Total Pageviews

Translate

Sunday, February 20, 2022

The Check-Up

Today's story had a prelude that happened back in 2008. We attended our ex-housemate's wedding in Jakarta and, as luck would have it, our flight back to Singapore was canceled. As we took the shuttle bus to Hotel Mulia, I happened to sit next to a doctor and we talked. That's when I heard the casual remark that I'd remember for life: "people are strange. They check their cars regularly, but they don't do the same for their own body."

The wedding we attended in 2008.

I heeded the advice, probably after I had kids, and I had been doing annual check-up since then. The result had been good until last October, when something called ALT was off the chart. I partly suspected it was due to vitamin C and fish oil that I consumed on daily basis. For the fact that I never fell sick in the past two years, something gotta give.

Thus began the other side of check-up that I never experienced before. Prior to this, things were fine and that was it. But now, there were actions to be done. Doctor advised me to stop taking fish oil and to start exercise regularly. Since I just finished the sessions with my personal trainer and continued with Strava time, this was covered. The doctor also wrote a referral letter for me to undergo ultrasound, to be done one month later.

I never did any medical procedure before, so I was feeling both curious and nervous at the same time. Apparently ultrasound was similar to what my wife went through when she was pregnant. The nurse applied some gels before she started scanning the tummy area. God knows what she was searching for, because the screen looked like a black-and-white TV with a very bad reception.

Few days after this was done, I went back to see the doctor. He said it was all right, but the ultrasound discovered some dodgy white nodes, so it was better to confirm if they were malicious. Again he wrote a referral letter, this time for CT scan. It took two visits to do this. First was for blood test, the second time was for the CT scan itself.

The catheter. Scary stuff!

Unlike ultrasound, CT scan looked more serious. For the first time ever in my life, I actually had a catheter inserted under my skin and into my vein. I wasn't quite sure how to react with that, so I tried not to move my arm as much as I could, haha. Then I entered a room with a donut-shaped machine made by Siemens. I lay down on a mechanical bed that moved back and forth into the donut hole. When the nurse injected something called contrast, there was this warm feeling flowing through the body. Creepy!

I heard about contrast a few years ago, when my Dad went for PET scan. It was something that would light up and was used as a marker for cancerous cells. With that in mind, I couldn't help thinking, what if the nodes were cancer? I told my wife that after four decades of eating and drinking as I wished, there were of course chances we'd find something that wasn't to our liking.

Never wore a gown before. Just had to immortalize this moment.

Since the worst case scenario was cancer, I did some soul-searching. I looked back only to realize again that I had tried my best and lived to the fullest. I definitely wouldn't like it at all if the result was bad. I might even struggle to accept it. But I wasn't that scared and I didn't have much regrets. In short, I had no problems sleeping. 

Then came the day I reviewed the result with the doctor. The mysterious white nodes were fat. Nothing was alarmingly bad, but it certainly could be better. There was no medicine for fatty liver, except a healthier diet and exercise. I told him I could live with that, thanked him and walked out from his room. 

Now that I think of it, annual check-up was a strange thing indeed. Sometimes it felt like we paid the price just to hear the doctor saying that everything was good for you to continue living happily until the next check-up. You got worried when that wasn't the case and the next thing you knew, you went through one medical procedure after another to figure out what wasn't right.

I discussed this with my friends whom were roughly the same age as me. Some said they were scared of the result and it was better not to know. Some said no point finding out if there wasn't any extra budget for the follow-up. Each opinion, I believe, was valid and as realistic as it got. My personal take, however, was to do check-up and find out the hard truth. If it turned out to be unpleasant, at least you could prepare for the next steps...


Check-Up

Cerita kali ini memiliki permulaan yang terjadi di tahun 2008. Saat itu saya menghadiri pesta pernikahan mantan teman serumah yang dilangsungkan di Jakarta. Pas pulang, ternyata penerbangan kembali ke Singapura dibatalkan. Saat berada di bis menuju Hotel Mulia yang disediakan maskapai Lufthansa, kebetulan saya duduk di sebelah dokter dan kita pun berbincang. Di kala itulah saya mendengar celetukan sang dokter yang saya ingat selalu: "manusia itu aneh. Mereka selalu rutin mengecek mobil mereka, tapi badan sendiri tidak pernah diperiksa." 

Pernikahan yang saya hadiri di tahun 2008.

Saya mematuhi nasehat itu, kalau tidak salah sejak saya memiliki anak, dan secara berkala melakukan check-up. Hasilnya selalu bagus, namun sesuatu yang disebut ALT melonjak angkanya tahun lalu. Saya curiga ini dikarenakan oleh vitamin C dan minyak ikan yang saya konsumsi setiap hari. Fakta bahwa saya tidak pernah sakit lagi sejak dua tahun lalu memang sulit dipercaya, jadi pasti ada harga yang harus saya bayar. 

Lantas mulailah sisi lain dari check-up yang tidak pernah saya alami sebelumnya. Dulu semuanya baik-baik saja, namun kali ini diperlukan tindak lanjut. Dokter menganjurkan saya untuk menghentikan konsumsi minyak ikan dan mulai berolahraga secara rutin. Saya sendiri baru saja menyelesaikan sesi olahraga bersama pelatih pribadi dan kini meluangkan waktu untuk Strava, jadi setidaknya sudah ada gerak badan. Selain itu, dokter juga menuliskan surat referensi untuk ultrasound yang harus saya lakukan sebulan kemudian. 

Saya tidak pernah menjalani prosedur medis apa pun sebelum ini, jadi saya merasa ingin tahu dan juga gugup dalam waktu yang sama. Ternyata ultrasound itu mirip dengan apa yang istri saya jalani sewaktu kita mengunjungi dokter kandungan dulu. Perawat mengoleskan semacam cairan lalu mulai menggerakkan alat scan ke sana kemari. Entah apa yang dia cari, sebab yang terlihat oleh saya hanyalah layar hitam-putih dengan tampilan seperti TV yang parah sinyalnya.  

