yang saya sebut sebagai Robinson Travel. Ini adalah satu lelucon kecil di grup SMA yang muncul karena saya butuh nama untuk liburan-liburan yang saya adakan. Oh ya, saya suka membuat rencana jalan-jalan. Ini memang hobi yang dengan senang hati saya kerjakan. Beberapa terwujud, tapi ada juga yang batal. Namun bagaimana atau kapan semua ini bermula? 

Saya ingin sekali menyatakan kepada anda bahwa kisah ini dimulai bertahun-tahun silam, ketika Ardian, Jimmy, Endrico dan saya mengunjungi Bali di pertengahan usia 20an. Dengan demikian cerita kali ini pasti akan terdengar lebih dramatis, haha. Namun fakta berbicara bahwa Robinson Travel baru muncul lama setelah liburan ke Bali dan istilah ini pertama kali dipakai setelah kunjungan ke Karawang di tahun 2016. Itu adalah liburan pertama setelah kita memiliki grup WhatsApp dan dari situlah Robinson Travel bermula.

Ketika kita berada di Karawang.

Dan biro perjalanan fiktif ini tidak berakhir begitu saja. Rekam jejaknya kian bertambah semenjak liburan pertama. Setahun kemudian, saya mengadakan tur jalan kaki di Singapura. Negara kota ini paling menarik dilihat lewat sudut pandang pejalan kaki, jadi kita pun berjalan. Berkilo-kilo meter jauhnya. Sampai ampun turisnya, haha. Tapi tetap seru. Saya senang membawa mereka melihat indahnya Singapura.

Di tahun 2018, saya adakan kunjungan ke Hong Kong khusus ayah dan anak. Kalau saya lihat kembali, mungkin perbedaan liburan sekolah di Indonesia dan Singapura menyulitkan yang lain untuk berpartisipasi, jadinya hanya Endrico yang bisa ikut. Pengalaman yang satu ini sangat unik dan bisa saja ini menjadi satu-satunya liburan ayah dan anak bagi saya. Lega rasanya saat mengetahui bahwa saya cukup kompeten untuk menjaga anak siang-malam!

Ocean Park! Hong Kong!

Ketika tahun 2019 tiba, saya pun merasa bahwa sudah saatnya untuk menjadi tuan rumah lagi. Oleh karena itu, tur Singapura kembali diadakan! Kali ini tujuan wisatanya disesuaikan dengan keinginan peserta. Jalan kaki pun dikurangi, namun karena ini adalah Singapura, mustahil bisa dijelajahi tanpa berjalan kaki, haha. Kita mampir ke tempat yang biasanya tidak saya kunjungi, misalnya kantor Grab, Haw Par Villa dan Apple Store. 

Sebelum tahun 2019 usai, saya adakan satu liburan lagi, kali ini kunjungan ke Semarang. Saya tidak pernah ke Semarang dan selalu berniat untuk melihat kota ini, jadi saya pun ajak yang lain untuk ke sana. Ternyata cukup banyak peminat. Akhirnya lima, termasuk saya, berangkat dari Jakarta dengan kereta sementara dua teman lain masing-masing berangkat dari Surabaya dan Sragen. Tur kali ini membawa kita melewati berbagai kota seperti Yogya, Solo dan Surabaya. 

Menjelajahi Semarang.

Da Nang di Vietnam nyaris menjadi tujuan berikutnya. Saat itu saya hendak merayakan usia 40 dengan wisata ke luar negeri bersama teman-teman, namun rencana ini akhirnya batal karena COVID-19. Sudah lebih dari setahun berlalu semenjak wabah melanda dan hingga saat ini, belum ada tanda-tanda kapan kita akan bisa berlibur lagi. Kendati demikian, sebuah rencana yang terinspirasi dari keinginan Parno sudah dirancang. Kita akan ke Jepang dan mengunjungi Tokyo, Kawasaki, Yokohama dan Kamakura (karena John Lennon pernah makan pancake di sana). 

