Total Pageviews

Translate

Monday, April 8, 2024

The China Trip: How It Began

Unlike the well-documented origin of Japan trip, apparently neither Gunawan nor I could remember why we ended up in China. I only remember presenting the four itineraries, the first one was the Laos-China trip (Yunnan), then two China-centric routes and the last one was the London itinerary. Laos was rejected and UK was considered as too much. The cost to Beijing and Shanghai was almost as good as London. Eventually Gunawan as the Captain agreed with the Xi'An route. 

The Captain thing was an in-joke, too. Parno was retrospectively referred to as Captain Japan. Hendra was Captain Thailand and of course Gunawan was Captain China. The Captain is basically a person full of wanderlust and we are there to make up the numbers and make it happen. It's like being the Captain's entourage and the members this time were the regulars of Robinson Travel such as Surianto, Taty and Cicilia. New additions were Andiyanto and Angela, Cicilia's daughter.


Captain China.

Since we already had the preparation templates based on the last Japan trip, we just had to repeat them with slight adjustments. At first I wanted to buy tickets on 12-Oct-2023, a historical date that marked the day we had Japan tickets in hand, but Gunawan said it'd be too early, since we'd only depart in April. So we bought the tickets in December instead, simulating the four months interval before the departure.

One day, I had lunch with Lawrence and he expressed a keen interest in joining us. Since he mingled well with my friends such as Parno and Harry, I thought he should be fine. Furthermore he can read and speak Chinese better than any of us. I asked our Captain and he approved, so for the first time ever in a long time, we had a crossover between two worlds: colleagues and high school friends. The last time such a trip happened was when we went to Tanjungpinang in 2015. 

Captain China and his entourage.

That could have ended then and there, but then Lawrence came and told me that his son Ezra wanted to join us, too. Things got interesting here. We now have two young adults joining us, the first time Robinson Travel ever had two generations traveling together. I'd say it went well. More to this later, in the next story. 

Just like the Japan trip, there was also something happening with the flight schedule. This round, the departure flight from Singapore to Xi'An was changed to a later date. That meant we would lose three days and our itinerary would be screwed, so we revised it to a day earlier instead. A lesson learnt here, expect a slower response if budget flight tickets were bought from agencies (trip.com in this case). Some of us who bought directly from Scoot managed to change the flight almost immediately, so it was nerve-wracking for those who waited!

Gunawan arrived in Singapore.

Needless to say, the tickets were sorted and the China visa for those who needed it was applied. We did make fun of Gunawan because his visa was the only one with a passport photo. Eday frightened him, saying that it was a counterfeit, haha.

But it wasn't going to be a problem. We were ready. I'd be relying on Wise and InstaRem this time. Alipay and WeChat Pay were installed (though it didn't seem to work in Singapore). Closer to the date, I even got Changi Pay installed (it's compatible with Alipay, but the steps didn't feel as practical). The countdown eventually began: a few more months to go, weeks, a single digit of days, then came the day when Captain China touched down in Singapore. We gathered on the following day at Changi Airport. So began our holiday...

Waiting for departure...



Liburan Ke Cina: Asal Mula Cerita

Berbeda dengan asal mula liburan ke Jepang yang terdokumentasi dengan baik, ternyata Gunawan dan saya sendiri tidak ingat kenapa kita bisa ke Cina. Saya hanya ingat dengan empat rute yang saya bikinkan: yang pertama adalah Laos-Cina (Yunnan), dua berikutnya fokus ke Cina, yang terakhir adalah jurusan ke London. Laos  ditolak dan Inggris pun dianggap terlalu berlebihan, sedangkan biaya ke Beijing dan Shanghai hampir setara dengan ke London. Akhirnya Gunawan sebagai Kapten memutuskan rute Xi'An, Chengdu dan Chongqing. 

Jabatan Kapten ini juga merupakan lelucon di antara teman-teman SMA. Meski tidak pernah dipanggil Kapten selama di Jepang, Parno adalah yang pertama. Selanjutnya ada Hendra yang merupakan Kapten Thailand dan tentu saja Gunawan adalah Kapten Cina. Kapten ini pada dasarnya orang yang memiliki impian jalan-jalan dan kita menjadi peserta yang turut mewujudkan impiannya. Anggota reguler kali ini adalah Surianto, Taty dan Cicilia. Yang baru bergabung adalah Andiyanto dan Angela, putri Cicilia. 

Kapten Cina. 

Karena kita sudah ada referensi persiapan berdasarkan perjalanan ke Jepang, kita hanya perlu mengulang langkah yang sama dengan sedikit penyesuaian. Awalnya saya ingin membeli tiket pada tanggal 12 Oktober 2023, hari bersejarah yang menandakan kita memiliki tiket dan siap berangkat, namun Gunawan berpendapat bahwa masih terlalu awal mengingat kita baru akan berangkat di bulan April. Akhirnya kita membeli tiket di bulan Desember, mengikuti interval empat bulan sebelum hari keberangkatan. 

Pada suatu hari, saya makan siang dengan Lawrence dan dia menyatakan keinginannya untuk turut serta. Karena dia bisa berteman dengan teman-teman SMA seperti Parno dan Harry, saya rasa harusnya tidak masalah. Lagipula dia bisa membaca dan berbicara dalam bahasa Cina. Saya pun bertanya pada Kapten dan mendapatkan persetujuan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dua dunia yang berbeda pun bertemu lagi: dunia kolega dan teman-teman SMA. Peristiwa serupa terjadi terakhir kali di tahun 2015, saat kita ke Tanjungpinang

Kapten Cina dan rombongannya.

Dan susunan peserta hendaknya berhenti sampai di situ, sampai Lawrence bertanya beberapa minggu kemudian, apakah anaknya yang bernama Ezra bisa turut serta. Kini kita memiliki dua muda-mudi dalam rombongan. Robinson Travel membawa dua generasi berlibur bersama dan sampai sejauh ini, semua berjalan lancar. 

