Total Pageviews

Translate

Wednesday, March 16, 2022

COVID-19: End Of The Line?

The COVID-19 pandemic had been a long, strange and exhausting journey so far. I heard of SARS and MERS before, but this was the first time I saw a pandemic of this scale. Even H1N1, the last full-blown pandemic that happened worldwide back in 2009, didn't seem to last this long. To be frank, I barely had any recollection of how life was during H1N1. 

But COVID-19 was surely a life-changing experience and a rather scary one, if I might add. From just something I heard happening in Wuhan, it came to Singapore in early 2020. I could sense how tense and uncertain the situation was. Then, before long, it changed life as we knew it. We suddenly wore mask, worked from home and met online. I wryly joked sometimes that a new generation was born not knowing that there were times when we actually didn't wear mask.

Right before Delta: the quiet and eerie atmosphere at Shenton House during lunch time.
Photo by Keenan.

When the pandemic first happened and all the preventive measures including lockdown were introduced, it felt rather strange. Raffles Place, a bustling business district, became a ghost town. At the center of this peculiar time was COVID-19 itself. Alpha variant, as we called it then, was so mysterious that when somebody contracted it, we knew it was bad, but we couldn't tell how bad it was because we knew only so little about it.

Then came the time when vaccinations started, but COVID-19 also returned with a vengeance. The Delta strain appeared and it was the deadliest so far. The death toll hit the roof and it felt like COVID-19 was closing in, because we always heard about someone we knew infected by it almost on daily basis. 

Having lunch at Potong Pasir.

I had to say that I had been so sick of living like this. It was sickening to be confined in fear and uncertainty. As I had this meal on 5 October 2021 (I knew the exact date because that was when I got my Titan Pocket and the picture taken here was sync-ed seamlessly to the cloud), I remember thinking how on earth we were going to survive this. COVID-19 didn't seem like going away, so I became convinced that the only way out of this was to be immune to it. 

What I didn't foresee, of course, was the appearance of Omicron about one month later. This one was more contagious, but less deadly than Delta. Even though the number of cases increased exponentially, it didn't seem to matter that much anymore. I was wondering why Delta seemed like disappearing overnight, as if it was replaced by Omicron. Then I saw this explanation in Time magazine:

"Textbook teach that viruses, being a relatively simple entities they are, have limited resources to devote to their one goal: survival. Every time they make copies of themselves, viruses can mutate to become more or less infectious, or more or less harmful to their hosts. Because a virus can't reproduce on its own, and need to borrow the reproductive machinery of cells from those it infects, it's all about balance: finding the mutations that allow it to spread more effectively, while not causing its hosts to die."

Three days and counting...

The explanation made sense. It was also in-line with what I had in mind. We had gone a long way, so long that it was no longer the question of how to avoid it, but when I would have it. When I was tested positive, I was relieved. It was like, "finally, it's my turn." It was ironic how this actually felt right. But like I said earlier, it had been a long, strange and exhausting journey, and hopefully it ended here.

Now, how bad was COVID-19 today? What I felt was slight body ache (on the day before I was tested positive) and a feverish feeling that came together with nose and throat discomfort, as if there were mucus and phlegm. Not much worse than normal, full-fledged flu. The scarier part was probably the psychological factor. After seeing how damaging COVID-19 was throughout the pandemic, there was this thought that it shouldn't be taken lightly...



COVID-19: Akhir Dari Sebuah Pandemi?

COVID-19 sungguh merupakan sebuah perjalanan yang panjang, aneh dan juga melelahkan. Saya pernah dengar tentang SARS dan MERS sebelumnya, tapi baru kali ini saya melewati pandemi dengan skala seperti ini. Bahkan H1N1, pandemi yang terjadi secara global di tahun 2009, tidak terasa berlarut-larut seperti ini. Jujur saya katakan bahwa saya tidak memiliki kenangan seperti apa hidup kita ketika H1N1 melanda.

Tidak diragukan lagi bahwa COVID-19 adalah suatu pengalaman yang bukan saja mengubah hidup, tapi juga cukup mengerikan. Bermula dari berita sayup-sayup tentang kejadian di Wuhan, COVID-19 tiba di Singapura pada awal 2020. Saya ingat betul suasana mencekam yang terasa saat hal ini diumumkan. Tak lama setelah itu, hidup berubah total. Kita mendadak mengenakan masker, bekerja dari rumah dan bertemu lewat Zoom. Terkadang saya bergumam dengan kecut bahwa telah lahir generasi yang percaya bahwa kita selalu memakai masker setiap hari. 

Sebulan sebelum Delta: suasana yang sepi di Shenton House pas jam makan siang.
Foto oleh Keenan.

Ketika pandemi dimulai dan segala macam proses kesehatan termasuk lockdown diterapkan, rasanya aneh sekali. Raffles Place, kawasan bisnis yang biasanya sibuk, menjadi sepi seperti kota mati. Di tengah suasana yang galau ini COVID-19 pun merebak. Varian Alfa, nama yang kita kenal pada saat itu, begitu misterius dan bagaikan aib. Ketika ada yang terjangkit, kita tahu ini kabar buruk, tapi tidak tahu seberapa buruk karena informasi saat itu masih simpang-siur.

Saat mulai masanya vaksinasi, COVID-19 juga berubah menjadi lebih dahsyat lagi dari sebelumnya. Muncul yang namanya varian Delta dan lebih mematikan pula dampaknya. Angka kematian melambung tinggi dan COVID-19 seperti datang menghimpit, sebab setiap hari selalu terdengar kabar si ini terjangkit dan si itu meninggal. 

Makan siang di Potong Pasir.