Beberapa hari kemudian, saya kembali menemui dokter. Berdasarkan tinjauan dokter, hasilnya baik, tapi juga ditemukan bintik-bintik putih yang sebaiknya diperiksa lebih lanjut. Sekali lagi dokter menulis surat referensi, kali ini untuk CT scan. Butuh dua kunjungan untuk prosedur ini. Yang pertama adalah konsultasi dokter dan periksa darah. Kali kedua barulah prosedur CT scan.

Ini yang namanya kateter.

Berbeda dengan ultrasound, CT scan terlihat lebih serius. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, sebuah kateter dipasang menembus kulit hingga ke pembuluh darah. Saya tidak tahu harus bagaimana, jadi sedapat mungkin saya tidak menggerakkan sebelah tangan saya, haha. Saya lantas memasuki sebuah ruangan dengan mesin Siemens berbentuk lingkaran donat. Saya berbaring di atas tempat tidur mekanik yang bisa masuk dan maju-mundur di lubang donat. Ketika perawat melakukan injeksi cairan yang disebut contrast, ada rasa hangat yang mengalir di tubuh. Seram! 

Saya sempat mendengar tentang contrast beberapa tahun silam, sewaktu ayah saya melakukan PET scan. Cairan ini akan menyala dan digunakan sebagai penanda sel kanker. Saya lantas jadi kepikiran, bagaimana kalau bintik di dalam tubuh adalah kanker? Saya katakan pada istri saya bahwa setelah makan dan minum selama empat dekade, bukannya tidak mungkin kalau saya akan menemukan sesuatu yang tidak saya harapkan. 

Saya tidak pernah memakai gaun, jadi perlu saya abadikan momen ini. 

Karena skenario terburuk adalah kanker, saya jadi melihat kembali hidup saya. Sekali lagi saya menyadari bahwa saya sudah mencoba sebisa saya untuk hidup sepenuh hati. Ya, tentu saja saya tidak akan suka kalau hasil CT scan ini buruk. Saya bahkan mungkin butuh waktu untuk menerima kenyataan ini. Namun saya tidak terlalu takut dan tidak pula memiliki banyak penyesalan hidup. Secara singkat bisa saya jabarkan bahwa saya tetap bisa tidur dengan tenang. 

Lalu tibalah hari di mana dokter akan menjelaskan hasilnya pada saya. Bintik putih misterius itu adalah lemak. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, namun tentu saja hasilnya bisa lebih baik lagi. Tidak ada obat untuk yang namanya fatty liver ini, kecuali pola makan yang lebih baik dan olahraga. Saya setuju dengan pendapatnya. 

Kalau saya pikirkan lagi sekarang, check-up tahunan memang agak aneh konsepnya. Terkadang rasanya seperti membayar dokter hanya untuk mendengarkan opininya bahwa kita sehat-sehat saja sampai check-up berikutnya. Kita justru panik sendiri kalo hasilnya bukanlah yang kita harapkan dan kita pun menjalani prosedur medis satu per satu untuk menemukan apa yang salah. 

Saya berdiskusi tentang hal ini dengan teman-teman SMA yang seusia dengan saya. Ada yang berkata bahwa hasil check-up itu menakutkan dan lebih tidak tahu. Ada yang berkata bahwa percuma cari tahu kalau tidak ada uang untuk penanganan lebih lanjut. Saya rasa setiap pendapat itu sah dan realistis. Bagi saya pribadi, lebih baik check-up dan cari tahu. Kalau sampai hasil check-up itu tidak seperti yang diharapkan, minimal kita bisa mempersiapkan diri untuk langkah selanjutnya... 

Wednesday, February 16, 2022

That Feeling Of Being Left Behind

15 years are long enough to be deemed as an era. In my case, it actually covered my late twenties, my thirties and my early forties. The man, a colleague and a friend, was there like a permanent fixture in three decades of my life. Then came a day he decided to move on.

The usual drinking buddies.
Photo by Isaac.

I can't say if I was shocked, but upon hearing that, I experienced this awfully familiar feeling. The mixed feeling of being left behind, one that left you questioning a lot of things, such as why did he leave? Did I make a right decision by staying for this long? How's life going to be when he's no longer with us?

I felt this every time someone close to me was leaving the company. My mentors, a close colleague and drinking buddy, and now this fellow. But this time was so special because of what we went through together for the past 15 years, both work life and life outside work. Those days at Ong and the current work place, the food and the drink we had, those trips to Batam, Jakarta, Jogja, Kuala Lumpur and those that we planned but failed to materialize, and then the Bon Jovi concert. Those were fun, they were rock and roll.

When we were at Ong.

You'd notice that I mentioned Ong just now. The fact that we worked together in the same company before made it even more unique. I knew him when he was wearing glasses and he knew me when I was skinny. We were so young then and when I left, it felt like, "see you on the other side," because I knew we'd work together again in the next company.

Not this time, though. But we had great times and all good things must come to an end. So this one's for you, my man. To an end of an era and a beginning of your new chapter. As for that feeling of being left behind, I know I'll be fine. How can I confirm that? Well, I woke up this morning, thinking it was a new day and I got things to do. As long as I love what I'm doing, I'll be fine, regardless where I am...

When we visited Merapi.



Saat Serasa Ditinggal

15 tahun adalah waktu yang cukup lama untuk dianggap sebagai suatu era. Dalam konteks saya ini, era ini mencakup saya di penghujung umur 20an, sepanjang usia 30an dan juga awal 40an. Orang ini, baik sebagai kolega maupun teman, sudah bagaikan seseorang yang permanen di tiga dekade berbeda dalam hidup saya. Namun kemudian tiba waktunya bagi dia untuk pindah kerja.

Teman-teman minum.
Foto oleh Isaac.

Saya rasa saya tidak terlampau kaget, tapi terus-terang saya merasakan sesuatu yang sepertinya tidak asing lagi. Perasaan seseorang yang ditinggal, yang pada akhirnya membuat saya bertanya-tanya tentang banyak hal seperti kenapa dia pergi? Apakah saya membuat keputusan yang tepat untuk tetap di tempat? Seperti apa hidup saya nanti tanpa kehadirannya?

