Total Pageviews

Translate

Sunday, October 30, 2022

The Islands

Earlier this month, few weeks before the trip to Karimunjawa took place, a friend in our group chat commented about the danger of going to an island in October. She said stuff about bad weather and the sea could be unpredictable. The remark annoyed the head honcho of the trip and he immediately ranted on about how often the person who made the comment actually visited any islands for the past 42 years of her life. Was she actually so experienced or qualified about the topic she was talking about?

As the gas stove in the group, it was fun to take part in this heated conversation. But I was also intrigued to count how many times I had visited the islands. You see, I always preferred to visit cities, but it turned out that I also visited quite a number of islands, too. From 1998, I had gone to many islands, from Temajoh, Bali, Batam, Sentosa, Boracay, Penang, Bidadari, Phuket, Ko Phi Phi, Samosir, Bohol, Pulau Ubin, Miyajima, Bintan to Madura. That, I would say, was quite a lot for someone who wasn't exactly a fan.

Memorable for all the wrong reasons was, of course, Temajoh. It wasn't a blessed trip to begin with and that's probably why it was the only trip where, whether you believe it or not, I had my first and only encounter so far with the other realm. 24 years later, we still talked about it from time to time, but I'd never set foot there again for the rest of my life.

In Bali with my uncles and my auntie.

Bali is the complete package: the food, the nature and the culture. So different than other places in Indonesia that I had been to. It might not be the most modern island I ever visited (that title would go to Sentosa), but it didn't have to be, for it was very charming. My first three trips happened in 2004-2005 and the fourth one happened in April this year, about 17 years since I last went there. Nice place to be for a short break.

Batam is like the default place to go for a short getaway. It is so close to Singapore that every time I feel like having Indonesian cuisines, I can just go there. It is also a transit gateway for me to go back to my hometown. When you are an Indonesian or an ex-Indonesian living in Singapore, you are likely to visit this island from time to time.

In Boracay.

Boracay was famous 14 years ago, though to be frank it offered pretty similar attractions like any other islands such as water sports, the crystal clear sea water, etc. But it came with some Pinoy flavours like sisig and San Miguel. I think the only reason I went there was so that I could be with Yani, haha. In normal circumstances, no way I'd go to such places. 

Penang, the part where Georgetown was located, was also an island. It was quite lively, brimming with Chinese influence, I'd say. The most memorable place was a temple called Kek Lok Si. I think that was the first time I ever used the word serene to describe how I felt, especially when I was nearby the big Buddha statues. So tranquil.

With Yani in Pulau Bidadari.

Pulau Bidadari was another island that I went solely because of Yani. We didn't see much of the island because... we went there for pre-wedding pictures, haha. It was the same with Phuket. It was also with Yani during our honeymoon. By the way, remember when I mentioned about Bali offering the complete package? It was in Phuket that I got this idea. Both were quite similar that I couldn't help comparing, I concluded that one would have so much more in Bali, except Simon Cabaret. Probably.

My idea of honeymoon was to relax, but I guess Yani was more adventurous. That's how we ended up visiting Ko Phi Phi. It wasn't exactly near. About two hours ride when taking the larger ferry as Ko Phi Phi is between Phuket and Krabi. Apart from the tsunami signs on the roadside, I barely recall how the island looked like back in 2011.

In Ko Phi Phi.

Samosir is an island in the center of Lake Toba. I went to the lake twice, first time was in 2005. The second visit happened seven years later and it was during this time that we went to see Samosir. Quite interesting as there was a museum and some historical sites of Batak people here, but I reckon it was only worth visiting once. I mean, if you had gone a long way from Medan to Lake Toba (about four hours), you might as well go there. 

