Total Pageviews

Translate

Thursday, February 16, 2023

Reinventing Oneself

It must have been established by now that I love the plastics. While each of them is unique in its own way, I always have the soft spot for Diners Club. The story of its origin, the unusual name, its glorious past as the first and how the mighty had fallen... I just love every bit of it. 

Things looked gloomy for Diners and I thought it would stay that way, hence imagine my surprise when I saw the changes. Not only the mobile app was modernized and the company name was changed to DCS Card Centre, but it also released a new card under the UnionPay logo! 

When I got mine (obviously), I found it odd that this was purely a UnionPay card. I reckon the company wanted to show what it meant when the name was changed to Card Centre, but it could have retained the Diners network to broaden the acceptance. It'd be interesting to have a card that worked as both Diners and UnionPay.

Anyway, while it wasn't perfect, Diners' decision to reinvent itself was bold and commendable. It wasn't something that happened very often and it reminded me of the day BlackBerry exited the phone business. Good for the company to focus on security business and be profitable from it, but bad for those who loved the phone like me. 

As I traced back, fundamental changes did happen to things I like, even to an icon as popular as Godzilla. After the disastrous Godzilla 1998, Toho decided to try again with the Americans. The result was Monsterverse that eventually delivered Godzilla vs. Kong in 2021. For the uninitiated, a similar film was first produced by Toho in 1962 and it was wildly popular. To be able to watch a modernized version of it was like a dream came true. I was so impressed when I watched it in the cinema that I couldn't help thinking this is how as Godzilla movie should be done. I remember that particular moment vividly.  

And then we had the Beatles, the master of reinventing themselves. They were so good at it, so ahead of its time, that peers like the Beach Boys and the Rolling Stones were left behind. From Please Please Me to Let It Be, they never sounded the same. Just when the Beach Boys produced Pet Sounds, the Beatles topped the bill with Sgt. Pepper's. Rolling Stones could only hope for the best with Their Satanic Majesties Request. 

But of course not everyone could be like the Beatles. They are the benchmark, the perfection that people like us will always try to emulate and achieve. As for Godzilla, it's about the willingness to try even though we fail the first time. BlackBerry serves as a reminder that we can evolve into something different in order to survive, even though it may not be something that others know and love. And Diners, whatever they do now is definitely an improvement. It got me thinking that when you are already at the bottom of the pit, the only way to go from here onwards is up if we want to reinvent ourselves...

DCS, formerly known as Diners Club. 



Mengubah Diri

Dari berbagai artikel roadblog101.com sejak tahun 2017, rasanya sudah sering diceritakan bahwa saya memang suka koleksi kartu kredit. Setiap logo kartu memiliki keunikan sendiri, tapi saya selalu memiliki perasaan sentimentil terhadap Diners Club. Asal mulanya, namanya yang tidak lazim, sejarahnya sebagai kartu kredit pertama, sampai terpuruknya reputasi Diners sekarang. Saya suka semuanya.

Situasi terlihat sulit bagi Diners yang kalah saing dan saya kira Diners akan selalu terlihat ketinggalan zaman. Jadi bayangkan betapa kagetnya saya ketika Diners tiba-tiba berubah. Bukan saja perusahaannya berganti nama dan mobile app-nya pun berubah, tapi Diners juga mengeluarkan kartu baru dengan logo UnionPay! 

Ketika saya mendapatkan kartu saya, ada rasa heran kenapa kartu ini murni UnionPay. Saya menerka bahwa kartu ini dikeluarkan sebagai UnionPay karena perusahaan ini ingin menunjukkan kenapa namanya diganti jadi DCS Card Centre yang berarti pusat kartu, tapi saya sempat menyangka bahwa kartu ini akan tetap mempertahankan jaringannya sendiri. Akan sungguh menarik bila kartu ini bisa dipakai di jaringan UnionPay dan Diners.

Kendati tidak sempurna, aksi nyata yang ditunjukkan Diners untuk berubah adalah sesuatu yang berani dan patut dikagumi. Ini tidak sering terjadi dan mengingatkan saya kembali pada hari di mana BlackBerry memutuskan untuk keluar dari bisnis telepon genggam. Bagus untuk perusahaannya untuk sepenuhnya fokus pada bisnis keamanan komputer, tapi tidak bagus untuk pencinta telepon BlackBerry seperti saya. 

Ketika saya melihat kembali, perubahan mendasar seperti ini terjadi pada beberapa hal yang saya sukai, bahkan sesuatu yang sudah begitu ikonik dan populer seperti Godzilla. Setelah Godzilla 1998 yang gagal total, Toho memutuskan untuk mencoba lagi dengan produser film Amerika. Hasil kerja sama dari sejak Godzilla 2014 ini akhirnya melahirkan Godzilla vs. Kong di tahun 2021. Bagi yang tidak tahu, film serupa diproduksi oleh Toho di tahun 1962 dan sukses besar. Bisa menyaksikan kembali versi modern dari pertarungan Godzilla dan Kong sungguh bagaikan impian yang menjadi kenyataan. Saya begitu terkesan sampai berpikir bahwa seperti inilah film Godzilla seharusnya digarap. Saya ingat betul pikiran tersebut terlintas di benak saya saat di bioskop.

Dan kemudian ada the Beatles yang senantiasa berubah menjadi lebih baik dan menciptakan sesuatu yang baru. Mereka begitu pakar dalam hal ini, begitu jauh di depan, sampai-sampai grup lain seperti Beach Boys dan Rolling Stones tertinggal di belakang. Dari Please Please Me sampai Let It Be, the Beatles tidak pernah terdengar sama. Sewaktu Beach Boys merilis Pet Sounds, the Beatles menandinginya dan keluar sebagai pemenang dengan Sgt. Pepper's. Rolling Stones hanya bisa mengekor di belakang dengan Their Satanic Majesties Request

Akan tetapi tentu saja tidak semua bisa menjadi seperti the Beatles. Mereka adalah standar dan inspirasi bagi orang-orang seperti saya yang selalu mengejar dan mencapai impian seperti mereka. Akan halnya Godzilla, perlu dicatat bagaimana mereka mencoba lagi meski gagal di kali pertama. Kalau BlackBerry adalah sebuah kisah nyata bagaimana evolusi menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda kadang diperlukan agar tidak lenyap oleh waktu, meskipun perubahan itu bukan lagi sesuatu yang digemari khalayak ramai. Dan apa pun yang mereka lakukan di Diners sekarang jelas merupakan peningkatan. Ini adalah contoh, bilamana kita sudah di bawah, maka satu-satunya yang akan terjadi bila kita mau berubah adalah peningkatan dan kemajuan...

Sunday, February 12, 2023

After Two Times

And I thought I wouldn't do it anymore! It was mentally draining the first time I went through it! But I did it and much to my surprise, I finished it faster than before. I took about six months to read the book. The second time wasn't that tough, though. Finished reading it within a month.