Jadi kenapa Robinson Travel? Ini karena saya suka membaca, berangan-angan dan membuat rencana untuk mewujudkannya. Tak diragukan lagi bahwa kadang saya pun salah langkah dalam membuat rencana liburan (dan kesalahan ini selalu mengingatkan saya tentang liburan ke Guangzhou), tapi tetap saja seru. Lebih dari itu, pada akhirnya yang penting adalah membuat impian menjadi kenyataan. Orang-orang seperti saya senantiasa termotivasi oleh hal ini. Bagi saya, rasanya seperti, "nah, kita telah berlibur bersama di Indonesia. Bagaimana kalau sekali dalam seumur hidup, kita pergi ke luar negeri, melihat negara yang agak jauh?"

Saya kira kuncinya di sini adalah frase sekali dalam seumur hidup. Kita tidak tahu kapan waktu kita akan berakhir di dunia fana ini, tapi sebisa mungkin saya ingin hidup tanpa banyak penyesalan. Saya bermimpi dan mewujudkannya karena saya tahu hanya kenangan yang bertahan sampai akhir hayat kita nanti... 

Masa depan tidak bisa diprediksi. Tak pernah terduga bahwa COVID-19 merajalela tidak lama setelah liburan ini.

Saturday, August 28, 2021

The Collaborations

There was this somewhat familiar feeling when I wrote about the ghostwriting experience, but I couldn't really put my finger on it. Ten days later, as I had a daily habit of going through what had been done and republished it, I saw another blog post called Online Business. Then it dawned on me why it felt like déjà vu: both told the stories of collaboration.

From time to time, I collaborated with high school friends for various reasons. There were things that I couldn't do alone, therefore I needed them. It could also due to the fact that it took more than one person to achieve a greater good. But regardless what the circumstances were, I enjoyed the togetherness. I believe it didn't always have to be about me. There were times when I'd prefer to be just one of us or playing a supporting role.

With Ardian (and Jimmy behind him) in Bali. 
Photo by Endrico.

My earliest recollection of such partnership was the songwriting collaboration. Ardian came up with the music and I wrote the lyrics. He was a talented but reluctant musician, so it was up to me to coax him into doing it, haha. Putting words into the songs wasn't that difficult, but to see him crafting the melody as he strummed the guitar was like witnessing a miraculous act!

The song we wrote, performed by Parno.

If Ardian was the first, he was certainly not the last. Endrico, together with Susan, were definitely the people I'd work with for event organizing and Robinson Travel. I remember the time when we did Reunion 2014 and that trip to Karawang. Wouldn't happen without them. They were great in helping to execute the ideas!

Then there were efforts where everybody chipped in. The first crowdfunding we had, it was memorable. If you ever wanted to know whether it was worth it to scramble like mad for good cause, I'd tell you that it felt extremely good. The feeling of finding out that many people actually cared and knowing that the joint effort would really mean something for the recipient was... priceless. 

Of course not all were as gloomy as the example above. The time we did We Are the World was a much happier occasion. I remember rallying friends to sing a line or two while trying my best to finish this before my trip to London. Just like what Ardian and I did years ago, we created something that may outlast any of us. A legacy, if you like. Every time I listen to the song, it made me smile. I was glad, proud and amused that we actually made it.

We Are the World - our version.

Like I said earlier, sometimes it didn't even have to my idea or me taking charge. I was happy just to be part of the team. I did exactly that in the last reunion. I came up with a quiz in the form of high school exam and performed a cheap IT trick to impress my fellow alumni, haha. It was the same with the ghostwriting. I played second fiddle doing what I did best: writing, mostly done on my trusted BlackBerry.

Sometimes I could hear the song from the Beatles playing in my head, " he's a real nowhere man, sitting in his nowhere land, making all his nowhere plans for nobody." So why did I do this? As far as I was concerned, I didn't get any richer. But I guess the monetary gain wasn't even the point. I did it because I liked it and it made me happy. In this context, I believe that time I enjoyed wasting wasn't wasted. When I looked back, I was one memory richer than before. That's what got me going...