Bohol was again the brainchild of Yani, just like how we visited Ko Phi Phi. I was comfortable doing nothing in Cebu, but Yani felt that we could spend the extra day in Bohol, the neighbouring island, so off we went. And she was right. Bohol was worth the effort. I personally enjoyed checking out the tarsiers. Never saw this primate before. It was also in Bohol that I came to realize wherever we went in Southeast Asia, the flora actually looked pretty much the same.

Chocolate Hills, Bohol.

Pulau Ubin was another reminder of how Singapore was part of the archipelago that formed Indonesia and Malaysia. The wooden boat we took, the old houses that sold coconuts, they were quite similar with what I saw back in West Borneo. Went there once with my parents and never returned to the island since then.

If there was an island felt so different that those I had visited before, it had to be Miyajima. It was not very far from Hiroshima and you'd be greeted the tame deer the moment you arrived. There was this torii gate that was supposed to be flooded during the high tide. The island also had a lot of spatulas, from tiny ones to the world's biggest spatula. 

With Yani in Bintan.

Bintan was very much another option for those who stay in Singapore (or less preferred option for me). It was known for two things: Bintan resorts and the capital city of Kepulauan Riau province: Tanjungpinang. None was as charming as Batam. Bintan resorts were pricey and overrated whereas Tanjungpinang looked rundown.

The last island I went so far was Madura. It was a planned visit, one of a few islands I actually wanted to go. The Madura people had a long, illustrious history in Pontianak, therefore I'd like to see the island that shaped the character of its people. A tough place indeed.

Now, back to the trip to Karimunjaya. Did the weather go wild for those who went there? No, it was fine and the boys had some fun there, though it was kind of surprising to see the head honcho bringing the whole family. Not only it was unannounced, but it was also unexpected. But perhaps it got to do with the upcoming trip in 2023. Until then, stay tuned!

The boys in Karimunjawa.




Berkelana Ke Pulau

Awal bulan ini, beberapa minggu sebelum liburan ke Karimunjawa tiba, seorang teman di grup WhatsApp berkomentar tentang bahaya ke pulau di bulan Oktober. Dia berceloteh tentang cuaca buruk yang mungkin terjadi. Pendapat ini ternyata membuat ketua panitia menjadi jengkel dan dia pun mengomel panjang-lebar tentang seberapa sering sebenarnya orang yang berkomentar ini ke pulau selama 42 tahun terakhir. Memangnya punya cukup pengalaman sampai bisa berujar tentang cuaca? 

Sebagai kompor gas di grup, saya senang terlibat dalam topik yang mulai memanas seperti ini. Namun saya juga tergelitik untuk menghitung, seberapa sering saya sudah ke pulau sampai sejauh ini? Saya pribadi lebih menyukai perkotaan, tapi ternyata saya pun juga sudah mengunjungi beberapa pulau. Dari tahun 1998, saya sudah ke Temajoh, Bali, Batam, Sentosa, Boracay, Penang, Bidadari, Phuket, Ko Phi Phi, Samosir, Bohol, Pulau Ubin, Miyajima, Bintan dan Madura. Cukup banyak juga untuk orang yang tidak menggemari liburan ke pulau. 

Yang berkesan karena alasan-alasan tidak benar adalah Temajoh. Ini bukanlah liburan yang mendapat restu orang tua dan mungkin karena inilah, percaya atau tidak, sekali-kalinya saya berinteraksi dengan dunia lain. 24 tahun kemudian, kita masih mengenang kembali liburan ini, tapi saya tidak akan kembali lagi ke sana sampai akhir hayat saya. 

Bersama paman dan tante saya di Bali.

Kalau Bali, yang terasa adalah satu paket lengkap yang mencakup makanan, alam dan budaya. Pokoknya berbeda dengan wilayah lain di nusantara. Bali bukanlah pulau paling modern yang pernah saya kunjungi (gelar ini lebih cocok disandang oleh Pulau Sentosa), tapi Bali tidak perlu menjadi yang paling modern karena pesonanya yang sangat memikat. Tiga liburan pertama saya terjadi di tahun 2004-2005 dan yang ke-empat terjadi di bulan April tahun ini, sekitar 17 tahun setelah saya terakhir ke sana. Bali cocok untuk liburan sejenak. 