Hal ini saya alami setiap kali seseorang yang dekat dengan saya pindah kantor. Para mentor saya, seorang kolega dekat yang juga teman minum, dan sekarang orang yang satu ini. Yang membuat kejadian kali ini terasa lebih istimewa adalah apa yang sudah kami lalui bersama selama 15 tahun terakhir, baik dalam hal kerja maupun di luar pekerjaan. Hari-hari di Ong dan tempat kerja sekarang, saat kita makan dan minum, liburan ke Batam, Jakarta, Jogja, Kuala Lumpur dan juga berbagai rencana yang gagal terwujud, serta konser Bon Jovi. Semua itu berkesan, semua itu rock and roll.

Saat di Ong.

Anda lihat saya menyinggung tentang Ong di paragraf seblumnya. Fakta bahwa kami juga bekerja di perusahaan yang sama sebelumnya membuat perpisahan ini menjadi sangat unik. Saya mengenalnya ketika dia masih memakai kacamata dan dia mengenal saya ketika saya masih sangat kurus. Saat itu kita masih sangat muda sekali dan ketika saya berhenti dan pindah kerja, rasanya seperti, "sampai ketemu lagi di perusahaan berikutnya," karena kita sama-sama tahu itu akan terjadi. 

Tapi tidak demikian ceritanya kali ini. Kendati begitu, kita sudah menjalani begitu banyak hal bersama dan segala sesuatu yang baik tentu ada akhirnya. Jadi tulisan kali ini adalah untukmu, Teman. Untuk akhir dari sebuah era dan awal dari perjalananmu yang berikutnya. Meski ada rasa seperti ditinggal, saya akan baik-baik saja. Bagaimana saya bisa yakin? Hmm, tadi pagi saya bangun dan berpikir bahwa ini adalah hari yang baru dan masih ada banyak hal yang bisa saya kerjakan. Selama saya masih menyukai apa yang saya kerjakan, saya akan baik-baik saja, di mana pun saya berada... 

Saat mengunjungi Merapi.

Friday, February 4, 2022

At Least Twice

There was this funny pattern in our high school WhatsApp group: from time to time, there would be an idea that sounded so hilarious that we made fun of it, but then they actually made sense when we really gave it a thought. Off the top of my head, I could think of the grand plan to Japan and the Strava time that got me hooked.

Then came the day when we talked about a controversial book that triggered all sorts of opinions. Our friend Jimmy was adamant that it was a good book, but when asked to give a brief book review, he kept silent. He only said to us, "read it yourself, at least twice."

With Jimmy in Surabaya.
Photo by Jerold Lim.

Jimmy is known as a chatty fellow as he literally types long sentences in one chat, so it was very unusual for him to behave that way. His words got picked up and misused quickly as an in-joke among us. The phrase at least twice worked well with any sarcasm and mockery!

But just like any of its predecessors, that phrase wasn't a bad idea. When put together in a right context, not only it did make sense, it also sounded like nothing but the truth! As I pondered upon it, these three things came together and lingered. They stayed put, waiting to be told!

The first thing in my mind was the songs. The songs by the Beatles, to be specific. Stuff like Let It Be is good and it only got better after I listened to it for the second, third and what probably my one thousandth time for the past 26 years. After doing things at least twice, you might find that, to quote the Beatles, "it's getting better all the time!"  

With Yani, during our trip to Suzhou.

The next one was Suzhou. I remember the first time I visited the city. It was raining the whole day and I was supposed to stay only one night in Suzhou. I certainly wasn't impressed, but I gave it the benefit of the doubt and returned to the city again four years later. I loved it so much this round! That means, sometimes things might not be what they seemed at first and the second chance Suzhou truly deserved changed it all.

The last one happened to be its neighbouring city, Shanghai. I loved it the first time I was there as it felt like a bigger Singapore. So metropolitan, so impressive. But the second time I went there, it gave me the been there, done that kind of feeling. It just wasn't as charming as before. It was probably an illusion until you got disillusioned after the second glance.

Nanjing Road, Shanghai.

It was amazing how I ended up with three different results when I applied the concept of at least twice to what I had experienced. God knows what else you could observe if you tried it yourself, but I could tell you this much: the idea worked. And it was kinda wise to do so.

Now, for a closure, I'd love to tell you this. Looking back, and this pissed Jimmy off, I had decided that I didn't really enjoy visiting Surabaya. It's the second biggest city in Indonesia, but yet I couldn't feel the big city vibe like Jakarta. Jimmy would mumble that I must be an ass for making such a remark based on the few visits I had, but hey, I played by the rule! I visited the city at least twice, haha.



Minimal Dua Kali

Di grup WhatsApp teman-teman SMA, ada pola lucu seperti ini: dari waktu ke waktu, muncul ide yang terasa sangat konyol sehingga diolok-olok, tapi kemudian terasa masuk akal kalau dipikirkan kembali. Sebagai contoh, yang langsung terpikirkan oleh saya adalah rencana ke Jepang dan waktunya Strava yang akhirnya membuat saya ketagihan. 

Lalu tiba hari di mana kita berbincang-bincang tentang sebuah buku kontroversial yang menimbulkan berbagai opini. Teman saya Jimmy bersikeras bahwa ini adalah buku yang sangat bagus, tapi saat kita minta ulasannya, dia tidak mau menjawab. Dia hanya berkata, "baca sendiri, minimal dua kali." 

Bersama Jimmy di Surabaya.
Foto oleh Jerold Lim.

Bagi yang belum tahu, Jimmy ini dikenal sebagai pria yang paling suka menulis kalimat-kalimat panjang dalam satu kali chat, jadi tidak lazim baginya untuk tidak berkomentar. Kontan saja kata-katanya menarik perhatian dan langsung disalahgunakan sebagai lelucon. Frase minimal dua kali cocok digunakan sebagai bahan olok-olok dan sarkasme!  

Akan tetapi, sepertinya halnya dengan celetukan lain yang pernah muncul sebelumnya, frase ini bukanlah ide yang buruk. Ketika diaplikasikan dalam konteks yang benar, hasilnya terasa masuk akal dan benar. Ketika hal ini melintas di benak saya, ada tiga hal yang langsung terpikirkan. 

