Total Pageviews

Translate

Saturday, February 4, 2023

The Plastics II: Debit Cards

I had always loved the plastics since I got my first one in 2001, but the craze only started when I moved to Singapore. I'd been collecting credit cards since then. After almost two decades of doing the same thing, I'd naturally expect it to stay that way. Hence it was amusing when the scope changed recently. It expanded to debit cards as well, after I met my friend STV at Hilary's Christmas party

Talk about debit cards, I had Wise since it was still called TransferWise. I applied for it because the card design looked cool, but I never really paid attention to the usage. Then I got myself the Amaze card because it was highly recommended by Franky, the guy with a plenty of brilliant financial advices. It had been my go-to card for traveling and foreign exchange transactions for months, until the night STV shared the comparison between Amaze and YouTrip. He was of the opinion that YouTrip offered better exchange rates these days for selected currencies.

Now, I won't go in-depth on this topic. You could easily google it and find more qualified sources that showed the comparison of Amaze, Youtrip and other similar cards. I'd like to share my experience in testing out the cards instead. 

There was a reason why I ignored debit cards for the longest time. I disliked the fact that it immediately deducted your bank account the moment you used it. This was also the reason why Amaze card worked for me, because even though it was a debit card, I could link it to credit cards and I never had to worry if I still had any balances left or not.

Anyway, after that fateful night, I ended up trying out and comparing the big four in Singapore: Wise, Amaze, YouTrip and Revolut. I also explored less known cards such as Wirex, UOB Mighty FX, BigPay and DelytePay. That's when I learnt that some are really suitable for travelling purpose while others not so. 

The big four: YouTrip, Amaze, Revolut and Wise.

First things first, the account opening. The process for the big four were brilliant and seamless. Wirex was equally hassle-free, too. The application for Mighty FX, the only one from the bank that I tried, felt old-fashioned. It was as good as opening many accounts and it took weeks before the debit card was issued. BigPay application didn't work out well, too. It was stuck under the review status for more than a week, until I sent an email to give it a nudge. The customer service was surprisingly responsive, though. As for DelytePay by Matchmove, the interface worked well for account opening, but there was this lingering feeling that it was small fintech company. I mean, I'd usually receive a card in a mail with my address printed on it, but it was handwritten this round. Much to my chagrin, my name is also not engraved on the card.

In general, card activation is done in a similar method via mobile app. This is why it was quite shocking that Wise switched to a rather painstaking way for card activation. I don't even remember it was that difficult when I first had my TransferWise card. What happened was, the Wise card activation could only be done by checking the balance on the ATM. But what it didn't specify was, it could only be done using POSB ATM. Quite frustrating and I felt like I was doing User Acceptance Test for them. The other method of card activation was even more ridiculous. I was asked to use PIN to do a transaction, but this isn't even the practice in Singapore. I had travelled around the world quite a fair bit and only in Indonesia I was asked to use PIN.

Next, top-up. The best is, of course, Amaze by InstaRem. In term of practicality, no top-up is required for Amaze card as it will charge directly to a credit card that is linked to it. Revolut is right behind it on the second place. I like the fact that it leverages on Google Pay. Then, depends on the cards, some actually will incure charges when using Visa to top-up, but no extra charges when using Master (BigPay is an exception here). Wirex has fees for both Visa and Master whereas Wise still has the option to use Paynow. UOB Mighty FX relies on One Account, just like the traditional banking system. DelytePay is the weirdest among all as it has to be topped up at 7-Eleven.

In term of the interface, I like Revolut the best. It was well-thought, simple to understand and nicely animated. It is also the only one with a child account feature, just like what Get was doing before it went dysfunctional in August 2022. The rest were all right. I tried the Contact Us feature of almost all the cards, too. Again DelytePay felt like it was lagging behind because others already had a rather comprehensive FAQ and many ways for users to reach out.

Last but not least, not all are meant to be travel money cards. Only Wise, Revolut, Amaze and YouTrip easily fall into this category. Wirex is designed for cryptocurrency trading and its debit card is more of a by-product. Mighty FX felt like a half-hearted attempt to compete with others. BigPay is nowhere near the big four and DelytePay is clearly not on the same level playing field. 

I don't know if it's just me being out of touch or what, but as I discovered this, I realized that when it comes to travelling, credit cards seem to be lagging behind while these debit cards are competing to offer the best FX rates. The next trip will be quite different for me. Can't wait to put them in good use real soon!

Mighty FX, Wirex, DelytePay and BigPay.



Kartu Debit

Saya memperoleh kartu kredit pertama saya di tahun 2001 dan saya mulai mengumpulkan beraneka kartu kredit sejak pindah ke Singapura. Setelah hampir dua dekade lamanya  menekuni hobi ini dan melakukan hal yang sama, saya tertegun sendiri ketika cakupannya berubah baru-baru ini. Setelah bertemu dengan teman saya STV di pesta Natal Hilary, saya kini sibuk berburu kartu debit.

Berbicara tentang kartu debit, saya memiliki Wise dari sejak namanya masih TransferWise. Saya bikin kartu ini karena desainnya yang bagus, tapi saya hanya mencoba fiturnya belakangan ini. Di pertengahan tahun 2022, saya lantas mengajukan aplikasi kartu Amaze karena Franky sangat merekomendasikan kartu ini (dia selalu memiliki banyak nasehat bagus tentang hal finansial). Semenjak itu, kartu Amaze selalu saya pakai saat bepergian keluar negeri atau untuk transaksi yang menggunakan mata uang selain SGD. Namun itu semua berubah setelah STV memaparkan tentang perbandingan antara Amaze dan YouTrip. Menurut STV, YouTrip menawarkan kurs yang lebih bagus untuk mata uang tertentu. 

Saya tidak akan menjelaskan lebih rinci tentang hal ini, sebab anda bisa google dan cari tahu dari sumber yang lebih terpercaya tentang perbandingan antara Amaze, Youtrip dan kartu-kartu serupa. Apa yang ingin saya ulas di sini adalah pengalaman saya saat menguji-coba aneka kartu debit ini.

Ada alasan kenapa saya mengabaikan kartu debit dalam dua puluh terakhir ini. Saya tidak suka dengan konsepnya yang langsung memotong uang di rekening begitu kita bertransaksi. Satu-satunya alasan kenapa saya suka kartu debit Amaze adalah fiturnya yang langsung bertransaksi berdasarkan kartu kredit yang kita hubungkan sebagai sumber saldo. Dengan demikian saya tidak perlu memikirkan apakah saya masih memiliki dana yang tersisa di rekening kartu debit saya. 

Nah, setelah percakapan dengan STV, saya lantas mencoba empat nama besar yang mulai mencuat di Singapura: Wise, Amaze, YouTrip dan Revolut. Saya juga mengetes nama-nama yang jarang terdengar, namun sempat muncul di media sosial atau Google. Kartu-kartu tersebut adalah Wirex, UOB Mighty FX, BigPay dan juga DelytePay. Dari percobaan ini, saya pun mendapatkan ide bahwa beberapa kartu ini memang dirancang untuk liburan sedangkan yang lain beda kegunaannya. 

Empat besar di Singapura: YouTrip, Amaze, Revolut dan Wise.