As part of the committee of Reunion 2018. 




Kolaborasi

Ada semacam perasaan yang sepertinya saya kenal ketika saya menulis tentang ghostwriting experience, tapi saat itu tidak bisa saya jelaskan, apa sebenarnya yang saya rasakan. 10 hari kemudian, karena saya memiliki kebiasaan untuk melihat roadblog101 dan menerbitkan ulang apa yang sudah saya tulis, saya menemukan artikel bertajuk Online Business. Lantas saya sadar kenapa perasaan ini sepertinya tidak asing lagi: itu karena dua cerita ini bertema kolaborasi. 

Dari waktu ke waktu, saya bekerja sama dengan teman-teman SMA karena berbagai alasan. Ada saja hal yang tidak bisa saya kerjakan sendiri, jadi saya butuh bantuan mereka. Ada kalanya pula sesuatu yang hendak dicapai itu perlu dikerjakan bersama, jadi banyak teman yang dilibatkan. Apa pun latar belakang kolaborasi ini, saya selalu menyukai kebersamaan yang saya lalui. Saya percaya bahwa tidak semua hal harus berfokus pada diri saya, jadi terkadang saya senang menjadi bagian dari sebuah kebersamaan dan memainkan peran pendukung.  

Bersama Ardian (dan Jimmy di belakangnya) di Bali. 
Foto oleh Endrico.

Kisah paling awal yang bisa saya ingat tentang berbagai kolaborasi yang pernah saya lakukan adalah pengalaman menulis lagu. Ardian menciptakan musiknya dan saya mengarang liriknya. Dia seorang musisi yang berbakat tapi enggan berkarya, jadi saya senantiasa harus membujuk-rayu supaya dia mau menulis lagu dan rekaman, haha. Mengisi nada dengan kata-kata tidaklah begitu sulit, tapi melihat Ardian bersenandung sambil menggeser jemarinya ke kunci gitar yang cocok ini sungguh sebuah pengalaman yang menakjubkan! 

Lagu yang Ardian dan saya tulis, dinyanyikan oleh Parno di sini.

Jika Ardian adalah yang pertama, dia jelas bukan yang terakhir. Endrico, bersama dengan Susan, merupakan rekan kerja yang baik dalam hal menyelenggarakan acara dan liburan Robinson Travel. Saya ingat saat kita mengadakan Reuni 2014 dan perjalanan ke Karawang. Tidak akan terwujud tanpa bantuan mereka!

Kemudian ada lagi kolaborasi dengan banyak peserta, misalnya saat kita menggalang dana untuk pertama kalinya. Sungguh suatu pengalaman yang berkesan. Jika anda mau tahu apakah sepadan rasanya bila kita jadi sibuk sendiri karena ingin berbuat baik, saya bisa jawab bahwa rasanya sangat sepadan. Sewaktu saya menyadari bahwa ternyata ada begitu banyak teman yang peduli, sewaktu saya mengetahui bahwa yang menerima sedikit-banyak merasa terbantu, saya tahu apa yang saya kerjakan itu tidak sia-sia. 

Namun tentu saja tidak semuanya bernuansa sedih seperti contoh di atas. Rekaman We Are the World adalah suatu peristiwa yang menggembirakan. Saya ingat saat saya menghubungi teman satu per satu untuk menyumbangkan suara sementara saya mencoba menyelesaikan rekaman ini sebelum liburan saya ke London. Sama halnya seperti apa yang saya kerjakan bersama Ardian bertahun-tahun silam, kita menciptakan sesuatu yang mungkin akan tetap beredar setelah kita tiada. Sebuah warisan dari generasi kita. Setiap kali saya dengarkan kembali lagunya, saya pun tersenyum. Saya senang, bangga dan juga merasa sedikit tidak percaya bahwa kita berhasil mengerjakannya. 

We Are the World - versi alumni '98.

Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, terkadang sebuah kolaborasi tidak harus berdasarkan ide saya atau dikoordinasi oleh saya. Saya juga tidak keberatan menjadi bagian dari sebuah tim dan itu yang saya lakukan ketika kita menyelenggarakan reuni di tahun 2018. Saya menciptakan kuis dalam bentuk ujian sekolah dan menampilkan tipuan IT murahan untuk mengisi acara, haha. Sama halnya juga saat menulis untuk teman baru-baru ini. Saya memainkan peran pendukung dengan melakukan apa yang saya bisa: menulis, yang hampir seluruhnya dikerjakan dengan BlackBerry

Kadang-kadang saya mendengar lagu the Beatles berikut ini di benak saya, "he's a real nowhere man, sitting in his nowhere land, making all his nowhere plans for nobody." Hal ini membuat saya bertanya sendiri, kenapa saya melakukan semua ini. Setahu saya, hal ini tidak membuat saya tambah kaya secara finansial. Akan tetapi keuntungan dari segi keuangan tidaklah menjadi bagian dari pertimbangan. Saya mengerjakan apa yang saya bisa karena saya suka dan ini membuat saya gembira. Dalam konteks ini, saya percaya bahwa waktu yang saya habiskan dengan riang tidaklah sia-sia. Saat saya lihat kembali, saya tahu saya satu kenangan lebih kaya dari sebelumnya. Mungkin inilah yang mendorong saya untuk terus berkarya dan berkolaborasi...

Sebagai bagian dari panitia Reuni 2018. 

Sunday, August 15, 2021

The Quiz

What can be done in the time of corona, when lockdown and all sorts of restrictions happen? Well, you can be creative about spicing up your life! And what we did wasn't something new. We had done it before long ago, from time to time, but we brought it up to a new level recently. 

We had an active high school chat group. I remember one day, as I walked home, I started sending pictures of flags and prominent figures just for friends to guess. Sometimes, when I listened to oldies, I'd also record few seconds of the songs for them to guess.

And this is how it got started.

That fateful night began with Eday talking about ancient history and I casually responded with pictures of places I was browsing. It turned out to be lively and interactive. We all had some fun, so how about making it a real game to score points for some rewards? The following night, we did exactly that. With 1 kg of Aming Coffee and an Indonesian snack called emping, Gunawan and Susan were the first sponsors of the game. 

The competition was fierce and hilarious at the same time. We quickly learnt that Indonesia's internet was much slower than other countries such as Hong Kong and Singapore. Many saw others answering before the pictures appeared on their WhatsApp, so picture guessing was soon omitted. Other than that, typo and autocorrect also made it even more entertaining. For example, Buaton, a teacher's name, was inadvertently corrected as Buatan, an actual word in Bahasa Indonesia. This was a wrong answer!

Autocorrrect in action!

The first night was like a tried-and-true attempt. We got even more creative with the questions afterwards. With topics ranging from high school times to general knowledge, we came up with various types of questions, such as:

Simple and direct questions:
What's the name of roti prata in Indonesia?

Multiple choices:
Who's the member of Spice Girls:
Mel B
Mel C
Mel D
Mel E

Guess the hints:
What's the name of this friend?
Hints: salted fish, j'adore

Fill in the blanks:
D_ _G_N  _AL_
The name of story about the search for seven magic crystal balls that grant one wish.

The simple and direct question. 

And the points increased as we progressed from one category to another! We even threw in 10 points for the final question. The chat group went crazy with answers coming in rapidly. Some were really good and quick, others were trying their best (Tuty was the dark horse!) and then of course there were a few that were not only hopeless and naggy, but also deliberately sabotaging the game with fake questions and lousy answers, haha.

The quiz had run its course now. But looking back, it was amazing how we put on effort to be a little creative. I mean, we could have just done nothing and complained about COVID-19, but no, we chose to act and make the best out of our days instead. Probably that got to do with that we were the graduates from a school with the motto: stay motivated!