Seperti halnya liburan ke Jepang, perjalanan kali ini juga dilanda masalah perubahan jadwal penerbangan. Jam terbang dari Singapura ke Xi'An tiba-tiba diundur dua atau tiga hari. Ini berarti jadwal kita di Xi'An jadi berantakan. Oleh karena itu, kita majukan liburan menjadi sehari lebih awal. Sebuah pelajaran bagi kita semua di sini, respon dari agen yang membelikan tiket (kita pakai trip.com) lebih lambat dari maskapainya. Teman-teman yang membeli langsung dari Scoot bisa segera mengganti jadwal penerbangan mereka sehingga kita yang menanti pun menjadi deg-degan. 

Gunawan tiba di Singapura. 

Urusan tiket kita bereskan dan visa Cina pun segera dimohon oleh mereka yang membutuhkan. Gunawan sempat dibikin tegang karena visanya adalah satu-satunya yang memiliki foto. Eday lekas menakuti-nakuti Gunawan dan berkata bahwa visanya pasti palsu, haha. 

Namun semua itu bukan masalah. Kita sudah siap sekarang. Saya akan mengandalkan Wise dan InstaRem kali ini. Alipay dan WeChat Pay pun disiapkan meski tidak bisa dipakai di Singapura. Mendekati hari-H, saya juga menyiapkan Changi Pay yang bisa digunakan di kios berlogo Alipay (setelah dicoba, cara penggunaannya ternyata tidaklah sepraktis Alipay). Lantas kita pun menghitung mundur: bulan berganti minggu, sampai akhirnya tersisa kurang dari sepuluh hari lagi. Kemudian tibalah Kapten Cina di Singapura. Kita berkumpul di Bandara Changi pada keesokan harinya dan liburan pun dimulai... 

Menanti penerbangan ke Xi'An...


Book Review: Around The World In Eighty Days

I have heard of Jules Verne since I was a kid, probably from the Donald Duck comics that I read. Around the World in Eighty Days was not unheard of, too, but I never read it before. I watched the Jackie Chan's version recently and, for some reason, I couldn't get the name Passepartout out of my head, so I borrowed the book from the library

Now, first thing first, it's quite interesting to read a book written a couple of centuries ago. It's like traveling back in time to the world they knew, which could be quite different than ours now. As this is about traveling, some cities are immediately recognized while others, such as hamlet of Kholby, had to be googled. For someone who never travelled the world, Jules Verne's description of the cities was fascinating. I personally like the paragraph describing Singapore in those days. 

Character-wise, you won't find much depth, apart from the fact that Fogg and Passepartout were the typical British and French. But who needs much characterization when the story is about traveling the world? This is where it shines. For a book written in 19th century, it's still pretty much engaging for a modern-day reader. It certainly has nice, unexpected twists and turns. The ending was brilliant as well. 

I can only say that you can't use the whimsical, diluted Jackie Chan's version as a reference for the book. The stories are quite different and the book is much better. Go read Around the World in Eighty Days. It's a classic, but not in a boring way like Marco Polo's the Travels

PS: and it's inspiring, too. I am now toying with the idea of getting Hard Rock Cafe's t-shirts around the world in two weeks! The route is Singapore, Dubai, Tunis, Madrid, Santiago, Panama City, Los Angeles, Sydney, Singapore. It's possible, though crossing all timezones in such a short span may have unforseen repercussions, haha. We shall see!




Keliling Dunia Dalam 80 Hari

Saya sudah mengenal nama Jules Verne dari sejak kanak-kanak, mungkin dari majalah Donal Bebek yang saya baca. Keliling Dunia Dalam 80 Hari pun sering terdengar pula, tapi belum pernah saya baca. Baru-baru ini saya menonton versi Jackie Chan dan semenjak itu nama Passepartout sering terngiang dan saya ucapkan, jadi saya pun pinjam bukunya dari perpustakaan

Hal menarik pertama dari buku yang ditulis beberapa abad silam ini adalah pengalaman menembus waktu ke dunia Jules Verne yang berbeda dengan apa yang kita kenal sekarang. Karena buku ini intinya adalah tentang berkelana, beberapa nama kota masih sama dan yang lain, misalnya dusun Kholby, harus dicari di Google. Untuk orang yang tidak pernah keliling dunia, deskripsi Jules Verne memang mengagumkan. Saya sendiri suka dengan paragraf tentang Singapura di masa lampau. 

Tentang penokohan, Jules Verne tidak mengembangkan karakter tokoh-tokohnya secara mendalam. Kita cuma sebatas tahu bahwa Fogg dan Passepartout adalah tipikal orang Inggris dan Perancis. Namun karena ini adalah buku tentang petualangan, siapa juga yang peduli dengan karakter? Untuk buku yang ditulis di abad 19, ceritanya masih memiliki daya tarik. Alurnya penuh dengan kejutan. Akhir ceritanya pun bagus. 

Saya hanya bisa berkomentar bahwa anda tidak bisa menggunakan versi Jackie Chan yang konyol sebagai referensi. Buku dan film ini berbeda ceritanya dan karangan Jules Verne jelas lebih bagus. Baca saja Keliling Dunia Dalam 80 Hari. Sungguh sebuah karya klasik, tapi tidak membosankan seperti kisah petualangan Marco Polo

Catatan kaki: dan buku ini juga sangat menginspirasi. Saya jadi bermimpi untuk mengelilingi dunia membeli kaos Hard Rock dalam dua minggu. Rutenya adalah Singapura, Dubai, Tunis, Madrid, Santiago, Panama City, Los Angeles, Sydney, Singapura. Rute ini mungkin untuk ditempuh, tapi melewati semua garis waktu dalam tempo dua minggu mungkin memiliki dampak tak terduga. Kita lihat saja nanti, haha...