Hal pertama yang saya coba adalah pembukaan rekening. Proses untuk empat nama besar tergolong sangat praktis dan tidak bertele-tele. Wirex pun bisa dikatakan ringkas. Akan halnya Mighty FX, satu-satunya kartu keluaran bank yang saya coba, terasa agak ketinggalan zaman. Kesannya seperti membuka banyak rekening dan butuh waktu beberapa minggu sebelum saya akhirnya menerima kartu debit. Pengajuan kartu BigPay pun sempat tersendat juga. Statusnya selalu under review sampai saya kirimkan email untuk bertanya lebih lanjut. Tapi pelayanan pelanggannya tergolong cukup responsif. Terakhir, DelytePay dari Matchmove, memiliki kesan perusahaan kecil. Biasanya kartu yang saya terima dikirim dengan amplop yang alamatnya tercetak secara komputerisasi, tapi yang satu ini masih ditulis tangan. Saya juga agak kecewa karena kartu yang saya terima sama sekali tidak mencantumkan nama saya. 

Secara keseluruhan, aktivasi kartu boleh dikatakan nyaris serupa dan lewat app. Inilah alasannya kenapa metode Wise sungguh mengejutkan dan repot. Seingat saya, aktivasi kartu TransferWise pertama saya pun tidak sesulit ini. Apa yang terjadi adalah, aktivasi kartu Wise hanya bisa dilakukan dengan cara mengecek saldo lewat ATM. Apa yang tidak dijelaskan secara spesifik adalah, metode ini hanya bisa dilakukan lewat ATM POSB. Saya sempat merasa frustrasi karena merasa seperti sedang membantu Wise menguji sistem. Metode lainnya bahkan lebih konyol lagi: transaksi menggunakan PIN. Padahal tidak ada yang menggunakan metode ini di Singapura. Sepanjang pengalaman saya dalam mengunjungi berbagai negara, hanya Indonesia yang memiliki pilihan menggunakan PIN saat pembayaran menggunakan kartu. 

Yang berikutnya adalah pengisian saldo. Yang terbaik tentu saja  Amaze dari InstaRem. Begitu praktis karena saldo tidak perlu diisi setelah kita menghubungkannya dengan kartu kredit. Revolut juga lumayan gampang karena terhubung dengan Google Pay. Tergantung jenis kartunya, ada yang terkena biaya bila mengisi saldo dengan Visa, tapi gratis jika kita menggunakan Master (pengecualiannya adalah BigPay yang juga gratis meski pakai Visa). Wirex memungut biaya untuk pengisian saldo dan Wise masih memiliki alternatif transfer tanpa biaya lewat Paynow. Mighty FX terasa seperti sistem tradisional karena masih mengandalkan rekening bank One Account. Yang paling tidak lazim adalah DelytePay karena saldo harus diisi di 7-Eleven.

Dari aspek aplikasi, saya paling suka Revolut. Aplikasinya mudah dimengerti dan memiliki animasi yang menarik perhatian serta informatif. Revolut juga satu-satunya yang memiliki rekening untuk anak, mirip seperti apa yang ditawarkan oleh produk Get sebelum kartu debitnya sama sekali tidak bisa digunakan lagi sejak Agustus 2022. Aplikasi kartu lainnya boleh dikatakan lumayan. Fitur Contact Us pun saya coba untuk hampir semua kartu. Sekali lagi DelytePay terasa ketinggalan karena yang lainnya memiliki FAQ yang komprehensif dan pelayanan pelanggan yang responsif. 

Yang terakhir dan paling penting adalah, tidak semua kartu dirancang sebagai kartu yang bagus kursnya untuk liburan. Hanya Wise, Revolut, Amaze dan YouTrip yang masuk di kategori ini. Wirex lebih dominan di jual-beli kripto dan kartu debitnya terasa seperti produk sampingan. Mighty FX terasa seperti usaha setengah hati untuk bersaing dengan produk lain yang serupa. BigPay masih jauh dari empat besar dan DelytePay jelas beda level. 

Jujur saya merasa seperti pemain baru di dunia kartu debit, tapi setelah saya uji dan alami, saya merasa bahwa untuk fasilitas liburan, kartu kredit ternyata kini kalah jauh dari kartu-kartu debit yang bersaing dalam menawarkan kurs paling kompetitif. Sungguh rasanya tidak sabar lagi untuk saya pakai lebih lanjut di liburan berikutnya!

Mighty FX, Wirex, DelytePay dan BigPay.

Monday, January 23, 2023

Paradigm Shift

Now here's something that I went through a couple of times in life, but only realized what it meant recently. It also got to do with the fact that I suddenly got this inexplicable interest in the phrase paradigm shift. Simply couldn't get rid of it from my mind. It felt so cool, sounded almost like paradise lost, and I couldn't help thinking that it would make a great title for my next blog post.

Anyway, this story began with a chronic addiction I had with the plastics. All this while, I always loved collecting credit cards, but I also spent some time digging into debit cards as well recently. This was triggered by the comparison between InstaRem and Youtrip debit cards that I had with a friend known as STV when we met at Hilary's Christmas party last year.

You see, prior to that, I never really paid attention to debit cards. To me, they were pretty inconvenient. But suddenly, when it came to travelling, credit cards seemed to be lagging behind while these debit cards were competing to offer the best FX rates. It was so game-changing that I had to start reading about it.

That got me thinking about two other things that happened roughly a week ago, when a friend of mine asked me about moving data to cloud. Not long after that, the same guy also did a survey in our group chat to gather the statistics of Spotify users among us. 

With regard to the former, I did exactly that about two years ago. I lived through all the changes I needed to know about the data storage, from a diskette to Apple's Time Capsule. I saw how those things were the state-of-the-art until the day they became things of the past. I remember when it suddenly made sense to use cloud and the rest is history. 

Same goes for Spotify. I was an ardent supporter of CD until I set up Google Home and tried out the music apps. It felt so practical that it changed the way I listened to music. I could be in the living room, bedroom or even on the go and the music would just follow. I never looked back since then.

This is the paradigm shift I was talking about. Just like many people, I also had this habit of clinging to the good old ways that I knew and loved, the ways I knew would work. But in this ever changing world, there'll always be technologies that are mature enough to change the way you know it and it's not necessary a bad thing. What I learnt here is, if you dared to give it a try, it might change your life forever. The choice is always yours. The question now is, will you do something about it? 

My buddy from Miyagi-Do started moving data to cloud. 



Paradigma Yang Bergeser

Pengalaman berikut ini adalah sesuatu yang sudah saya lalui beberapa kali, tapi belakangan ini saya sadari apa hikmah sebenarnya. Cerita kali ini juga berkaitan dengan frase paradigm shift yang entah kenapa terasa memiliki daya tarik sendiri. Mungkin karena terdengar mirip dengan paradise lost dan saya jadi berpikir bahwa ini akan menjadi judul yang bagus untuk tulisan saya. 

Awal kisah ini bermula dari kebiasaan saya dalam mengumpulkan kartu kredit. Ini sudah merupakan hobi dari sejak lama, tapi belakangan ini saya jadi membaca lebih lanjut tentang kartu debit juga. Semua ini dipicu oleh percakapan dengan teman saya STV mengenai perbandingan antara kartu InstaRem dan Youtrip sewaktu saya bertemu dengannya di pesta Natal di rumah Hilary tahun lalu.  

Sebelum itu, saya tidak pernah serius memperhatikan kartu debit. Bagi saya, kartu debit ini sangat tidak praktis. Namun perkembangan terkini menunjukkan bahwa kartu kredit tertinggal jauh dari kartu debit yang berlomba-lomba menawarkan kurs terbaik bagi mereka yang senang jalan-jalan. Saya jadi tertarik untuk menyelidiki lebih jauh lagi. 