Kuis

Apa yang bisa dilakukan di musim korona, ketika PPKM dan berbagai larangan diterapkan? Kita bisa sedikit lebih kreatif untuk tetap bergembira dalam menyikapi perkembangan ini. Apa yang baru-baru ini saya dan teman-teman lakukan bukanlah sesuatu yang baru, tapi beberapa minggu terakhir ini diadakan dengan lebih profesional. 

Sebagaimana yang telah diketahui, saya memiliki grup WhatsApp SMA yang cukup aktif. Suatu ketika, sewaktu berjalan pulang dari kantor, saya iseng mengirim gambar bendera dan tokoh-tokoh ternama sebagai pertanyaan. Terkadang, selagi saya mendengarkan lagu-lagu lama, saya juga tergerak untuk merekam cuplikan lagu dan meminta teman-teman untuk menerka judul lagu atau penyanyinya. 

Dan pertanyaan seperti ini menjadi pemicu kuis di grup.

Pada suatu malam, Eday bercerita tentang tempat-tempat bersejarah dan saya pun turut menanggapi dengan foto-foto tempat yang terlintas di benak saya. Ternyata banyak yang ikutan menjawab. Karena banyak yang antusias dan menikmati, akhirnya kita coba jadwalkan acara kuis berhadiah di malam berikutnya. Gunawan dan Susan menjadi sponsor satu kilo Kopi Aming dan emping

Kompetisi pun berlangsung seru dan kocak. Kita lantas menyadari bahwa internet di Indonesia kalah cepat dengan negara lain, misalnya Hong Kong dan Singapura. Banyak yang melihat jawabannya sebelum gambarnya muncul di WhatsApp, jadi acara menebak gambar pun dihilangkan di kuis berikutnya. Selain itu, kesalahan pengetikan dan fitur autocorrect juga menjadi kendala yang cukup menghibur. Contohnya adalah nama Buaton yang merupakan nama guru, namun dikoreksi menjadi Buatan sehingga salah jawabannya.

Fitur autocorrrect yang menimbulkan masalah!

Kuis di malam pertama tak ubahnya seperti percobaan. Setelah itu kita kian kreatif dalam membuat pertanyaan. Beraneka topik, mulai dari kisah di SMA sampai hal-hal umum, pun dibuat menjadi berbagai pertanyaan: 

Cepat-tepat: 
Apa sebutan roti prata di Indonesia?

Plihan ganda:
Siapa saja yang merupakan anggota Spice Girls:
Mel B
Mel C
Mel D
Mel E

Menerka petunjuk:
Siapa nama teman yang satu ini?
Petunjuk: ikan asin, j'adore

Melengkapi jawaban:
D_ _G_N  _AL_
Kisah mencari tujuh bola berbintang yang mengabulkan satu permintaan.

Salah satu pertanyaan cepat-tepat!

Dan poin yang diraih peserta akan kian tinggi setiap kali kategori pertanyaan berganti. Tidak jarang pula satu pertanyaan terakhir memiliki nilai 10 poin. Grup WhatsApp pun menjadi luar biasa sibuk karena jawaban yang masuk secara beruntun. Ada teman yang memang cepat dan betul pula jawabannya, ada yang sudah berupaya sebisa mungkin (Tuty seringkali tampil mengejutkan) dan ada satu atau dua orang yang kerjanya cuma mengeluh dan mengacaukan permainan, haha. 

Setelah beberapa waktu, kuis tidak lagi seheboh sebelumnya. Namun kalau dilihat kembali, yang menakjubkan adalah niat untuk melakukan sesuatu yang sedikit kreatif. Kita bisa saja tidak berbuat apa-apa dan bersungut tentang COVID-19, tapi kita justru memilih untuk melakukan sesuatu yang lebih berarti dalam mengisi waktu luang kita. Mungkin semua ini ada hubungannya dengan fakta bahwa kita adalah lulusan sekolah yang memiliki semboyan Tetap Bersemangat! 