Saturday, March 30, 2024

The Privileges

I received a call when I was on a shuttle bus to River Wonders yesterday. The caller knew I stayed at Intercon during my recent trip to Bandung, so she'd like to share with me about the privileges I'd have if I signed up for the IHG membership. As I listened to the lady talking passionately, I zoned out gradually. At the end of the conversation, I thanked her and declined the offer politely. As I hung up, I pondered a while over the idea of complicating life which the so-called privileges. 

Those perks in life, they always sound so promising. But do I really need them? Do I bother keeping track of those benefits that I may or may not use at all throughout the year? Why on earth do I want to sign up for something that gets me busier and forces me to plan something just because I have paid for it upfront? Most importantly, am I not already happy now, even without having the privileges?

Then the thought led me to the moment with my friend Eday at the sake bar in Tokyo last year. I remember him saying one thing that was oblivious to me all this while. As I praised a friend of ours, Eday said I shouldn't sell myself short. He pointed out that growing up, I always had quite a freedom and before I got married, I was pretty much always on my own. I could have taken the wrong turn and gone astray, but yet I managed to stay on track and became who I am today.

Looking back, I don't always know what I want, but I subconsciously know what I don't need. I had been wearing the same Seiko watches since 2008. For the longest time, when the majority were divided between iPhone or Samsung, I was happily using BlackBerry. When people opt for Xbox or Sony Playstation, I stick with Nintendo. Unnecessary privileges can be confusing and become a burden you don't need, therefore the innate ability to say no to them is a blessing to me.

But it's important to highlight that it's no harm listening to what people have to say, though. We can't possibly know everything. There are times when what people say is probably what you need to hear. For example, I'm neither smart or wise when it comes to financial matters, but from to time, I do benefit from those that are willing to share. Thanks to Franky, I had a good deal when I did my HDB refinancing. Stuff like SRS and T-bills were also things I learnt along the way from listening to other people's ideas.

I guess we don't always have to be the smartest one in the room or the one who talks all the time. It's fine to sit back and listen to what others have to offer sometimes, just like what I did when I listened to the lady. Problems arise only when you don't have the filter mechanism. You'd think it's a privilege until you realise you actually have to pay the price. If that's not something you are prepared to do, then probably you don't need the privileges at all. Think again.

Intercontinental Bandung, an IHG hotel.



Hak Istimewa

Kemarin saya menerima telepon saat dalam perjalanan ke River Wonders bersama keluarga. Yang menelepon tahu bahwa saya menginap di Intercontinental saat ke Bandung baru-baru ini, jadi dia ingin memberitahukan lebih lanjut hak-hak istimewa yang bisa saya dapatkan bila saya mendaftar sebagai anggota IHG. Saat mendengar penjelasannya, perlahan-lahan saya jadi melamun. Di akhir pembicaraan, saya berterima kasih dan menolak tawarannya dengan sopan. Setelah itu saya jadi merenung sejenak, apa gunanya membuat hidup menjadi lebih rumit dengan hak-hak istimewa seperti ini. 

Semua keistimewaan yang terlihat menjanjikan ini, apakah benar saya memerlukannya? Relakah saya untuk mengingat dan memantau durasinya? Apakah ada alasan yang kuat bagi saya untuk berlangganan sesuatu yang membuat saya tambah sibuk dan akhirnya harus membuat aneka rencana supaya hak istimewa yang sudah saya bayar itu terpakai? Yang lebih penting lagi, bukankah saya sudah gembira sekarang, meski saya tidak memiliki hak-hak istimewa tersebut? 

Apa yang terlintas di benak saya itu lantas membawa saya kembali ke saat bersama teman saya Eday di bar sake Tokyo tahun lalu. Di kala itu dia mengucapkan sesuatu yang tidak pernah saya sadari sebelumnya. Sewaktu saya memuji seorang teman kita, Eday berkata bahwa hendaknya saya tidak melupakan apa yang sudah saya sendiri lewati. Dia mengingatkan saya kembali bahwa selama ini saya tergolong memiliki kebebasan dan sebelum menikah, boleh dikatakan pula saya hidup seorang diri. Saya bisa saja salah jalan dan terjerumus, namun saya bisa tetap berada di jalur yang lurus dan menjadi diri saya sekarang. 

Kalau saya lihat kembali, saya tidak selalu tahu apa yang saya mau, tapi di bawah sadar, saya tahu apa yang tidak saya perlukan. Saya memakai jam Seiko sejak tahun 2008. Ketika mayoritas pengguna telepon genggam terbagi antara iPhone dan Samsung, saya bahagia dengan BlackBerry di tangan. Tatkala orang-orang melirik Xbox atau Sony Playstation, saya senantiasa setia dengan Nintendo. Intinya adalah, hak-hak istimewa yang sebenarnya tidak perlu itu bisa terasa membingungkan dan menjadi beban yang tidak diperlukan, jadi kemampuan terpendam untuk mengatakan tidak pada hak-hak istimewa yang ditawarkan ini adalah sebuah berkat bagi saya. 

Tapi mendengarkan ide orang lain pun tidak ada salahnya, terutama karena pengetahuan kita sendiri pun terbatas. Ada kalanya apa yang dikatakan orang lain itulah yang perlu anda dengarkan. Sebagai contoh, saya tidaklah pintar ataupun bijak dalam hal finansial. Dari waktu ke waktu, pendapat orang lain memberikan manfaat bagi saya. Berkat Franky, saya bisa menghemat banyak ketika memperbaharui kredit rumah. Hal-hal seperti SRS (skema pensiun) dan T-bills (surat hutang negara) adalah sesuatu yang saya pelajari sewaktu makan siang bersama kenalan. 