Confused? Let's put things in perspective. About a year ago, a friend of mine came up with the phrase at least twice. This happened after the heated discussion in our group chat. To paraphrase what he said, after reading about 600 books, he was still of the opinion that this was the best, life-changing book ever. But it wasn't easy to read, for it was so controversial. And instead of explaining what the book was all about, he brushed us off by saying we must read it ourselves, at least twice.

I took up the challenge and to a certain extent, he was right about the content of the book. It was hard to read. If you asked me, it felt like reading a badly written multiverse story mixed with the wisdom of ancient Chinese and Buddhism. It was just a bunch of things that I either wasn't interested in, didn't believe or failed to understand. Hence it was quite a torture to continue reading it. 

So why did I pick it up again? It was simply driven by the desire to fulfill what I set out to do the time I took up the challenge: to read it twice. I did promise that and I felt obliged to keep my words, even though I felt like giving up after reading it the time. I also wanted to know if it really made a difference if I read it twice. It also helped that, since I already knew what to expect from the book, it didn't feel overwhelming anymore. The first time I read it, there was this feeling that I couldn't believe I was reading such a mumbo jumbo. 

Anyway, back to whether there would be any differences if I read it twice or not, the answer is no. I didn't believe it the first time and this round, I subconsciously blocked the information that felt like utter nonsense. It just wasn't my cup of tea. Unless there was an epiphany, I doubted that things would be any difference if I read it for the third or fourth time.

However, I did learn two things from reading it twice. First of all, one might have missed some parts of the book that one read half-heartedly. You might have noticed it only if you re-read it again. The second thing was, what we were feeling at the time of reading. Our emotional state played a part here. This is when things suddenly felt relevant, as if they spoke to us directly at that particular moment. 

And this is exactly what the Beatles mean to me. I've listened to the songs not only twice, but many times for the past 27 years. I remember when I was sad and brokenhearted, Let It Be was my favourite. When I felt optimistic, I could relate with Here Comes the Sun. It is ever-changing, depends on the mood. So that's what reading does to us. It's not like the book is so magical that it provides an answer to our problem, but it's our mind that is deliberately finding something to cushion the emotion we are feeling. And this is especially true when we are feeling down.

So no, the controversial book is not doing any wonders. Even a bible is just an ordinary book if you don't believe in it. But the concept of experiencing things twice or more to better understand them is agreeable. But based on the test I just did, I have to add on that it'll only work well if you love it and believe in it. So, to quote the Beatles, all you need is love...

The clarity of it, after two times!




Setelah Dua Kali

Dan saya sempat mengira bahwa saya tidak akan mengulanginya lagi! Rasanya sungguh cape mental saat pertama kali saya membacanya. Namun saya coba lagi dan di luar dugaan, saya selesaikan lebih cepat dari sebelumnya. Sebelumnya saya butuh waktu enam bulan untuk menamatkan buku ini, tapi kali ini cuma kurang-lebih sebulan. 

Bingung? Saya ulangi lagi, kali ini lengkap dengan konteksnya. Kira-kira setahun yang lalu, teman saya memulai istilah minimal dua kali. Ini terjadi setelah diskusi sengit di grup SMA. Kalau saya jabarkan kembali apa yang terjadi, teman saya ini berpendapat bahwa setelah dia membaca sekitar 600 buku, yang satu ini masih merupakan buku terbaik yang bisa mengubah hidup seseorang. Akan tetapi, lanjutnya, buku ini tidak gampang dibaca karena sangat kontroversial. Dan bukannya menjelaskan apa sebenarnya isi buku ini, dia malah bungkam dan bersikeras bahwa kita harus baca sendiri bukunya, minimal dua kali.   

Saya terima tantangan tersebut dan ternyata dia tidak asal bicara tentang isi buku ini. Memang susah untuk dicerna. Menurut saya, rasanya seperti membaca cerita multiverse yang ditulis secara amatiran, lalu dikemas dengan budaya Cina kuno dan Budhisme. Buku ini merupakan perpaduan topik yang tidak menarik perhatian saya, yang juga tidak saya percayai dan sekaligus gagal paham. Ini alasannya kenapa buku ini sulit untuk dibaca.

Lantas kenapa saya baca lagi baru-baru ini? Saya terdorong untuk menyelesaikan apa yang saya mulai tahun lalu: baca dua kali. Singkat kata, walaupun saya sempat merasa tidak sanggup lagi saat saya selesai membaca untuk kali pertama, namun seiring dengan berlalunya waktu, saya jadi tergerak lagi untuk menepati aturan main tersebut. Lebih dari itu, saya juga ingin tahu, apa benar ada bedanya setelah membaca dua kali. Di kali kedua, tak ada lagi rasa sulit percaya bahwa ada yang sampai mengarang buku seperti ini. Pokoknya berbeda dengan kali pertama yang sungguh mengejutkan akal dan pikiran.  

Oh ya, kembali lagi ke rasa ingin tahu saya tentang apakah ada perbedaan setelah membaca dua kali, jawaban saya adalah tidak ada. Saya tidak percaya isi buku ini di kali pertama dan sekarang ini, saya tanpa sadar memblokir informasi yang terasa di luar nalar saya. Saya kini bisa berkesimpulan bahwa ini bukanlah buku yang tepat untuk saya. Tidak ada gunanya membaca berulang-kali. 

Kendati begitu, saya menyadari dua hal saat membaca dua kali. Yang pertama, kita mungkin tanpa sadar melewatkan beberapa bagian buku yang kita baca dengan setengah hati. Bagian ini mungkin baru kita perhatikan setelah kita baca ulang. Yang kedua adalah, apa yang kita rasakan saat sedang membaca. Emosi kita pada saat itu mempengaruhi kita dalam mencerna bacaan. Ini penjelasannya kenapa sesuatu tiba-tiba terasa relevan, seakan-akan kalimat tersebut berbicara langsung pada kita di saat itu juga.

Dan inilah alasannya kenapa the Beatles memiliki arti penting bagi saya. Saya tidak hanya dua kali mendengarkan lagu-lagu tersebut, namun berkali-kali dalam 27 tahun terakhir ini. Ketika saya sedih dan patah hati, saya merasa dihibur oleh lagu Let It Be. Ketika saya merasa optimis, saya merasa tergugah oleh Here Comes the Sun. Semua ini ada momen tersendiri, tergantung perasaan saya pada waktu itu. Hal serupa juga terjadi saat kita membaca. Bukan bukunya yang tiba-tiba menyediakan jawaban untuk masalah yang kita hadapi, tapi pikiran kita yang mencari solusi untuk meringankan beban emosi yang sedang kita rasakan. 

Jadi buku kontroversial ini tidaklah sakti. Bahkan kitab suci pun hanya merupakan buku biasa kalau anda tidak percaya. Akan tetapi konsep mengalami sesuatu minimal dua kali supaya kita lebih mengerti, ini benar adanya. Hanya saja, berdasarkan pengalaman saya ini, saya bisa tambahkan bahwa konsep ini hanya akan berhasil untuk hal-hal yang kita sukai dan percaya. Jadi, kalau boleh saya mengutip the Beatles, all you need is love...