Ada kala di mana saya merasa betapa menyedihkan hidup seperti ini. Tidak sepatutnya kita menjalani hidup yang dirundung ketakutan dan ketidakpastian. Pada tanggal 5 Oktober 2021 (saya tahu persis tanggalnya karena saat itu saya baru ganti ke Titan Pocket dan foto yang diambil ini pun tersimpan di cloud secara otomatis), ketika saya menikmati makanan ini, saya jadi kepikiran tentang bagaimana pandemi ini akan berakhir. COVID-19 tampaknya tidak akan hilang begitu saja dan saya pun jadi yakin bahwa satu-satunya kunci untuk selamat dari semua ini adalah imunitas. 

Apa yang tidak pernah saya duga adalah kemunculan Omicron di bulan berikutnya. Yang satu ini lebih gila lagi penyebarannya, tapi tidak sebengis Delta yang membunuh banyak orang. Meski kasus COVID-19 bertambah lebih cepat dari sebelumnya, tiba-tiba angka yang naik drastis itu tidak lagi terasa seperti masalah. Saya sempat heran, kenapa Delta sepertinya hilang dan tergantikan begitu saja oleh Omicron. Lalu saya temukan penjelasan berikut ini di majalah Time:

"Buku pelajaran mengajarkan bahwa sebagai sebuah entitas yang relatif sederhana, virus hanya memiliki sedikit sumber daya untuk mencapai satu tujuan mereka: bertahan hidup. Setiap kali menggandakan diri, virus juga bisa berubah menjadi lebih menular atau kurang menular dan juga menjadi lebih berbahaya atau kurang berbahaya bagi tuan rumah yang ditumpanginya. Karena virus tidak bisa bereproduksi sendiri dan butuh sel reproduktif dari tuan rumah yang dijangkiti olehnya, maka pada akhirnya yang penting adalah keseimbangan: bermutasi menjadi versi yang lebih efektif dalam penularan dan juga tidak membunuh orang yang tertular."

Menghitung hari...
 
Penjelasan ini masuk akal dan juga sejalan dengan apa yang saya pikirkan. Kita sudah melewati pandemi sampai sejauh ini, sebegitu jauhnya sampai-sampai pertanyaannya bukan lagi bagaimana cara mengelak dari COVID-19, tapi kapan kiranya saya kena. Dan ketika hasil tes saya positif, yang muncul justru perasaan lega. Rasanya seperti, "akhirnya giliran saya." Fakta bahwa ini terasa benar sesungguhnya sangat ironis. Namun seperti yang saya katakan sebelumnya, perjalanan melalui pandemi itu sungguh panjang, aneh dan melelahkan. Semoga saja berakhir sampai di sini. 

Nah, bagaimana rasanya terjangkit COVID-19 di masa sekarang? Ada sedikit rasa pegal-pegal di badan sehari sebelum hasil tes saya positif. Ada pula sedikit demam yang disertai rasa tidak nyaman di hidung dan tenggorokan, seolah-olah ada banyak lendir dan dahak. Selain dampak yang disebutkan barusan, saya masih memiliki konsentrasi cukup untuk bekerja sepanjang hari. Sisi yang agak menakutkan mungkin berasal dari faktor psikologis. Setelah mendengar begitu banyak korban dari cerita teman dan kerabat, terus-terang ada rasa was-was di benak bahwa sebaiknya ini tidak dianggap enteng...

Saturday, March 12, 2022

Say Cheese

Pontianak in the 80s was a town where you probably knew quite a fair bit of fancy things that existed then, but you simply couldn't get them there. While I couldn't speak for others, this could be the reason why I appreciated many little things in life. One of them, believe it or not, was cheese.

When I was a kid, sliced breads were typically served with Blue Band (I actually didn't know it was called margarine) and white sugar. Cheese, on the other hand, was a luxury that only came into my life much later on. Oh yes, a luxury. It was a different time then. There was even a song called Singkong Dan Keju, which literally meant Cassava And Cheese. It was about how cheese was so foreign as the singer was only a cassava-eating man. 

I remember that the cheesy Pizza Hut was often a popular gift people brought from Jakarta back then. While my parents and older generation disliked cheese (and therefore pizza), I kind of liked it. I mean, if Ninja Turtles ate it, too, it must be cool and fancy. It just couldn't go wrong for kids my age.

For the longest time, I knew only Kraft Singles that fitted nicely in slice breads. I remember my friend Angelia talking about other types of cheese back in high school (she was the cultured one among us at that time, hence the knowledge), but the cheese she talked about was either unavailable in Pontianak or too expensive for me to buy. 

Gouda.

Fast forward to many years later, I watched Marshall from How I Met Your Mother offering gouda to every guest in his house. The funny sounding name stuck in my mind. Even more encouraging was this cheese section at the FairPrice Finest, the supermarket not very far from Endrico's house. The cheese section always attracted my attention. I often stopped there to browse when I visited the supermarket, but never quite knew what to choose. 

Then came a day when my friend STV brought us to enjoy dinner and wine. He surely knew the good stuff! For the first time ever, I tasted varieties of cheese accompanied with red wine. It was brilliant! All this while I only ate cheese as part of something else, let's say a burger ingredient. Trying cheese as something we ordered from the menu was a great experience!

Looking back, Angelia was right. I just didn't understand it then. Parmesan, mozzarella, cheddar, gouda, blue cheese... whatever the type of the cheese was, they were delicious. Some cheese had acquired taste or stinky smell, but once you went past that, it was actually a delight. It was not cheap, but definitely worth the money...

STV (left) and the night we had the wine pairing dinner.



Tentang Keju

Pontianak di tahun 80an adalah kota kecil di mana anda mungkin tahu beberapa hal asing yang menarik, tapi susah didapatkan di sana. Saya tidak bisa berbicara mewakili yang lain, tapi mungkin itu alasannya kenapa saya jadi menghargai hal-hal kecil dalam hidup. Salah satunya, percaya atau tidak, adalah kenangan tentang keju.