Saya rasa kita tidak perlu selalu menjadi yang paling pintar dan berbicara paling banyak saat berkumpul. Tidak ada salahnya duduk dan mendengarkan, seperti halnya saat saya menyimak soal IHG di telepon. Masalahnya muncul ketika anda tidak memiliki mekanisme filter. Hak-hak istimewa itu datang dengan harga yang perlu anda bayar. Bila hal ini bukanlah sesuatu yang siap anda tebus, mungkin anda tidak perlu hak-hak istimewa tersebut. Pikirkanlah kembali. 

Thursday, March 14, 2024

The Business Trip

I've joined the workforce since year 1998. My first job was at Hotel Kartika in Pontianak and I worked as a stock-keeper. Because Wisma Siantan Indah was owned by the same boss, I had to deliver goods to the inn across the river. My first and quite regular business trip, if I could call it that since it happened in the same town. 

Back to where it all started.

The pattern repeated when I moved to Jakarta and worked at Kalbe Farma. The company's factory is in Cikarang and it has many branches, so I'd go to offices in Jakarta such Rawagelam, Pulo Lentut, Tanah Abang, Fatmawati and many more. But my first and proper business trip had to be the visit to Sukajadi office in Bandung. My colleague Surijanto drove me there for an easy job: replacing a faulty network router. 

Then came the Medan trip in 2005, the first time I ever took a two-hour flight. I also had the first overseas trip to Singapore and Hong Kong for business purpose that year. Since I was never a brilliant network engineer, I'm pretty sure I was selected simply because I had a passport ready with me plus the fact that I was able converse in English (and Chinese to a certain extent), haha. 

Lunch with Juniper team in Boat Quay, Singapore. 

When I moved to Singapore and worked at Ong First, I was also sent to Kuala Lumpur and Bangkok for business trips with the worst arrangement ever: a day trip! So I had to fly out and return to Singapore on the same day. I met clients right after I landed and went back to the airport again immediately.

14 years into my current job, I flew once in a blue moon to Jakarta and Kuala Lumpur for work. The last one happened a week ago and it got me thinking about the pros and cons of such trips. All this while, the nature of my job didn't really require me to travel. I love travelling, but based on few trips that I did, I could say that business trip is my least favourite kind of trip. 

With colleagues at KL office. 

Yes, I like meeting people, especially putting faces to the names I normally work with. But other than that, business trip doesn't offer much liberty because you are clearly there for work. Imagine visiting a new city but you don't have a chance to explore. So no, not exactly a fan. Given the choice, I'd rather pay for the trip myself and have the full freedom to travel properly. 



 Perjalanan Bisnis

Saya sudah mulai bekerja sejak tahun 1998, begitu saya lulus SMA. Profesi pertama saya berkaitan dengan bagian pengadaan barang di Hotel Kartika Pontianak. Karena Wisma Siantan Indah juga dikelola oleh pemilik yang sama, maka saya juga secara berkala mengantarkan barang-barang ke penginapan yang berada di seberang sungai. Meski masih dalam kota yang sama, boleh dikatakan itulah "perjalanan bisnis" dalam tiga tahun pertama saya di dunia kerja. 

Kembali ke Kartika di tahun 2023.

Pola serupa ini juga berulang ketika saya pindah ke Jakarta dan bekerja di Kalbe Farma. Perusahaan obat ini memiliki pabrik di Cikarang dan banyak kantor cabang. Di Jakarta, saya mengunjungi kantor-kantor di Rawagelam, Pulo Lentut, Tanah Abang, Fatmawati dan masih banyak lagi. Akan tetapi perjalanan bisnis saya  untuk pertama kalinya terjadi saat saya ke kantor di Sukajadi, Bandung. Di masa sebelum ada jalan tol, kolega saya Surijanto yang menyetir dan kita ke Bandung untuk tugas yang tergolong enteng: mengganti router yang rusak. 

Kemudian ada lagi perjalanan ke kantor cabang Medan di tahun 2005. Untuk pertama kalinya saya menaiki penerbangan yang berdurasi dua jam lamanya. Saya juga diberangkatkan ke Singapura dan Hong Kong di tahun yang sama. Terus-terang saya bukanlah pakar jaringan komputer, jadi sepertinya saya terpilih semata-mata karena saya memiliki paspor dan bisa berbahasa Inggris, plus Mandarin seadanya, haha. 

Makan siang di Boat Quay, Singapura, bersama tim dari Juniper.

Sewaktu saya hijrah ke Singapura dan bekerja di Ong First, saya sempat pula ditugaskan ke Kuala Lumpur dan Bangkok dalam rangka mengunjungi CIMB Bank dan Bangkok Bank, tapi pergi-pulang di hari yang sama. Saya harus bergegas menemui klien begitu tiba dan kembali ke bandara setelah misi tercapai. Sungguh melelahkan dan tidak menyenangkan. 

Memasuki tahun ke-14 di pekerjaan yang saya tekuni sekarang, sesekali saya pergi ke Jakarta dan Kuala Lumpur karena urusan kantor. Perjalanan bisnis terkini terjadi seminggu lalu dan membuat saya berpikir tentang pro dan kontra bepergian dalam rangka bisnis. Sejauh ini, pekerjaan saya cenderung tidak memerlukan saya untuk bertugas ke luar, namun berdasarkan pengalaman yang ada, saya bisa katakan bahwa saya tidak menyukai perjalanan bisnis. 

Bersama para kolega di kantor KL.

Ya, saya senang bertemu dengan mereka yang selama ini hanya saya kenal sebatas nama. Namun ada rasa tidak bebas karena perjalanan bisnis itu memang dalam kapasitas pergi bekerja. Bayangkan jika kita pergi ke tempat yang baru dan tidak punya kesempatan untuk jalan-jalan. Dari sini saya bisa menyimpulkan, kalau saya bisa memilih, saya lebih suka bayar sendiri dan berjalan sepuas hati. 