Akan halnya Batam, ini adalah tempat kunjungan akhir pekan. Begitu dekat dengan Singapura sehingga bila saya ingin mencicipi makanan Indonesia, saya tinggal menyeberang ke Batam. Pulau ini juga menjadi tempat transit jika saya ingin kembali ke Pontianak. Orang Indonesia atau mantan warga Indonesia yang tinggal di Singapura pasti akan pergi ke Batam dari waktu ke waktu. 

Di Boracay.

Boracay boleh dikatakan cukup terkenal 14 tahun silam, walaupun jujur saya katakan bahwa suasananya mirip dengan pulau-pulau lain yang menawarkan hal serupa, misalnya aneka olahraga air, laut yang jernih dan sebagainya. Yang berbeda di sini adalah nuansa Pinoy, misalnya sisig dan bir San Miguel. Saya rasa satu-satunya alasan saya ke sana adalah agar bisa bertemu dengan Yani, haha. Kalau bukan karena itu, tidak mungkin rasanya saya main ke sana. 

Penang, tepatnya lokasi kota Georgetown, juga merupakan sebuah pulau. Cukup semarak dan kental pula dengan budaya Cina. Yang paling saya ingat dari kunjungan saya ini adalah kuil bernama Kek Lok Si. Setelah kunjungan inilah saya pertama kalinya menggunakan kata serene yang berarti tenteram untuk menjabarkan apa yang saya rasakan, terutama saat berada di dekat patung Buddha. Begitu damai rasanya.

Bersama Yani di Pulau Bidadari.

Pulau Bidadari juga merupakan tempat yang saya kunjungi semata-mata karena Yani. Kita tidak berjalan-jalan pulau ini karena kita ke sana dalam rangka pemotretan foto pranikah, haha. Demikian halnya juga dengan Phuket. Saya ke sana bersama Yani untuk berbulan madu. Oh ya, sempat saya katakan di atas bahwa Bali merupakan satu paket lengkap. Sewaktu di Phuket inilah saya merumuskan pendapat ini. Karena mirip, saya lantas bandingkan. Anda akan jumpai lebih banyak yang menarik di Bali, kecuali Simon Cabaret. 

Apa yang saya inginkan dari bulan madu hanyalah bersantai-ria, namun Yani mungkin lebih bersemangat menjelajah ke sekitar. Oleh sebab inilah kita ke Ko Phi Phi. Jaraknya tidak terlalu dekat juga, sekitar dua jam kalo naik feri berukuran besar karena Ko Phi Phi terletak di antara Phuket dan Krabi. Selain rambu tsunami di tepi jalan, saya tidak ingat lagi seperti apa pulau ini di tahun 2011.

Di Ko Phi Phi.

Samosir terletak di tengah Danau Toba. Saya dua kali ke Danau Toba dan pertama kali ke sana di tahun 2005. Kali kedua terjadi tujuh tahun kemudian dan di kali ini saya ke Samosir. Cukup menarik juga bila anda menikmati museum dan tempat bersejarah, tapi rasanya cukup sekali ke sini. Jika anda sudah menempuh empat jam dari Medan ke Danau Toba, anda bisa sekalian ke sini. 

Bohol lagi-lagi merupakan ide Yani. Saya sudah cukup puas dengan kunjungan ke Cebu, tapi Yani merasa bahwa satu hari ekstra ini bisa dimanfaatkan ke Bohol dan dia sungguh benar. Saya menikmati kunjungan ke penangkaran tersier, sejenis monyet kecil yang hidup di pulau ini. Dan juga di Bohol inilah saya menyadari bahwa selama kita berkeliling Asia Tenggara, pemandangan dan tumbuhannya kurang lebih sama. 