Saturday, February 4, 2023

The Plastics II: Debit Cards

I had always loved the plastics since I got my first one in 2001, but the craze only started when I moved to Singapore. I'd been collecting credit cards since then. After almost two decades of doing the same thing, I'd naturally expect it to stay that way. Hence it was amusing when the scope changed recently. It expanded to debit cards as well, after I met my friend STV at Hilary's Christmas party

Talk about debit cards, I had Wise since it was still called TransferWise. I applied for it because the card design looked cool, but I never really paid attention to the usage. Then I got myself the Amaze card because it was highly recommended by Franky, the guy with a plenty of brilliant financial advices. It had been my go-to card for traveling and foreign exchange transactions for months, until the night STV shared the comparison between Amaze and YouTrip. He was of the opinion that YouTrip offered better exchange rates these days for selected currencies.

Now, I won't go in-depth on this topic. You could easily google it and find more qualified sources that showed the comparison of Amaze, Youtrip and other similar cards. I'd like to share my experience in testing out the cards instead. 

There was a reason why I ignored debit cards for the longest time. I disliked the fact that it immediately deducted your bank account the moment you used it. This was also the reason why Amaze card worked for me, because even though it was a debit card, I could link it to credit cards and I never had to worry if I still had any balances left or not.

Anyway, after that fateful night, I ended up trying out and comparing the big four in Singapore: Wise, Amaze, YouTrip and Revolut. I also explored less known cards such as Wirex, UOB Mighty FX, BigPay and DelytePay. That's when I learnt that some are really suitable for travelling purpose while others not so. 

The big four: YouTrip, Amaze, Revolut and Wise.

First things first, the account opening. The process for the big four were brilliant and seamless. Wirex was equally hassle-free, too. The application for Mighty FX, the only one from the bank that I tried, felt old-fashioned. It was as good as opening many accounts and it took weeks before the debit card was issued. BigPay application didn't work out well, too. It was stuck under the review status for more than a week, until I sent an email to give it a nudge. The customer service was surprisingly responsive, though. As for DelytePay by Matchmove, the interface worked well for account opening, but there was this lingering feeling that it was small fintech company. I mean, I'd usually receive a card in a mail with my address printed on it, but it was handwritten this round. Much to my chagrin, my name is also not engraved on the card.

In general, card activation is done in a similar method via mobile app. This is why it was quite shocking that Wise switched to a rather painstaking way for card activation. I don't even remember it was that difficult when I first had my TransferWise card. What happened was, the Wise card activation could only be done by checking the balance on the ATM. But what it didn't specify was, it could only be done using POSB ATM. Quite frustrating and I felt like I was doing User Acceptance Test for them. The other method of card activation was even more ridiculous. I was asked to use PIN to do a transaction, but this isn't even the practice in Singapore. I had travelled around the world quite a fair bit and only in Indonesia I was asked to use PIN.

Next, top-up. The best is, of course, Amaze by InstaRem. In term of practicality, no top-up is required for Amaze card as it will charge directly to a credit card that is linked to it. Revolut is right behind it on the second place. I like the fact that it leverages on Google Pay. Then, depends on the cards, some actually will incure charges when using Visa to top-up, but no extra charges when using Master (BigPay is an exception here). Wirex has fees for both Visa and Master whereas Wise still has the option to use Paynow. UOB Mighty FX relies on One Account, just like the traditional banking system. DelytePay is the weirdest among all as it has to be topped up at 7-Eleven.

In term of the interface, I like Revolut the best. It was well-thought, simple to understand and nicely animated. It is also the only one with a child account feature, just like what Get was doing before it went dysfunctional in August 2022. The rest were all right. I tried the Contact Us feature of almost all the cards, too. Again DelytePay felt like it was lagging behind because others already had a rather comprehensive FAQ and many ways for users to reach out.

Last but not least, not all are meant to be travel money cards. Only Wise, Revolut, Amaze and YouTrip easily fall into this category. Wirex is designed for cryptocurrency trading and its debit card is more of a by-product. Mighty FX felt like a half-hearted attempt to compete with others. BigPay is nowhere near the big four and DelytePay is clearly not on the same level playing field. 

I don't know if it's just me being out of touch or what, but as I discovered this, I realized that when it comes to travelling, credit cards seem to be lagging behind while these debit cards are competing to offer the best FX rates. The next trip will be quite different for me. Can't wait to put them in good use real soon!

Mighty FX, Wirex, DelytePay and BigPay.



Kartu Debit

Saya memperoleh kartu kredit pertama saya di tahun 2001 dan saya mulai mengumpulkan beraneka kartu kredit sejak pindah ke Singapura. Setelah hampir dua dekade lamanya  menekuni hobi ini dan melakukan hal yang sama, saya tertegun sendiri ketika cakupannya berubah baru-baru ini. Setelah bertemu dengan teman saya STV di pesta Natal Hilary, saya kini sibuk berburu kartu debit.

Berbicara tentang kartu debit, saya memiliki Wise dari sejak namanya masih TransferWise. Saya bikin kartu ini karena desainnya yang bagus, tapi saya hanya mencoba fiturnya belakangan ini. Di pertengahan tahun 2022, saya lantas mengajukan aplikasi kartu Amaze karena Franky sangat merekomendasikan kartu ini (dia selalu memiliki banyak nasehat bagus tentang hal finansial). Semenjak itu, kartu Amaze selalu saya pakai saat bepergian keluar negeri atau untuk transaksi yang menggunakan mata uang selain SGD. Namun itu semua berubah setelah STV memaparkan tentang perbandingan antara Amaze dan YouTrip. Menurut STV, YouTrip menawarkan kurs yang lebih bagus untuk mata uang tertentu. 

Saya tidak akan menjelaskan lebih rinci tentang hal ini, sebab anda bisa google dan cari tahu dari sumber yang lebih terpercaya tentang perbandingan antara Amaze, Youtrip dan kartu-kartu serupa. Apa yang ingin saya ulas di sini adalah pengalaman saya saat menguji-coba aneka kartu debit ini.

Ada alasan kenapa saya mengabaikan kartu debit dalam dua puluh terakhir ini. Saya tidak suka dengan konsepnya yang langsung memotong uang di rekening begitu kita bertransaksi. Satu-satunya alasan kenapa saya suka kartu debit Amaze adalah fiturnya yang langsung bertransaksi berdasarkan kartu kredit yang kita hubungkan sebagai sumber saldo. Dengan demikian saya tidak perlu memikirkan apakah saya masih memiliki dana yang tersisa di rekening kartu debit saya. 

Nah, setelah percakapan dengan STV, saya lantas mencoba empat nama besar yang mulai mencuat di Singapura: Wise, Amaze, YouTrip dan Revolut. Saya juga mengetes nama-nama yang jarang terdengar, namun sempat muncul di media sosial atau Google. Kartu-kartu tersebut adalah Wirex, UOB Mighty FX, BigPay dan juga DelytePay. Dari percobaan ini, saya pun mendapatkan ide bahwa beberapa kartu ini memang dirancang untuk liburan sedangkan yang lain beda kegunaannya. 

