Total Pageviews

Translate

Saturday, June 13, 2020

Book Review: Dreams From My Father

I am a fan of Barack Obama. He's a great orator with a good sense of humour. He is also a very charismatic fellow and most importantly, he seems genuine. There's a certain sincerity when he speaks. The fact that he ever lived in Indonesia is also quite an endearing factor to me. On top of that, he honored Sir Paul McCartney with Gershwin Prize and was, in turn, endorsed by the ex-Beatle, so what's not to love about Obama? 

I watched Obama quite a fair bit on YouTube, from talk shows with Ellen, Stephen Colbert, Jimmy Kimmel, etc. to the speech he made in many parts of the world, including Indonesia. He can talk about anything and he knows what he's talking about. He's knowledgeable and so talented that he can go impromptu. His speech, from his choice of words and the way he says them, is very eloquent. I don't speak well, let alone make a speech, so he's like a role model to me.

Dreams From My Father.

In a Netflix show hosted by David Letterman, a book called Dreams From My Father was mentioned. It occurred to me that I never really read about his life before. I got curious about his autobiography, so I ordered one from bookdepository.com. It turned out to be quite an interesting book and an eye-opener for one who had never visited the USA.

First of all, I found that America is a very confusing country. Colours really matter there. The country adored and gave us people like Michael Jackson and Michael Jordan, but yet most of Black people were treated differently. I mean, as a Chinese who grew up in Indonesia, I could understand the discrimination to a certain extent, but the African Americans seem to have it worse.

The Colbert Report - President Obama delivers the decree! It's funny!

As if this isn't complicated enough, Obama was born to a Kenyan father and a white mother. He was only half-black. During his formative years, he was raised by his mother and maternal grandparents, but the color of his skin is dark, so he couldn't be white. As a result, he had his fair share of hardship. But he was really loved and while he never really had a father figure, it did help that his mother's side didn't bad-mouth his father.

I especially liked chapter two that told about his time in Jakarta. It was the 60s, a different era, and it was interesting to see it from Obama's point of view. Imagine a black kid running around, chasing kites on a muddy kampong road. Who on earth who would have thought that this kid would be the 44th president of the United States? One interesting part from this chapter was when his mother recognized the laid back nature and poor education in Indonesia wouldn't be good for his son, so she sent him back to Hawaii.

Presidential Medal of Freedom, featuring Michael Jordan, Bill Gates, Bruce Springsteen and many more. 

The second part of his life, when Obama finished school and moved to Chicago, was very American. I'm not sure if I understand it well, but he was like a community worker or organizer that gathered the Black people for rallies and good causes. There were few moments when he showed his talent in making speeches, but he was yet to become Barack Obama that we know now.

The last part of the book was about his time in Kenya. Barack only met his father once in Hawaii, when he was around 10. His father died of a car accident roughly a decade later and Obama eventually visited Kenya to meet his family. This story was like an adventure by itself, very African this time. His father was a highly educated man that was once successful but then fell from grace. Barack have many siblings in Kenya as his father had a few wives. He learnt about his ancestors and heritage. The story of his grandfather and father was then beautifully told like a folklore by his grandmother.

Obama addresses the Muslim world in Indonesia.

The book did a good job in telling the colourful life of Barack Obama. He was not born rich. He was one of us, as Indonesia would always be part of his life. He was once young and wandered around, too, trying to figure out who he was. Then we had the eight years when he was a president. On a personal level, it is good to know that a left-handed man could achieve so much in a right-handed world! Last but not least, after reading the book, I'm also wondering if I should visit Hawaii or not!



Ulasan Buku: Mimpi Ayah Saya

Saya adalah seorang penggemar Barack Obama. Dia seorang ahli pidato dengan selera humor yang elegan. Karismatik pembawaannya dan yang lebih penting lagi, dia santai dan tampil apa adanya sehingga ucapannya terdengar meyakinkan. Fakta bahwa dia pernah tinggal di Indonesia juga menjadi daya tarik tersendiri. Selain itu, dia pernah memberikan sebuah penghargaan tertinggi di bidang musik pada Paul McCartney yang kemudian berbalik memujinya saat menerima penghargaan. Seorang presiden yang disanjung oleh mantan anggota Beatles! Apalagi yang kurang mengagumkan dari Obama? 

Saya terkadang menonton Obama di YouTube, mulai dari acara yang dipandu oleh Ellen, Stephen Colbert, Jimmy Kimmel dan lain-lain. Saya juga menyimak pidato resmi yang ia sampaikan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Dia bisa berbicara tentang banyak hal dan dia menguasai topik yang ia bicarakan. Pengetahuan dan talentanya memungkinkannya untuk berbicara panjang-lebar tanpa naskah. Pidatonya, mulai dari pilihan kata sampai nada bicaranya, sangatlah berkesan. Saya tidak pandai berbicara, apalagi berpidato, jadi saya sungguh mengidolakannya.

Dreams From My Father.

Di acara Netflix yang dibawakan oleh David Letterman, Obama sempat menjawab pertanyaan David tentang buku berjudul Dreams From My Father. Lantas terpikir oleh saya bahwa saya belum pernah membaca tentang kisah hidupnya. Karena penasaran, saya memesan otobiografi Obama lewat bookdepository.com. Buku ini cukup menarik dan membuka wawasan saya tentang Amerika, terutama karena saya belum pernah ke sana. 

Pertama-tama saya merasa bahwa Amerika adalah negara yang sangat membingungkan. Warna kulit benar-benar bisa menimbulkan perbedaan bagi mereka yang hidup di sana. Bayangkan sebuah negara yang memuja para bintang seperti Michael Jackson dan Michael Jordan, namun negara yang sama juga memiliki perlakuan tidak adil bagi rata-rata orang kulit hitam. Sebagai orang Tionghoa yang besar di Indonesia, saya bisa mengerti tentang diskriminasi, tapi sepertinya orang Negro di sana lebih parah nasibnya.

The Colbert Report - President Obama delivers the decree! It's funny!

Jika ini masih belum cukup rumit, maka bayangkan pula nasib Obama yang terlahir dari ayah berbangsa Kenya dan seorang ibu berkulit putih. Dia cuma setengah hitam! Dari kecil hingga beranjak dewasa, dia diasuh oleh ibu dan orang tua ibunya, tapi Obama berkulit gelap sehingga dia tidak bisa menjadi warga kulit putih. Alhasil, dia terkadang mendapat kesulitan karena warna kulitnya. Syukurlah dia mendapatkan kasih sayang yang cukup. Meski dia tidak pernah memiliki seorang ayah, keluarga ibunya tidak menjelek-jelekkan Obama Senior yang meninggalkannya dari sejak kecil. 

Saya suka bab dua yang menceritakan pengalamannya sewaktu hidup di Jakarta. Ini adalah pertengahan tahun 60an, ketika Soekarno baru saja tumbang. Menarik rasanya bisa melihat Jakarta tempo doeloe lewat sudut pandang Obama. Saat itu dia hanyalah seorang bocah kulit hitam yang berlarian mengejar layang-layang di jalanan kampung yang berlumpur. Siapa yang menyangka bahwa anak kecil di jalanan Jakarta ini kelak akan menjadi presiden Amerika yang ke-44? Satu hal unik dari bab ini adalah ketika ibunya menyadari bahwa kehidupan dan pendidikan Jakarta yang terbelakang  itu tidak baik untuk masa depan anaknya. Obama pun dikirim kembali ke Hawaii.