Yang pertama adalah tentang lagu, tepatnya lagu the Beatles. Contoh seperti Let It Be adalah karya yang bagus dan kian terdengar bagus di kali kedua, ketiga dan mungkin ke-1000 kalinya bagi saya dalam 26 tahun terakhir. Jadi dalam pengertian ini, hal yang sudah baik akan kian terasa baik bilamana dikerjakan minimal dua kali.

Bersama Yani sewaktu mengunjungi Suzhou. 

Yang berikutnya adalah Suzhou. Saya ingat saat pertama kali saya mengunjungi kota ini. Saat itu hujan sepanjang hari, sementara saya hanya menginap semalam di sana. Tentu saja saya tidak terkesan, tapi saya coba ke sana lagi empat tahun kemudian. Ternyata saya suka suasana kotanya! Ini berarti, ada kalanya sesuatu tidak bisa dinilai dari kesan pertama dan keindahan Suzhou yang saya saksikan di kesempatan kedua mengubah persepsi saya. 

Hal terakhir kebetulan berkaitan dengan Shanghai yang terletak tidak jauh dari Suzhou. Saya suka Shanghai dalam pandangan pertama karena suasananya yang mirip tapi jauh lebih luas dari Singapura. Kedua kalinya saya ke sana, saya justru mendapatkan kesan been there, done that. Kotanya tidak lagi memikat seperti sebelumnya. Artinya kesan pertama itu mungkin ilusi sampai anda tersadarkan di kali kedua. 

Jalan Nanjing di Shanghai.

Jadi tiga hal di atas adalah pengalaman yang saya dapatkan sewaktu menerapkan konsep minimal dua kali berdasarkan pengalaman pribadi saya. Anda juga mungkin bisa mengamati lebih lanjut bila anda coba sendiri. Sejauh ini, saya bisa katakan bahwa ide ini bagus dan bijak rasanya untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Nah, sebagai penutup, saya ingin mengakhirinya dengan cerita ini. Berdasarkan pengalaman saya, bisa saya katakan bahwa saya tidak begitu menyukai Surabaya. Meski merupakan kota kedua terbesar di Indonesia, Surabaya tidak memiliki nuansa kota besar seperti Jakarta. Jimmy pun mengomel saat mendengar penuturan ini, tapi saya sudah ikut peraturannya. Saya sudah ke Surabaya minimal dua kali, haha! 

Sunday, January 23, 2022

Memory And Legacy

When I did my Strava time a few days ago, I walked past the junction where my friend Eday and I once stood late at night, waiting for a cab after the Guns N' Roses concert. I took a picture of the empty junction and shared the memory with my high school group chat. Then, as I continued walking, this story came to me.

I knew this for quite some time now, but I was vividly reminded again that as time passed us by, the only thing we left behind were memories. It came right back to me the moment I saw the junction. I didn't immediately thought of how successful or brilliant Eday was, but what I recalled at that point of time was the moment we shared. A good time with a dear friend. Simple as that. It had been years since it happened, but it felt as fresh as yesterday.

Eventually, regardless what our ambition and our achievement were, it was the memories that would live on. I liked how I cherished those good memories in life. I remember the time when I wanted to be a famous writer, but it seemed like a distant memory now. I carried on writing because I loved it, but it wasn't the most important thing in the world anymore. I am not entirely sure if I lost the drive, but I guess as we grew older, the priorities shifted as well. Anyway, for all the things I'd done and failed to do, I'm pretty sure I had left behind memories that people would smile about. 

And that brought us to the legacy. In a way, it was a memory, but also a more profound body of work that was life-changing and useful to many, I suppose. I remember the conversation I had with Eday. He was riding high and I could sense his excitement when he talked about the legacy he'd one day leave behind. I was proud of him and would definitely support him as much as I could, but as I listened to him sharing his ideas, I realized that perhaps I didn't want the same thing. 

Whatever that we did, I believe, we needed to love it first. Without passion, it'd be a halfhearted attempt. I didn't say I stopped trying new things because I still did the exact opposite, for example with the talkshow I hosted every Saturday night. But it was a big deal to be in our 40s. To me, with people my age or younger dying around me, only God knows how much time I had left, so I'd rather do what I liked. 

It was like, if I were to choose between the time spent to achieve the glory and time spent with family and friends, I'd probably opt for the latter. Unless it was a hobby, something that triggered my interest, then I'd put an effort doing it. Otherwise it'd be just work, and I had given my best eight and a half hours a day (just like what Paul sang in Live and Let Die: when you've got a job to do, you gotta do it well).

it could be me at the crossroads, hence I said the things above. I don't know. I reckon not all of us would leave a certain legacy behind. If I had any, that had to be all the thoughts I'd shared on roadblog101.com. While you might or might not agree with the definitions, I hope it got you thinking about memory and legacy, too. After we were all gone, only these two things would inspire the next generation...

With Eday in Hong Kong.



Kenangan Dan Warisan

Ketika saya berjalan sore menikmati waktu Strava beberapa hari lalu, saya melewati persimpangan jalan di mana saya dan teman saya Eday pernah berdiri menanti taksi di tengah malam setelah konser Guns N' Roses. Saya mengambil foto persimpangan yang sepi itu dan berbagi cerita dengan grup WhatsApp teman-teman SMA. Kemudian, ketika saya lanjut berjalan, topik ini muncul di benak saya. 

Saya sudah tahu hal ini, tapi apa yang saya lihat barusan mengingatkan saya kembali bahwa seiring dengan berlalunya waktu, yang tersisa dari kita hanyalah kenangan. Dan kenangan itu segera muncul kembali begitu saya melihat persimpangan tersebut. Saya tidak langsung berpikir tentang betapa sukses atau jeniusnya Eday, tapi yang terkenang secara spontan adalah momen bersama seorang teman baik. Sesederhana itu. Kejadian itu sudah hampir lima tahun lamanya, tapi bagaikan baru terjadi kemarin. 