Empat besar di Singapura: YouTrip, Amaze, Revolut dan Wise.

Hal pertama yang saya coba adalah pembukaan rekening. Proses untuk empat nama besar tergolong sangat praktis dan tidak bertele-tele. Wirex pun bisa dikatakan ringkas. Akan halnya Mighty FX, satu-satunya kartu keluaran bank yang saya coba, terasa agak ketinggalan zaman. Kesannya seperti membuka banyak rekening dan butuh waktu beberapa minggu sebelum saya akhirnya menerima kartu debit. Pengajuan kartu BigPay pun sempat tersendat juga. Statusnya selalu under review sampai saya kirimkan email untuk bertanya lebih lanjut. Tapi pelayanan pelanggannya tergolong cukup responsif. Terakhir, DelytePay dari Matchmove, memiliki kesan perusahaan kecil. Biasanya kartu yang saya terima dikirim dengan amplop yang alamatnya tercetak secara komputerisasi, tapi yang satu ini masih ditulis tangan. Saya juga agak kecewa karena kartu yang saya terima sama sekali tidak mencantumkan nama saya. 

Secara keseluruhan, aktivasi kartu boleh dikatakan nyaris serupa dan lewat app. Inilah alasannya kenapa metode Wise sungguh mengejutkan dan repot. Seingat saya, aktivasi kartu TransferWise pertama saya pun tidak sesulit ini. Apa yang terjadi adalah, aktivasi kartu Wise hanya bisa dilakukan dengan cara mengecek saldo lewat ATM. Apa yang tidak dijelaskan secara spesifik adalah, metode ini hanya bisa dilakukan lewat ATM POSB. Saya sempat merasa frustrasi karena merasa seperti sedang membantu Wise menguji sistem. Metode lainnya bahkan lebih konyol lagi: transaksi menggunakan PIN. Padahal tidak ada yang menggunakan metode ini di Singapura. Sepanjang pengalaman saya dalam mengunjungi berbagai negara, hanya Indonesia yang memiliki pilihan menggunakan PIN saat pembayaran menggunakan kartu. 

Yang berikutnya adalah pengisian saldo. Yang terbaik tentu saja  Amaze dari InstaRem. Begitu praktis karena saldo tidak perlu diisi setelah kita menghubungkannya dengan kartu kredit. Revolut juga lumayan gampang karena terhubung dengan Google Pay. Tergantung jenis kartunya, ada yang terkena biaya bila mengisi saldo dengan Visa, tapi gratis jika kita menggunakan Master (pengecualiannya adalah BigPay yang juga gratis meski pakai Visa). Wirex memungut biaya untuk pengisian saldo dan Wise masih memiliki alternatif transfer tanpa biaya lewat Paynow. Mighty FX terasa seperti sistem tradisional karena masih mengandalkan rekening bank One Account. Yang paling tidak lazim adalah DelytePay karena saldo harus diisi di 7-Eleven.

Dari aspek aplikasi, saya paling suka Revolut. Aplikasinya mudah dimengerti dan memiliki animasi yang menarik perhatian serta informatif. Revolut juga satu-satunya yang memiliki rekening untuk anak, mirip seperti apa yang ditawarkan oleh produk Get sebelum kartu debitnya sama sekali tidak bisa digunakan lagi sejak Agustus 2022. Aplikasi kartu lainnya boleh dikatakan lumayan. Fitur Contact Us pun saya coba untuk hampir semua kartu. Sekali lagi DelytePay terasa ketinggalan karena yang lainnya memiliki FAQ yang komprehensif dan pelayanan pelanggan yang responsif. 

Yang terakhir dan paling penting adalah, tidak semua kartu dirancang sebagai kartu yang bagus kursnya untuk liburan. Hanya Wise, Revolut, Amaze dan YouTrip yang masuk di kategori ini. Wirex lebih dominan di jual-beli kripto dan kartu debitnya terasa seperti produk sampingan. Mighty FX terasa seperti usaha setengah hati untuk bersaing dengan produk lain yang serupa. BigPay masih jauh dari empat besar dan DelytePay jelas beda level. 

Jujur saya merasa seperti pemain baru di dunia kartu debit, tapi setelah saya uji dan alami, saya merasa bahwa untuk fasilitas liburan, kartu kredit ternyata kini kalah jauh dari kartu-kartu debit yang bersaing dalam menawarkan kurs paling kompetitif. Sungguh rasanya tidak sabar lagi untuk saya pakai lebih lanjut di liburan berikutnya!

Mighty FX, Wirex, DelytePay dan BigPay.

Monday, January 23, 2023

Paradigm Shift

Now here's something that I went through a couple of times in life, but only realized what it meant recently. It also got to do with the fact that I suddenly got this inexplicable interest in the phrase paradigm shift. Simply couldn't get rid of it from my mind. It felt so cool, sounded almost like paradise lost, and I couldn't help thinking that it would make a great title for my next blog post.

Anyway, this story began with a chronic addiction I had with the plastics. All this while, I always loved collecting credit cards, but I also spent some time digging into debit cards as well recently. This was triggered by the comparison between InstaRem and Youtrip debit cards that I had with a friend known as STV when we met at Hilary's Christmas party last year.

You see, prior to that, I never really paid attention to debit cards. To me, they were pretty inconvenient. But suddenly, when it came to travelling, credit cards seemed to be lagging behind while these debit cards were competing to offer the best FX rates. It was so game-changing that I had to start reading about it.

That got me thinking about two other things that happened roughly a week ago, when a friend of mine asked me about moving data to cloud. Not long after that, the same guy also did a survey in our group chat to gather the statistics of Spotify users among us. 

With regard to the former, I did exactly that about two years ago. I lived through all the changes I needed to know about the data storage, from a diskette to Apple's Time Capsule. I saw how those things were the state-of-the-art until the day they became things of the past. I remember when it suddenly made sense to use cloud and the rest is history. 

Same goes for Spotify. I was an ardent supporter of CD until I set up Google Home and tried out the music apps. It felt so practical that it changed the way I listened to music. I could be in the living room, bedroom or even on the go and the music would just follow. I never looked back since then.

This is the paradigm shift I was talking about. Just like many people, I also had this habit of clinging to the good old ways that I knew and loved, the ways I knew would work. But in this ever changing world, there'll always be technologies that are mature enough to change the way you know it and it's not necessary a bad thing. What I learnt here is, if you dared to give it a try, it might change your life forever. The choice is always yours. The question now is, will you do something about it? 

My buddy from Miyagi-Do started moving data to cloud. 



Paradigma Yang Bergeser

Pengalaman berikut ini adalah sesuatu yang sudah saya lalui beberapa kali, tapi belakangan ini saya sadari apa hikmah sebenarnya. Cerita kali ini juga berkaitan dengan frase paradigm shift yang entah kenapa terasa memiliki daya tarik sendiri. Mungkin karena terdengar mirip dengan paradise lost dan saya jadi berpikir bahwa ini akan menjadi judul yang bagus untuk tulisan saya. 