Presidential Medal of Freedom, featuring Michael Jordan, Bill Gates, Bruce Springsteen and many more. 

Bagian kedua dari hidupnya bermula ketika dia menyelesaikan pendidikan dan pindah Chicago. Kisah berikut ini sangat bernuansa Amerika. Saya tidak sepenuhnya memahami apa yang dia kerjakan. Profesinya saat itu adalah sebagai koordinator yang berbicara dengan para warga kulit hitam di Chicago dan menggalang massa untuk perubahan dan perbaikan taraf hidup. Ada beberapa peristiwa dimana kemampuannya dalam berorasi mulai terlihat, namun dia masih belum sepenuhnya menjadi Obama yang kita lihat sekarang. 

Kisah hidup yang terakhir diceritakan di buku tersebut adalah saat dia berada di Kenya. Barack hanya pernah bertemu sekali dengan ayahnya di Hawaii, saat ia berusia 10 tahun. Satu dekade kemudian, ayahnya meninggal karena kecelakaan mobil di Nairobi. Sebelum ia melanjutkan pendidikan di Harvard, Obama akhirnya memutuskan untuk mengunjungi kampung halaman ayahnya. Bagian ini bagaikan sebuah petualangan yang kali ini bernuansa Afrika. Ayahnya juga lulusan Harvard, sempat berjaya di posisi tinggi di Kenya sebelum akhirnya jatuh miskin dan terpuruk. Barack memiliki banyak saudara tiri karena ayahnya memiliki beberapa istri. Di Kenya, dia mencari tahu tentang asal-usul leluhurnya. Riwayat kakek dan ayahnya pun diceritakan kembali oleh neneknya dalam ulasan yang menyerupai kisah legenda setempat.

Obama addresses the Muslim world in Indonesia.

Buku ini memberikan gambaran tentang hidup Obama yang melintas benua. Dia tidak terlahir kaya, namun dia bisa dikatakan sebagai salah satu dari kita, terutama karena Indonesia akan selalu menjadi bagian dari hidupnya. Suatu ketika di masa lalu, dia juga seorang anak muda yang berkelana mencari jati dirinya sebagai orang kulit hitam. Bertahun-tahun kemudian, dia menjadi presiden sebuah negara adidaya selama delapan tahun. Secara pribadi, saya merasa senang dan terinspirasi karena ada orang kidal yang begitu sukses di dunia yang didominasi oleh orang-orang tangan kanan. Dan... setelah membaca buku ini, saya pun berpikir, bagaimana kalau misalnya liburan ke Hawaii? Haha!

Friday, June 12, 2020

Universitas Kehidupan

Dalam Universitas Kehidupan, 

Future expectation
Merupakan ilmu tertinggi dari segala ilmu apa pun,
Karena dengan bisa memprediksi masa depan,
Kesempatan meraih peluang dan masa depan yang lebih baik, menjadi lebih besar dan pasti.

Ilmu pengetahuan umum dan segala ilmu-ilmu lainnya,
Bahkan rumus-rumus dan cara-cara,
Bisa didapatkan dari Mbah Google yang tinggal kita klik.

Seiring dengan usia yg terus bertambah ,
Dan lepas dari bangku sekolah serta bangku dunia kerja,
Keinginan kita untuk dianggap hebat serta pengakuan pun kian terasa tawar,
Semakin tidak diperlukan lagi.

Kita hanya menunggu hari esok,
Apakah prediksi kita benar atau tidak,
Atau bulan bahkan tahun depan,
Semua tergantung diri sendiri yang tentukan.

Dari semua itu,
Yang terpenting dan belum berubah, yakni harus hidup sehat dan tetap sehat.

Jika seseorang bisa mencapai tahap yang memenuhi syarat tentang keakuratan future expectation,
Tempat dan ruang tidak mengikat kita lagi, 
Kita tidak harus atau mesti di suatu tempat,
Bahkan ikatan lokasi pun bisa dilepas,
Jika capai tahap memenuhi syarat.

Ini pelajaran terakhir dari sekolah tanpa bangku dan tanpa guru,  
Pelajaran terakhir dari Universitas kehidupan, 
Dengan juri dan hakim yang paling adil sedunia.

Titelnya pun tak diperlukan, 
Bahkan ijazah juga tak diperlukan,
Karena tak ada boss yg mampu menggaji.

Namun kebanyakan hanya menyangka tahu,
Dan alhasil sering di-bully oleh bursa.

Universitas Kehidupan.

Sunday, June 7, 2020

Still The First Impression

When I wrote about the first impression of countries that I had visited (including Indonesia), I realized that I only visited 16 countries thus far. Yes, 16, if I counted Macau and Hong Kong, since both have their own flag and currency, haha. Anyway, here's the other half of the list, written from the perspective of someone from a small town called Pontianak

When I visited Brunei, I kept thinking of how surreal that the country is in the same island as my hometown. It felt as if Pontianak was just somewhere down the road. Furthermore, for a country with currency pegged to SGD, I was expecting an advanced country like Singapore. But Brunei was different. Not only it was less developed, it also felt very Islamic. In fact, it was the first and only time that I ever visited mosques as tourist spots. They were really grand! And the Empire Hotel that is directly facing the South China Sea? Majestic! I said it before that I didn't have much regrets in life, but now that I thought of it, not staying there was probably one of the few regrets I had, especially because I never thought of going back to Brunei anymore!

At the shopping mall near the Omar Ali Saifuddien Mosque, Bandar Seri Begawan.
Photo by Swee Hin.

After Brunei, I had my first visit to China. Of all the places, I went to this city called Nanning. Never heard of it? Me, too. I originally thought it was Nanjing, but it was not misspelled. After a short transit at Baiyun International Airport in Guangzhou, Nanning Wuxu International Airport looked tiny. But China is a huge country and it didn't take look for first-timers to notice that. The road was so spacious! I didn't think of Nanning was a tourist destination then, but one would have a stopover there if they wanted to go Guilin. I remember only Wal-Mart and Nanning Zoo throughout the visit, haha. And the notoriously dirty toilets in China? No, it wasn't that bad, just like any average toilets you'd find in other countries.

In 2010, I finally got a chance to travel to a country I always wanted to see: Laos. I always found Laos enigmatic, because I almost never heard of news about the landlocked country. I flew to Vientiane via Kuala Lumpur. The capital city was unbelievably quiet. Even Pontianak was more crowded! When I was there, Swensen's was the only Western restaurant in Vientiane. The main attraction was temples. Was it boring? No, I quite enjoyed my short visit there. I rode a bicycle for sightseeing, sampled the French influenced food, had a peaceful afternoon stroll along the Mekong River. Laos was neither a rich nor modern country, but it felt peaceful.

In Vientiane, 2010.
Photo by Benny.

Two years later, I went to Macau with my parents. Up until then, Singapore was the smallest country I ever visited, but it turned out that Macau was even smaller! But Macau was unique thanks to the Portuguese influence. You could see things written in Portuguese, but yet the atmosphere felt undeniably Chinese. You could see casinos everywhere, but some parts of the city were not so glamorous and looked rather dirty. The Portuguese egg tart might be more famous, but it was overrated and definitely no match for Pontianak egg tart, haha.