Pada akhirnya, terlepas dari segala ambisi dan prestasi kita, kenangan bersama adalah apa yang terngiang di benak kita. Bagi saya, hal ini membuat hidup terasa lebih berarti. Saya ingat waktu saya ingin menjadi penulis ternama, namun sekarang itu rasanya seperti kehidupan sebelumnya. Saya tentu akan terus menulis karena saya menyukai aktivitas ini, tapi menulis tidak lagi merupakan hal paling penting di dunia. Saya tidak tahu apakah saya patah semangat, tapi ketika kita bertambah tua, prioritas pun sepertinya berubah. Kendati begitu, untuk semua hal yang berhasil dan juga gagal saya lakukan, saya cukup yakin bahwa saya telah meninggalkan kenangan yang membuat mereka yang mengenal saya tersenyum.

Dan itu membawa kita ke legacy, yang secara harafiah bisa diterjemahkan sebagai warisan. Ini bisa dikatakan mirip seperti kenangan, tapi juga merupakan karya peninggalan yang mungkin mengubah hidup dan berguna bagi banyak orang. Saya ingat percakapan saya dengan Eday. Dia ini pria sukses dan saya bisa merasakan semangatnya ketika dia berbicara tentang legacy yang suatu hari akan dia tinggalkan. Saya bangga dengannya dan saya siap mendukung idenya sebisa saya, tapi selagi saya menyimak, saya jadi menyadari bahwa saya tidak lagi menginginkan hal serupa untuk saya sendiri. 

Apa pun yang kita kerjakan, saya percaya bahwa sesuatu perlu kita sukai terlebih dahulu. Tanpa semangat yang timbul dari rasa suka, upaya kita akan setengah hati. Ini tidak berarti saya mulai anti ide baru. Justru sebaliknya. Kesimpulan di atas ini berdasarkan apa yang saya rasakan saat mencoba hal baru, misalnya inovasi dan ide baru yang saya coba saat talkshow. Akan tetapi memasuki usia 40an juga besar artinya bagi saya. Begitu banyak orang seusia atau bahkan lebih muda dari saya yang telah meninggal. Hanya Tuhan yang tahu, seberapa banyak lagi waktu saya yang tersisa, jadi sekarang saya lebih memilih untuk mengerjakan apa yang saya sukai.

Konteksnya sekarang adalah seperti memilih, mau menghabiskan waktu untuk mengejar kesuksesan atau waktu bersama keluarga dan teman. Saya cenderung memilih pilihan kedua. Pengecualiannya adalah untuk hobi atau sesuatu yang membuat saya sungguh tertarik, maka saya pun akan meluangkan waktu dan konsentrasi untuk menekuninya. Kalau tidak begitu, rasanya seperti bekerja dan saya sudah memberikan yang terbaik untuk pekerjaan selama delapan setengah jam sehari (persis seperti apa yang dinyanyikan Paul dalam Live and Let Die: when you've got a job to do, you gotta do it well).

Tulisan ini bisa saja merupakan buah pemikiran hidup di persimpangan jalan. Saya tidak tahu. Saya hanya berpikir bahwa mungkin tidak setiap orang akan meninggalkan legacy. Jika saya memiliki satu, mungkin itu adalah pemikiran yang sudah saya bagikan lewat roadblog101.com. Dan meski anda mungkin setuju atau tidak setuju dengan definisi saya ini, saya harap anda juga berpikir tentang kenangan dan warisan juga. Setelah kita tiada, hanya dua hal ini yang tersisa untuk menginspirasi generasi berikutnya... 

Thursday, January 13, 2022

Book Review: Renegades - Born In The USA

I'm always a fan of Obama. Like the way he speaks. Smart, funny and eloquent. His life story was interesting, too. Read one from the time before he became a president and another that told about his presidency. Both were great books, so naturally, when I saw one about him and Bruce Springsteen, I was interested.

I'm also a big fan of music, but for some strange reason, I never listened to Springsteen apart from few snippets such as two verses he sang in We Are the World and a song called Streets of Philadelphia. I knew he was the Boss, but that was pretty much it. Hence I was wondering how he and Obama could come up with this book. What brought them together?

Out of curiosity, I checked out the library and got the book. It turned out to be a coffee-table book, large and lavishly illustrated. The content was originally a podcast series that was turned into a book. After reading the first few pages, it was obvious that they came together because of one vision: America.

Yes, this book was very... American. It gave you an idea of how it was like to be an American. It gave you an idea of what it meant for the two of them to be Americans. Bruce supported Obama during his campaign and they gradually became friends simply because they believed in the same America.

Born in the USA, as Bruce put it. But reading this as a non-American, I couldn't help feeling that the topic wasn't very engaging. There were things that I couldn't comprehend and after a while, I grew tired of it. As a result, this was one the few books that I glanced through instead of properly reading it. I paid attention only to certain topics, like the parts where Bruce talked about performing with a Beatle (George Harrison) and a Rolling Stone (Mick Jagger) by his sides. It was an achievement for a boy from New Jersey!

Can't say I learnt much about Obama from this book, but I certainly picked up a thing or two about Bruce. No, I'm still not a fan of his songs, but I'm quite impressed with his lifelong friendship with Clarence Clemons. That was probably the most inspiring story about America from the book. Other than that and those nice photos, it was not a great Obama book...

The book and the podcast on Spotify.



Ulasan Buku: Renegades - Born In The USA

Saya selalu menggemari Obama. Saya suka caranya berbicara. Begitu pintar, lucu dan fasih sehingga enak didengar. Kisah hidupnya pun tak kalah menarik. Saya baca buku-bukunya, mulai dari sebelum dia menjabat sampai kisah kepresidenannya. Dua buku yang bagus, maka dari itu saya jadi ingin baca saat melihat buku baru yang menampilkan Obama dan Bruce Springsteen. 

Saya juga suka musik, tapi selama ini tidak pernah benar-benar mendengarkan karya Bruce. Yang pernah saya dengar cuma suara Bruce di We Are the World dan lagu berjudul Streets of Philadelphia. Saya tahu julukannya adalah the Boss, tapi cuma sebatas itu yang bisa saya ceritakan. Oleh karena itu saya jadi penasaran, kenapa dia dan Obama bisa muncul di buku yang sama.

Saya lantas mencari bukunya di perpustakaan. Ternyata bukunya jenis coffee-table book yang berukuran besar dan memiliki banyak gambar. Isi buku ini adalah percakapan yang ditayangkan sebagai podcast, kemudian dibukukan. Setelah beberapa halaman, saya menyadari bahwa mereka bisa berbincang karena visi yang sama tentang Amerika. 