Awal kisah ini bermula dari kebiasaan saya dalam mengumpulkan kartu kredit. Ini sudah merupakan hobi dari sejak lama, tapi belakangan ini saya jadi membaca lebih lanjut tentang kartu debit juga. Semua ini dipicu oleh percakapan dengan teman saya STV mengenai perbandingan antara kartu InstaRem dan Youtrip sewaktu saya bertemu dengannya di pesta Natal di rumah Hilary tahun lalu.  

Sebelum itu, saya tidak pernah serius memperhatikan kartu debit. Bagi saya, kartu debit ini sangat tidak praktis. Namun perkembangan terkini menunjukkan bahwa kartu kredit tertinggal jauh dari kartu debit yang berlomba-lomba menawarkan kurs terbaik bagi mereka yang senang jalan-jalan. Saya jadi tertarik untuk menyelidiki lebih jauh lagi. 

Hal ini lantas mengingatkan saya tentang beberapa hal yang terjadi baru-baru ini, ketika seorang teman bertanya tentang cara memindahkan data ke cloud. Teman ini juga mengadakan survei di grup SMA untuk melihat siapa saja teman yang kini menggunakan Spotify. 

Menyimpan data di cloud adalah sesuatu yang telah saya lakukan sejak dua tahun silam. Saya sudah melewati beraneka perubahan tempat penyimpanan data, mulai dari disket sampai Time Capsule yang dijual oleh Apple. Saya lihat sendiri bagaimana teknologi yang dulunya paling mutakhir itu tersisih menjadi sesuatu yang ketinggalan zaman. Saya juga ingat saat saya akhirnya memutuskan untuk pindah ke cloud. Ada kesan bahwa memang sudah waktunya. 

Sama halnya juga dengan Spotify. Saya merupakan pendukung keras CD musik, sampai akhirnya saya memasang Google Home di rumah dan mencoba berbagai apps untuk musik. Tiba-tiba semua terasa begitu praktis sehingga mengubah cara saya mendengarkan musik. Saya bisa berada di ruang tamu, di kamar atau bahkan bepergian dan musik akan selalu melantun di telinga. Saya tidak pernah lagi memutar CD sejak saat itu. 

Jadi hal-hal di atas adalah apa yang saya maksudkan dengan paradigma yang bergeser. Seperti halnya dengan banyak orang lain, saya juga memiliki kebiasaan untuk bergantung pada cara yang saya tahu dan kenal baik dalam melakukan sesuatu. Kendati begitu, perlu diingat bahwa di dunia yang selalu berubah ini, akan selalu muncul teknologi yang akhirnya cukup matang untuk mengubah pola hidup kita dan ini bukanlah hal yang buruk. Apa yang saya pelajari dari pengalaman ini adalah, jika anda berani mencoba, pada akhirnya anda mungkin menemukan sesuatu yang bisa mengubah hidup anda. Pilihan tersebut ada di tangan anda. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah anda tergerak untuk melakukan sesuatu? 

Saturday, January 14, 2023

The X Factor

I've been doing the IT job long enough to have my fair share of success and failure. These past few years had been a roller coaster, too, from life in the of corona that change it all (pun intended) to moving office and so on. But all those paled in comparison with what happened recently. I jokingly said that perhaps it's because this is still ongoing now whereas others were distant memories. 

Seriously, it had been a while since I felt so helpless in the midst of such pressure. The last time I harboured such thoughts in mind was perhaps in early 2020, when I couldn't for the life me figure out how to solve some calculations for the statement I was working on (I eventually engaged Franky's help on this matter). Other than that, came hell or high water, I had persevered and laughed it off.

That lasted until recently, when I was reminded again that there would be times when things were beyond my control. The first was a project with a go-live date set on the week I was away on block leave. I wasn't the project manager here, but I really felt uneasy that I wasn't around to oversee and contribute my parts. Yes, delegation was in place, but it still felt like my work was half-done. It bothered me. It was as if I didn't do a good job. Couldn't imagine how the result would be.

Then, when I was in Kuching, as I waited for my daughter in front of the toilet, I received the news that a colleague had resigned. It was shocking, because I thought I had this settled right before my block leave began. I left Singapore thinking that things were under control, but it turned out that I was so wrong I had to sit down for a while. I let the news sank in, feeling disappointed before accepting the fact that there was nothing I could do until I got back to office. Then I put on my brave face and tried to enjoy the holiday.

To be honest, trying to enjoy the holiday was quite a daunting task when you had so much in mind. I couldn't help thinking that the worst was yet to come. I was so anxious until the day I could officially login again to get the latest update. Only then I realized that for case #1, the situation was not as bad as I thought. We could still pull it off. That somehow put my mind at ease. Then it dawned on me that if the decision-makers did it right, we could also fix case #2.

So what is the lesson here? While it is unpleasant when our best feels insufficient, it is important to acknowledge that there will be times when things spin out of our control, but probably not beyond someone else who is in the right position to make a difference here. It is the X factor that I always knew, but had forgotten as I got carried away by the situation. 

It is also important not to overplay the importance of oneself. The fear of not delivering is good when it pushes us further to be creative or out of the box, but not when it is getting us nowhere and self-destructive in nature. 

Thirdly, while it is completely human to be jittery as we wait in an uncertainty, only time will reveal the outcome. It can't be forced or sped up. The reality, as I learnt later on, wasn't as scary as what I had in mind. I had been worried sick for nothing. 

We all know it is easier to say it than to get it done, but it is also true that once you've done your best, you can only wait to see the outcome. Your mind may go wild with thoughts like, if only we had more control, we could have gotten it done. But that doesn't help and isn't going to happen either. So note to self, after all is said and done, just suck it up and live with it. In the event that things don't get better and take the fatal turn instead, it simply means that by God's grace, your time to exit the uncertainty has come. Just because it doesn't happen the way we want it, it's still a closure that we need!

Though difficult, but still have to smile. Audrey and I in Kuching.



Faktor X

Saya sudah berkecimpung di bidang IT cukup lama untuk memiliki banyak kisah sukses dan kegagalan. Beberapa tahun terakhir ini pun tidak ubahnya seperti kereta luncur di Dufan, mulai dari kehidupan di kantor yang berubah drastis karena korona sampai aktivitas pindah kantor dan sebagainya. Akan tetapi semua itu tidak terlihat sesibuk apa yang terjadi belakangan ini. Sambil bercanda saya berujar ke teman gereja, mungkin karena apa yang saya alami ini sedang terjadi sementara korona dan pindah kantor adalah cerita lama. 

Saya jarang merasa tidak berdaya di tengah tekanan pekerjaan. Terakhir kali saya merasa kesulitan mungkin terjadi di awal tahun 2020, ketika saya tidak mampu memecahkan formula perhitungan yang akan dipakai untuk laporan nasabah (saya akhirnya meminta bantuan Franky untuk menyelesaikan persoalan ini). Selain itu, bagaimana pun susahnya, saya hadapi dan atasi sendiri tanpa mengeluh.  