Then there was Japan. It was a big deal! A big chunk of influences in my younger days, from Godzilla, Gavan, Dragon Ball, Street Fighter, Super Mario to the Legend of Zelda, all came from Japan! To simply be where the games, films and comics you loved came from was mind-blowing! Tokyo was a nice place to be. The people were helpful. The toilets were high-tech and came with a lot of buttons. Tokyo also had a wide range of super delicious food and on top of that, there was Disneyland, where the best childhood dreams came true! In all seriousness, if there is only one place that Pontianak people of my generation can visit in a lifetime, then the choice is obvious: Tokyo! Japan trip was a fantastic experience and I'd certainly come back for more!

Exploring Asakusa, Tokyo.
Photo by Evelyn Nuryani.

How about United Kingdom? Well, this one was probably not for everyone, but I loved London. Sweeney Todd, the main character from a musical named after him, once sang, "there's no place like London," and he was right! That gloomy weather, that British accent, that neighbourhood around Notting Hill, that modern tale of Harry Potter, they were so charming that I fell in love with London. The capital city was old, but classically beautiful. But the main attraction for me? Abbey Road. That zebra-crossing that I stared at when I was a high school student. I was perhaps the only kid my age that loved the Beatles in Pontianak and to have a glimpse of Abbey Road Studios years later was like paying my dues to the heroes that changed my life. 

Just a train ride away, there is France in the Europe continent. I remember Gare du Nord, the train station, the first impression I had about Paris. It was... messy. Throughout my stay in Paris, I was somehow nervous, probably due to the sight of military soldiers carrying rifles. My visit took place several months after the November 2015 terrorist attacks, so while the view of Eiffel Tower and Seine River was breathtaking, I didn't really enjoy it. In fact, didn't remember seeing Paris the City of Light at night (that's why I always have the illuminating image of Singapore as City of Light instead).

To Moulin Rouge!
Photo by Evelyn Nuryani.

Finally, there was Myanmar in 2017, the latest foreign country that I visited thus far. I couldn't shake off the feeling that Yangon was actually hotter than Pontianak! Other than that, I was actually impressed that the Ooredoo's 4G signal was so good, even on mountaintop, that it would put Indonesia's Telkomsel to shame. Myanmar is a Buddhist country and the great Shwedagon Pagoda that shines brightly at night makes sure that tourists know about it. Nice place, I certainly don't mind going back, probably to Mandalay next time.

So where's my next destination? I don't know. May be Sweden? Thought of going there to see the first IKEA and the country was in my mind again after I read the story about an Indian who cycled to Sweden for love. How about Kazakhstan, the country where Borat came from? Taiwan for family trip? Armenia? Or perhaps Guam? So many ideas, but can't go anywhere in the time of corona, haha. Anyway, regardless where I go, it'll be interesting because of the Pontianak perspective that I have. I might have been staying in Singapore for 14 years, but deep down inside, I'll always be the small town boy that is fortunate enough to see the world!

Asking for direction in Yangon, Myanmar.
Photo by Keith.



Masih Tentang Kesan Pertama

Sewaktu saya menulis topik kesan pertama tentang negara-negara yang pernah saya kunjungi (termasuk Indonesia), saya menyadari bahwa saya baru mengunjungi 16 negara sampai sejauh ini. Ya, 16, jika saya hitung Macau dan Hong Kong juga, karena dua-duanya memiliki bendera dan mata uang masing-masing, haha. Berikut ini adalah kisah singkat tentang delapan negara yang terrsisa dari daftar, ditulis dari sudut pandang orang Pontianak.

Ketika saya mengunjungi Brunei, terngiang-ngiang di benak saya bahwa negara ini sesungguhnya berada di pulau yang sama dengan kampung halaman saya. Rasanya seakan-akan Pontianak itu ada di ujung jalan. Selain itu, untuk negara yang mata uangnya memiliki nilai sama dengan SGD, saya membayangkan bahkan negara ini akan maju seperti Singapura. Akan tetapi tidak begitu, ternyata. Brunei tidak begitu modern. Nuansanya pun Islami, bahkan lebih kental dari Malaysia. Boleh dikatakan bahwa ini adalah pertama dan sekali-kalinya saya mengunjungi mesjid sebagai tempat wisata. Sungguh megah arsitekturnya. Dan Empire Hotel yang langsung menghadap Laut Cina Selatan benar-benar memukau. Sebelumnya pernah saya katakan bahwa saya tidak memiliki banyak penyesalan dalam hidup ini, namun kalau dipikirkan lagi, keputusan untuk tidak menginap di hotel ini adalah salah satu dari sedikit penyesalan yang ada, terutama karena saya tidak pernah berpikir untuk kembali ke Brunei lagi!

Di pusat perbelanjaan Mesjid dekat Omar Ali Saifuddien, Bandar Seri Begawan.
Photo oleh Swee Hin.

Setelah Brunei, says pergi ke Cina untuk pertama kalinya. Dari berbagai tempat yang mungkin dikunjungi, saya ke kota bernama Nanning. Tidak pernah terdengar sebelumnya?  Saya juga merasakan hal yang sama. Awalnya saya kira kota Nanjing, tapi ternyata tidak salah eja namanya. Sesudah transit di Bandara Internasional Baiyun di Guangzhou, Lapangan Terbang Wuxu di Nanning terlihat kecil. Akan tetapi Cina adalah negara yang besar dan tidak butuh waktu lama untuk melihat luasnya Cina. Jalannya begitu lebar! Nanning tidak tampak seperti tempat tujuan wisata, tapi turis mungkin singgah di sana saat hendak menuju Guilin. Saya hanya ingat dengan Wal-Mart dan Kebun Binatang Nanning selama berada di sana, haha. Dan bagaimana pula dengan mitos toilet Cina yang terkenal jorok? Tidak terlalu buruk, sebetulnya. Hampir sama dengan toilet di negara lain. 

Di tahun berikutnya, 2010, saya akhirnya berkelana ke negara yang senantiasa ingin saya kunjungi: Laos. Saya selalu merasa bahwa Laos itu misterius, sebab jarang terdengar beritanya. Saat itu saya terbang ke Vientiane melalui Kuala Lumpur. Ibukota negara Laos ini sangat sepi! Bahkan Pontianak pun terasa lebih ramai! Di kala itu, Swensen's adalah satu-satunya restoran asing di sana. Atraksi utama di Vientiane adalah kuil-kuil Budha. Apakah membosankan? Tidak juga, saya menikmati kunjungan singkat di Laos. Saya berkeliling kota dengan sepeda, mencicipi makanan yang merupakan perpaduan lokal dan Perancis, serta berjalan santai menyusuri Sungai Mekong. Laos tidaklah maju dan kaya, tapi terasa damai di sana.

Di Vientiane, 2010.
Foto oleh Benny.

Dua tahun kemudian, saya membawa orangtua saya ke Macau. Sebelumnya, Singapura adalah negara terkecil yang pernah saya kunjungi, namun siapa sangka Macau ternyata lebih kecil lagi? Kendati begitu, Macau terasa unik karena pengaruh budaya Portugis. Banyak tulisan Portugis di mana-mana, tapi kotanya juga bernuansa Cina. Kasino terlihat di setiap sudut kota, namun ada juga bagian kota yang terlihat kumuh dan kotor. Sempat saya coba pula tar susu Portugis terkenal, tapi tidak terlalu enak dan masih kalah dengan tar susu Pontianak, hehe. 