Hal ini lantas mengingatkan saya tentang beberapa hal yang terjadi baru-baru ini, ketika seorang teman bertanya tentang cara memindahkan data ke cloud. Teman ini juga mengadakan survei di grup SMA untuk melihat siapa saja teman yang kini menggunakan Spotify. 

Menyimpan data di cloud adalah sesuatu yang telah saya lakukan sejak dua tahun silam. Saya sudah melewati beraneka perubahan tempat penyimpanan data, mulai dari disket sampai Time Capsule yang dijual oleh Apple. Saya lihat sendiri bagaimana teknologi yang dulunya paling mutakhir itu tersisih menjadi sesuatu yang ketinggalan zaman. Saya juga ingat saat saya akhirnya memutuskan untuk pindah ke cloud. Ada kesan bahwa memang sudah waktunya. 

Sama halnya juga dengan Spotify. Saya merupakan pendukung keras CD musik, sampai akhirnya saya memasang Google Home di rumah dan mencoba berbagai apps untuk musik. Tiba-tiba semua terasa begitu praktis sehingga mengubah cara saya mendengarkan musik. Saya bisa berada di ruang tamu, di kamar atau bahkan bepergian dan musik akan selalu melantun di telinga. Saya tidak pernah lagi memutar CD sejak saat itu. 

Jadi hal-hal di atas adalah apa yang saya maksudkan dengan paradigma yang bergeser. Seperti halnya dengan banyak orang lain, saya juga memiliki kebiasaan untuk bergantung pada cara yang saya tahu dan kenal baik dalam melakukan sesuatu. Kendati begitu, perlu diingat bahwa di dunia yang selalu berubah ini, akan selalu muncul teknologi yang akhirnya cukup matang untuk mengubah pola hidup kita dan ini bukanlah hal yang buruk. Apa yang saya pelajari dari pengalaman ini adalah, jika anda berani mencoba, pada akhirnya anda mungkin menemukan sesuatu yang bisa mengubah hidup anda. Pilihan tersebut ada di tangan anda. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah anda tergerak untuk melakukan sesuatu? 

Saturday, January 14, 2023

The X Factor

I've been doing the IT job long enough to have my fair share of success and failure. These past few years had been a roller coaster, too, from life in the of corona that change it all (pun intended) to moving office and so on. But all those paled in comparison with what happened recently. I jokingly said that perhaps it's because this is still ongoing now whereas others were distant memories. 

Seriously, it had been a while since I felt so helpless in the midst of such pressure. The last time I harboured such thoughts in mind was perhaps in early 2020, when I couldn't for the life me figure out how to solve some calculations for the statement I was working on (I eventually engaged Franky's help on this matter). Other than that, came hell or high water, I had persevered and laughed it off.

That lasted until recently, when I was reminded again that there would be times when things were beyond my control. The first was a project with a go-live date set on the week I was away on block leave. I wasn't the project manager here, but I really felt uneasy that I wasn't around to oversee and contribute my parts. Yes, delegation was in place, but it still felt like my work was half-done. It bothered me. It was as if I didn't do a good job. Couldn't imagine how the result would be.

Then, when I was in Kuching, as I waited for my daughter in front of the toilet, I received the news that a colleague had resigned. It was shocking, because I thought I had this settled right before my block leave began. I left Singapore thinking that things were under control, but it turned out that I was so wrong I had to sit down for a while. I let the news sank in, feeling disappointed before accepting the fact that there was nothing I could do until I got back to office. Then I put on my brave face and tried to enjoy the holiday.

To be honest, trying to enjoy the holiday was quite a daunting task when you had so much in mind. I couldn't help thinking that the worst was yet to come. I was so anxious until the day I could officially login again to get the latest update. Only then I realized that for case #1, the situation was not as bad as I thought. We could still pull it off. That somehow put my mind at ease. Then it dawned on me that if the decision-makers did it right, we could also fix case #2.

So what is the lesson here? While it is unpleasant when our best feels insufficient, it is important to acknowledge that there will be times when things spin out of our control, but probably not beyond someone else who is in the right position to make a difference here. It is the X factor that I always knew, but had forgotten as I got carried away by the situation. 

It is also important not to overplay the importance of oneself. The fear of not delivering is good when it pushes us further to be creative or out of the box, but not when it is getting us nowhere and self-destructive in nature. 

Thirdly, while it is completely human to be jittery as we wait in an uncertainty, only time will reveal the outcome. It can't be forced or sped up. The reality, as I learnt later on, wasn't as scary as what I had in mind. I had been worried sick for nothing. 

We all know it is easier to say it than to get it done, but it is also true that once you've done your best, you can only wait to see the outcome. Your mind may go wild with thoughts like, if only we had more control, we could have gotten it done. But that doesn't help and isn't going to happen either. So note to self, after all is said and done, just suck it up and live with it. In the event that things don't get better and take the fatal turn instead, it simply means that by God's grace, your time to exit the uncertainty has come. Just because it doesn't happen the way we want it, it's still a closure that we need!

Though difficult, but still have to smile. Audrey and I in Kuching.



Faktor X

Saya sudah berkecimpung di bidang IT cukup lama untuk memiliki banyak kisah sukses dan kegagalan. Beberapa tahun terakhir ini pun tidak ubahnya seperti kereta luncur di Dufan, mulai dari kehidupan di kantor yang berubah drastis karena korona sampai aktivitas pindah kantor dan sebagainya. Akan tetapi semua itu tidak terlihat sesibuk apa yang terjadi belakangan ini. Sambil bercanda saya berujar ke teman gereja, mungkin karena apa yang saya alami ini sedang terjadi sementara korona dan pindah kantor adalah cerita lama. 

Saya jarang merasa tidak berdaya di tengah tekanan pekerjaan. Terakhir kali saya merasa kesulitan mungkin terjadi di awal tahun 2020, ketika saya tidak mampu memecahkan formula perhitungan yang akan dipakai untuk laporan nasabah (saya akhirnya meminta bantuan Franky untuk menyelesaikan persoalan ini). Selain itu, bagaimana pun susahnya, saya hadapi dan atasi sendiri tanpa mengeluh.  

Dan semua berjalan seperti biasa hingga belakangan ini, ketika saya kembali diingatkan bahwa terkadang ada saat di mana sesuatu sudah di luar kontrol saya. Yang pertama adalah proyek yang baru bisa dimulai setelah dokumen perjanjiannya beres. Sistem itu lantas ditargetkan untuk siap dipakai pada saat saya sedang cuti wajib (di sektor finansial, cuti wajib berarti kita sama sekali tidak boleh menggunakan komputer dan mengecek pekerjaan kantor). 

Saya bukan pimpinan proyek ini, tapi tetap saja saya gelisah karena saya tidak di tempat untuk mengawasi dan mengerjakan bagian saya. Ya, saya sudah delegasikan tugas kepada kolega saya yang masih hijau tapi telah mengikuti rapat dari awal, tapi tetap saja rasanya seperti pekerjaan yang terbengkalai. Saya tidak suka perasaan ini, sebab rasanya seperti tidak bertanggung jawab. Saya sulit untuk membayangkan apa yang akan terjadi. 