Wednesday, March 6, 2024

The Guilt Trip

One privilege of living the second half of your life outside your hometown is gaining a new perspective as you matured. You learnt that what we grew up with weren't always right and there were better ways in looking at things.

To give you the context, back in Pontianak, we were brainwashed with phrases such as pang tia lai and ai kak mai. The former can be roughly translated as relax, what's the rush? and the latter is as good as I also could it if I wanted to. First one is condoning the time wasting behavior, the second one is an arrogant way to cover the fact that one is lazy. Both are equally damaging. 

As I said in the grand plan, you listen to a certain thing long enough, you'll end up believing that perhaps this is the way it should be. Well, not if I could help it. Now that I had a different view, I made it my crusade to combat the old tradition. It was like discovering the gospel truth and you just had to shout about it! 

Our story this time began with a distraught friend sharing with us what he meant by grounded. He was so grounded that he'd say stuff like I love Pontianak. But it wasn't genuine. It felt ironic instead. Anyone in their right mind would have sensed that it wasn't true. 

This is coming from the same guy that dreamt of going to Japan and the dream came true because he put on effort wholeheartedly. When he exclaimed that he was now grounded indefinitely after the glorious Japan trip, it just didn't feel right. Something must have gone awfully wrong here. But what's that?

So we dug deeper and offered some countermeasures. Financial concerns were quickly addressed quite brilliantly by Eday in a comical way. The harder problems were the ones from within, those that were originated from years of living in such a toxic culture. 

In Pontianak, there is an apparent fear about what others would say. You'd think and think, worrying what their cynical opinions were, as if these were the most important thing ever. It clouded your judgement and left you very much unsure about anything, so paralyzing that you'd live with not much things to look forward to.

This guilt trip rendered our friend questioning his every move. That it was very wrong of him to go to Japan. That he has to pay the price and do all things because of it. That his wife has all the rights to do as she pleases while he has to suffer in silence. That it'll be a dreamless future from here onwards till the day he dies.

What he failed to realize is, perhaps all this was just wrecking havoc in his mind. It might not necessarily happen. So we told him that. We pulled him out from the guilt trip. And for the first time in a long while, we saw that cheeky, smiling face again. Then right after that, he said he wanted to sleep. It felt right, though. This was the guy that made us laugh and drove us nuts at the same time since we were kids.

So what's the moral of story here? I could have just walked away. It's not my fight anymore. But I guess some parts of Pontianak will always live in me and there's a sense of belonging there. We either continue the awful way of thinking or we stop it here and now. What's not good should end with us. To put a stop to it will be a lifelong battle, but I'll say it's pretty rewarding. It is oddly satisfying to show them time and again that the new way can be done...

When we were in Japan...



Perasaan Bersalah

Satu kelebihan dari hidup merantau dalam 22 tahun terakhir ini adalah perspektif baru yang saya dapatkan seiring dengan bertambahnya usia. Saya belajar bahwa tidak semua budaya yang saya kenal baik dari sejak kecil itu sudah pasti benar. Ada hal dan cara yang lebih baik dari apa yang saya ketahui sebelumnya. 

Sebagai konteks, saya bisa ceritakan bahwa semasa di Pontianak, kita seringkali dicuci otak dengan frase dan ungkapan seperti pang tia lai dan ai kak mai. Yang pertama artinya santai, kenapa harus terburu-buru? Yang kedua bisa diterjemahkan sebagai berikut: saya juga bisa kalau saya mau. Frase pertama condong mendukung prilaku buang-buang waktu, sedangkan yang kedua adalah cara sombong untuk menutupi kenyataan bahwa yang ngomong itu sebenarnya malas dan tidak mau berusaha. Dua-duanya sama-sama merusak. 

Seperti yang saya katakan dalam artikel rencana ke Jepang, jika anda mendengarkan sesuatu terus-menerus, lambat-laun anda akan percaya bahwa mungkin inilah satu-satunya cara yang benar. Ini yang hendak saya ubah. Saya temukan bahwa apa yang sering kita dengar itu tidaklah benar. Seperti halnya dengan kabar gembira, saya berkewajiban untuk mengabarkan hal ini sampai ke ujung dunia! 

Cerita kita kali ini dimulai dengan teman murung yang akhirnya berbagi cerita, apa maksudnya dengan istilah grounded yang sering ia pakai untuk mengambarkan kondisinya sekarang. Sedemikian terkekangnya teman yang satu ini, sampai-sampai ia bersembunyi di balik ucapan saya mencintai Pontianak. Cara penggunaan kalimatnya itu tidak terasa jujur. Justru lebih berkesan ironis. 

Ini adalah teman yang sama, yang dulunya berani bermimpi untuk ke Jepang dan mewujudkan impiannya karena dia berusaha sepenuh hati. Ketika dia mengeluh tentang nasibnya yang kini terbelenggu setelah liburan ke Jepang, rasanya ada yang salah. Tapi apa permasalahan sesungguhnya? 

Jadi kita pun menggali lebih dalam lagi dan menawarkan beberapa solusi. Masalah finansial dengan cepat diatasi oleh Eday dengan cara yang kocak nian. Yang lebih rumit adalah masalah dari dalam hati, yang tercipta karena puluhan tahun diracuni dengan budaya yang tidak benar. 

Di Pontianak, ada ketakutan yang akut akan cibiran orang lain. Teman saya ini berpikir dan kian terjerumus karena mengkhawatirkan opini sinis orang lain, seakan-akan itu adalah hal paling penting. Hal ini membuatnya merasa serba salah dan dia tidak yakin lagi dengan apa yang harus dilakukannya. Begitu parahnya hingga dia hanya bertahan hidup tapi tak lagi memiliki tujuan. 