Dan selanjutnya adalah Jepang. Ini pengalaman yang tiada duanya. Saya jadi terkenang dengan sebagian besar masa kecil saya yang diisi dengan Godzilla, Gaban, Dragon Ball, Street Fighter, Super Mario hingga the Legend of Zelda. Pokoknya segala macam hal yang diimpor dari Jepang. Bisa ke Jepang, tempat dimana semua game, film dan komik berasal, adalah suatu kebahagiaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata! Orang-orangnya pun sopan dan ramah, toiletnya canggih dan memiliki banyak tombol, makanannya super lezat dan selain itu, masih ada lagi Disneyland, tempat impian masa kecil! Bila seseorang yang seumuran dan berasal dari Pontianak hanya bisa mengunjungi satu tempat di luar negeri sepanjang hidupnya, maka tidak diragukan lagi bahwa pilihan yang paling bijak adalah Tokyo! Liburan ke Jepang sangatlah fantastis dan saya masih ingin kembali ke sana lagi!

Berjalan-jalan di Asakusa, Tokyo.
Foto oleh Evelyn Nuryani.

Bagaimana pula dengan Inggris? Hmm, saya rasa Inggris tidaklah menjadi pilihan setiap orang, tapi saya suka London. Seperti yang dilantunkan oleh Sweeney Todd, tokoh utama dari musikal yang sama namanya, "tidak ada tempat lain seperti London." Cuacanya yang muram, aksen Inggrisnya, perumahan di Notting Hill, cerita Harry Potter, semuanya begitu menawan sehingga saya pun jatuh hati dengan London. Kotanya terasa tua, tapi indah dan klasik. Namun apa sesungguhnya atraksi utama bagi saya di sana? Abbey Road, zebra-crossing yang dulu sering saya lihat fotonya sewaktu SMA. Sebagai penggemar the Beatles, rasanya seperti mimpi saat melangkah melewati tempat penyeberangan jalan yang dilalui oleh para pahlawan yang mengubah hidup saya. 

Perancis yang berada di seberang Selat Inggris bisa dicapai dalam waktu kurang lebih dua jam dengan menggunakan kereta. Saya ingat dengan Gare du Nord, stasiun kereta yang menjadi kesan pertama saya tentang Paris. Entah kenapa terasa semrawut. Sepanjang liburan di sana, saya merasa was-was, mungkin karena melihat para tentara yang membawa senapan dan berjaga-jaga. Kunjungan saya ini terjadi beberapa bulan setelah serangan teroris di bulan November 2015 sehingga meskipun pemandangan Menara Eiffel dan Sungai Seine sangatlah menarik, saya tidak begitu menikmatinya. Saya bahkan tidak melihat Paris, kota yang dijuluki City of Light, di malam hari (karena inilah saya selalu merasa bahwa Singapura yang terang-benderang adalah City of Light).

Menuju Moulin Rouge, Paris.
Foto oleh Evelyn Nuryani.

Lantas ada Myanmar, negara asing terakhir yang pertama kali saya kunjungi di tahun 2017. Yangon terasa lebih panas dari Pontianak! Selain itu, yang juga membuat saya terkesan adalah bagusnya sinyal 4G Ooredoo, bahkan di puncak gunung sekali pun. Kalau saya bandingkan, Telkomsel kalah jauh. Myanmar benar-benar terasa seperti negara yang menganut ajaran Budha dan Shwedagon Pagoda yang bercahaya terang keemasan di malam hari memperkuat kesan tersebut. Myanmar cukup menarik dan saya tidak keberatan untuk kembali lagi dan pergi ke kota Mandalay yang belum pernah saya kunjungi. 

Jadi apa tempat tujuan berikutnya? Saya tidak tahu. Mungkin Swedia? Saya ingat melihat IKEA yang pertama di dunia dan baru-baru ini, setelah membaca tentang Indian yang bersepeda ke Swedia demi cinta, saya kembali terpikir untuk ke Swedia. Bagaimana dengan Kazakhstan, tempat asal Borat? Mungkin Taiwan untuk liburan keluarga? Armenia? Atau mungkin Guam? Banyak ide, tapi tak bisa ke mana-mana karena korona, haha. Namun tempat mana pun yang akan saya tuju pastilah akan menarik karena sudut pandang orang Pontianak yang saya miliki. Saya mungkin telah tinggal di Singapura selama 14 tahun, tapi saya tetaplah seseorang yang berasal dari kota kecil dan cukup beruntung karena memiliki kesempatan untuk melihat dunia!

Bertanya tentang arah ke Pagoda Shwedagon di Yangon, Myanmar.
Foto oleh Keith.

Sunday, May 31, 2020

The First Impression

Recently I wrote a story about how it felt for a small town boy to travel abroad for the first time. Since then, I thought, why stop there? Each country is special! I definitely could go further and continue writing from the perspective of someone who came from Pontianak. Somehow, someway, it didn't matter how far I had been. There was this little boy from Pontianak in me that was always impressed by the new countries I visited. 

In fact, let's start with Bali first. Yes, I know Bali is still part of Indonesia, but it felt so different! I always said Bali was like a different country that happened to use IDR and Bahasa Indonesia. I remember the car ride we had from Gilimanuk to Legian and I was like, "is this still Indonesia?" I mean, if you had travelled a bit in Indonesia, you'd notice certain similarities that were shared by the cities. They were roughly the same regardless where you went, but these shared characteristics were surprisingly almost non-existent in Bali.

First time in Bali, 2004.
Photo by Sudarman.

I'd say Bali stood out proudly on its own. Bali that I remembered was a cultural and natural beauty shrouded in mysticism (probably due to the fact that the extremely pronounced Hinduism in the island was so new to me then). One thing that I also couldn't forget was, for the first time ever, I felt safe and accepted in Indonesia. You see, being a Chinese Indonesian, you'd feel discrimination from time to time, but Bali was so welcoming that for all I know, I could have been in another country! 

Next, I'd told you about Kuching, so we'd skip Malaysia and move on to Singapore instead. I know City of Light is Paris, but Singapore would always be the one for me. Coming from Pontianak where candles were often lit at night (even in the bathroom, when we wanted to shower), Singapore was the wonder of the world with skyscrapers that shone brightly at night. Then there was this first McDonald's beef burger, too! Singapore felt so modern that it redefined the word civilisation! Pontianak looked even much more dimmer after that first trip to Singapore.

At Madame Tussauds, Hong Kong, 2005.
Photo by Deddy Iskandar.

Then came Hong Kong, the first foreign country that I visited as a working adult in Jakarta. I didn't expect to go there. I never even dreamt of it, because how could I? The salary was so low for me to make ends meet, so I never thought of going abroad. But I was selected by my boss for a business trip, probably because I had a passport and I spoke English as well as broken Chinese (the moral of the story was, please learn the foreign languages). 

I grew up idolising heroes like Bruce Lee and Stephen Chow, so I was ecstatic that I'd be going to Hong Kong! As we stopped over in Singapore before flying to Hong Kong, I couldn't help comparing both countries. Singapore was organized whereas Hong Kong was more lively and rowdy. Everyone seemed to be rushing there! They also spoke Cantonese, just like those Hong Kong movies I watched in the 90s. Loud and sounded rude, haha.