Bukit Coklat, Bohol.

Pulau Ubin mengingatkan saya kembali bahwa Singapura adalah bagian dari kepulauan yang membentuk Indonesia dan Malaysia. Perahu kayu yang membawa kita ke sana, rumah-rumah tua yang menjual kelapa muda, semua ini serupa dengan apa yang saya lihat di Kalimantan Barat. Saya hanya pernah ke sana satu kali bersama orang tua saya dan tidak pernah kembali lagi semenjak itu. 

Jika ada pulau yang terasa sungguh berbeda, maka pulau itu adalah Miyajima. Letaknya tidak jauh dari Hiroshima dan anda akan disambut oleh rusa-rusa jinak begitu anda mendarat. Tak jauh dari dermaga, ada gerbang torii yang terendam laut di saat air pasang. Selain itu, yang unik adalah berbagai ukuran sendok nasi dari bahan kayu yang bisa ditemukan di sana, mulai dari yang mungil sampai sendok nasi terbesar di dunia. 

Bersama Yani di Bintan.

Selain Batam, Bintan juga sering menjadi alternatif bagi yang tinggal di Singapura. Saya sendiri tidak begitu suka ke sana. Pulau ini dikenal karena dua hal: kawasan hotel dan ibukota provinsi Kepulauan Riau: Tanjungpinang. Dua-duanya tidak terlalu menarik. Kawasan perhotelan Bintan tergolong mahal dan Tanjungpinang masih sangat terbelakang. 

Pulau terakhir yang saya kunjungi sampai sejauh ini adalah Madura. Kunjungan ke sana memang direncanakan karena saya ingin lihat sendiri, seperti apa Madura ini. Orang-orang Madura memiliki sejarah yang panjang di Pontianak, karena itu saya ingin tahu, seperti apa pulau yang membentuk karakter orang Madura ini. Ternyata memang tempat yang keras. 

Sekarang mari kita kembali lagi ke liburan ke Karimunjawa. Bagaimana dengan cuacanya pas liburan berlangsung? Semuanya baik-baik saja dan teman-teman terlihat gembira, tapi yang agak mengejutkan adalah saat melihat ketua panitia membawa keluarga. Kesannya mendadak dan tak terduga, namun mungkin ini ada hubungannya dengan liburan tahun 2023 nanti. Siapa tahu? Mari nantikan! 

Tim Karimunjawa.



Sunday, October 16, 2022

Larry And Jerry

I told you five years ago that I was from the Friends generation. It was the show that I grew up with. I remember discussing the story with Ardian and with Rusli later on when I moved to Jakarta. I still re-watched the sitcom many times since then, from the time when I was staying with my housemates till Netflix days. 

But being a fan of sitcom (oh yes, I also loved How I Met Your Mother, That '70s Show, The Big Bang Theory and Modern Family that came after Friends), of course I've heard of Seinfeld. It was widely regarded as one of the greatest and most influential sitcoms of all time. When it became available on Netflix, I naturally tried it out. 

To be frank, I was hesitant at first. I mean, this series started in 1989, five years before Friends. The show got to be so dated and, after watching it, I wasn't wrong about that. What surprised me was the jokes. It was still very fresh, even by today's standard, that it made me laugh hysterically. Season 1 wasn't that great, though. In fact, it had only five episodes. It got better from season 2 onwards. The moment all the characters, especially Kramer, were fully established, that's when the fun really began.  

By the way, unlike Friends, there were only four of them: Jerry Seinfeld (arguably the one with the weakest acting skill, haha), Elaine Benes (not the Rachel-kind of pretty, but much funnier), George Costanza (easily the best from the start) and Cosmo Kramer (my favorite). The supporting roles, most notably Newman (Jerry's nemesis) and Frank Costanza (George's father) were equally hilarious. Guest stars were brilliant, too. Love Marisa Tomei, Teri Hatcher and Courteney Cox (oh yes, Monica from Friends acted in one episode, too). 