Perasaan bersalah yang tidak jelas ujung pangkalnya ini membuat teman saya mempertanyakan setiap langkahnya. Dia kini merasa berdosa karena telah ke Jepang. Dia merasa bahwa dia harus membayar mahal perbuatannya ini. Dia merasa istrinya bebas berkumpul dan menikmati hidup sementara dia wajib menderita dalam hening. Hidupnya kini, mulai dari sekarang hingga mati, tak lagi boleh memiliki impian. 

Apa yang gagal disadarinya adalah, mungkin semua ini hanyalah imajinasi belaka. Belum tentu apa yang dibayangkannya itu sedang terjadi. Jadi kita sampaikan itu padanya dan kita bimbing dia keluar dari perasaan bersalah ini. Di malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, senyum konyol yang khas itu muncul lagi. Segera setelah itu, dia berkata bahwa sudah waktunya untuk tidur. Meski menyebalkan, semua ini terasa benar. Inilah teman yang membuat kita tertawa dan kesal dari sejak kecil. 

Jadi apa moral cerita kali ini? Sejujurnya saya bisa saja mengabaikan semua ini. Lagipula sudah bukan urusan saya lagi. Namun Pontianak akan selalu menjadi bagian hidup saya. Ada perasaan ikut andil kalau bicara tentang Pontianak. Pilihan kita adalah tetap melanjutkan budaya pemikiran seperti generasi sebelumnya atau kita hentikan itu sekarang. Apa yang tidak baik hendaknya diakhiri di generasi kita. Mungkin butuh waktu seumur hidup untuk mencapai itu, tapi hasilnya itu sepadan dengan upayanya. Ada perasaan puas saat menunjukkan bahwa cara baru yang lebih baik bisa membuahkan hasil yang lebih baik pula... 

Sunday, February 18, 2024

The Celebration, The Speed And The Hangout

My friend Jimmy sets the standard called at least twice. While we always make fun of it in our group, there is a certain truth in it. Now, about a decade ago, I went to Bandung for Chinese New Year celebration. I came from a culture that has a rich Chinese New Year tradition, so I was taken aback that in Bandung, what we did on the first day of Chinese New Year was to take a family photo.

Still one doesn't get to conclude based on the one time experience. According to Jimmy, you have to go through it at least twice. So off we went again to Bandung last week. After an early flight and a car ride, we reached our destination. That night was rather special. A reunion dinner plus birthday celebration of my daughter and brother-in-law. Food was delicious and it was fun to hang out with the in-laws again. They are good people. 

Audrey's birthday celebration.

Came the first day, things started late in a city that barely had the Chinese New Year atmosphere. After a failed visit (the host wasn't at home), they accommodated my only wish to have my lunch at Batagor Kingsley. The food was good, but the place was bloody stuffy. I think the restaurant wants a fast guest turnover, therefore the aircon wasn't turned on.

After that, we tried visiting the brother of my father-in-law again. He was there this time. His house was being renovated so both the host and visitors were standing throughout the time we were there. No cakes or tea were served, so I think it's safe to conclude now that Chinese New Year isn't a big deal in Bandung. Call me biased, but I like the celebration in Pontianak better, haha. 

Stink bean salted fish fried rice.

The next day, things were back to normal. To think that it was only day two of CNY! We lazed around until noon time, then went out for late lunch at Pandan Wangi. The food was as good as it could be for Sundanese cuisine. I personally like the stink bean salted fish fried rice. Called jambal roti in local language, the texture of the salted fish was rather unique. It was firm, giving the crunchy vibe, and the saltiness tasted just nice. Perfect for the fried rice.

We eventually said goodbye after lunch. It was our family time and we moved from Dago to Dago Pakar area for one night at Intercontinental. My wife recommended the hotel and her choice was supported by my daughter. It was a good hotel. Nice view, big room, definitely worth the money. A bit secluded, but that's the expectation when one chooses to stay in Dago Pakar. 

Audrey at Intercon.

We returned to Jakarta on the following day. We tried Whoosh out, the newly built high-speed rail service and the first one in Southeast Asia. The Tegalluar Station was quite far, more than an hour ride from Intercontinental. I also learnt that the locals would actually opt for Padalarang Station instead as it was closer to the city. 

Anyway, since the tickets were already booked, we headed to Tegalluar. The station was like at the end of the line. One road led to the station that was surrounded by paddy fields. The station was new and instead of restaurants, it had a lot of small kiosks selling food. Much to my surprise, they only accepted cashless transaction. The ticket machine worked, the train platform somehow reminded me of Suzhou and... Bern. The bullet train itself felt like those in China.

Right before we boarded the train.

46 minutes were all it took to reach Halim Station, outskirt of Jakarta. From there, the Blue Bird cab brought us to Mercure in PIK. The area was new to us, so we stayed there for sightseeing purpose. My daughter had KFC and xiaolongbao from Din Tai Fung while I preferred the good ol' Pontianak cuisine cooked by my friend Gulit: the non-halal fried kway teow. Since there was Aming Coffee nearby, it became a logical choice for us to hang out. 

The night could have ended there, but HRR appeared and we all went out again after I dropped my family at the hotel. We went to Hermosa this time, singing and drinking. The last song, only God knows why, was memorable. Chosen by HRR, it was Vulnerable by Roxette.

At Hermosa with Gulit, HRR, AW and Yardi.

Apart from Pantjoran that sells the Chinatown atmosphere, PIK is also known for its European look. My wife was keen to see, so we went there in the morning. Apparently it was meant to be visited in the night, so there wasn't much to see when we were there, haha. We walked to nearest McDonald's and had a breakfast there. After that we did the late check-out and made our way back to Singapore...