With Soedjoko in Bangkok, 2012.
Photo by Endrico Richard. 

Bangkok, Thailand, was the first foreign city I went for a proper holiday after I started living in Singapore. Well, not so proper, because we sat at the back of a lorry as we went for sightseeing. But, hey, no complain here, because we surely had some fun. Thai people smiled a lot and I liked the way they greeted us. They would bow a bit with both hands in a prayer-like fashion, then they'd say sawasdee. It was culturally infectious that before long, I did the same, too! In 2007, Bangkok was already much more modern than Jakarta. The traffic jam was comparable. However, the city felt safe for tourists. 

One year later, I visited Manila. I remember feeling ambivalent about the city that chased away the Beatles. As I was in cab (and they never had any change, so whatever amount you paid them was often considered as tips), I saw a bible verse on the marquee. I was reminded that it was the first Catholic country I ever visited! The look and feel of Manila was quite similar with Jakarta with following exception: the KFC came with gravy, the pork menus were brilliant and the city felt less safe than Jakarta after dark. Intramuros was also a great introductory for a Pontianak fellow who only studied a bit of Spanish occupation in high school. It was like see-it-yourself experience. The name Magellan kept lingering in my mind when I visited the place!

In Ho Chi Minh City, 2009.
Photo by Endrico Richard.

I went to Vietnam in 2009. Ho Chi Minh City, formerly known as Saigon, was the first communist city I ever visited. By the way, if you grew up in Indonesia, you'd notice that the word communist was sort of a scary stuff. It was very much feared or probably the worst thing ever. If a person ever ran out of cursing words in condemning someone, he could shout, "damn you, communist!" But what I saw there was nothing scary. If there was anything that I found lacking, I observed that the Vietnamese didn't really smile, but then again, I had doubts that it was because they were communists. 

There were two things memorable in Ho Chi Minh City. First one was the overhead cable on the street. Even Pontianak didn't have much of this anymore, so I was surprised to see the tangled cables above my ahead. Totally unexpected! Then, secondly, the number of motorbikes was so overwhelming, even for someone who came from Indonesia!

In Phnom Penh, 2009.
Photo by Endrico Richard. 

I actually didn't do much of sightseeing in Ho Chi Minh City as we went to Cambodia after our short stay in Vietnam. None would have prepared me, not even the previous travelling experience, for Phnom Penh. This was the first time I saw a capital city so poor that I felt lucky I was born in Indonesia. The city was dry, the money looked like Monopoly money, the cows were skinny and I would never forget the dusty cyclone that engulfed the bread sold by the street vendor. How one earth was one going to eat that? But the Cambodians persevered and they enjoyed their lives by dancing real slow and skipping rope at night. In a way, they taught me that happiness was to be joyful with what you already had.

I'll end it first before this gets too long for a blog post, haha. But now that I wrote this, it was kind of interesting to realize that I couldn't take away the Pontianak fellow in me. I still subconsciously looked at things from the perspective that was based on my childhood and formative years. Not necessary a bad thing, though! As a result, I got to appreciate things using the standard that suited me!


Kesan Pertama

Baru-baru ini saya menulis cerita tentang bagaimana rasanya menjadi orang dari kota kecil yang pergi ke luar negeri untuk pertama kalinya. Semenjak itu saya jadi kepikiran, kenapa tidak dilanjutkan? Bukankah setiap negara itu istimewa? Saya tentu bisa menulis tentang kesan pertama dari sudut pandang orang yang berasal dari Pontianak. Ya, meski saya telah merantau cukup jauh, tetap saja saya terkesima dengan setiap negara yang baru saya kunjungi. 

Dan mungkin kita harus mulai dari Bali dulu. Ya, saya tahu bahwa Bali merupakan bagian dari Indonesia, tapi sungguh berbeda suasananya. Saya seringkali mengatakan bahwa Bali itu bagaikan negara lain yang kebetulan menggunakan rupiah dan Bahasa Indonesia. Saya ingat ketika saya melihat keluar jendela mobil di sepanjang perjalanan dari Gilimanuk sampai ke Legian. Saya sempat berpikir, "benarkah ini masih di Indonesia?" Maksud saya, bila anda sudah pernah berkelana ke beberapa tempat di Indonesia, anda akan bisa merasakan semacam karakter yang sama di berbagai kota. Ada suatu kemiripan yang susah dijelaskan, tapi bisa dirasakan, misalnya antara Jakarta, Semarang dan Surabaya, namun Bali nyaris tidak memiliki nuansa serupa.

Pertama kali ke Bali, 2004.
Foto oleh Sudarman.

Bali terasa menonjol perbedaannya. Yang saya ingat itu budaya dan alamnya yang sedikit banyak terasa mistis (ini mungkin karena kentalnya pengaruh Hindu yang asing bagi saya). Satu hal yang juga sulit dilupakan adalah, saya merasa aman dan diterima di Bali. Orang Tionghoa tidaklah asing dengan perlakuan diskriminasi, tapi Bali begitu ramah sehingga terasa seperti negeri yang berbeda. 

Selanjutnya, saya sudah pernah bercerita tentang Kuching, jadi kita lewati Malaysia dan langsung menuju ke Singapura. Saya tahu bahwa City of Light adalah julukan kota Paris, tapi bagi saya, yang pantas menyandang gelar tersebut adalah Singapura. Di Pontianak, kita sering mengandalkan lilin, bahkan di saat mandi, karena listriknya yang sering padam. Ketika saya pertama ke Singapura, saya takjub melihat gedung-gedung tinggi yang terang-benderang bermandikan cahaya lampu di malam hari. Saya juga tidak akan lupa dengan burger McDonald's saya yang pertama. Singapura terasa begitu modern, sampai-sampai mendefinisikan ulang arti dari peradaban yang selama ini saya pahami. Pontianak terasa kian temaram setelah kunjungan saya yang pertama ke Singapura.

Di Madame Tussauds, Hong Kong, 2005.
Foto oleh Deddy Iskandar.

Dan berikutnya adalah Hong Kong, negara asing pertama yang saya kunjungi setelah saya mulai bekerja di Jakarta. Saya sebenarnya tidak pernah berharap untuk pergi ke sana. Saya bahkan tidak pernah bermimpi untuk ke sana, sebab bagaimana saya bisa? Gaji saya sangat kecil saat itu dan untuk makan enak pun susah, jadi tidak terpikir untuk keluar negeri. Namun siapa sangka saya justru dipilih bos saya untuk turut serta dalam perjalanan bisnis? Saya rasa ini mungkin dikarenakan saya memiliki paspor serta bisa berbahasa Inggris dan sedikit Mandarin (moral dari cerita, kuasailah bahasa asing). 

Saya senantiasa mengidolakan Bruce Lee dan Stephen Chow, jadi saya sungguh gembira bisa ke Hong Kong, tempat asal mereka! Karena kita singgah di Singapura sebelum lanjut ke Hong Kong, saya jadi memiliki perbandingan antara dua negara ini. Singapura lebih teratur, sedangkan Hong Kong lebih hidup dan gegap-gempita. Semua orang seperti tergesa-gesa di sini! Mereka juga ternyata bercakap-cakap dalam bahasa Kanton, persis seperti di film-film Hong Kong yang saya tonton di tahun 90an. Ribut dan kasar kesannya, hehe.