Monday, August 9, 2021

The Ghostwriter

I remember those early days when I started writing. It was year 1997 and the newfound ability clearly came handy to impress girls in high school. I volunteered to write on their behalf in composition writing, but I immediately learnt that I was overconfident. Just because I had a few good short stories under my belt, that didn't automatically make me a hit maker. 

The ghostwriting process was such a struggle that it wasn't enjoyable at all. I soon learnt that the thought of not wanting to disappoint people's expectation and the deadline of the project added the unnecessary pressures I certainly could do without. I write because it's fun. And it wasn't fun when it became a chore. 

Since then, I never really helped others to write anymore. I was happier that way, haha. Then, a year after I started roadblog101, I realized that I might alienate Indonesian readers if I wrote only in English. That's when I began writing in bilingual. 

The books and the ghostwriter.

Shortly after that, my friend Eday approached me. For those of you who didn't know, Eday represents the best of my generation. Even though we came from a small town, some of us really hit the big time. Some are household names in Indonesia these days, but Eday is probably the only one that is well-known internationally. And Eday is the expert in what he does best: art. 

It was an honor when a friend like him said he liked my writing style. It was a privilege when he wanted me to help him with his books. I'd certainly lend a hand! About two decades after I first gave it a try, I was finally ghostwriting again. 

This time was slightly different, though. At the very least, I didn't have to start from scratch, so it didn't feel like a burden. Eday wrote in a mixture of Bahasa Indonesia and English, so I what I had to do was to position myself, how I would write this if I were Eday. It wasn't easy, because what he wrote was quite specific and the content was nothing like what I had done before.

The books by Eday.

His first book was called Wood Soul. It was fascinating and also a great reminder of how different we were, even though we were friends since secondary school. I wouldn't for the life of me have any interests in wood crafts, old boxes, bronze pots, etc. But here I was, writing about these from his perspective. What would have been junks for me became art in his hands. It gave me the first hand experience to appreciate his mastery.

The second book, just released recently, was about another hobby he had: Gundam. Remember what I said earlier, about him being international? He was the 2012 world champion of Gundam tournament and now I had the chance to look at things that made him great. I used to wonder what ver.ed was about until I wrote about it few months ago. He surely was a legend among his fellow Gundam enthusiasts.

ver.ed's Gundams.

The ghostwriting was quite a unique experience, I'd say. It was like having a glimpse of how Eday looked at things. I mean, when two old friends met up, we'd joke around instead. Through the books, I had a rare opportunity to see how he was actually like when he was serious and passionate about something. He understood branding and he had the skills, consistency and passion to build it up. A brilliant man, and I guess that's what set him apart from us...

PS: I once explained to my daughter that Uncle Eday was famous for what he did. Then she innocently asked, "since you are a friend of a famous person, does this make you famous, too?" I laughed and told her that it didn't work that way. But it was great to be part of his books. All the best, buddy!



Pengarang Untuk Orang Lain

Saya ingat masa-masa ketika saya baru mulai menulis. Di tahun 1997, kemampuan yang baru saya temukan ini sangat berguna untuk membuat teman wanita di masa SMA terkesan. Saya secara sukarela menawarkan untuk mengerjakan tugas pelajaran mengarang, namun setelah itu saya sadari bahwa saya terjebak oleh rasa terlalu percaya diri. Hanya karena saya bisa menulis beberapa cerpen yang disukai teman, itu tidak berarti setiap tulisan saya sudah pasti bagus. 

Pengalaman menulis untuk orang lain terasa seperti perjuangan dan sama sekali tidak bisa saya nikmati. Beragam pikiran, misalnya perasaan tidak ingin mengecewakan orang lain dan juga batas waktu tugas, menambah beban saya sebagai penulis. Saya menulis karena saya suka. Beda rasanya ketika menulis itu menjadi sebuah tugas dan bukan lagi hobi. 