Dan semua berjalan seperti biasa hingga belakangan ini, ketika saya kembali diingatkan bahwa terkadang ada saat di mana sesuatu sudah di luar kontrol saya. Yang pertama adalah proyek yang baru bisa dimulai setelah dokumen perjanjiannya beres. Sistem itu lantas ditargetkan untuk siap dipakai pada saat saya sedang cuti wajib (di sektor finansial, cuti wajib berarti kita sama sekali tidak boleh menggunakan komputer dan mengecek pekerjaan kantor). 

Saya bukan pimpinan proyek ini, tapi tetap saja saya gelisah karena saya tidak di tempat untuk mengawasi dan mengerjakan bagian saya. Ya, saya sudah delegasikan tugas kepada kolega saya yang masih hijau tapi telah mengikuti rapat dari awal, tapi tetap saja rasanya seperti pekerjaan yang terbengkalai. Saya tidak suka perasaan ini, sebab rasanya seperti tidak bertanggung jawab. Saya sulit untuk membayangkan apa yang akan terjadi. 

Kemudian, ketika saya berada di Kuching dan sedang berdiri di depan toilet menunggui putri saya, tiba-tiba saya menerima kabar bahwa seorang kolega saya telah memutuskan untuk mengundurkan diri. Saya sungguh terkejut, sebab saya mengira bahwa perkara ini sudah saya bicarakan baik-baik dengannya. Sewaktu saya memulai cuti, saya menyangka semuanya sudah beres, tapi ternyata saya sungguh keliru, sampai-sampai saya merasa harus duduk sejenak. Saya cerna kabar tersebut dengan perasaan kecewa, lalu memutuskan bahwa saya baru bisa bernegosiasi lebih lanjut saat cuti usai. Setelah itu, saya memaksakan diri untuk tersenyum dan menikmati liburan sebisa mungkin. 

Jujur saya katakan, tidak mudah untuk berlibur ketika begitu banyak hal berkecamuk di dalam pikiran. Saya jadi berprasangka bahwa yang lebih buruk masih akan terjadi. Ada rasa tidak tenang dan perasaan tersebut baru sirna ketika tiba harinya di mana saya boleh menggunakan komputer kantor lagi. Setelah mengetahui perkembangan terkini, barulah saya sadari bahwa situasi kasus pertama tidaklah seburuk yang saya kira. Saya jadi agak lega. Untuk kasus kedua, rekan kerja saya bisa saja menarik kembali pengunduran dirinya kalau dua pimpinan divisi yang terlibat ini bersedia memberikan penawaran yang bisa disepakati bersama.

Jadi apa saja pelajaran yang bisa didapatkan di sini? Ya, memang rasanya merisaukan apabila sesuatu yang sudah kita kerjakan semaksimal mungkin masih saja terasa tidak cukup, tapi penting bagi kita untuk mengakui dan menerima kenyataan bahwa sesuatu sudah di luar kendali kita, namun mungkin masih bisa diatasi oleh mereka yang berada di posisi yang lebih tepat untuk membuat keputusan. Saya tahu apa yang dinamakan faktor X ini, tapi sekali ini saya terbawa suasana dan merasa kalap.

Hal berikutnya, juga penting bagi kita untuk tidak melebih-lebihkan pentingnya peranan kita dalam suatu pekerjaan. Ya, rasa cemas akan kegagalan dalam peran kita itu bagus bila perasaan tersebut mendorong kita untuk lebih kreatif. Yang tidak baik itu apabila kita justru merasa buntu dan mulai berpikir yang tidak-tidak. 

Yang ketiga, adalah manusiawi bila kita merasa gugup dalam ketidakpastian, namun perlu diingat pula bahwa hanya waktu yang akan mengungkap segalanya. Waktu ini tidak bisa dipaksakan, apalagi dipercepat. Kenyataan yang kemudian saya lalui itu tidaklah seburuk yang saya bayangkan, jadi boleh dikatakan kecemasan saya itu sia-sia. 

Ya, memang lebih mudah berbicara daripada menerapkan konsep ini, tapi tidak bisa dipungkiri juga bahwa setelah anda berikan yang terbaik, yang hanya bisa dilakukan selanjutnya cuma menunggu hasil akhirnya. Dalam masa penantian itu, pikiran kita mungkin berandai-andai, jikalau saya bisa ini-itu, pasti sudah beres masalahnya. Tapi semua itu hanya angan-angan yang tidak membantu. Jadi berdasarkan pengalaman ini, saya bisa katakan bahwa setelah tak ada lagi yang bisa dikerjakan, maka mulailah berserah diri. Kalau hasilnya tidak kunjung membaik dan justru jadi fatal, secara sederhana bisa ditafsirkan bahwa dalam kemuliaan Tuhan, memang sudah tiba waktunya bagi kita untuk keluar dari ketidakpastian ini. Meski tidak sesuai harapan, tetap saja merupakan akhir dari masalah yang merundung kita. Jadi tetaplah bersyukur!  

Thursday, December 29, 2022

Reputation, Pride Or Whatever It Is

Just when I thought we only had a few days left and this year seemed to end quietly, I was proven to be wrong. Apparently our group was capable enough to burn itself, even without the involvement of their favorite gas stove. The irony of democracy and free speech, I guess. Haha.

The fateful day began just like any other good morning. Unassuming, nothing looked suspicious and I was ignoring the incoming messages as I was busy re-watching Emily in Paris. By the time it caught my attention, the situation had gone bad drastically, with one party asking to be removed from the group. 

Not happening under my watch, of course. But by the time I joined the chaos, it had run its course. It then ended abruptly after the requestor figured out how to leave the group himself, but not before he left behind a trail of destruction that actually contradicted things he used to preach. 

It was silly that all this concluded in such a way, but it didn't happen overnight. If anything, the bitterness had been brewing for a year or two. Something must have gone awfully wrong after the Semarang trip. Then came the final blow today. 

But this wasn't important. My key takeaway from this incident was the reputation, pride or whatever you called it was indeed fragile and damning. That's what happened when one was trying too hard to rely upon it as the validation of his or her existence. Years of effort to build that and you had nothing left when it crumbled. I reckon that one could be emotionally distressed due to this, until you simply couldn't take it anymore.

I remember the time when I wrote about why people were different. I strongly believed that a happy childhood got a lot to do with the character development. When you grew up not lacking so many things in this material world, you tended to believe that money was all right, but not everything. This perspective was a privilege not many could have, I'm afraid. And in this case, that's when judging people based on how much they had started to happen.

To make it worse, the person who did this happened to be the same person who always glorified himself. Throughout the years, he always emphasised on how he was always true to his words, that not even 10 horses could pull them back the moment he has said things. The situation lasted for a while, until one fine day, the status quo was badly shaken. 

It was the day when the long waited grand plan became reality. He failed to deliver and suddenly couldn't prove what he said. Anything that came from him was undone by his own doing. One by one, until it all became a joke, something that you didn't take it seriously anymore. It was an eye-opener to see how a person of repute fell from grace like that. It was a mixed feeling to see him left with nothing: it was sad, funny at times, pitiful and there was also tremendous lost of respect. 