Ketika saya masih bocah, roti tawar biasanya disajikan dengan Blue Band (saya bahkan tidak sadar bahwa nama sebenarnya itu margarin) dan gula pasir. Saat itu keju merupakan sesuatu yang baru, mewah dan tidak begitu dikenal. Oh ya, mewah. Bahkan sampai ada lagunya yang berjudul Singkong Dan Keju, di mana penyanyinya bercerita tentang sang gadis yang menyukai keju sedangkan dirinya hanyalah anak singkong. 

Saya ingat bahwa Pizza Hut merupakan oleh-oleh yang populer dari Jakarta pada saat itu. Orang tua saya dan generasi yang lebih tua tidak menyukai keju (dan juga pizza), tapi saya cukup menyukainya. Kalau Kura-kura Ninja suka, maka rasanya sudah benar. Pasti cocok untuk mereka yang seusia dengan saya.

Dari kecil hingga dewasa, saya hanya tahu keju Kraft Singles yang pas ukurannya di roti tawar. Saya ingat bahwa di masa SMA, teman saya Angelia pernah bercerita tentang aneka keju (di antara teman-teman dekat, dia tergolong berbudaya sehingga mengerti tentang hal ini), tapi apa yang dia ceritakan tidak ada di Pontianak atau tidak terjangkau harganya oleh saya.

Gouda.

Bertahun-tahun kemudian, saya menonton Marshall menawarkan gouda ke tamu-tamu dalam salah satu episode How I Met Your Mother. Nama yang unik ini membekas di ingatan saya. Yang lebih menggoda lagi sekarang adalah satu etalase khusus keju di FairPrice Finest, supermarket di dekat rumah Endrico.  Saya seringkali berhenti sejenak untuk melihat berbagai jenis keju, namun tidak pernah tahu pasti yang mana yang harus saya beli. 

Kemudian tiba hari di mana teman saya STV mengajak makan malam dan minum wine. Dia paham makanan barat yang enak! Untuk pertama kalinya, saya mencicipi tiga macam keju yang dinikmati bersama minuman anggur merah. Lezat rasanya! Selama ini saya hanya menyantap keju sebagai bagian dari makanan lain, misalnya burger. Mencoba keju sebagai makanan tersendiri dari bagian santap malam adalah pengalaman yang sedap dan berkesan. 

Kalau saya lihat kembali, cerita Angelia benar adanya. Hanya saja waktu itu saya tidak mengerti. Parmesan, mozzarella, cheddar, gouda, blue cheese... apa pun tipe kejunya, memiliki kenikmatan tersendiri. Ada keju yang agak aneh rasanya atau bau aromanya, tapi sebenarnya enak kalau sudah terbiasa. Keju tidak murah, tapi kelezatannya sebanding dengan harga yang dibayar. Mari dicoba!

STV (left) and the night we had the wine pairing dinner.

Sunday, February 20, 2022

The Check-Up

Today's story had a prelude that happened back in 2008. We attended our ex-housemate's wedding in Jakarta and, as luck would have it, our flight back to Singapore was canceled. As we took the shuttle bus to Hotel Mulia, I happened to sit next to a doctor and we talked. That's when I heard the casual remark that I'd remember for life: "people are strange. They check their cars regularly, but they don't do the same for their own body."

The wedding we attended in 2008.

I heeded the advice, probably after I had kids, and I had been doing annual check-up since then. The result had been good until last October, when something called ALT was off the chart. I partly suspected it was due to vitamin C and fish oil that I consumed on daily basis. For the fact that I never fell sick in the past two years, something gotta give.

Thus began the other side of check-up that I never experienced before. Prior to this, things were fine and that was it. But now, there were actions to be done. Doctor advised me to stop taking fish oil and to start exercise regularly. Since I just finished the sessions with my personal trainer and continued with Strava time, this was covered. The doctor also wrote a referral letter for me to undergo ultrasound, to be done one month later.

I never did any medical procedure before, so I was feeling both curious and nervous at the same time. Apparently ultrasound was similar to what my wife went through when she was pregnant. The nurse applied some gels before she started scanning the tummy area. God knows what she was searching for, because the screen looked like a black-and-white TV with a very bad reception.

Few days after this was done, I went back to see the doctor. He said it was all right, but the ultrasound discovered some dodgy white nodes, so it was better to confirm if they were malicious. Again he wrote a referral letter, this time for CT scan. It took two visits to do this. First was for blood test, the second time was for the CT scan itself.

The catheter. Scary stuff!

Unlike ultrasound, CT scan looked more serious. For the first time ever in my life, I actually had a catheter inserted under my skin and into my vein. I wasn't quite sure how to react with that, so I tried not to move my arm as much as I could, haha. Then I entered a room with a donut-shaped machine made by Siemens. I lay down on a mechanical bed that moved back and forth into the donut hole. When the nurse injected something called contrast, there was this warm feeling flowing through the body. Creepy!

I heard about contrast a few years ago, when my Dad went for PET scan. It was something that would light up and was used as a marker for cancerous cells. With that in mind, I couldn't help thinking, what if the nodes were cancer? I told my wife that after four decades of eating and drinking as I wished, there were of course chances we'd find something that wasn't to our liking.

Never wore a gown before. Just had to immortalize this moment.

Since the worst case scenario was cancer, I did some soul-searching. I looked back only to realize again that I had tried my best and lived to the fullest. I definitely wouldn't like it at all if the result was bad. I might even struggle to accept it. But I wasn't that scared and I didn't have much regrets. In short, I had no problems sleeping. 

Then came the day I reviewed the result with the doctor. The mysterious white nodes were fat. Nothing was alarmingly bad, but it certainly could be better. There was no medicine for fatty liver, except a healthier diet and exercise. I told him I could live with that, thanked him and walked out from his room. 

Now that I think of it, annual check-up was a strange thing indeed. Sometimes it felt like we paid the price just to hear the doctor saying that everything was good for you to continue living happily until the next check-up. You got worried when that wasn't the case and the next thing you knew, you went through one medical procedure after another to figure out what wasn't right.