Kemudian, ketika saya berada di Kuching dan sedang berdiri di depan toilet menunggui putri saya, tiba-tiba saya menerima kabar bahwa seorang kolega saya telah memutuskan untuk mengundurkan diri. Saya sungguh terkejut, sebab saya mengira bahwa perkara ini sudah saya bicarakan baik-baik dengannya. Sewaktu saya memulai cuti, saya menyangka semuanya sudah beres, tapi ternyata saya sungguh keliru, sampai-sampai saya merasa harus duduk sejenak. Saya cerna kabar tersebut dengan perasaan kecewa, lalu memutuskan bahwa saya baru bisa bernegosiasi lebih lanjut saat cuti usai. Setelah itu, saya memaksakan diri untuk tersenyum dan menikmati liburan sebisa mungkin. 

Jujur saya katakan, tidak mudah untuk berlibur ketika begitu banyak hal berkecamuk di dalam pikiran. Saya jadi berprasangka bahwa yang lebih buruk masih akan terjadi. Ada rasa tidak tenang dan perasaan tersebut baru sirna ketika tiba harinya di mana saya boleh menggunakan komputer kantor lagi. Setelah mengetahui perkembangan terkini, barulah saya sadari bahwa situasi kasus pertama tidaklah seburuk yang saya kira. Saya jadi agak lega. Untuk kasus kedua, rekan kerja saya bisa saja menarik kembali pengunduran dirinya kalau dua pimpinan divisi yang terlibat ini bersedia memberikan penawaran yang bisa disepakati bersama.

Jadi apa saja pelajaran yang bisa didapatkan di sini? Ya, memang rasanya merisaukan apabila sesuatu yang sudah kita kerjakan semaksimal mungkin masih saja terasa tidak cukup, tapi penting bagi kita untuk mengakui dan menerima kenyataan bahwa sesuatu sudah di luar kendali kita, namun mungkin masih bisa diatasi oleh mereka yang berada di posisi yang lebih tepat untuk membuat keputusan. Saya tahu apa yang dinamakan faktor X ini, tapi sekali ini saya terbawa suasana dan merasa kalap.

Hal berikutnya, juga penting bagi kita untuk tidak melebih-lebihkan pentingnya peranan kita dalam suatu pekerjaan. Ya, rasa cemas akan kegagalan dalam peran kita itu bagus bila perasaan tersebut mendorong kita untuk lebih kreatif. Yang tidak baik itu apabila kita justru merasa buntu dan mulai berpikir yang tidak-tidak. 

Yang ketiga, adalah manusiawi bila kita merasa gugup dalam ketidakpastian, namun perlu diingat pula bahwa hanya waktu yang akan mengungkap segalanya. Waktu ini tidak bisa dipaksakan, apalagi dipercepat. Kenyataan yang kemudian saya lalui itu tidaklah seburuk yang saya bayangkan, jadi boleh dikatakan kecemasan saya itu sia-sia. 

Ya, memang lebih mudah berbicara daripada menerapkan konsep ini, tapi tidak bisa dipungkiri juga bahwa setelah anda berikan yang terbaik, yang hanya bisa dilakukan selanjutnya cuma menunggu hasil akhirnya. Dalam masa penantian itu, pikiran kita mungkin berandai-andai, jikalau saya bisa ini-itu, pasti sudah beres masalahnya. Tapi semua itu hanya angan-angan yang tidak membantu. Jadi berdasarkan pengalaman ini, saya bisa katakan bahwa setelah tak ada lagi yang bisa dikerjakan, maka mulailah berserah diri. Kalau hasilnya tidak kunjung membaik dan justru jadi fatal, secara sederhana bisa ditafsirkan bahwa dalam kemuliaan Tuhan, memang sudah tiba waktunya bagi kita untuk keluar dari ketidakpastian ini. Meski tidak sesuai harapan, tetap saja merupakan akhir dari masalah yang merundung kita. Jadi tetaplah bersyukur!  

Thursday, December 29, 2022

Reputation, Pride Or Whatever It Is

Just when I thought we only had a few days left and this year seemed to end quietly, I was proven to be wrong. Apparently our group was capable enough to burn itself, even without the involvement of their favorite gas stove. The irony of democracy and free speech, I guess. Haha.

The fateful day began just like any other good morning. Unassuming, nothing looked suspicious and I was ignoring the incoming messages as I was busy re-watching Emily in Paris. By the time it caught my attention, the situation had gone bad drastically, with one party asking to be removed from the group. 

Not happening under my watch, of course. But by the time I joined the chaos, it had run its course. It then ended abruptly after the requestor figured out how to leave the group himself, but not before he left behind a trail of destruction that actually contradicted things he used to preach. 

It was silly that all this concluded in such a way, but it didn't happen overnight. If anything, the bitterness had been brewing for a year or two. Something must have gone awfully wrong after the Semarang trip. Then came the final blow today. 

But this wasn't important. My key takeaway from this incident was the reputation, pride or whatever you called it was indeed fragile and damning. That's what happened when one was trying too hard to rely upon it as the validation of his or her existence. Years of effort to build that and you had nothing left when it crumbled. I reckon that one could be emotionally distressed due to this, until you simply couldn't take it anymore.

I remember the time when I wrote about why people were different. I strongly believed that a happy childhood got a lot to do with the character development. When you grew up not lacking so many things in this material world, you tended to believe that money was all right, but not everything. This perspective was a privilege not many could have, I'm afraid. And in this case, that's when judging people based on how much they had started to happen.

To make it worse, the person who did this happened to be the same person who always glorified himself. Throughout the years, he always emphasised on how he was always true to his words, that not even 10 horses could pull them back the moment he has said things. The situation lasted for a while, until one fine day, the status quo was badly shaken. 

It was the day when the long waited grand plan became reality. He failed to deliver and suddenly couldn't prove what he said. Anything that came from him was undone by his own doing. One by one, until it all became a joke, something that you didn't take it seriously anymore. It was an eye-opener to see how a person of repute fell from grace like that. It was a mixed feeling to see him left with nothing: it was sad, funny at times, pitiful and there was also tremendous lost of respect. 

And that lasted for almost three months. You could sense that he tried to fight back for the last bits of his pride in many occasions, but there was nothing else to be salvaged. Then came today. Although he preached that he wouldn't leave the group out of respect to others, he left few minutes later. Life couldn't be more ironic than this. 

Now, make no mistake here. I still love the man. He's a good friend and his leaving the group is not the end of the world. But one important lesson here is the use of pride or reputation. It is never something we need to get so defensive about, that we feel the need to claim and disclaim in the process. By doing so, perhaps we are simply craving for validation, not exactly worthy of the respect given by others.

No, we use it to better ourself. For example, if you make a mistake, you own it up and you do it right next time, because you are proud to be someone who delivers. Before anybody else starts condemning, it already hurts your pride by the time you realize your mistake. And you'll remember that for life and emerge a better person because of it. That, I believe, is how it should be...

A better time...



Reputasi, Harga Diri Atau Apapun Namanya Itu

Sempat saya sangka bahwa tahun 2022 yang hanya tersisa beberapa hari ini akan berlalu dalam sunyi, tapi ternyata saya salah sangka. Grup WhatsApp SMA seringkali membara, dengan atau tanpa kompor gas favorit mereka. Mungkin ini adalah dampak dari demokrasi dan kebebasan berbicara, hehe.