Bersama Soedjoko di Bangkok, 2012.
Foto oleh Endrico Richard. 

Kota Bangkok di Thailand menjadi kota di negeri asing yang pertama kali saya kunjungi dalam rangka liburan setelah saya pindah ke Singapura. Saya ingat bahwa kita duduk di belakang truk lori yang membawa kita berkeliling kota. Rasanya seperti ternak, tapi seru juga. Orang-orang Thai ramah senyum dan saya suka cara mereka memberi salam. Mereka akan membungkuk sedikit dengan dua tangan dalam posisi berdoa, lalu mereka mengucapkan sawasdee. Tidak berapa lama kemudian, saya pun turut membalas sapaan mereka dengan cara yang sama. Di tahun 2007, Bangkok sudah lebih maju dari Jakarta, walau macetnya sama parahnya. Kendati begitu, ibukota Thailand ini terasa aman bagi turis untuk berjalan kaki hingga malam hari. 

Setahun kemudian, saya mengunjungi Manila. Ada perasaan campur aduk terhadap kota yang pernah mengusir the Beatles dulu. Sewaktu saya berada di taksi (dan para pengemudinya seringkali tidak memiliki uang kembalian sehingga apa yang anda bayar dianggap sebagai tips), saya sempat melihat ayat injil di papan reklame. Saya lantas menyadari bahwa ini adalah negara Katolik pertama yang pernah saya kunjungi. Sebagai ibukota negara, Manila agak mirip dengan Jakarta, tetapi memiliki beberapa pengecualian sebagai berikut: KFC-nya disuguhkan dengan kuah kental, daging babi yang lezat ada di mana-mana dan Manila terasa lebih tidak aman dibandingkan dengan Jakarta di malam hari. Intramuros juga merupakan situs bersejarah yang cocok buat pemula dari Pontianak yang pernah belajar tentang sejarah penjajahan Spanyol. Nama Magellan senantiasa terngiang di benak saya saat berada di sana!

Di Ho Chi Minh City, 2009.
Foto oleh Endrico Richard.

Saya berlibur ke Vietnam di tahun 2009. Ho Chi Minh City, yang dulunya dikenal dengan nama Saigon, adalah kota komunis pertama yang pernah saya kunjungi. Di Indonesia, kata komunis ini merupakan sesuatu yang tabu dan mencekam. Jika seseorang kehabisan kata-kata makian, tidak jarang yang muncul berikutnya adalah kata komunis. Tapi apa yang saya lihat di sana tergolong normal. Jika ada sesuatu yang kurang di Vietnam, itu adalah penduduknya yang kurang senyum, tapi saya ragu bahwa ini disebabkan karena mereka adalah komunis. 

Ada dua hal yang selalu saya ingat saat berada di Ho Chi Minh City. Yang pertama adalah kabel listrik yang berada di jalan. Bahkan di Pontianak pun sudah jarang terlihat, jadi saya terpana saat melihat betapa semrawutnya kabel listrik di sana. Satu hal lagi yang menarik adalah jumlah motornya. Saya kira Indonesia memiliki paling banyak motor, ternyata motor di Vietnam lebih banyak lagi jumlahnya!

Di Phnom Penh, 2009.
Foto oleh Endrico Richard. 

Saya tidak sempat melihat sisi lain di Ho Chi Minh City karena langsung berangkat ke Kamboja setelah kunjungan singkat ke Vietnam. Apa yang saya jumpai di Phnom Penh sungguh membuka wawasan saya. Terus-terang sampai sejauh ini, saya belum pernah melihat yang seperti ini. Phnom Penh adalah ibukota negara, tapi terlihat begitu miskin, sampai-sampai saya merasa bersyukur karena terlahir di Indonesia. Kotanya kering, uangnya seperti uang Monopoli, sapinya kurus dan saya tidak akan pernah melupakan pusaran angin berdebu yang menggulung roti yang dijual di tepi jalan. Bagaimana pembeli bisa memakan roti ini? Tapi warga Kamboja sangat tabah dan mereka bersantai dengan menari dan lompat tali di malam hari. Saya belajar dari mereka bahwa kegembiraan itu berarti menikmati apa yang telah kita miliki. 

Saya akhiri sampai di sini dulu sebelum tulisan ini menjadi terlalu panjang untuk blog, haha. Bagi saya sendiri, setelah menulis, saya lantas menyadari bahwa saya masih melihat banyak hal dari sudut pandang orang yang tumbuh dewasa di Pontianak. Bukan hal yang buruk, sebenarnya. Saya jadi bisa menghargai apa yang saya lihat berdasarkan standar yang cocok untuk saya! 

Saturday, May 23, 2020

The Group Chat

It's no secret that I'm still very close to my high school friends. I can neither understand this phenomenon nor fully explain why, but  it is probably because they were there when I needed friends the most. 22 years had passed since we graduated from high school and that was a long period of time to lose touch, but we managed to resume our friendship, albeit virtually, thanks to the WhatsApp group chat. 

Yes, the group chat. And I had this urge to write about it after Jimmy uploaded the same old picture of a birthday cake. He always used back the same picture when it happened to be someone's birthday, haha. He did it so often that it now felt like a permanent fixture or a tradition! That somehow reminded me that the group had been around long enough for it to be felt like a part of my life.

One of the earliest group photos in 2015.

I didn't start the group. It was started by someone else, I couldn't remember whom, and it began in April 2015. Nevertheless, I was probably one of the most chatty guys in the group. It was a mutual relationship, I'd say. I loved having an outlet to vent out all the nonsense I had. On the other hands, the group fed on those bizarre comments and then it became lively. 

We could be talking about anything. If it was me leading the topics, you'd hear me planning for the events such as our next hangout or holiday. Sometimes we'd look back and being nostalgic about our younger days. Otherwise we'd talk about life, work, religion, money and politics. Just like any other groups, we'd have people that talked a lot as well as silent readers. Some would post our latest photos, others would upload random stuff. From time to time, a friend or two would get creative and come up with stickers that would last until now.

The "Haha! Idiot!" sticker that started all.

The group surely had its moments. There were times when we realized we could roll up our sleeves to help a friend in need and we did exactly that. We'd become sombre and reflective when we learnt that a friend we knew had died. Sometimes we'd be a bit too much in what we were saying. That's when chaos ensued and some of us, me included, would have some fun by adding fuel to the fire. You'd see offended people leaving the group, but more often than not, we'd be buddies again after some time. Yes, some never came back, but that was probably for the best. The chemistry just wasn't right for them, haha. 

And this eventually brought me to what struck me the most: the group's dynamics. We'd been together for five years that it seemed to me we had a certain place in each other's life. I couldn't speak on behalf of others, but when one of us, let's say Budiman for example, left the group temporary or hadn't appeared for quite a while, I felt like something was missing. The characteristics of the group was defined by us that when one was not around, it didn't feel right. 

I personally thought that probably we needed each other more than we ever realized. We were of the same generation, we were on the same boat and perhaps this was us growing old together. Worlds apart but virtually together, bound by the fact that we were from the same school. It has been great thus far and I surely enjoy being part of the group while it lasts...

The birthday cake Jimmy used and reused.