I discussed this with my friends whom were roughly the same age as me. Some said they were scared of the result and it was better not to know. Some said no point finding out if there wasn't any extra budget for the follow-up. Each opinion, I believe, was valid and as realistic as it got. My personal take, however, was to do check-up and find out the hard truth. If it turned out to be unpleasant, at least you could prepare for the next steps...


Check-Up

Cerita kali ini memiliki permulaan yang terjadi di tahun 2008. Saat itu saya menghadiri pesta pernikahan mantan teman serumah yang dilangsungkan di Jakarta. Pas pulang, ternyata penerbangan kembali ke Singapura dibatalkan. Saat berada di bis menuju Hotel Mulia yang disediakan maskapai Lufthansa, kebetulan saya duduk di sebelah dokter dan kita pun berbincang. Di kala itulah saya mendengar celetukan sang dokter yang saya ingat selalu: "manusia itu aneh. Mereka selalu rutin mengecek mobil mereka, tapi badan sendiri tidak pernah diperiksa." 

Pernikahan yang saya hadiri di tahun 2008.

Saya mematuhi nasehat itu, kalau tidak salah sejak saya memiliki anak, dan secara berkala melakukan check-up. Hasilnya selalu bagus, namun sesuatu yang disebut ALT melonjak angkanya tahun lalu. Saya curiga ini dikarenakan oleh vitamin C dan minyak ikan yang saya konsumsi setiap hari. Fakta bahwa saya tidak pernah sakit lagi sejak dua tahun lalu memang sulit dipercaya, jadi pasti ada harga yang harus saya bayar. 

Lantas mulailah sisi lain dari check-up yang tidak pernah saya alami sebelumnya. Dulu semuanya baik-baik saja, namun kali ini diperlukan tindak lanjut. Dokter menganjurkan saya untuk menghentikan konsumsi minyak ikan dan mulai berolahraga secara rutin. Saya sendiri baru saja menyelesaikan sesi olahraga bersama pelatih pribadi dan kini meluangkan waktu untuk Strava, jadi setidaknya sudah ada gerak badan. Selain itu, dokter juga menuliskan surat referensi untuk ultrasound yang harus saya lakukan sebulan kemudian. 

Saya tidak pernah menjalani prosedur medis apa pun sebelum ini, jadi saya merasa ingin tahu dan juga gugup dalam waktu yang sama. Ternyata ultrasound itu mirip dengan apa yang istri saya jalani sewaktu kita mengunjungi dokter kandungan dulu. Perawat mengoleskan semacam cairan lalu mulai menggerakkan alat scan ke sana kemari. Entah apa yang dia cari, sebab yang terlihat oleh saya hanyalah layar hitam-putih dengan tampilan seperti TV yang parah sinyalnya.  

Beberapa hari kemudian, saya kembali menemui dokter. Berdasarkan tinjauan dokter, hasilnya baik, tapi juga ditemukan bintik-bintik putih yang sebaiknya diperiksa lebih lanjut. Sekali lagi dokter menulis surat referensi, kali ini untuk CT scan. Butuh dua kunjungan untuk prosedur ini. Yang pertama adalah konsultasi dokter dan periksa darah. Kali kedua barulah prosedur CT scan.

Ini yang namanya kateter.

Berbeda dengan ultrasound, CT scan terlihat lebih serius. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, sebuah kateter dipasang menembus kulit hingga ke pembuluh darah. Saya tidak tahu harus bagaimana, jadi sedapat mungkin saya tidak menggerakkan sebelah tangan saya, haha. Saya lantas memasuki sebuah ruangan dengan mesin Siemens berbentuk lingkaran donat. Saya berbaring di atas tempat tidur mekanik yang bisa masuk dan maju-mundur di lubang donat. Ketika perawat melakukan injeksi cairan yang disebut contrast, ada rasa hangat yang mengalir di tubuh. Seram! 

Saya sempat mendengar tentang contrast beberapa tahun silam, sewaktu ayah saya melakukan PET scan. Cairan ini akan menyala dan digunakan sebagai penanda sel kanker. Saya lantas jadi kepikiran, bagaimana kalau bintik di dalam tubuh adalah kanker? Saya katakan pada istri saya bahwa setelah makan dan minum selama empat dekade, bukannya tidak mungkin kalau saya akan menemukan sesuatu yang tidak saya harapkan. 

Saya tidak pernah memakai gaun, jadi perlu saya abadikan momen ini. 

Karena skenario terburuk adalah kanker, saya jadi melihat kembali hidup saya. Sekali lagi saya menyadari bahwa saya sudah mencoba sebisa saya untuk hidup sepenuh hati. Ya, tentu saja saya tidak akan suka kalau hasil CT scan ini buruk. Saya bahkan mungkin butuh waktu untuk menerima kenyataan ini. Namun saya tidak terlalu takut dan tidak pula memiliki banyak penyesalan hidup. Secara singkat bisa saya jabarkan bahwa saya tetap bisa tidur dengan tenang. 

Lalu tibalah hari di mana dokter akan menjelaskan hasilnya pada saya. Bintik putih misterius itu adalah lemak. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, namun tentu saja hasilnya bisa lebih baik lagi. Tidak ada obat untuk yang namanya fatty liver ini, kecuali pola makan yang lebih baik dan olahraga. Saya setuju dengan pendapatnya. 

Kalau saya pikirkan lagi sekarang, check-up tahunan memang agak aneh konsepnya. Terkadang rasanya seperti membayar dokter hanya untuk mendengarkan opininya bahwa kita sehat-sehat saja sampai check-up berikutnya. Kita justru panik sendiri kalo hasilnya bukanlah yang kita harapkan dan kita pun menjalani prosedur medis satu per satu untuk menemukan apa yang salah. 