Kisah kali ini dimulai seperti pagi di hari-hari biasa. Semuanya terlihat normal dan saya abaikan pesan-pesan yang masuk karena sedang menonton ulang Emily in Paris. Ketika saya menyadari bahwa sesuatu telah terjadi, situasinya sudah memburuk dan seorang anggota meminta untuk dikeluarkan dari grup. 

Tentu saja permintaan ini saya abaikan, hehe. Namun ketika saya mulai turut serta membuat ricuh, kegaduhan itu sendiri sudah hampir usai dan tiba-tiba berhenti ketika anggota yang selama ini mengaku tidak bisa meninggalkan grup itu akhirnya berhasil keluar sendiri. Yang agak kontroversial itu, sebelum keluar, dia masih sempat sesumbar tentang hal yang akhirnya dia langgar sendiri. 

Agak konyol rasanya bahwa pertikaian ini berakhir seperti ini, tapi semua ini tidak terjadi begitu saja. Kepahitan ini setidaknya sudah menggelegak setahun atau dua tahun silam. Sesuatu sepertinya terjadi setelah liburan bersama ke Semarang, lalu terjadilah percekcokan terakhir di hari ini. 

Keributan ini sendiri tidaklah terlalu penting. Hikmah yang bisa diambil dari kejadian hari ini justru adalah betapa reputasi, harga diri atau apapun namanya itu ternyata sangat rapuh dan mencelakakan. Ini bisa terjadi bila seseorang berusaha terlalu keras demi validasi tentang keberadaan dirinya. Bertahun-tahun reputasi itu dibangun, namun sirna begitu saja ketika runtuh. Saya rasa ini bisa menimbulkan ganjalan di hati yang lambat-laun tidak tertahankan. 

Saya ingat ketika menulis tentang kenapa setiap orang itu berbeda. Saya sepenuhnya percaya bahwa masa kecil yang bahagia itu sangat besar peranannya dengan perkembangan karakter. Bila anda tumbuh tanpa banyak kekurangan di dunia yang materialistis ini, anda mungkin percaya bahwa uang itu penting, tapi bukan segalanya. Ini adalah sudut pandang yang mungkin tidak dimiliki oleh mereka yang dulunya kekurangan. Oleh karena itu, seseorang bisa jadi tanpa sadar selalu menilai segala sesuatu dari uang. 

Yang lebih parah lagi, orang yang sama juga memiliki kebiasaan membanggakan diri sendiri. Dari tahun ke tahun dia menekankan bahwa dia selalu menepati kata-katanya. Bahkan 10 kuda pun tidak bisa menarik kembali apa yang sudah dia ucapkan. Situasi seperti ini terus berlanjut sampai hari di mana status quo ini terguncang hebat. 

Ini adalah hari di mana rencana ke Jepang yang sudah lama ditunggu itu akhirnya mulai dijalankan. Teman yang satu ini gagal mewujudkan apa yang dia ucapkan. Apa saja yang dikatakannya lantas menjadi batal karena ulahnya sendiri. Satu demi satu, sampai akhirnya terasa seperti lelucon yang tidak lagi kita tanggapi dengan serius. Melihat bagaimana seseorang yang selalu mengagungkan reputasinya menjadi terpuruk sedemikian rupa adalah sesuatu yang mencengangkan dan membuka mata. Ada beragam perasaan bercampur-aduk: ikut sedih, merasa geli, kasihan dan kehilangan rasa hormat terhadapnya. 

Dan situasi ini berlanjut hampir tiga bulan lamanya. Saya yakin yang di grup bisa merasakan bagaimana dia berusaha menggapai kembali apa yang tersisa dari reputasinya, tapi semua sudah luluh-lantak tak bersisa. Lalu tibalah hari ini. Meski dia masih berujar bahwa dia tidak akan meninggalkan grup karena masih banyak teman lain, tapi dia nyatanya keluar beberapa menit kemudian. Hidup tidak pernah terasa lebih ironis dari perisitiwa ini. 

Saya perlu jabarkan bahwa saya tetap menyayanginya sebagai teman. Dia sebenarnya orang yang baik dan keluarnya dia dari grup tidak berarti kiamat. Tapi yang ingin saya tekankan di sini adalah kegunaan dari reputasi atau harga diri itu sendiri. Ini bukanlah sesuatu yang perlu terlalu dibela sampai melibatkan banyak klaim dan pengecualian yang dibuat-buat. Kalau begitu caranya, mungkin yang bersangkutan hanyalah membutuhkan validasi dari perkataan dan perbuatannya, bukan benar-benar pantas dihormati oleh yang lain. 

Jadi bukan itu. Reputasi dan harga diri, menurut saya, adalah sesuatu yang kita gunakan untuk membuat kita menjadi lebih baik lagi. Sebagai contoh, ketika kita salah, kita mengaku dan berusaha untuk tidak mengulanginya lagi, sebab kita bangga sebagai orang yang tepat janji. Jadi sebelum orang lain mengeritik, kita sendiri sudah koreksi diri karena kita pun sangat kecewa dengan kesalahan yang kita perbuat. Kesalahan itu lantas akan selalu kita ingat dan kita akan menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya, yang berusaha untuk tidak lagi melakukan kesalahan serupa... 

Saturday, December 24, 2022

The Roles We Play

If it was entirely up to me, we wouldn't have been to Kuching at all. I didn't dislike it, but it wasn't exactly my most favorite place on earth as well. My perspective of Kuching changed over the years, from a city so impressive for a first time overseas traveller to a sleepy little town that offered nothing but kolo mee. I mentioned before about cities that I'd like to visit again, but Kuching was definitely not one of them. As luck would have it, Kuching became a neutral ground for my family gathering, so off we went.

Looking back, the trips I had this year, from Bali, Gading Serpong, Desaru Coast to India, happened simply to satisfy my needs. For me personally, the wanderlust bottled up inside for so long that subconsciously I made it all about me. It was this trip to Kuching that humbled and reminded me of something that I knew all along, but had forgotten about for quite some time: the roles we play in life. 

Yes, it was easy to make things individualistic, that they were all about us. The idea of living arbritrarily, an innocent comment originally blurted out by Parno in our group chat, fueled that thought. But then we also played many roles in life. In Kuching, I witnessed that I was a husband, a father, a son, a brother, a cousin, a nephew, an uncle and a friend. 

I realized that it mattered to me to hear whether my wife enjoyed her time in Kuching and what my daughter's opinions were. It was their first time. I chuckled when I heard my daughter saying that Kuching was a better version of Indonesia. I grinned when she complained about how difficult it was to cross the street in Kuching.

I realized how good it was to see my Mum in person again for the first time ever since life in the time of corona. She dyed her hair black as per my suggestion. My brother had slimmed down a lot to the extent that he looked gaunt. When he came towards me, he was wearing a long sleeve sweater that was once mine. He looked like the skinny me in my 20s. And there we met again. In Kuching, not anywhere else in this world.

I met my auntie who took me in almost 30 years ago. She lost weight, but still looked as fine as she could be for a person in her late 60s. When I heard her son talking to her in a rather unpleasant tone, I smiled as I was reminded of the similar mistake I made a long time ago. He'd learn as he grew older, just like I did. I also met a cousin that was born the time when I moved to Jakarta. He was now in college. How time passed! And then I saw two nieces, one was too young to probably remember who I was when I first saw her in early 2020. I never met the younger one and at her tender age, perhaps she didn't even care about meeting his uncle, haha.