Semenjak itu, saya jarang membantu orang lain dalam perihal menulis lagi. Rasanya lebih lega, haha. Kemudian, setahun sesudah saya memulai roadblog101, saya menyadari bahwa saya bisa kehilangan pembaca Indonesia bila saya hanya menulis dalam bahasa Inggris. Oleh karena itulah saya kini menulis dalam dua bahasa. 

Buku Eday dan the ghostwriter.

Tidak berapa lama setelah itu, teman saya Eday bertanya apakah saya bisa membantunya. Bagi anda yang belum tahun, Eday ini adalah yang terbaik dari generasi saya. Meski kita semua berasal dari kota kecil, beberapa dari kita kini teramat sangat sukses. Tidak sedikit yang sudah termashyur namanya di Indonesia, tapi saya kira hanya Eday yang dikenal di kalangan internasional. Dan Eday adalah ahli di bidang yang ditekuninya: seni. 

Adalah suatu kehormatan tersendiri saat seorang teman seperti Eday berkata bahwa dia menyukai gaya tulisan saya. Ketika dia ingin saya membantunya menulis buku, saya pun menyanggupi permintaannya. Setelah hampir dua puluh tahun lamanya tidak menulis untuk orang lain, akhirnya saya pun mencoba lagi. 

Proses kali ini sedikit berbeda dari sebelumnya. Saya tidak perlu lagi memulai dari awal, sehingga tidak terasa seperti sebuah beban. Eday sudah menulis apa yang hendak disampaikannya, namun dalam perpaduan Bahasa Indonesia dan Inggris. Berdasarkan karangannya, saya lantas mengambil pendekatan berikut ini: bilamana saya adalah Eday, seperti apa kira-kira tulisannya. Tidak mudah juga, sebab topik yang dibahas olehnya cukup spesifik dan berbeda dengan apa yang pernah saya kerjakan sebelumnya. 

Buku-buku karya Eday.

Buku pertamanya berjudul Wood Soul. Pengalaman menulis buku ini terasa menggelitik dan juga mengingatkan saya kembali, betapa berbedanya pola pikir kita berdua, meskipun kita berteman dari sejak SMP. Saya tidak pernah tertarik dengan kerajinan kayu, kotak tua, pot perunggu dan lain-lain, namun sebagai Eday, saya menulis tentang semua ini berdasarkan perspektifnya. Apa yang pasti sudah menjadi sampah di tangan saya berubah menjadi seni berkat sentuhannya. 

Buku kedua yang baru saja dirilis bercerita tentang hobi lain yang dimilikinya: Gundam. Masih ingat yang saya katakan tentang prestasinya yang internasional? Dia adalah juara dunia turnamen Gundam di tahun 2012 dan saya kini berkesempatan untuk melihat langsung hal-hal yang menunjukkan kehebatannya. Dulu saya sempat heran, apa sebenarnya ver.ed, dan buku ini memberikan jawabannya. Dia memang legenda di kalangan penggemar Gundam. 

Gundam ver.ed.

Pengalaman mengarang untuk Eday tergolong unik. Biasanya, di kala bertemu, kita cenderung bersenda-gurau. Lewat buku-buku ini, saya jadi bisa melihat, seperti apa teman saya ini di kala serius menekuni hobinya. Eday mengerti pentingnya sesuatu khas dari karyanya dan dia memiliki kemampuan, konsistensi dan semangat untuk mengerjakannya. Memang orang yang luar biasa dan kualitas inilah yang membedakannya dengan saya dan teman-teman lainnya... 

NB: baru-baru ini saya jelaskan pada putri saya bahwa Paman Eday terkenal karena hasil karyanya. Mendengar hal itu, anak saya lantas dengan polos bertanya, "karena Papa berteman dengan orang terkenal, apakah ini berarti Papa terkenal juga?" Saya tertawa dan menjelaskan pula bahwa prosesnya tidaklah seperti itu. Namun saya senang bisa turut berpartisipasi dalam buku-bukunya. Sukses selalu, sobat lama!