Ya, buku ini sangat bernuansa Amerika. Buku ini memberikan gambaran tentang bagaimana rasanya menjadi orang Amerika. Buku ini juga bercerita tentang apa yang Bruce dan Obama rasakan sebagai orang Amerika. Akan halnya kenapa mereka bisa muncul bersama, ini karena Bruce mendukung Obama di masa kampanye dan mereka akhirnya menjadi teman karena persamaan visi tentang Amerika.

Born in the USA, demikian judul lagu Bruce. Tapi sebagai pembaca yang bukan warga Amerika, saya merasa topik ini kurang mengena. Ada hal-hal yang tidak saya pahami dari cerita mereka, sebab saya bukan orang Amerika, dan akibatnya buku ini terasa agak membosankan. Alhasil buku ini menjadi satu dari sedikit buku yang hanya saya baca selintas dengan cepat. Saya hanya serius membaca di bagian tertentu, misalnya saat Bruce bercerita tentang pengalamannya tampil bersama seorang Beatle (George Harrison) dan seorang Rolling Stone (Mick Jagger) di sampingnya. Ini adalah sebuah prestasi bagi pemuda dari New Jersey!

Tidak banyak yang saya dapatkan tentang Obama dari buku ini, tapi ada satu-dua hal yang saya pelajari tentang Springsteen. Saya masih tidak menyukai lagu-lagunya, tapi saya terkesan dengan persahabatannya dengan Clarence Clemons. Bisa jadi persahabatan mereka ini adalah cerita yang paling memberikan inspirasi tentang Amerika. Di luar kisah ini dan foto-foto yang bagus, saya merasa bahwa ini bukanlah buku Obama yang menarik...

Sunday, January 9, 2022

Strava Time!

This story began with an attempt to prank a friend of mine. He was suddenly so keen in living a healthy lifestyle that he kept posting his Strava results to encourage us. I thought of joining this Strava thing just to catch him by surprise, because I'd be the last person he knew that would participate in this. 

Little did I know he'd be the one that had the last laugh. Everything just fell into places that I became enamoured by the Strava exercise. While I was never a fan of jogging, I always enjoyed walking since my younger days in Pontianak. I often did it with my friend Parno back then.

The bright blue sky at the end of Singapore. 

It made even more sense to do it in Singapore, because it was a city built with pedestrians in mind. So nice to walk, so many things to see. And just because I had lived here for the past 16 years, it didn't mean I had seen everything. It turned out that there were things you'd only see if you slowed down to appreciate them. 

Then of course there was the map. I never knew this before, but throughout this exercise, I found that I had this quirky fondness of looking at Google Maps, following the routes and reminiscing what I saw along the trails. For some strange reasons, it felt satisfying and memorable.

Making use of the many routes on Google Maps.

It took some trial and error to get the formula right for me. I first used Google Maps just to make sure that I was on the right track. After that, I realized I could look at the MRT map, choose two stations and check the distance on Google Maps to see if it was roughly about 5KM. If you were wondering why 5KM, that's because it could be covered within one hour of walking, which was just nice. Then, while doing that, I figured out why not following the path shown by Google, too?

it sounded like a plan, huh? But I still lost my way from time to time (if you see a pointy line or two jutting out from the trails, it meant I had taken a wrong turn). Mistakes did happen when I didn't enlarge the map to see the route correctly, haha. But apart from the user problem, I also learnt it the hard way that what Google showed was not always correct or the best route ever. It did show me routes that were meant for private access (the first Kranji trail led me to the front gate of a dormitory and the route to West Coast brought me to Anglo-Chinese Junior College and SIT) and I had to detour. When I was walking to Harbourfront, I decided to walk along Keppel when Google showed another route via Kampong Bahru.

Can you spot where I made the wrong turns?

That minor technical issue aside, it was really nice to walk in Singapore. Some routes such as Woodlands to Canberra and Farrer Park to Serangoon were almost like a straight line, very easy and relaxing. Some were more challenging and they led me to places I had never been before. I walked under the bridges, passed by the park connectors, the residence, the cemetery, the lakes and reservoir, the dams, the hills (and I gasped for air as I hiked), the marina, an island that was still green with forest and even some small alleys that went up and down and somehow reminded me of Hong Kong.

It was quite an experience, I'd say. One that I really loved. But as much as I'd like to say that the pavement was always there for pedestrians, I accidentally figured out that it wasn't true in at least two occasions. Both happened to be nearby new MRT stations for Thomson-East Coast line, Orchard and Great World, that were still under construction. There was suddenly no walkway when reaching these two, haha.

Got lost in Kanji!
Photo by Lawrence.

But in the end, it was about having some exercise that was sorely lacking in my life. At least there was one now that I would do willingly. And the result? I had one T-shirt that I seldom wore because it was too tight. But when I tried it again recently, I remember telling my wife that it fitted much better now. So yeah, it looked like this might continue. Strava time!



Waktunya Strava!

Cerita ini dimulai dari upaya untuk mengerjai teman saya. Dia tiba-tiba beralih ke gaya hidup sehat dan sering mengunggah hasil olahraganya lewat aplikasi Strava untuk mendorong kita berolahraga juga. Saya lantas iseng menggunakan Strava hanya untuk membuatnya kaget, soalnya saya mungkin adalah orang terakhir di benaknya yang bakal turut berolahraga. 

Akan tetapi tidak pernah saya bayangkan kalau dia mungkin yang tertawa paling akhir. Maksud hati mau menggoda teman, tapi malah jadi suka sendiri dengan Strava. Saya bukanlah tipe yang menyukai jogging, tapi saya selalu menikmati aktivitas berjalan kaki dari sejak waktu saya berada di Pontianak. Saya sering berjalan kaki ke mana-mana bersama teman saya Parno dulu. 

Langit biru di ujung Singapura.