Persahabatan Virtual

Bukan rahasia lagi kalau saya masih sangat dekat dengan teman-teman SMA. Saya sendiri tidak begitu paham dan tidak tahu pasti apa alasannya, tapi saya kira ini disebabkan karena mereka dulu hadir di kala saya sungguh membutuhkan teman. 22 tahun sudah berlalu semenjak kita lulus dan ini adalah periode yang panjang untuk kehilangan kontak dan putus hubungan, namun kita ternyata bisa melanjutkan persahabatan, meski secara virtual sekarang, melalui grup di WhatsApp. 

Ya, grup WhatsApp. Dan saya jadi tergelitik untuk menulis tentang grup SMA ini setelah Jimmy mengunggah foto kue ulang tahun. Dia selalu menggunakan foto yang sama ketika ada teman yang berulang tahun, haha. Begitu seringnya dia melakukan hal ini sehingga terasa seperti tradisi. Hal ini lantas membuat saya berpikir bahwa grup ini sudah berlangsung cukup lama sehingga terasa seperti bagian hidup sehari-hari.

Salah satu foto bersama yang diunggah saat grup bermula di tahun 2015.

Bukan saya yang memulai grup ini. Saya tidak ingat lagi siapa pelopornya, tapi sepertinya grup ini muncul di tahun 2015. Meskipun saya bukan pencetusnya, saya boleh dikatakan sebagai salah satu orang yang paling ceriwis di grup. Bagi saya, ini tak ubahnya seperti hubungan yang saling menguntungkan. Saya senang bisa memiliki tempat untuk menuangkan ide dan celetukan yang konyol. Di satu sisi, yang lain pun seringkali terpicu oleh komentar saya yang hiperbola sehingga grup pun menjadi aktif.  

Kita bisa berdiskusi tentang apa saja. Jika saya yang mengarahkan pembicaraan, biasanya saya akan berbicara tentang kapan kita akan berkumpul atau jalan-jalan bersama lagi. Ada kalanya kita melihat kembali dan bernostalgia tentang masa lalu. Kita juga kadang mengobrol tentang kehidupan, pekerjaan, agama, uang dan politik. Seperti grup-grup lainnya, ada yang banyak bicara, ada pula yang hanya diam dan membaca. Ada yang mengunggah foto-foto teman, ada juga yang berbagi video atau berita. Dari waktu ke waktu, ada saja yang kreatif dan menciptakan stiker yang kemudian dipakai sampai sekarang.

Stiker legendaris yang memicu karya-karya selanjutnya.

Ada saja yang kita alami bersama di dalam grup ini. Terkadang kita terdorong untuk melakukan sesuatu demi membantu teman yang sedang membutuhkan. Ada juga saat dimana kita berbagi kabar duka dan mengenang kembali teman yang baru saja meninggal. Kemudian pernah terjadi pula peristiwa dimana kita tidak bijak dalam bercanda dan akhirnya salah satu pihak malah tersinggung. Suasana pun menjadi rusuh dan beberapa di antara kita, termasuk juga saya, kian memperkeruh suasana dengan provokasi lebih lanjut. Kalau sudah begitu, seringkali ada yang meninggalkan grup, tapi biasanya kita akan berdamai lagi setelah beberapa saat kemudian. Ya, ada yang tidak pernah kembali lagi, tapi itu mungkin keputusan yang terbaik, soalnya mungkin memang tidak sama frekuensinya, haha. 

Pada akhirnya semua ini membuat saya tertegun dengan satu hal: dinamika kehidupan dalam grup ini. Kita telah bersama lima tahun lamanya sehingga saya cenderung merasa bahwa kita memiliki tempat di hati masing-masing. Saya tentunya tidak bisa berbicara mewakili yang lain, tapi bagi saya pribadi, jika ada pemain inti yang meninggalkan grup cukup lama atau tidak terdengar suaranya setelah beberapa waktu, saya merasa seperti ada yang hilang. Karakter dari grup ini dibentuk oleh setiap kepribadian anggotanya sehingga ketika salah satu dari kita tidak ada, rasanya seperti ada yang kurang. 

Saya berpikir bahwa kita mungkin tanpa sadar memerlukan satu sama lain. Hanya kita yang memahami seperti apa rasanya berasal dari generasi yang sama. Mungkin inilah cara kita bersama-sama mengarungi hidup ini sebagai sahabat dan teman lama yang berasal dari sekolah yang sama. Sejauh ini luar biasa pengalamannya dan saya senang bisa menjadi bagian dari grup ini...

Saturday, May 16, 2020

Faith, Dreams And Regrets

I was listening to Frank Sinatra's My Way the other day. It was a good song and my favorite part was when he sang, "regrets, I've had a few. But then again, too few to mention." Frank's voice was so captivating that he made you believe in the lyrics. It was so thought-provoking that it got me pondering, what kind of life I had lived.

Looking back, I realized that I had gone through a lot. No, I didn't live a life full of dangers such as growing up in a war-torn country or something. Those moments in my life were just slightly unfortunate, but not as bad as they seemed. In a way, whatever that happened gave me the perspective about faith, dreams and regrets.

Faith was something that I learnt gradually. I believe things happened because they were intended by the One above. It might not be pleasant when bad things happened, but through the passing of time, sometimes you'd see why they worked out that way. Faith is like never losing hope that it'll be alright.

My life had been a long chain of events that not only brought me to Singapore, but also shaped me into the person I am. I often think that the turning point was when I finished secondary school. I missed the registration period of this newly opened elite school because I was still holidaying in Jakarta. As a result, I enrolled myself to the same school I was graduated from (it has secondary and high school). 

Then the unthinkable happened. My Dad had a financial crisis and my family had to leave the town. Was it bad? Kind of. I mean, life changed overnight. But one thing for sure, if all this didn't happen, I wouldn't have such a close friendship in high school, go to Jakarta, meet my future wife and end up staying in Singapore. I would have led a very different life instead. 

After what I went through, I have faith that only the best happens in life, even though it may not look like it when it first occurs. A lot of things didn't happen the way I wanted, but they turned out to be better than I expected. That's not to say I just give up and don't do my best. It's just when my best was not enough, I made my peace when shit happened, knowing that it was not entirely up to me and things were still going to be fine.  

Now let's move onto the next one: dreams. These were what moved me so that I made good changes in life. I dreamt of making a film, then I woke up and did a couple in 2006. I was so curious about Laos that I eventually made a trip to Vientiane in 2010. Then, in 2013, I thought it'd be possible to watch a Paul McCartney concert. I made it happen in 2015. I loved We Are the World and had been thinking about producing my own version since 2014, then I finally did one with a little help from my friends in 2016. I remember staring at Abbey Road album cover in the mid 90s and finally crossed the zebra-crossing myself in 2016.

The list goes on and that's always the case. I dream a dream and try to fulfill the dream. Sometimes I achieved them, sometimes I didn't, but that's alright. Without dreams, life would be just a series of boring, repetitive activities. Dreams made life colourful.

The question now is, with life based on faith and dreams, do I have still have regrets? Yes, I have, and that's the reason why I was fascinated by how true the particular lyrics above were. Regrets, I had a few, but then again, too few to mention. The only one I could think of now was the fact that I couldn't read/write Chinese and I also couldn't speak the language really well. To think that my Mum had a degree in Chinese literacy! How ironic! 