Then of course there was Harry and Novi. They picked me up the last time I went to Pontianak. It was great to see them again. To smile and to laugh together. To speak in both Hakka and Teochew lingos that only our generation understood. To dine as friends and family. Happiness could be that simple, apparently. 

Like I said earlier, my perspective of Kuching changed over years. And it changed again for the past few rainy days in December 2022. It was not much of rediscovering the place, but rediscovering myself instead. And it was in Kuching, of all the places, that I re-learnt the phrase I often said: traveling is a humbling experience. Once again it was proven to be true.

The roles I play: a husband, a father, a son, a brother, a cousin, a nephew, an uncle and a friend. 




Peran Kita

Jika saja semuanya tergantung pada keputusan saya, rasanya kita tidak akan berangkat ke Kuching. Bukannya saya tidak suka, tapi Kuching bukanlah tempat favorit saya. Perspektif saya tentang kota ini berubah dari tahun ke tahun, mulai dari kota yang begitu mengesankan bagi pengunjung asal Pontianak sampai menjadi kota yang tidak ada apa-apa kecuali kolo mee. Kuching bahkan tidak termasuk dalam daftar kota-kota yang ingin saya kunjungi lagi, tapi siapa sangka akhirnya justru menjadi tempat berkumpul di penghujung tahun ini.

Jikalau saya lihat kembali, berbagai perjalanan saya di tahun ini, mulai dari Bali, Gading Serpong, Desaru Coast sampai India, semuanya terjadi karena keinginan pribadi. Telah begitu lama keinginan untuk berlibur itu tertahan, sampai-sampai semuanya direncanakan berdasarkan kemauan saya sendiri. Adalah perjalanan ke Kuching ini yang mengingatkan saya kembali tentang sesuatu yang sudah lama saya ketahui, tetapi terlupakan seiring dengan berjalannya waktu: peran kita dalam hidup ini. 

Ya, mudah untuk melihat dari sudut pandang individualistis, bahwa semuanya berfokus pada diri sendiri. Ide hidup semena-mena yang dicetuskan oleh Parno di grup SMA tanpa sadar menjadi validasi yang saya pegang teguh sampai saya akhirnya diingatkan kembali tentang peran saya dalam hidup ini. Di Kuching, saya mengalami pencerahan tentang peran saya sebagai seorang suami, ayah, anak, abang, sepupu, keponakan, paman dan teman. 

Saya menyadari bahwa pentingnya artinya bagi saya untuk mendengar apakah istri saya menikmati kunjungannya. Saya juga senang mendengarkan pendapat putri saya. Saya tergelak ketika dia menjabarkan bahwa Kuching ini mirip Indonesia, namun versi yang lebih baik. Saya tersenyum ketika dia menggerutu tentang sulitnya menyeberang jalan di Kuching. 

Saya menyadari betapa bersyukurnya saya karena bisa bertemu Mama lagi untuk pertama kalinya setelah korona. Rambutnya disemir hitam lagi karena ia mendengar masukan dari anaknya. Adik saya pun terlihat kurus dan terus wajahnya. Sewaktu saya melihatnya datang menghampiri, dia memakai baju yang saya tinggalkan dan terlihat seperti saya yang kurus di usia 20an. Dan di sana kita semua bertemu lagi. Di Kuching, bukan di tempat lain.

Saya bertemu lagi dengan tante yang menampung saya di rumahnya kira-kira 30 tahun silam. Dia pun tambah kurus, tapi masih terlihat sehat untuk seseorang yang sudah mendekati usia akhir 60an. Ketika saya mendengar putranya berujar dengan nada agak tidak sabar, saya tersenyum dan terkenang dengan kesalahan serupa yang pernah saya perbuat. Dia akan bertambah bijak sejalan dengan bertambahnya umur, sama halnya seperti saya. Selain itu, saya juga bertemu dengan sepupu yang baru lahir saat saya pindah ke Jakarta. Sekarang dia sudah kuliah. Sungguh cepat waktu berlalu! Dan kemudian ada lagi dua ponakan. Yang sulung mungkin tidak ingat lagi ketika saya bertemu dengannya di awal tahun 2020. Saya tidak pernah bertemu yang bungsu sebelumnya dan di usianya yang masih belia, dia mungkin tidak peduli dengan paman yang baru ditemuinya ini, haha. 

Lantas ada pula Harry dan Novi. Mereka yang menjemput saya ketika saya terakhir pulang ke Pontianak. Senang bisa melihat mereka lagi, tersenyum dan tertawa bersama. Berbicara dalam bahasa Khek dan Tiochiu dengan kosa kata yang khas dan hanya dimengerti oleh angkatan kami. Kita pun berkesempatan untuk bersantap malam sebagai teman dan keluarga. Terkadang kegembiraan hanyalah sesederhana itu. 

Seperti yang saya katakan sebelumnya, perspektif saya tentang Kuching senantiasa berubah. Dan di beberapa hari yang basah oleh hujan di Desember 2022 ini, sudut pandang itu berubah lagi. Kali ini bukan tentang menemukan tempat yang baru, tapi lebih cenderung tentang menemukan lagi diri sendiri yang sempat terlupakan. Dan semua itu terjadi di Kuching. Saya belajar lagi apa yang sering saya ucapkan: melanglang buana adalah sebuah pengalaman yang bersahaja. Sekali lagi frase ini terbukti benar... 

Sunday, December 11, 2022

The Love-Hate Relationship

I once wrote about the bathroom singer. That's pretty much how I would rate myself as a singer. Never brilliant, but could do well enough to carry a tune. More than that, I loved performing. I liked the sensation of how I was carried away and moved by the music. But yet I always hated the countdown that preceded show. It was dreadful, like a slow walk to the hanging pole. 

The story this time started when Dinner and Dance was announced a while ago, probably back in August. I could roughly tell how my fate would be. It was kind of my thing, so when a department was expected to participate, I knew that it was just a matter of time before I was nominated involuntarily. I knew for sure that the inevitable would come and true enough, closer to the date, that exactly what happened.

I'd grumble and say things like, "it's hard to earn this month's salary," but yet the artistic side of me would rise to the challenge. Observational comedy was what I did best (been doing that since I started writing my second short story back in 1996), long before I knew it was a real thing popularized by Jerry Seinfeld. So I wrote the scenario based on our day-to-day activities and the culture in office. The moral of the story was, if we wanted to make a change, we had to start with ourselves, hence the lyrics from Man in the Mirror were relevant. And since misery loves company, I dragged some colleagues to join the play, haha.

Back with the mic stand on stage!

I went to India for a short break and then came back for the rehearsal twice a week. Each session would last half an hour or 45 minutes. The first one was table read, something that I learnt after watching many comedy series. The actors would read their lines and once they were comfortable with it, I recorded the dialogues. By doing so, they just had to mime and act. There wasn't a need to memorize the lines anymore.

The rehearsal was actually quite fun. Lots of giggling. The craziest thing was, up till the time we tried out the whole thing on stage, we still had members that failed to attend the final rehearsal. The most stressful part had to be those trying times when I coached a fellow colleague to sing. I don't think I did a good job, which was why I resorted to a lousy mixing of pre-recorded vocals for my colleague instead, trying my best to make it less disastrous, haha.

Then came the moment when we took the stage. I remember saying repeatedly to my colleagues that I was 34 the last time I did this. I never expected to do this again in my 40s, when I was so much older than before. I had this mixed feeling. Partially excited but mostly numb after being nervous for too long that I just wanted to get it over and done with.