And that lasted for almost three months. You could sense that he tried to fight back for the last bits of his pride in many occasions, but there was nothing else to be salvaged. Then came today. Although he preached that he wouldn't leave the group out of respect to others, he left few minutes later. Life couldn't be more ironic than this. 

Now, make no mistake here. I still love the man. He's a good friend and his leaving the group is not the end of the world. But one important lesson here is the use of pride or reputation. It is never something we need to get so defensive about, that we feel the need to claim and disclaim in the process. By doing so, perhaps we are simply craving for validation, not exactly worthy of the respect given by others.

No, we use it to better ourself. For example, if you make a mistake, you own it up and you do it right next time, because you are proud to be someone who delivers. Before anybody else starts condemning, it already hurts your pride by the time you realize your mistake. And you'll remember that for life and emerge a better person because of it. That, I believe, is how it should be...

A better time...



Reputasi, Harga Diri Atau Apapun Namanya Itu

Sempat saya sangka bahwa tahun 2022 yang hanya tersisa beberapa hari ini akan berlalu dalam sunyi, tapi ternyata saya salah sangka. Grup WhatsApp SMA seringkali membara, dengan atau tanpa kompor gas favorit mereka. Mungkin ini adalah dampak dari demokrasi dan kebebasan berbicara, hehe.

Kisah kali ini dimulai seperti pagi di hari-hari biasa. Semuanya terlihat normal dan saya abaikan pesan-pesan yang masuk karena sedang menonton ulang Emily in Paris. Ketika saya menyadari bahwa sesuatu telah terjadi, situasinya sudah memburuk dan seorang anggota meminta untuk dikeluarkan dari grup. 

Tentu saja permintaan ini saya abaikan, hehe. Namun ketika saya mulai turut serta membuat ricuh, kegaduhan itu sendiri sudah hampir usai dan tiba-tiba berhenti ketika anggota yang selama ini mengaku tidak bisa meninggalkan grup itu akhirnya berhasil keluar sendiri. Yang agak kontroversial itu, sebelum keluar, dia masih sempat sesumbar tentang hal yang akhirnya dia langgar sendiri. 

Agak konyol rasanya bahwa pertikaian ini berakhir seperti ini, tapi semua ini tidak terjadi begitu saja. Kepahitan ini setidaknya sudah menggelegak setahun atau dua tahun silam. Sesuatu sepertinya terjadi setelah liburan bersama ke Semarang, lalu terjadilah percekcokan terakhir di hari ini. 

Keributan ini sendiri tidaklah terlalu penting. Hikmah yang bisa diambil dari kejadian hari ini justru adalah betapa reputasi, harga diri atau apapun namanya itu ternyata sangat rapuh dan mencelakakan. Ini bisa terjadi bila seseorang berusaha terlalu keras demi validasi tentang keberadaan dirinya. Bertahun-tahun reputasi itu dibangun, namun sirna begitu saja ketika runtuh. Saya rasa ini bisa menimbulkan ganjalan di hati yang lambat-laun tidak tertahankan. 

Saya ingat ketika menulis tentang kenapa setiap orang itu berbeda. Saya sepenuhnya percaya bahwa masa kecil yang bahagia itu sangat besar peranannya dengan perkembangan karakter. Bila anda tumbuh tanpa banyak kekurangan di dunia yang materialistis ini, anda mungkin percaya bahwa uang itu penting, tapi bukan segalanya. Ini adalah sudut pandang yang mungkin tidak dimiliki oleh mereka yang dulunya kekurangan. Oleh karena itu, seseorang bisa jadi tanpa sadar selalu menilai segala sesuatu dari uang. 

Yang lebih parah lagi, orang yang sama juga memiliki kebiasaan membanggakan diri sendiri. Dari tahun ke tahun dia menekankan bahwa dia selalu menepati kata-katanya. Bahkan 10 kuda pun tidak bisa menarik kembali apa yang sudah dia ucapkan. Situasi seperti ini terus berlanjut sampai hari di mana status quo ini terguncang hebat. 

Ini adalah hari di mana rencana ke Jepang yang sudah lama ditunggu itu akhirnya mulai dijalankan. Teman yang satu ini gagal mewujudkan apa yang dia ucapkan. Apa saja yang dikatakannya lantas menjadi batal karena ulahnya sendiri. Satu demi satu, sampai akhirnya terasa seperti lelucon yang tidak lagi kita tanggapi dengan serius. Melihat bagaimana seseorang yang selalu mengagungkan reputasinya menjadi terpuruk sedemikian rupa adalah sesuatu yang mencengangkan dan membuka mata. Ada beragam perasaan bercampur-aduk: ikut sedih, merasa geli, kasihan dan kehilangan rasa hormat terhadapnya. 

Dan situasi ini berlanjut hampir tiga bulan lamanya. Saya yakin yang di grup bisa merasakan bagaimana dia berusaha menggapai kembali apa yang tersisa dari reputasinya, tapi semua sudah luluh-lantak tak bersisa. Lalu tibalah hari ini. Meski dia masih berujar bahwa dia tidak akan meninggalkan grup karena masih banyak teman lain, tapi dia nyatanya keluar beberapa menit kemudian. Hidup tidak pernah terasa lebih ironis dari perisitiwa ini. 

Saya perlu jabarkan bahwa saya tetap menyayanginya sebagai teman. Dia sebenarnya orang yang baik dan keluarnya dia dari grup tidak berarti kiamat. Tapi yang ingin saya tekankan di sini adalah kegunaan dari reputasi atau harga diri itu sendiri. Ini bukanlah sesuatu yang perlu terlalu dibela sampai melibatkan banyak klaim dan pengecualian yang dibuat-buat. Kalau begitu caranya, mungkin yang bersangkutan hanyalah membutuhkan validasi dari perkataan dan perbuatannya, bukan benar-benar pantas dihormati oleh yang lain. 

Jadi bukan itu. Reputasi dan harga diri, menurut saya, adalah sesuatu yang kita gunakan untuk membuat kita menjadi lebih baik lagi. Sebagai contoh, ketika kita salah, kita mengaku dan berusaha untuk tidak mengulanginya lagi, sebab kita bangga sebagai orang yang tepat janji. Jadi sebelum orang lain mengeritik, kita sendiri sudah koreksi diri karena kita pun sangat kecewa dengan kesalahan yang kita perbuat. Kesalahan itu lantas akan selalu kita ingat dan kita akan menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya, yang berusaha untuk tidak lagi melakukan kesalahan serupa... 

Saturday, December 24, 2022

The Roles We Play

If it was entirely up to me, we wouldn't have been to Kuching at all. I didn't dislike it, but it wasn't exactly my most favorite place on earth as well. My perspective of Kuching changed over the years, from a city so impressive for a first time overseas traveller to a sleepy little town that offered nothing but kolo mee. I mentioned before about cities that I'd like to visit again, but Kuching was definitely not one of them. As luck would have it, Kuching became a neutral ground for my family gathering, so off we went.