Saya berdiskusi tentang hal ini dengan teman-teman SMA yang seusia dengan saya. Ada yang berkata bahwa hasil check-up itu menakutkan dan lebih tidak tahu. Ada yang berkata bahwa percuma cari tahu kalau tidak ada uang untuk penanganan lebih lanjut. Saya rasa setiap pendapat itu sah dan realistis. Bagi saya pribadi, lebih baik check-up dan cari tahu. Kalau sampai hasil check-up itu tidak seperti yang diharapkan, minimal kita bisa mempersiapkan diri untuk langkah selanjutnya... 

Wednesday, February 16, 2022

That Feeling Of Being Left Behind

15 years are long enough to be deemed as an era. In my case, it actually covered my late twenties, my thirties and my early forties. The man, a colleague and a friend, was there like a permanent fixture in three decades of my life. Then came a day he decided to move on.

The usual drinking buddies.
Photo by Isaac.

I can't say if I was shocked, but upon hearing that, I experienced this awfully familiar feeling. The mixed feeling of being left behind, one that left you questioning a lot of things, such as why did he leave? Did I make a right decision by staying for this long? How's life going to be when he's no longer with us?

I felt this every time someone close to me was leaving the company. My mentors, a close colleague and drinking buddy, and now this fellow. But this time was so special because of what we went through together for the past 15 years, both work life and life outside work. Those days at Ong and the current work place, the food and the drink we had, those trips to Batam, Jakarta, Jogja, Kuala Lumpur and those that we planned but failed to materialize, and then the Bon Jovi concert. Those were fun, they were rock and roll.

When we were at Ong.

You'd notice that I mentioned Ong just now. The fact that we worked together in the same company before made it even more unique. I knew him when he was wearing glasses and he knew me when I was skinny. We were so young then and when I left, it felt like, "see you on the other side," because I knew we'd work together again in the next company.

Not this time, though. But we had great times and all good things must come to an end. So this one's for you, my man. To an end of an era and a beginning of your new chapter. As for that feeling of being left behind, I know I'll be fine. How can I confirm that? Well, I woke up this morning, thinking it was a new day and I got things to do. As long as I love what I'm doing, I'll be fine, regardless where I am...

When we visited Merapi.



Saat Serasa Ditinggal

15 tahun adalah waktu yang cukup lama untuk dianggap sebagai suatu era. Dalam konteks saya ini, era ini mencakup saya di penghujung umur 20an, sepanjang usia 30an dan juga awal 40an. Orang ini, baik sebagai kolega maupun teman, sudah bagaikan seseorang yang permanen di tiga dekade berbeda dalam hidup saya. Namun kemudian tiba waktunya bagi dia untuk pindah kerja.

Teman-teman minum.
Foto oleh Isaac.

Saya rasa saya tidak terlampau kaget, tapi terus-terang saya merasakan sesuatu yang sepertinya tidak asing lagi. Perasaan seseorang yang ditinggal, yang pada akhirnya membuat saya bertanya-tanya tentang banyak hal seperti kenapa dia pergi? Apakah saya membuat keputusan yang tepat untuk tetap di tempat? Seperti apa hidup saya nanti tanpa kehadirannya?

Hal ini saya alami setiap kali seseorang yang dekat dengan saya pindah kantor. Para mentor saya, seorang kolega dekat yang juga teman minum, dan sekarang orang yang satu ini. Yang membuat kejadian kali ini terasa lebih istimewa adalah apa yang sudah kami lalui bersama selama 15 tahun terakhir, baik dalam hal kerja maupun di luar pekerjaan. Hari-hari di Ong dan tempat kerja sekarang, saat kita makan dan minum, liburan ke Batam, Jakarta, Jogja, Kuala Lumpur dan juga berbagai rencana yang gagal terwujud, serta konser Bon Jovi. Semua itu berkesan, semua itu rock and roll.

Saat di Ong.

Anda lihat saya menyinggung tentang Ong di paragraf seblumnya. Fakta bahwa kami juga bekerja di perusahaan yang sama sebelumnya membuat perpisahan ini menjadi sangat unik. Saya mengenalnya ketika dia masih memakai kacamata dan dia mengenal saya ketika saya masih sangat kurus. Saat itu kita masih sangat muda sekali dan ketika saya berhenti dan pindah kerja, rasanya seperti, "sampai ketemu lagi di perusahaan berikutnya," karena kita sama-sama tahu itu akan terjadi. 

Tapi tidak demikian ceritanya kali ini. Kendati begitu, kita sudah menjalani begitu banyak hal bersama dan segala sesuatu yang baik tentu ada akhirnya. Jadi tulisan kali ini adalah untukmu, Teman. Untuk akhir dari sebuah era dan awal dari perjalananmu yang berikutnya. Meski ada rasa seperti ditinggal, saya akan baik-baik saja. Bagaimana saya bisa yakin? Hmm, tadi pagi saya bangun dan berpikir bahwa ini adalah hari yang baru dan masih ada banyak hal yang bisa saya kerjakan. Selama saya masih menyukai apa yang saya kerjakan, saya akan baik-baik saja, di mana pun saya berada... 

Saat mengunjungi Merapi.

Friday, February 4, 2022

At Least Twice

There was this funny pattern in our high school WhatsApp group: from time to time, there would be an idea that sounded so hilarious that we made fun of it, but then they actually made sense when we really gave it a thought. Off the top of my head, I could think of the grand plan to Japan and the Strava time that got me hooked.

Then came the day when we talked about a controversial book that triggered all sorts of opinions. Our friend Jimmy was adamant that it was a good book, but when asked to give a brief book review, he kept silent. He only said to us, "read it yourself, at least twice."

With Jimmy in Surabaya.
Photo by Jerold Lim.

Jimmy is known as a chatty fellow as he literally types long sentences in one chat, so it was very unusual for him to behave that way. His words got picked up and misused quickly as an in-joke among us. The phrase at least twice worked well with any sarcasm and mockery!