The most surprising discovery was, perhaps, the origin of many jokes I'd seen in the subsequent series that came after Seinfeld, including Friends. It turned out that many were recycled from Seinfeld. The moment I saw them, I recognized them immediately and I was amazed to see that it was said and done by Seinfeld first. That's how genius Larry David and Jerry Seinfeld were. They created a show that became the template for the future. 

My love for Seinfeld brought me to Curb Your Enthusiasm. The show featured Larry living his life years after Seinfeld and in season 7, he actually did a Seinfeld reunion within the show. It was a unique concept that I gotta watch and I did exactly that. It was great to see the main cast of Seinfeld again after the controversial finale that ended the original series, but most importantly, that's how I got to know Curb and Larry. 

It was often said that the character of George Costanza was based on Larry (and funny that he tried and failed to play George in Curb Your Enthusiasm, haha). But apart from cameos and voiceovers, Larry's role was limited to mainly behind the scenes. Through Curb, I discovered the humor of Larry David as he acted as a fictional version of himself. It was unusual and a bit dark, as in annoyingly funny, which explained why the last two seasons of Seinfeld felt different after his departure. 

I started Curb Your Enthusiasm because of Seinfeld and in the beginning, I watched only episodes featuring Seinfeld characters. But the show grew on me, so I started from season 1 recently. It was great, though I had to say that it was kind of weird to see David Schwimmer in Curb during the same time Friends ended. He looked exactly like Ross, but he was David here in another show called Curb, haha. 

Anyway, why am I telling you all this? You see, it was like how I discovered the Beatles. It was a gem we didn't know it existed. People our age normally stick with stuff we grow up with. We rarely go back further in time, but that means we would miss out the great stuff that were Larry and Jerry. The accidental discovery I had was a good news I'd like to share. In the world where people are fascinated by horrible things such as Dahmer, I'd like to assure you that there are better shows to watch out there...

Seinfeld and Curb Your Enthusiasm.



Larry Dan Jerry

Lima tahun silam, saya pernah bercerita bahwa saya berasal dari generasi Friends. Ini adalah sitcom paling terkenal di masa remaja saya. Saya ingat saat-saat bertukar cerita dengan Ardian tentang episode terbaru Friends dan juga dengan Rusli ketika saya pindah ke Jakarta. Semenjak itu, saya masih menonton sitcom tersebut berulang-kali, mulai dari sejak di Eunos bersama teman-teman serumah sampai ketika Friends ditayangkan di Netflix. 

Sebagai penggemar sitcom (oh ya, saya juga menyukai How I Met Your Mother, That '70s Show, The Big Bang Theory dan Modern Family yang muncul setelah Friends), tentunya saya pernah mendengar tentang Seinfeld. Saya tahu reputasinya sebagai sitcom paling sukses dan berpengaruh sepanjang masa. Ketika serial ini muncul di Netflix, saya pun akhirnya coba menonton. 

Jujur saya katakan bahwa awalnya saya ragu. Maksud saya, serial ini pertama kali dirilis tahun 1989, lima tahun sebelum Friends. Dengan demikian, sudah pasti terlihat ketinggalan zaman. Setelah saya tonton, saya tidak keliru tentang hal ini, namun yang mengejutkan saya adalah leluconnya. Serial ini tetap terasa lucu di tahun 2022. Saya bahkan sampai terpingkal-pingkal dan tertawa lepas. Season 1 yang hanya terdiri dari lima episode boleh dikatakan masih tidak begitu bagus, namun semuanya kian mantap di season berikutnya. Ketika potensi semua karakternya terealisasi, terutama Kramer, kejenakaan Seinfeld pun tidak terbendung lagi.