Perayaan, Kecepatan dan Nongkrong

Teman saya Jimmy menelurkan standar minimal dua kali. Meski kita di grup suka menjadikan standar ini sebagai lelucon, tidak bisa dipungkiri bahwa ada kebenaran yang tersirat di dalamnya. Nah, sekitar 10 tahun silam, saya ke Bandung untuk merayakan Tahun Baru Cina. Karena saya berasal dari tempat dengan budaya yang kaya dengan tradisi Tahun Baru Cina, bayangkan betapa kagetnya saya bahwa kita justru ke studio untuk foto bersama di hari pertama Tahun Baru Cina. 

Namun tentunya kita tidak bisa menarik kesimpulan dengan hanya berdasarkan pengalaman satu kali saja. Standar kita adalah minimal dua kali. Jadi saya pun ke Bandung lagi minggu lalu. Setelah penerbangan di pagi hari yang berlanjut dengan perjalanan dengan mobil, tibalah kita di Bandung. Malam itu tergolong istimewa. Ada makan malam bersama untuk merayakan malam tahun baru sekaligus pesta ulang tahun putri dan adik ipar saya. Makanannya enak dan senang bisa berkumpul dengan keluarga istri saya lagi. Mereka orang-orang yang baik dan ramah. 

Ulang tahun Audrey.

Hari pertama Tahun Baru Cina terasa berjalan lambat di kota yang hampir tidak memiliki suasana tahun baru. Saat hari menjelang siang, barulah kita berkunjung ke rumah yang paling dituakan, namun orangnya tidak di tempat. Kita lantas makan di Batagor Kingsley, makanan favorit saya. Makanannya lezat, tapi tempatnya panas dan pengap. AC-nya tidak dinyalakan, mungkin karena pemilik restoran ingin tamunya cepat pergi setelah makan. 

Sesudah makan siang, kita balik lagi ke tempat abang dari bapak mertua saya. Beliau ada di rumah sekarang, namun kediamannya sedang direnovasi. Baik tuan rumah maupun tamu pun berdiri selama kunjungan. Tak ada teh dan kue. Jadi bisa disimpulkan sekarang bahwa Tahun Baru Cina memang bukan tradisi penting di Bandung. Anda boleh anggap saya bias, tapi saya lebih suka perayaan di Pontianak, hehe. 

Nasi goreng pete jambal roti.

Keesokan harinya, semua kembali normal di hari kedua Tahun Baru Cina. Kita bersantai sampai siang, lalu makan di Pandan Wangi. Saya bukan penggemar berat masakan Sunda, tapi saya rasa cukup lezat. Pesanan saya, nasi goreng pete jambal roti terasa istimewa. Ikan asinnya padat, pas asinnya dan enak dikunyah. 

Kita akhirnya pamit dengan keluarga besar sesudah santap siang. Dari Dago, kita pindah ke kawasan Dago Pakar untuk bermalam di Intercontinental. Istri saya yang merekomendasikan hotel ini dan putri saya juga mendukung idenya. Pilihan yang bijak, sebab hotelnya memang bagus, kamarnya luas dan sesuai harga. Agak terpencil, tapi memang seperti itulah kalau kita memilih untuk tinggal di Dago Pakar. 

Audrey di Intercon.

Setelah berada di Bandung dari sejak hari Jumat, kita kembali ke Jakarta di hari Senin dengan menaiki Whoosh, Kereta Cepat Indonesia Cina yang baru-baru ini diresmikan. Stasiun Tegalluar cukup jauh dari Intercontinental, lebih dari satu jam kalau menggunakan mobil. Setelah berbincang dengan beberapa orang selama di Bandung, saya baru tahu bahwa warga setempat lebih cenderung memilih untuk berangkat dari Stasiun Padalarang karena lebih dekat dengan pusat kota. 

Karena tiket sudah dibeli sebelumnya, maka kita tetap ke Tegalluar. Stasiun ini letaknya bagaikan di ujung dunia. Hanya ada satu jalan yang mengarah ke stasiun yang dikelilingi oleh sawah. Tak ada restoran di stasiun baru ini, hanya ada kios-kios kecil yang menjual makanan secara non-tunai. Ada mesin tiket yang berfungsi dengan baik, disain platform kereta yang membuat saya teringat dengan stasiun di Suzhou dan... Bern. Kereta cepatnya juga mirip dengan yang di Cina. 

Foto bersama sebelum naik Whoosh.

46 menit setelah keberangkatan, kita mencapai Stasiun Halim yang terletak di tepi Jakarta. Dari sana, kita naik Blue Bird ke Mercure di PIK. Kawasan ini baru bagi kita, jadi kita tinggal semalam di sana. Putri saya menyantap KFC dan xiaolongbao dari Din Tai Fung sementara saya lebih memilih kwetiau goreng Pontianak dari teman saya Alit. Ada Aming Coffee di dekat Pantjoran, jadi kita pun nongkrong di sana. 

Malam itu harusnya berakhir setelah Aming Coffee, namun HRR datang menyusul dan kita keluar lagi setelah mengantarkan keluarga saya ke hotel. Kali ini kita ke Hermosa, klub malam dan karaoke. Lagu terakhir yang dipilih HRR, Vulnerable dari Roxette, entah kenapa selalu terngiang di benak saya. 

Di Hermosa bersama Gulit, HRR, AW dan Yardi.

Selain Pantjoran yang menjual suasana Cina, PIK juga memiliki kawasan bersuasana Eropa. Istri saya ingin melihat tempat ini, jadi kita ke sana di pagi hari. Ternyata tempat ini hanya ramai di malam hari, jadi tidak ada yang bisa dilihat pas kita berada di sana. Kita lantas berjalan ke McDonald's terdekat untuk sarapan pagi. Setelah check-out, kita pun ke bandara dan kembali ke Singapura... 

Friday, February 9, 2024

A Different Kind Of Trip

I remember the last time I saw Nagasaki. At that time, it dawned on me that every new place I went could be my first and only time. Due to this, when I traveled, I explored as much as I could in the name of sightseeing. Even when going to places that I visited quite often, let's say Jakarta or Bangkok, there were always agendas or things to do. It could be friends to meet or food I'd like to eat.