But just like any of its predecessors, that phrase wasn't a bad idea. When put together in a right context, not only it did make sense, it also sounded like nothing but the truth! As I pondered upon it, these three things came together and lingered. They stayed put, waiting to be told!

The first thing in my mind was the songs. The songs by the Beatles, to be specific. Stuff like Let It Be is good and it only got better after I listened to it for the second, third and what probably my one thousandth time for the past 26 years. After doing things at least twice, you might find that, to quote the Beatles, "it's getting better all the time!"  

With Yani, during our trip to Suzhou.

The next one was Suzhou. I remember the first time I visited the city. It was raining the whole day and I was supposed to stay only one night in Suzhou. I certainly wasn't impressed, but I gave it the benefit of the doubt and returned to the city again four years later. I loved it so much this round! That means, sometimes things might not be what they seemed at first and the second chance Suzhou truly deserved changed it all.

The last one happened to be its neighbouring city, Shanghai. I loved it the first time I was there as it felt like a bigger Singapore. So metropolitan, so impressive. But the second time I went there, it gave me the been there, done that kind of feeling. It just wasn't as charming as before. It was probably an illusion until you got disillusioned after the second glance.

Nanjing Road, Shanghai.

It was amazing how I ended up with three different results when I applied the concept of at least twice to what I had experienced. God knows what else you could observe if you tried it yourself, but I could tell you this much: the idea worked. And it was kinda wise to do so.

Now, for a closure, I'd love to tell you this. Looking back, and this pissed Jimmy off, I had decided that I didn't really enjoy visiting Surabaya. It's the second biggest city in Indonesia, but yet I couldn't feel the big city vibe like Jakarta. Jimmy would mumble that I must be an ass for making such a remark based on the few visits I had, but hey, I played by the rule! I visited the city at least twice, haha.



Minimal Dua Kali

Di grup WhatsApp teman-teman SMA, ada pola lucu seperti ini: dari waktu ke waktu, muncul ide yang terasa sangat konyol sehingga diolok-olok, tapi kemudian terasa masuk akal kalau dipikirkan kembali. Sebagai contoh, yang langsung terpikirkan oleh saya adalah rencana ke Jepang dan waktunya Strava yang akhirnya membuat saya ketagihan. 

Lalu tiba hari di mana kita berbincang-bincang tentang sebuah buku kontroversial yang menimbulkan berbagai opini. Teman saya Jimmy bersikeras bahwa ini adalah buku yang sangat bagus, tapi saat kita minta ulasannya, dia tidak mau menjawab. Dia hanya berkata, "baca sendiri, minimal dua kali." 

Bersama Jimmy di Surabaya.
Foto oleh Jerold Lim.

Bagi yang belum tahu, Jimmy ini dikenal sebagai pria yang paling suka menulis kalimat-kalimat panjang dalam satu kali chat, jadi tidak lazim baginya untuk tidak berkomentar. Kontan saja kata-katanya menarik perhatian dan langsung disalahgunakan sebagai lelucon. Frase minimal dua kali cocok digunakan sebagai bahan olok-olok dan sarkasme!  

Akan tetapi, sepertinya halnya dengan celetukan lain yang pernah muncul sebelumnya, frase ini bukanlah ide yang buruk. Ketika diaplikasikan dalam konteks yang benar, hasilnya terasa masuk akal dan benar. Ketika hal ini melintas di benak saya, ada tiga hal yang langsung terpikirkan. 

Yang pertama adalah tentang lagu, tepatnya lagu the Beatles. Contoh seperti Let It Be adalah karya yang bagus dan kian terdengar bagus di kali kedua, ketiga dan mungkin ke-1000 kalinya bagi saya dalam 26 tahun terakhir. Jadi dalam pengertian ini, hal yang sudah baik akan kian terasa baik bilamana dikerjakan minimal dua kali.

Bersama Yani sewaktu mengunjungi Suzhou. 

Yang berikutnya adalah Suzhou. Saya ingat saat pertama kali saya mengunjungi kota ini. Saat itu hujan sepanjang hari, sementara saya hanya menginap semalam di sana. Tentu saja saya tidak terkesan, tapi saya coba ke sana lagi empat tahun kemudian. Ternyata saya suka suasana kotanya! Ini berarti, ada kalanya sesuatu tidak bisa dinilai dari kesan pertama dan keindahan Suzhou yang saya saksikan di kesempatan kedua mengubah persepsi saya. 

Hal terakhir kebetulan berkaitan dengan Shanghai yang terletak tidak jauh dari Suzhou. Saya suka Shanghai dalam pandangan pertama karena suasananya yang mirip tapi jauh lebih luas dari Singapura. Kedua kalinya saya ke sana, saya justru mendapatkan kesan been there, done that. Kotanya tidak lagi memikat seperti sebelumnya. Artinya kesan pertama itu mungkin ilusi sampai anda tersadarkan di kali kedua. 

Jalan Nanjing di Shanghai.

Jadi tiga hal di atas adalah pengalaman yang saya dapatkan sewaktu menerapkan konsep minimal dua kali berdasarkan pengalaman pribadi saya. Anda juga mungkin bisa mengamati lebih lanjut bila anda coba sendiri. Sejauh ini, saya bisa katakan bahwa ide ini bagus dan bijak rasanya untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Nah, sebagai penutup, saya ingin mengakhirinya dengan cerita ini. Berdasarkan pengalaman saya, bisa saya katakan bahwa saya tidak begitu menyukai Surabaya. Meski merupakan kota kedua terbesar di Indonesia, Surabaya tidak memiliki nuansa kota besar seperti Jakarta. Jimmy pun mengomel saat mendengar penuturan ini, tapi saya sudah ikut peraturannya. Saya sudah ke Surabaya minimal dua kali, haha! 