Looking back, the trips I had this year, from Bali, Gading Serpong, Desaru Coast to India, happened simply to satisfy my needs. For me personally, the wanderlust bottled up inside for so long that subconsciously I made it all about me. It was this trip to Kuching that humbled and reminded me of something that I knew all along, but had forgotten about for quite some time: the roles we play in life. 

Yes, it was easy to make things individualistic, that they were all about us. The idea of living arbritrarily, an innocent comment originally blurted out by Parno in our group chat, fueled that thought. But then we also played many roles in life. In Kuching, I witnessed that I was a husband, a father, a son, a brother, a cousin, a nephew, an uncle and a friend. 

I realized that it mattered to me to hear whether my wife enjoyed her time in Kuching and what my daughter's opinions were. It was their first time. I chuckled when I heard my daughter saying that Kuching was a better version of Indonesia. I grinned when she complained about how difficult it was to cross the street in Kuching.

I realized how good it was to see my Mum in person again for the first time ever since life in the time of corona. She dyed her hair black as per my suggestion. My brother had slimmed down a lot to the extent that he looked gaunt. When he came towards me, he was wearing a long sleeve sweater that was once mine. He looked like the skinny me in my 20s. And there we met again. In Kuching, not anywhere else in this world.

I met my auntie who took me in almost 30 years ago. She lost weight, but still looked as fine as she could be for a person in her late 60s. When I heard her son talking to her in a rather unpleasant tone, I smiled as I was reminded of the similar mistake I made a long time ago. He'd learn as he grew older, just like I did. I also met a cousin that was born the time when I moved to Jakarta. He was now in college. How time passed! And then I saw two nieces, one was too young to probably remember who I was when I first saw her in early 2020. I never met the younger one and at her tender age, perhaps she didn't even care about meeting his uncle, haha.

Then of course there was Harry and Novi. They picked me up the last time I went to Pontianak. It was great to see them again. To smile and to laugh together. To speak in both Hakka and Teochew lingos that only our generation understood. To dine as friends and family. Happiness could be that simple, apparently. 

Like I said earlier, my perspective of Kuching changed over years. And it changed again for the past few rainy days in December 2022. It was not much of rediscovering the place, but rediscovering myself instead. And it was in Kuching, of all the places, that I re-learnt the phrase I often said: traveling is a humbling experience. Once again it was proven to be true.

The roles I play: a husband, a father, a son, a brother, a cousin, a nephew, an uncle and a friend. 




Peran Kita

Jika saja semuanya tergantung pada keputusan saya, rasanya kita tidak akan berangkat ke Kuching. Bukannya saya tidak suka, tapi Kuching bukanlah tempat favorit saya. Perspektif saya tentang kota ini berubah dari tahun ke tahun, mulai dari kota yang begitu mengesankan bagi pengunjung asal Pontianak sampai menjadi kota yang tidak ada apa-apa kecuali kolo mee. Kuching bahkan tidak termasuk dalam daftar kota-kota yang ingin saya kunjungi lagi, tapi siapa sangka akhirnya justru menjadi tempat berkumpul di penghujung tahun ini.

Jikalau saya lihat kembali, berbagai perjalanan saya di tahun ini, mulai dari Bali, Gading Serpong, Desaru Coast sampai India, semuanya terjadi karena keinginan pribadi. Telah begitu lama keinginan untuk berlibur itu tertahan, sampai-sampai semuanya direncanakan berdasarkan kemauan saya sendiri. Adalah perjalanan ke Kuching ini yang mengingatkan saya kembali tentang sesuatu yang sudah lama saya ketahui, tetapi terlupakan seiring dengan berjalannya waktu: peran kita dalam hidup ini. 

Ya, mudah untuk melihat dari sudut pandang individualistis, bahwa semuanya berfokus pada diri sendiri. Ide hidup semena-mena yang dicetuskan oleh Parno di grup SMA tanpa sadar menjadi validasi yang saya pegang teguh sampai saya akhirnya diingatkan kembali tentang peran saya dalam hidup ini. Di Kuching, saya mengalami pencerahan tentang peran saya sebagai seorang suami, ayah, anak, abang, sepupu, keponakan, paman dan teman. 

Saya menyadari bahwa pentingnya artinya bagi saya untuk mendengar apakah istri saya menikmati kunjungannya. Saya juga senang mendengarkan pendapat putri saya. Saya tergelak ketika dia menjabarkan bahwa Kuching ini mirip Indonesia, namun versi yang lebih baik. Saya tersenyum ketika dia menggerutu tentang sulitnya menyeberang jalan di Kuching. 

Saya menyadari betapa bersyukurnya saya karena bisa bertemu Mama lagi untuk pertama kalinya setelah korona. Rambutnya disemir hitam lagi karena ia mendengar masukan dari anaknya. Adik saya pun terlihat kurus dan terus wajahnya. Sewaktu saya melihatnya datang menghampiri, dia memakai baju yang saya tinggalkan dan terlihat seperti saya yang kurus di usia 20an. Dan di sana kita semua bertemu lagi. Di Kuching, bukan di tempat lain.

Saya bertemu lagi dengan tante yang menampung saya di rumahnya kira-kira 30 tahun silam. Dia pun tambah kurus, tapi masih terlihat sehat untuk seseorang yang sudah mendekati usia akhir 60an. Ketika saya mendengar putranya berujar dengan nada agak tidak sabar, saya tersenyum dan terkenang dengan kesalahan serupa yang pernah saya perbuat. Dia akan bertambah bijak sejalan dengan bertambahnya umur, sama halnya seperti saya. Selain itu, saya juga bertemu dengan sepupu yang baru lahir saat saya pindah ke Jakarta. Sekarang dia sudah kuliah. Sungguh cepat waktu berlalu! Dan kemudian ada lagi dua ponakan. Yang sulung mungkin tidak ingat lagi ketika saya bertemu dengannya di awal tahun 2020. Saya tidak pernah bertemu yang bungsu sebelumnya dan di usianya yang masih belia, dia mungkin tidak peduli dengan paman yang baru ditemuinya ini, haha. 

Lantas ada pula Harry dan Novi. Mereka yang menjemput saya ketika saya terakhir pulang ke Pontianak. Senang bisa melihat mereka lagi, tersenyum dan tertawa bersama. Berbicara dalam bahasa Khek dan Tiochiu dengan kosa kata yang khas dan hanya dimengerti oleh angkatan kami. Kita pun berkesempatan untuk bersantap malam sebagai teman dan keluarga. Terkadang kegembiraan hanyalah sesederhana itu. 

Seperti yang saya katakan sebelumnya, perspektif saya tentang Kuching senantiasa berubah. Dan di beberapa hari yang basah oleh hujan di Desember 2022 ini, sudut pandang itu berubah lagi. Kali ini bukan tentang menemukan tempat yang baru, tapi lebih cenderung tentang menemukan lagi diri sendiri yang sempat terlupakan. Dan semua itu terjadi di Kuching. Saya belajar lagi apa yang sering saya ucapkan: melanglang buana adalah sebuah pengalaman yang bersahaja. Sekali lagi frase ini terbukti benar...