Semua ini terasa lebih masuk akal lagi untuk dilakukan di Singapura, sebab kota ini memberikan perhatian khusus bagi pejalan kaki dalam rancangan tata kotanya. Sangat cocok untuk berjalan, sangat banyak pula yang bisa dilihat. Meski saya sudah tinggal di sini selama 16 tahun, ini tidak berarti saya sudah melihat semuanya. Ternyata masih ada banyak yang bisa dilihat jika saya berjalan dan mengamati pemandangan di sekeliling saya. 

Dan tentu saja kita harus berbicara tentang peta. Saya tidak pernah tahu akan hal ini sebelumnya, namun dari aktivitas Strava, saya jadi menyadari bahwa saya memiliki kebiasaan yang agak unik dan aneh. Saya suka melihat Google Maps, mengikuti rutenya dan mengingat kembali apa yang saya lihat selama berjalan kaki. Pengalaman ini terasa memuaskan dan berkesan. 

Menggunakan Google Maps untuk rute Strava.

Proses menggunakan peta ini melibatkan beberapa uji coba sebelum saya menemukan cara yang pas untuk saya. Awalnya saya menggunakan Google Maps untuk memastikan bahwa saya tidak salah jalan. Setelah itu saya sadari bawa saya bisa melihat peta MRT, memilih dua stasiun dan melihat jaraknya di Google Maps, apakah berkisar 5KM. Jika anda ingin tahu kenapa patokan saya adalah 5KM, ini karena jarak tersebut bisa ditempuh dalam satu jam perjalanan dan durasi ini terasa pas bagi saya untuk berolahraga. Dari sini saya lantas berpikir, karena Google tahu jaraknya, jadi saya ikuti saja rutenya. 

Kedengarannya seperti rencana yang bagus, bukan? Namun saya masih saja tersesat dari waktu ke waktu (jika anda melihat garis yang menonjol dan terlihat tidak lazim di rute Strava, itu artinya saya salah jalan). Kesalahan kadang terjadi karena saya tidak memperbesar peta untuk melihat rutenya dengan jelas, haha. Selain kesalahan pengguna, ada kalanya Google sendiri yang tidak beres. Terkadang rutenya melibatkan jalur privat yang tidak bisa diakses (rute pertama Kanji membawa saya ke depan kompleks asrama dan rute ke West Coast mencakup kawasan Anglo-Chinese Junior College dan SIT yang tidak dibuka untuk umum) dan akhirnya saya harus berputar mengambil jalur lain. Ketika saya menuju Harbourfront, saya memutuskan untuk berjalan menyusuri Keppel walaupun Google menunjukkan rute lewat Kampong Bahru.

Bisakah anda lihat dimana saya salah belok?

Terlepas dari masalah teknis di atas, berjalan kaki di Singapura adalah suatu kenikmatan tersendiri. Beberapa rute seperti dari Woodlands ke Canberra dari dari Farrer Park ke Serangoon hampir seperti satu jalur yang lurus, gampang dan santai untuk ditempuh. Ada pula yang lebih menantang dan membawa saya ke tempat-tempat yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Saya melewati kolong jembatan, taman, perumahan, kuburan, danau dan waduk, dam, bukit (dan saya agak terengah-engah saat jalan menanjak), marina, hutan di pulau dan juga gang-gang kecil yang naik turun dan mengingatkan saya dengan Hong Kong.

Ini adalah pengalaman yang menarik. Lewat pengalaman ini, saya juga menyadari bahwa meski saya selalu ingin mengatakan kalau trotoar di Singapura tidak pernah putus bagi pejalan kaki, ternyata asumsi ini tidak sepenuhnya benar. Setidaknya ada dua kesempatan dimana saya dikejutkan oleh penemuan tak terduga ini. Dua peristiwa ini terjadi dekat stasiun MRT Thomson-East Coast line yang sedang dibangun, Orchard and Great World. Ketika saya sedang berjalan, tiba-tiba trotoarnya hilang, haha. 

Tersesat di tengah hujan di Kranji!
Foto oleh Lawrence.

Pada akhirnya, semua ini adalah tentang olahraga yang benar-benar minim dalam hidup saya. Sekarang minimal ada satu aktivitas yang bisa saya tekuni dengan senang hati. Hasilnya? Saya memiliki sebuah kaos yang jarang saya pakai karena terlalu ketat, namun ketika saya coba lagi baru-baru ini, saya ingat kalau saya bergumam pada istri saya bahwa kaos ini terasa lebih pas sekarang. Jadi, ya, kemungkinan ini akan berlanjut terus. Waktunya Strava! 


Monday, December 20, 2021

Book Review: Journey To The West

While it's true that Pontianak is a small town that only had its first KFC outlet in year 2000 (and it still doesn't have McDonald's today), I'd say it was lively enough for us to grow up there in the 80s. When I compared notes, it turned out that our childhood was comparable with friends that grew up in Singapore. In my case, even though I was from Pontianak, I probably watched, read and played more than my fellow Singaporeans.

One of the things we had back then was something called parabolic antenna. Installed on a roof, it enabled us to receive overseas TV channels from Malaysia to China. Every night, I'd be sitting in front of TV with my mother to watch Journey to the West. It was in Chinese and I didn't understand the language, but it was still a fascinating show for a boy who was born in the year of the Monkey.

Around the same time, I also read the comics books in Bahasa Indonesia. The format was unusual, therefore memorable. It had two pictures per page and one paragraph of narration under each picture. Back in the days before Tiger Wong and the available comics were only DC, Marvel or European stuff such as Asterix and Tintin, this one became my earliest exposure of Chinese cultures. 

In a way, I guess you can't be Chinese without knowing about Journey to the West at all. It was featured so prominently throughout the years in every phase of my life, be it on TV, comics (most notable was the first arc of Dragon Ball) or films. Even Stephen Chow had two spoofs or more about the Monkey King. When I saw the English version of the novel at the book shop, I was so curious I simply couldn't help searching for it at the library.

Now that I'm in my forties, I had a better understanding about Chinese cultures, including the historical journey of Xuanzang to India. Re-reading the book again, albeit the abridged version, gave me a rather interesting insight about this classic. This was indeed a brilliant novel!