Sunday, January 23, 2022

Memory And Legacy

When I did my Strava time a few days ago, I walked past the junction where my friend Eday and I once stood late at night, waiting for a cab after the Guns N' Roses concert. I took a picture of the empty junction and shared the memory with my high school group chat. Then, as I continued walking, this story came to me.

I knew this for quite some time now, but I was vividly reminded again that as time passed us by, the only thing we left behind were memories. It came right back to me the moment I saw the junction. I didn't immediately thought of how successful or brilliant Eday was, but what I recalled at that point of time was the moment we shared. A good time with a dear friend. Simple as that. It had been years since it happened, but it felt as fresh as yesterday.

Eventually, regardless what our ambition and our achievement were, it was the memories that would live on. I liked how I cherished those good memories in life. I remember the time when I wanted to be a famous writer, but it seemed like a distant memory now. I carried on writing because I loved it, but it wasn't the most important thing in the world anymore. I am not entirely sure if I lost the drive, but I guess as we grew older, the priorities shifted as well. Anyway, for all the things I'd done and failed to do, I'm pretty sure I had left behind memories that people would smile about. 

And that brought us to the legacy. In a way, it was a memory, but also a more profound body of work that was life-changing and useful to many, I suppose. I remember the conversation I had with Eday. He was riding high and I could sense his excitement when he talked about the legacy he'd one day leave behind. I was proud of him and would definitely support him as much as I could, but as I listened to him sharing his ideas, I realized that perhaps I didn't want the same thing. 

Whatever that we did, I believe, we needed to love it first. Without passion, it'd be a halfhearted attempt. I didn't say I stopped trying new things because I still did the exact opposite, for example with the talkshow I hosted every Saturday night. But it was a big deal to be in our 40s. To me, with people my age or younger dying around me, only God knows how much time I had left, so I'd rather do what I liked. 

It was like, if I were to choose between the time spent to achieve the glory and time spent with family and friends, I'd probably opt for the latter. Unless it was a hobby, something that triggered my interest, then I'd put an effort doing it. Otherwise it'd be just work, and I had given my best eight and a half hours a day (just like what Paul sang in Live and Let Die: when you've got a job to do, you gotta do it well).

it could be me at the crossroads, hence I said the things above. I don't know. I reckon not all of us would leave a certain legacy behind. If I had any, that had to be all the thoughts I'd shared on roadblog101.com. While you might or might not agree with the definitions, I hope it got you thinking about memory and legacy, too. After we were all gone, only these two things would inspire the next generation...

With Eday in Hong Kong.



Kenangan Dan Warisan

Ketika saya berjalan sore menikmati waktu Strava beberapa hari lalu, saya melewati persimpangan jalan di mana saya dan teman saya Eday pernah berdiri menanti taksi di tengah malam setelah konser Guns N' Roses. Saya mengambil foto persimpangan yang sepi itu dan berbagi cerita dengan grup WhatsApp teman-teman SMA. Kemudian, ketika saya lanjut berjalan, topik ini muncul di benak saya. 

Saya sudah tahu hal ini, tapi apa yang saya lihat barusan mengingatkan saya kembali bahwa seiring dengan berlalunya waktu, yang tersisa dari kita hanyalah kenangan. Dan kenangan itu segera muncul kembali begitu saya melihat persimpangan tersebut. Saya tidak langsung berpikir tentang betapa sukses atau jeniusnya Eday, tapi yang terkenang secara spontan adalah momen bersama seorang teman baik. Sesederhana itu. Kejadian itu sudah hampir lima tahun lamanya, tapi bagaikan baru terjadi kemarin. 

Pada akhirnya, terlepas dari segala ambisi dan prestasi kita, kenangan bersama adalah apa yang terngiang di benak kita. Bagi saya, hal ini membuat hidup terasa lebih berarti. Saya ingat waktu saya ingin menjadi penulis ternama, namun sekarang itu rasanya seperti kehidupan sebelumnya. Saya tentu akan terus menulis karena saya menyukai aktivitas ini, tapi menulis tidak lagi merupakan hal paling penting di dunia. Saya tidak tahu apakah saya patah semangat, tapi ketika kita bertambah tua, prioritas pun sepertinya berubah. Kendati begitu, untuk semua hal yang berhasil dan juga gagal saya lakukan, saya cukup yakin bahwa saya telah meninggalkan kenangan yang membuat mereka yang mengenal saya tersenyum.

Dan itu membawa kita ke legacy, yang secara harafiah bisa diterjemahkan sebagai warisan. Ini bisa dikatakan mirip seperti kenangan, tapi juga merupakan karya peninggalan yang mungkin mengubah hidup dan berguna bagi banyak orang. Saya ingat percakapan saya dengan Eday. Dia ini pria sukses dan saya bisa merasakan semangatnya ketika dia berbicara tentang legacy yang suatu hari akan dia tinggalkan. Saya bangga dengannya dan saya siap mendukung idenya sebisa saya, tapi selagi saya menyimak, saya jadi menyadari bahwa saya tidak lagi menginginkan hal serupa untuk saya sendiri. 

Apa pun yang kita kerjakan, saya percaya bahwa sesuatu perlu kita sukai terlebih dahulu. Tanpa semangat yang timbul dari rasa suka, upaya kita akan setengah hati. Ini tidak berarti saya mulai anti ide baru. Justru sebaliknya. Kesimpulan di atas ini berdasarkan apa yang saya rasakan saat mencoba hal baru, misalnya inovasi dan ide baru yang saya coba saat talkshow. Akan tetapi memasuki usia 40an juga besar artinya bagi saya. Begitu banyak orang seusia atau bahkan lebih muda dari saya yang telah meninggal. Hanya Tuhan yang tahu, seberapa banyak lagi waktu saya yang tersisa, jadi sekarang saya lebih memilih untuk mengerjakan apa yang saya sukai.