The playful banter after the show.

Thus began what was dubbed as the longest six minutes of our lives. The skit didn't go pretty well. I was told later on that nobody could actually hear the dialogues and therefore they didn't know what it was all about. But it felt right the moment I stepped onto the stage. I knew this feeling from long ago, so familiar, slowly coming back to me. I sang the first few lines as I looked around, still very much aware of my surroundings. I remember putting the mic on the stand. But then I heard the beats of the drums. The whole thing became so electrifying that I just had to follow the rhythms. 

Some people asked if my act was rehearsed. It wasn't. The performance was spontaneous. When you were a fan spending countless hours imitating your idol in front of the mirror back in your younger days, all this would just come naturally when the music played. You just knew it by heart. And that's what I did.

I couldn't say if I did great. As always, I couldn't even bring myself to watch the video recording again. But I could tell you this much: it was a journey, not necessary to my liking, but by the end of the day, I am glad that we did it. It's just funny how things you disliked could also be rewarding at the same. Apparently there was such a thing called love-hate relationship in life. Strange indeed!

With the whole team.




Antara Suka Dan Benci

Suatu ketika saya pernah menulis tentang penyanyi di kamar mandi. Seperti itulah penilaian saya tentang kapasitas saya sebagai penyanyi. Tidak hebat, tapi tidak sumbang dalam bernyanyi. Lebih dari itu, saya suka aksi panggung ketika tampil di pentas. Ada semacam sensasi yang selalu membuat saya terbuai dan tergerak oleh musik. Masalahnya adalah masa penantian sebelum hari-H. Rasanya tegang dan bikin mual, seperti tengah berjalan pelan menuju ke tiang gantungan. 

Cerita kali ini dimulai ketika acara Dinner and Dance diumumkan beberapa waktu lalu, kalau tidak salah di bulan Agustus. Kira-kira saya sudah bisa menerka nasib saya. Seni pertunjukan adalah sesuatu yang diasosiasikan dengan saya, jadi kalau departemen saya harus berpartisipasi, maka hanya masalah waktu saja sebelum saya ditunjuk untuk menciptakan sesuatu. Saya tahu hari itu akan tiba dan benar saja, ketika acara kian mendekat, apa yang saya khawatirkan pun terjadi. 

Saya pun menggerutu dan bergumam, "gaji bulan ini sungguh susah untuk diperoleh," namun sisi artistik saya sesungguhnya tertantang untuk melakukan sesuatu. Komedi berdasarkan pengamatan adalah sesuatu yang sudah saya lakukan dari sejak saya mulai menulis, jauh sebelum saya tahu bahwa ini ada sesuatu yang dipopulerkan oleh Jerry Seinfeld. Jadi saya pun menulis skenario berdasarkan kehidupan dan budaya di kantor. Moral dari cerita adalah, jika kita ingin membuat perubahan, maka kita harus mulai dari diri sendiri. Oleh karena itulah lirik lagu Man in the Mirror terngiang-ngiang di benak saya. Dan karena penderitaan selalu membutuhkan teman, maka saya libatkan kolega lain untuk turut serta, haha.

Kembali ke panggung lagi setelah delapan tahun!

Saya ke India dalam rangka liburan singkat dan mulai serius menggelar latihan dua minggu sekali setelah saya kembali ke kantor. Setiap sesi berlangsung selama setengah jam atau 45 menit. Yang pertama kita lakukan adalah membaca naskah bersama, suatu proses yang saya pelajari setelah menyaksikan banyak serial komedi. Para pemeran ini membaca dialog mereka dan saya rekam setelah nadanya terdengar seperti percakapan biasa. Dengan demikian mereka cukup berkomat-kamit dan beradegan sesuai dialog. Tak perlu lagi untuk menghafalkan dialog masing-masing.

Latihan ini sebenarnya cukup seru juga. Banyak tawa dan canda. Yang paling sulit untuk dipercaya adalah, sampai saat-saat terakhir mencoba pentas pun masih ada peserta yang tidak hadir. Namun hal yang paling memusingkan adalah melatih kolega untuk bernyanyi. Dari apa yang saya dengar, saya jadi merasa tidak becus jadi pelatih. Akhirnya saya putuskan untuk merekam suaranya dengan vokal asli dari lagu supaya hasilnya tidak terlalu hancur, haha. 

Kemudian tibalah waktunya bagi kita untuk naik ke panggung. Saya ingat saat berguyon degan kolega bahwa terakhir kali saya melakukan pertunjukan serupa adalah delapan tahun silam, saat saya berusia 34 tahun. Tidak terbayang bahwa saya akan kembali lagi ke panggung di usia 40an. Kegelisahan yang berkepanjangan membuat saya kini mati rasa. Pokoknya saya hanya ingin jalani pertunjukan ini secepat mungkin dan segera kembali ke meja makan. 

Obrolan santai setelah pertunjukan.

Kemudian mulailah apa yang saya dan rekan-rekan kerja sebut sebagai enam menit terpanjang dalam hidup kita. Drama yang saya tulis tidak menuai tawa seperti yang saya harapkan. Belakangan ini baru saya ketahui kalau penonton kesulitan mendengar dialognya sehingga mereka tidak paham apa ceritanya. 

Akan tetapi positif rasanya ketika saya melangkah ke panggung. Saya tahu perasaan yang tidak asing ini, seperti sesuatu yang saya kenal dari masa lalu. Ketika saya menyanyikan beberapa baris pertama, saya masih memandang penonton dengan sedikit tegang. Saya tahu bahwa saya akan baik-baik saja saat saya letakkan mikrofon di penyangganya. Lantas saya dengar ketukan drum di lagu. Segala sesuatu mendadak terasa begitu menggetarkan sehingga saya pun bergerak mengikuti lagu. 

Beberapa orang bertanya apakah saya berlatih untuk aksi panggung saya. Jawabannya adalah tidak. Semua itu terjadi secara spontan. Bila anda adalah seorang penggemar Michael Jackson yang di masa mudanya menghabiskan waktu berjam-jam di depan cermin untuk meniru gerakan idola anda, maka anda bisa bergerak tanpa sadar begitu terbawa oleh irama lagu. Itulah yang saya lakukan. 

Bersama para peserta satu tim.

Saya tidak bisa berkomentar apakah penampilan saya memukau. Terus-terang saya bahkan tidak pernah menonton kembali rekaman videonya, sebab konyol rasanya. Tapi saya dengan jujur katakan hal berikut ini: apa yang saya lalui ini adalah sebuah perjalanan yang tidak begitu saya sukai, namun pada akhirnya saya senang semua ini terjadi. Lucu rasanya ada hal yang begitu kontradiktif. Tidak disukai, namun di saat yang sama juga memuaskan. Ternyata ada yang namanya hal di antara rasa suka dan benci... 

Saturday, December 3, 2022

Writing 101

One great thing about ghostwriting is I end up reading what others have in mind. From time to time, what I read might get me thinking. When I did it recently, I came across this interesting topic about ideas and the process that molded them. This then led to a short discussion about how I had subconsciously applied the same concept on my writing style. 

Prior to this, I never thought of it that way, too. Inspired by all the greats that came before me, I'd romanticized the process by saying things like I was only a medium that picked up ideas and translated into something real. I always loved how vague the description sounded. It was like a pure nonsense that was artistically sugarcoated, haha. 