That aside, I had lived my life the way I wanted it and I had the most fun out of it. I'd seen enough to have faith that things happened for a reason and they were going to be alright. And dreams brought me forward when they became reality. That probably explained why I didn't have much regrets in life. While I couldn't claim that everything was perfect, I'd say I'd been a happy person thus far. If you had read until here, I sincerely hope that the positive thoughts would rub off on you, too!

Life has been good, though not without difficulties.
From left: the teenage years, 20s and 30s. 


Iman, Impian Dan Penyesalan

Baru-baru ini saya mendengarkan kembali lagu My Way yang dinyanyikan oleh Frank Sinatra. Saya suka lagu ini dan bagian favorit saya adalah saat dia menyanyikan bait ini, "regrets, I've had a few. But then again, too few to mention." Dalam bahasa Indonesia, artinya, "saya memiliki penyesalan, namun terlalu sedikit untuk disebutkan." Suara Frank begitu menggugah sehingga dia membuat saya percaya dengan lirik yang dinyanyikannya. Saya jadi merenung, kehidupan seperti apa yang telah saya jalani.

Kalau saya lihat kembali, sudah begitu banyak peristiwa yang saya lewati. Oh, saya tidak hidup di negara yang dilanda peperangan atau mengalami hal yang sama parahnya. Kejadian demi kejadian di dalam hidup saya rasanya tidak seburuk itu, hanya naik-turunnya saja yang tidak begitu lazim. Kendati begitu, apa yang saya alami lantas memberikan perspektif tentang iman, impian dan penyesalan. 

Iman adalah sesuatu yang saya pelajari seiring dengan berjalannya waktu. Saya percaya bahwa sesuatu terjadi karena sudah ditentukan oleh Yang Di Atas. Saat suatu peristiwa buruk terjadi pastilah tidak menyenangkan rasanya, akan tetapi dengan berlalunya waktu, terkadang kita mengerti bahwa apa yang terjadi ini ada hikmahnya. Iman membuat kita tidak patah semangat dan yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja. 

Hidup saya boleh dikatakan sebagai rangkaian kejadian yang bukan saja akhirnya membawa saya ke Singapura, tapi juga membentuk kepribadian saya hingga seperti yang anda kenal hari ini. Saya sering berpikir bahwa titik balik dari kehidupan saya adalah ketika saya lulus SMP. Saat itu saya masih berlibur di Jakarta sehingga melewatkan peluang untuk mendaftarkan diri ke SMA Taruna yang baru dibuka dan merupakan sekolah unggulan pada saat itu. Oleh karena itu, saya pun kembali melanjutkan SMA di sekolah yang sama.  

Kemudian yang tidak pernah terpikirkan pun terjadi. Ayah saya mengalami krisis finansial dan akhirnya seluruh keluarga pun pindah ke Bekasi, kecuali saya. Apakah ini buruk? Kira-kira begitulah. Maksud saya, hidup berubah drastis dalam sekejap mata. Meskipun demikian, kalau ini tidak terjadi, saya mungkin tidak memiliki persahabatan yang erat di masa SMA, mungkin tidak mencari kerja di Jakarta, mungkin tidak bertemu calon pasangan saya dan mungkin tidak pindah ke Singapura. Hidup saya mungkin saja benar-benar berbeda dengan apa yang saya jalani sekarang. 

Setelah apa yang saya lalui, saya memiliki keyakinan bahwa hanya yang terbaik yang terjadi dalam hidup ini, walaupun mungkin tidak terlihat seperti itu pas kejadian. Banyak hal yang tidak terjadi seperti apa yang saya inginkan, tapi ternyata justru akhirnya lebih baik dari apa yang saya harapkan. Ini bukan lantas berarti saya terlena dan bersantai tanpa berusaha. Justru sebaliknya, di kala upaya terbaik saya masih tidak cukup, saya sebisa mungkin menerima ketika kegagalan terjadi karena saya sadar ada hal-hal yang berada di luar kendali saya dan saya juga percaya bahwa semua akan indah pada waktu-Nya. 

Sekarang mari kita pindah ke topik berikutnya: impian. Ini adalah apa yang menggerakkan saya sehingga saya membuat banyak perubahan yang membuat saya menjadi selangkah lebih maju. Suatu ketika saya bermimpi tentang membuat film, lalu saya membuat beberapa episode di tahun 2006. Saya begitu penasaran dengan Laos sehingga saya akhirnya pergi ke Vientiane di tahun 2010. Selanjutnya, di tahun 2013, mendadak terpikir oleh saya bahwa sepertinya mungkin bagi saya untuk menonton konser Paul McCartney. Dua tahun kemudian saya berhasil mewujudkannya di Tokyo. Saya juga suka lagu We Are the World dan saya berangan-angan untuk merekam versi saya sejak tahun 2014. Dengan bantuan teman-teman, impian saya ini pun menjadi kenyataan di tahun 2016.  Satu contoh lagi, saya ingat ketika saya menatap album Abbey Road di pertengahan tahun 90an. Di tahun 2016, saya pun melintasi zebra-crossing yang paling terkenal di muka bumi ini. 

Apa yang saya kisahkan di atas hanya merupakan segelintir contoh saja dari daftar yang ada. Intinya senantiasa sama: saya bermimpi, lalu mencoba untuk mewujudkan impian tersebut. Kadang saya berhasil, namun tidak jarang pula saya gagal, tapi tidak masalah. Tanpa impian, hidup tak lebih dari rutinitas yang membosankan. Adalah impian yang membuat hidup ini menjadi lebih berwarna. 

Pertanyaannya sekarang adalah, dengan hidup berbasis iman dan impian, apakah saya masih memiliki penyesalan? Ya, jelas ada. Karena inilah saya jadi tergelitik dengan lirik lagu My Way. Saya memiliki penyesalan, tapi terlalu sedikit untuk disebutkan. Apa yang terpikirkan pada saat ini hanyalah fakta bahwa saya tidak bisa membaca dan menulis dalam bahasa Mandarin. Bahkan berkomunikasi pun juga belepotan. Padahal Mama bukan cuma sekedar guru bahasa Mandarin, tapi juga sarjana bahasa Mandarin. Betapa ironis bahwa anaknya dulu malas belajar dan akhirnya sekarang tidak menguasai bahasa Mandarin! 

Di samping penyesalan yang saya sebutkan di atas, boleh dikatakan bahwa saya sudah hidup seperti apa yang saya mau. Saya juga banyak tertawa dan menertawakan banyak hal dalam hidup ini. Saya sudah melewati berbagai hal yang membuat saya beriman bahwa sesuatu terjadi karena ada alasannya (meskipun kadang kita tidak pernah tahu kenapa) dan semuanya akan baik-baik saja. Selain itu, impian yang menjadi kenyataan juga turut mengubah hidup saya. Dua hal ini mungkin menjelaskan kenapa saya tidak memiliki banyak penyesalan dalam hidup ini. Saya tidak bisa berkata bahwa hidup saya ini sempurna, tapi sampai sejauh ini saya bisa katakan bahwa saya memiliki kepribadian yang riang gembira. Jika anda membaca sampai pada kalimat ini, saya sungguh berharap bahwa ada nilai-nilai positif yang sekiranya bisa anda petik dari cerita saya ini!