Konteksnya sekarang adalah seperti memilih, mau menghabiskan waktu untuk mengejar kesuksesan atau waktu bersama keluarga dan teman. Saya cenderung memilih pilihan kedua. Pengecualiannya adalah untuk hobi atau sesuatu yang membuat saya sungguh tertarik, maka saya pun akan meluangkan waktu dan konsentrasi untuk menekuninya. Kalau tidak begitu, rasanya seperti bekerja dan saya sudah memberikan yang terbaik untuk pekerjaan selama delapan setengah jam sehari (persis seperti apa yang dinyanyikan Paul dalam Live and Let Die: when you've got a job to do, you gotta do it well).

Tulisan ini bisa saja merupakan buah pemikiran hidup di persimpangan jalan. Saya tidak tahu. Saya hanya berpikir bahwa mungkin tidak setiap orang akan meninggalkan legacy. Jika saya memiliki satu, mungkin itu adalah pemikiran yang sudah saya bagikan lewat roadblog101.com. Dan meski anda mungkin setuju atau tidak setuju dengan definisi saya ini, saya harap anda juga berpikir tentang kenangan dan warisan juga. Setelah kita tiada, hanya dua hal ini yang tersisa untuk menginspirasi generasi berikutnya... 

Thursday, January 13, 2022

Book Review: Renegades - Born In The USA

I'm always a fan of Obama. Like the way he speaks. Smart, funny and eloquent. His life story was interesting, too. Read one from the time before he became a president and another that told about his presidency. Both were great books, so naturally, when I saw one about him and Bruce Springsteen, I was interested.

I'm also a big fan of music, but for some strange reason, I never listened to Springsteen apart from few snippets such as two verses he sang in We Are the World and a song called Streets of Philadelphia. I knew he was the Boss, but that was pretty much it. Hence I was wondering how he and Obama could come up with this book. What brought them together?

Out of curiosity, I checked out the library and got the book. It turned out to be a coffee-table book, large and lavishly illustrated. The content was originally a podcast series that was turned into a book. After reading the first few pages, it was obvious that they came together because of one vision: America.

Yes, this book was very... American. It gave you an idea of how it was like to be an American. It gave you an idea of what it meant for the two of them to be Americans. Bruce supported Obama during his campaign and they gradually became friends simply because they believed in the same America.

Born in the USA, as Bruce put it. But reading this as a non-American, I couldn't help feeling that the topic wasn't very engaging. There were things that I couldn't comprehend and after a while, I grew tired of it. As a result, this was one the few books that I glanced through instead of properly reading it. I paid attention only to certain topics, like the parts where Bruce talked about performing with a Beatle (George Harrison) and a Rolling Stone (Mick Jagger) by his sides. It was an achievement for a boy from New Jersey!

Can't say I learnt much about Obama from this book, but I certainly picked up a thing or two about Bruce. No, I'm still not a fan of his songs, but I'm quite impressed with his lifelong friendship with Clarence Clemons. That was probably the most inspiring story about America from the book. Other than that and those nice photos, it was not a great Obama book...

The book and the podcast on Spotify.



Ulasan Buku: Renegades - Born In The USA

Saya selalu menggemari Obama. Saya suka caranya berbicara. Begitu pintar, lucu dan fasih sehingga enak didengar. Kisah hidupnya pun tak kalah menarik. Saya baca buku-bukunya, mulai dari sebelum dia menjabat sampai kisah kepresidenannya. Dua buku yang bagus, maka dari itu saya jadi ingin baca saat melihat buku baru yang menampilkan Obama dan Bruce Springsteen. 

Saya juga suka musik, tapi selama ini tidak pernah benar-benar mendengarkan karya Bruce. Yang pernah saya dengar cuma suara Bruce di We Are the World dan lagu berjudul Streets of Philadelphia. Saya tahu julukannya adalah the Boss, tapi cuma sebatas itu yang bisa saya ceritakan. Oleh karena itu saya jadi penasaran, kenapa dia dan Obama bisa muncul di buku yang sama.

Saya lantas mencari bukunya di perpustakaan. Ternyata bukunya jenis coffee-table book yang berukuran besar dan memiliki banyak gambar. Isi buku ini adalah percakapan yang ditayangkan sebagai podcast, kemudian dibukukan. Setelah beberapa halaman, saya menyadari bahwa mereka bisa berbincang karena visi yang sama tentang Amerika. 

Ya, buku ini sangat bernuansa Amerika. Buku ini memberikan gambaran tentang bagaimana rasanya menjadi orang Amerika. Buku ini juga bercerita tentang apa yang Bruce dan Obama rasakan sebagai orang Amerika. Akan halnya kenapa mereka bisa muncul bersama, ini karena Bruce mendukung Obama di masa kampanye dan mereka akhirnya menjadi teman karena persamaan visi tentang Amerika.

Born in the USA, demikian judul lagu Bruce. Tapi sebagai pembaca yang bukan warga Amerika, saya merasa topik ini kurang mengena. Ada hal-hal yang tidak saya pahami dari cerita mereka, sebab saya bukan orang Amerika, dan akibatnya buku ini terasa agak membosankan. Alhasil buku ini menjadi satu dari sedikit buku yang hanya saya baca selintas dengan cepat. Saya hanya serius membaca di bagian tertentu, misalnya saat Bruce bercerita tentang pengalamannya tampil bersama seorang Beatle (George Harrison) dan seorang Rolling Stone (Mick Jagger) di sampingnya. Ini adalah sebuah prestasi bagi pemuda dari New Jersey!

Tidak banyak yang saya dapatkan tentang Obama dari buku ini, tapi ada satu-dua hal yang saya pelajari tentang Springsteen. Saya masih tidak menyukai lagu-lagunya, tapi saya terkesan dengan persahabatannya dengan Clarence Clemons. Bisa jadi persahabatan mereka ini adalah cerita yang paling memberikan inspirasi tentang Amerika. Di luar kisah ini dan foto-foto yang bagus, saya merasa bahwa ini bukanlah buku Obama yang menarik...