A friend of mine encouraged me to dig deeper. After some soul-searching, apparently there was indeed a distinct pattern that I always followed. But because I had been writing for the longest time, everything felt natural and seamless that the pattern wasn't immediately recognizable. 

The process often started with me toying with an idea, thinking how great it would be for me to pour it into writing. But regardless how excited I was, it was rare for me to act on it immediately. I'd wait instead to see if I still could remember them few days later. The habit was influenced by the Beatles: they only wrote songs they could remember and the result was great.

If an idea passed the test, it was quite a high chance that it'd be written. The more I entertained the idea, the better it got. It became a story I could roughly envision. Perhaps the idea matured as time went by. Perhaps I was just simply convinced that since it outgrew the initial excitement, it must be an idea worth telling. 

Thus began the writing process, best done on a BlackBerry and I had been doing it since 2017. My favorite part was the opening. We were taught at school to start with the classic line once upon a time, but I learnt eventually we had so much more freedom than that. You just had to tell it the way you liked it.

I'd normally take my own sweet time to have the satisfaction of telling the origin of the story, which was often a series of events linked together. And it was actually good to be in my 40s. I had lived long enough that some stories could start way back from 20 years ago or more! It was an amazing experience to look back only to realize that it finally happened.

Now, during the opening, I normally left behind a faint trace of unanswered question. Then I would proceed with the content. This was the part where I actually told the story. It didn't have to be long. It just had to be right. I'd have plenty of ideas to begin with, but by the time I finished writing, only the relevant points would make it to the final cut. Experience probably played a part here. You just instinctively knew what mattered for the story. Certain things that were fancy but immaterial would be filtered out automatically.

Then came the closure where you tied up loose ends. You got to conclude what the content had delivered so far. This was the part where it answered the original question I left dangling on the top, explaining how it was resolved by the content and what this was all about. 

Now that you had come so far, did you see how the pattern worked here? No? Okay. If you observed paragraphs 1, 2 and 3, that's my opening. You see how I playfully told the story before getting into the content? Then I subtly inserted the one thing in question: the distinct pattern that I discovered. What happened next was the content that ran all the way until the one before this paragraph. And here, the last bit of it, is where I had my closure by explaining how writing 101 according to Anthony really worked and this finally ended the story. Get it? Splendid!

Once upon a time...



Cara Menulis

Satu hal yang bagus dari profesi penulis bayangan adalah proses membaca apa yang ada di benak orang lain. Dari waktu ke waktu, apa yang saya baca lantas membuat saya berpikir. Baru-baru ini, ketika saya menulis berdasarkan sudut pandangan orang lain, saya menemukan topik tentang ide dan proses yang membentuk ide tersebut. Berkaitan dengan hal ini, saya berdiskusi dengan teman bahwa saya pun tanpa sadar menerapkan hal yang sama saat menulis.  

Sebelumnya saya tidak pernah berpikir serius tentang hal ini. Terinspirasi oleh para penulis handal sebelum saya, saya suka mendramatisir prosesnya dengan menjelaskan bahwa saya hanyalah medium yang dilintasi oleh inspirasi, yang kemudian saya tuangkan menjadi tulisan. Saya suka deskripsinya yang puitis tapi tidak jelas dan terasa seperti omong-kosong yang disamarkan secara artistik, haha. 

Seorang teman berpendapat bahwa mungkin saya hendaknya mengamati lebih lanjut lagi. Setelah introspeksi, saya temukan bahwa ternyata memang ada semacam pola yang selalu saya ikuti. Namun karena saya sudah menulis dari sejak lama, proses ini bergulir secara otomatis dan tidak lagi terasa. 

Tulisan saya sering berawal dari ide yang terngiang-ngiang di benak saya dan ingin rasanya saya tulis. Meski saya merasa terpacu oleh ide baru ini, saya jarang mengeksekusinya secara langsung. Saya justru cenderung menunggu beberapa waktu untuk melihat lagi, apakah saya masih bisa mengingat ide ini. Pengaruh ini berasal dari the Beatles: mereka hanya menulis lagu yang bisa mereka ingat dan hasilnya pun bagus. 

Bila ide tersebut berhasil melewati tes ini, maka kemungkinan besar akan saya tulis. Semakin saya pikirkan, semakin mantap pula idenya dan perlahan-lahan berubah menjadi satu cerita yang bisa saya bayangkan dari awal hingga akhir. Mungkin ini dikarenakan idenya menjadi semakin matang. Bisa juga karena saya merasa yakin bahwa jika ide ini sukses melewati kegembiraan sesaat yang saya rasakan saat mendapatkan inspirasi, maka ini adalah ide yang layak untuk diceritakan. 

Selanjut mulailah proses menulis yang paling nyaman untuk dikerjakan di BlackBerry, satu hal yang membuat saya ketagihan sejak tahun 2017. Bagian favorit saya dalam menulis adalah bagian pembukaan. Kita dulu diajarkan di sekolah untuk memulai cerita dengan pada suatu ketika, namun saya temukan bahwa ada kebebasan dalam menulis. Anda hanya perlu bercerita sesuai dengan cara yang anda sukai. 

Saya memiliki kebiasaan untuk bercerita panjang-lebar dalam mengulas asal mula cerita yang seringkali merupakan rangkaian dari berbagai peristiwa. Dan ada bagusnya pula telah berumur dan mencapai usia 40an. Kini saya sudah hidup cukup lama sehingga beberapa cerita bahkan bisa berawal dari kejadian sejak 20 tahun silam atau lebih! Adalah suatu pengalaman yang menakjubkan saat saya melihat kembali bahwa hal dari masa lalu akhirnya terwujud. 

Nah, di bagian pembukaan ini, saya sering menyisipkan satu pertanyaan yang belum terjawab, lalu saya mulai masuk ke bagian cerita sesungguhnya. Ini adalah cerita berdasarkan topik yang saya pikirkan. Tidak harus panjang, yang penting harus pas. Pada awalnya saya mungkin memiliki banyak hal yang ingin saya bahas, tapi setelah selesai, hanya bagian yang relevan yang akhirnya tertuang ke dalam cerita. Pengalaman mungkin ada pengaruhnya di sini. Secara naluriah saya tahu apa yang penting bagi cerita. Hal-hal kecil yang menarik tapi bukan merupakan bagian integral akan tersisih dengan sendirinya dari cerita. 

Kemudian tibalah bagian akhir di mana saya menuntaskan bagian-bagian yang masih belum terjawab. Cerita yang sudah membawa pembaca sampai sejauh ini perlu diakhiri dengan kesimpulan. Caranya adalah dengan menjawab pertanyaan yang saya samarkan dari sejak awal. Bagian penutup ini menjabarkan bagaimana semua ini diselesaikan oleh cerita barusan. 

Sampai sejauh ini, apakah anda temukan pola yang saya pakai? Tidak? Baiklah, saya jelaskan. Jika anda amati paragraf 1, 2 dan 3, itu adalah bagian pembukaan. Anda lihat bagaimana saya dengan santai berkisah sebelum memasuki inti cerita? Saya juga diam-diam menyelipkan satu pertanyaan, yakni pola yang hendak saya ceritakan.  Kita lantas memasuki isi cerita yang terus berlanjut hingga paragraf di atas. Di bagian terakhir ini, saya menutup cerita dengan menjelaskan bagaimana cara menulis menurut Anthony adalah satu pola dan cerita pun tamat. Mengerti sekarang? Bagus!