This is the reason why the recent holiday to Phuket felt like a different kind of trip. Eday and I didn't have any itinerary. We also didn't have list of Thai food we wanted to try. Eday said his wife did share places of interest in Phuket, but we never checked them out. Friends in our group chat had their fair share of recommendations, but they, too, fell on deaf ears.

Much to their surprise, we didn't do much during daytime. Comments were varied, ranging from, "what a waste of time," to, "you already in Phuket but didn't go this place?" Those questions were ignored while we were there. While I couldn't speak on behalf of Eday, this is what actually happened: I was also processing the new sensation that I never had before.

My first time in Phuket was with my wife, though we spent our honeymoon mainly in Patong. The second time I was there, I could live with the fact that we wouldn't explore Phuket like regular tourists. This acceptance opened a new horizon, one that I never experienced before. The trip was suddenly about two friends who simply hung out in a place we were not familiar with. 

The keyword here is hangout. We still walked around, but this activity became secondary. It is the quality time that counts. All the great talk and drinks we had and the silliness that came afterwards, those were what mattered. In a land both so foreign and new, we were free. Once again we became our younger selves, but a slightly loaded version than the original. And we have all the time in the world to catch up and get reacquainted.

The Phuket trip was, in short, unprecedented. It was relaxed thanks to its slow-paced nature. I never knew such trips existed. All this while, I thought traveling was always about discovering new places and cultures, but this trip was on a different level altogether. It had a higher purpose. I only stumbled upon it and appreciated what we actually came here for once I got past the fact that it wasn't going to be the usual sightseeing trip. 

Traveling is indeed a humbling experience. There's always something new for us to discover. And no, we weren't wasting our time. We were onto something else and I'm sharing that something else with you now. There are times when traveling is no longer about what we see or don't see, but about experiencing the moments that will become part your life and live forever...

After dark.




Liburan Yang Berbeda

Saya ingat terakhir kali saya melihat Nagasaki. Pada saat itu, saya tiba-tiba menyadari bahwa setiap tempat baru yang saya kunjungi bisa saja merupakan kali pertama dan sekali-kalinya saya ke sana. Karena itu, setiap kali saya berlibur, kecenderungan saya adalah pergi ke aneka tempat wisata untuk melihat-lihat. Bahkan di tempat yang sering saya kunjungi pun, misalnya Jakarta atau Bangkok, selalu saja ada agenda seperti teman yang hendak saya temui atau makanan yang ingin saya cicipi. 

Karena kebiasaan inilah maka liburan ke Phuket baru-baru ini terasa berbeda. Eday dan saya tidak memiliki daftar tempat yang hendak dikunjungi. Makanan Thai pun tidak ada yang wajib untuk disantap. Eday berkata bahwa istrinya sempat memberikan daftar tempat wisata di Phuket, namun kita tidak menggunakannya. Bahkan teman-teman di grup pun memberikan saran, tapi tidak kita gubris.

Jadi bayangkan betapa kagetnya mereka ketika mengetahui bahwa kita tidak memiliki aktivitas berarti di siang hari. Komentarnya beragam, mulai dari, "buang-buang waktu saja," sampai, "sudah di Phuket tapi tidak ke sini?" Semua tanggapan itu kita abaikan. Akan tetapi, walau saya tidak bisa berbicara mewakili Eday, yang sebenarnya saya rasakan adalah seperti ini: saya sendiri juga sedang mencerna sensasi baru yang tidak pernah saya alami sebelumnya. 

Saya pertama kali ke Phuket bersama istri, meski waktu kita kebanyakan dihabiskan di kawasan Patong. Kali kedua saya ke sana, saya bisa menerima bahwa kita tidak akan menjelajah Phuket seperti layaknya turis biasa. Sikap ini akhirnya membuka wawasan baru dan membuahkan pengalaman yang tidak pernah saya alami sebelumnya. Tiba-tiba saja fokus liburan adalah dua orang teman yang nongkrong di tempat asing. 

Kata kuncinya di sini adalah nongkrong. Sejujurnya kita masih berjalan-jalan di Phuket, tapi aktivitas ini bukan lagi hal utama. Adalah percakapan panjang-lebar, minum hingga larut malam dan kekonyolan yang terjadi setelahnya yang kini menjadi inti dari perjalanan kali ini. Di kota yang asing dan baru bagi kita, lahir sebuah kebebasan. Sekali lagi kita menjadi diri kita di masa muda, tapi sedikit lebih berada dari versi aslinya. Dan kita memiliki cukup waktu untuk berbincang dan saling mengenal lagi. 

Liburan ke Phuket ini secara singkat bisa dikatakan tidak pernah terjadi sebelumnya. Suasananya santai karena ritmenya yang berjalan pelan. Sebelumnya saya selalu berpikir bahwa berlibur adalah ke tempat baru dan menyerap budayanya, tapi liburan kali ini beda levelnya. Ada tujuan yang lebih dari sekedar apa yang sudah saya pahami. Saya kebetulan menemukan ini dan baru memahami kenapa sebenarnya kita ke sini setelah saya menerima bahwa liburan kali ini tidaklah seperti jalan-jalan biasa. 

Sungguh benar bahwa berlibur itu adalah sebuah pengalaman yang bersahaja. Selalu saja ada hal baru yang kita temui. Dan tidak, kita sama sekali tidak menyia-nyiakan waktu kita di Phuket. Justru sebaliknya, kita menemukan sesuatu yang baru, yang kini saya bagikan kepada anda. Ada kalanya bahwa berlibur itu bukan lagi tentang apa yang kita lihat atau tidak kita lihat, melainkan tentang kenangan yang kita lalui dan menjadi bagian dari diri kita, sekarang dan selama-lamanya...