It was basically a three-part story which began with the birth of Monkey. It quickly established how powerful he was, culminating with the Monkey wrecking havoc in heaven and it ended with his downfall. The second part was the journey to the west that started 500 years later. While each chapter wasn't the same, I couldn't help feeling that was rather formulaic. You could see the pattern in each story, i.e. Xuanzang was captured and Wukong would save him either by defeating the demons or seeking assistance from the deities. The last part was about the time they reached India.

It was an easy reading and the first part was the most interesting one. The translation was as good as it could be, though it would help if it used the pinyin for names of the deities instead. For example, it took me quite some time to figure out that the Divine Kinsman was actually Erlang Shen, haha. The storytelling was smart, emphasized by the excellent choice of words used here, especially the poetry. The interaction among disciples, particularly Wukong and Bajie, were the source of amusement. 

It was also interesting to learn how Taoism, Buddhism and, to a certain extent, Confucianism coexisted and were incorporated into the story. It was through the reading of this book that I first realized all the gods from Jade Emperor to Nezha were actually from Taoism, which was native to China. This is why journey to the west happened: because they wanted to obtain the real teachings of Buddha in India.

Overall, it was a fun reading. As I read on, suddenly the scenes that I watched in the past kept flashing back. I remember when Wukong tried to jump out of Buddha's palm, the time he was defeated by Hong Hai-er, the turtle that shook them off while they crossed the river and many more. Good times! 

Journey to the West.



Ulasan Buku: Perjalanan Ke Barat

Pontianak mungkin hanyalah sebuah kota kecil, yang sedemikian kecilnya sehingga baru memiliki KFC di tahun 2000 (dan sampai hari ini pun belum ada McDonald's), tapi saya rasa tetap saja memiliki cukup banyak hiburan bagi generasi yang tumbuh di tahun 80an. Ketika saya mencari tahu tentang masa kecil teman-teman di Singapura, ternyata apa yang saya lewati cukup sebanding dengan pengalaman mereka. Bahkan boleh dikatakan kalau sebenarnya saya lebih banyak menonton, membaca dan bermain game bila dibandingkan dengan mereka yang berada di Singapura. 

Salah satu keunggulan kita yang tinggal di Pontianak pada saat itu adalah antena parabola. Antena yang dipasang di atap rumah ini memungkinkan kita untuk menangkap siaran dari Malaysia sampai Cina. Setiap malam, saya akan duduk di depan TV bersama ibu saya untuk menonton Perjalanan ke Barat. Film seri ini ditayangkan dalam Bahasa Mandarin. Walaupun saya tidak mengerti, tontonan ini tetap saja menarik bagi anak yang lahir di tahun monyet. 

Di saat yang sama, saya juga membaca komiknya yang berbahasa Indonesia. Formatnya tidak begitu lazim, karena itu saya ingat betul. Komik ini memiliki dua gambar per halaman dan setiap gambar memiliki narasi satu paragraf. Jauh sebelum Tiger Wong, di zaman yang hanya memiliki komik DC, Marvel dan bacaan dari Eropa seperti Asterix dan Tintin, komik Perjalanan ke Barat ini mengenalkan saya pada budaya Cina. 

Saya rasa boleh dikatakan bahwa tidak mungkin bagi orang keturunan Cina untuk sama sekali tidak mengetahui tentang kisah Perjalanan ke Barat. Dalam setiap jenjang kehidupan saya, cerita ini senantiasa terdengar, baik dalam bentuk film seri di TV, komik (dan yang paling terasa kemiripannya waktu itu adalah kisah pertama Dragon Ball) serta film-film bioskop yang dibintangi oleh Stephen Chow. Sewaktu saya melihat buku dalam versi bahasa Inggris baru-baru ini, saya jadi tergelitik untuk mencari bukunya di perpustakaan.

Sekarang, di usia 40an, saya memiliki pemahaman yang lebih baik tentang budaya Cina, termasuk sejarah petualangan Xuanzang ke India. Setelah membaca kembali buku ini, meskipun hanya versi ringkasnya, saya bisa merasakan betapa buku ini sebuah karya klasik. 

Berdasarkan alur cerita, sebenarnya kisah ini bisa dibagi tiga. Bagian pertama adalah tentang lahirnya Kera Sakti dan petualangannya yang mengguncang langit dan surga. Sepak-terjang Wukong akhirnya dihentikan oleh Budha dan dia dihukum 500 tahun lamanya. Setelah Wukong dibebaskan oleh Xuanzang, bagian kedua yang mengisahkan perjalanan ke India yang pun dimulai. Setiap bab memang berbeda isinya, tapi ada kesan bahwa ceritanya ditulis berdasarkan pola yang sama. Pokoknya Xuanzang selalu ditangkap dan Wukong akan menolongnya, baik dengan cara membasmi siluman ataupun meminta bantuan dewa-dewi. Bagian terakhir adalah tentang perjumpaan dengan Budha di India. 

Kisah Perjalanan ke Barat ini gampang dibaca dan saya rasa bagian pertama adalah yang paling lucu dan heboh. Terjemahan bahasa Inggrisnya pun bagus dan akan lebih baik lagi kalau penerjemah menggunakan nama asli dewa-dewi yang diceritakan. Sebagai contoh, saya harus mencari cukup lama di internet untuk menemukan bahwa Divine Kinsman itu sebenarnya Erlang Shen, haha. Gaya bahasanya bagus, terutama karena penggunaan kata-kata yang cocok di bagian puisi.

Yang tidak kalah menariknya adalah cerita tentang Taoisme, Budhisme dan Konfusianisme. Lewat buku ini, saya baru diingatkan kembali bahwa banyak dewa-dewi, misalnya Raja Langit dan Nezha, adalah bagian dari ajaran Taoisme yang berasal dari Cina. Inilah alasannya kenapa Perjalanan ke Barat terjadi: karena Xuanzang ditugaskan untuk mengambil kitab suci Budha di India.

Secara keseluruhan, ini adalah bacaan yang santai dan lucu. Saat membaca, saya pun teringat lagi dengan berbagai adegan yang pernah saya tonton sebelumnya. Saya jadi ingat dengan adegan saat Wukong melompat dari tapak Budha, saat dia dikalahkan oleh Hong Hai-er, tentang kura-kura yang marah dan membuat kitab basah di sungai dan masih banyak lagi. Pokoknya berkesan!