Berbeda halnya dengan Friends, Seinfeld hanya memiliki empat tokoh utama: Jerry Seinfeld (yang boleh dikatakan paling buruk aktingnya karena dasarnya dia adalah komedian dan bukan aktor, haha), Elaine Benes (yang tidak secantik Rachel tapi jelas lebih lucu), George Costanza (yang paling konyol dan diperankan dengan baik oleh Jason Alexander) dan Cosmo Kramer (favorit saya). Para pemeran pendukung, terutama Newman (musuh bebuyutan Jerry) dan Frank Costanza (ayah George) juga luar biasa kocaknya. Bintang tamunya pun bagus, misalnya Marisa Tomei, Teri Hatcher dan Courteney Cox (ya, Monica dari Friends juga tampil di satu episode). 

Akan tetapi yang paling mencengangkan adalah asal-mula lelucon dari berbagai sitcom yang muncul setelah Seinfeld, termasuk juga Friends. Ternyata banyak lelucon yang diambil dan didaur ulang dari Seinfeld. Begitu saya tonton, saya langsung ingat dengan adegan serupa di sitcom lainnya. Siapa sangka Seinfeld yang lebih dulu mencetuskan semua itu. Larry David dan Jerry Seinfeld memang jenius. Mereka menciptakan sesuatu yang kemudian menjadi standar bagi serial-serial yang bermunculan setelah Seinfeld. 

Kesukaan saya akan Seinfeld lantas memperkenalkan saya pada Curb Your Enthusiasm. Serial ini bercerita tentang kehidupan Larry bertahun-tahun setelah Seinfeld sukses. Dan di season 7, dia menulis episode reuni Seinfeld di serial Curb. Konsep ini sungguh unik dan akhirnya saya tonton. Senang rasanya bisa melihat para pemeran Seinfeld lagi setelah episode terakhir Seinfeld yang kontroversial. Dari sinilah saya tahu tentang Curb dan Larry. 

Saya sering dengar bahwa karakter George Costanza ditulis berdasarkan Larry David (dan konyol rasanya melihat Larry mencoba berperan sebagai George dan gagal di Curb Your Enthusiasm, haha). Di Seinfeld, Larry hanya muncul sesekali secara sekilas dan perannya lebih cenderung di balik layar karena dia adalah penulis cerita. Lewat Curb, saya pertama kalinya melihat sisi humoris Larry saat dia berperan sebagai versi fiktif dari dirinya. Humor Larry tidak lazim dan agak kelam sehingga karakternya lucu karena cenderung menyebalkan. Saya lantas jadi mengerti kenapa nuansa di dua season terakhir Seinfeld terasa agak berbeda setelah Larry berhenti dari serial ini. 

Saya mulai menjajal Curb Your Enthusiasm karena Seinfeld dan pada awalnya, saya hanya menonton episode yang menampilkan karakter Seinfeld. Lambat-laun saya jadi suka dan saya akhirnya mulai lagi dari season pertama baru-baru ini. Ceritanya kocak, walau agak aneh juga rasanya melihat David Schwimmer di Curb di saat bersamaan dengan tamatnya Friends. Dia terlihat persis seperti Ross, tapi David menjadi dirinya sendiri di serial lain bernama Curb, haha. 

Jadi kenapa sebenarnya saya bercerita panjang lebar tentang Seinfeld dan Curb Your Enthusiasm? Ini karena rasanya seperti saat saya menemukan the Beatles. Orang-orang seusia kita biasanya hanya tahu hal-hal yang populer saat kita remaja. Kita jarang melihat kembali lebih jauh lagi dan ini berarti kita tidak tahu tentang hal-hal menakjubkan seperti Larry David dan Jerry Seinfeld. Penemuan secara tidak sengaja inilah yang ingin saya bagikan. Di dunia di mana orang cenderung terhipnotis oleh kisah-kisah negatif seperti Dahmer, saya ingin meyakinkan anda bahwa masih ada tontonan lain yang lebih layak... 

Sunday, October 9, 2022

The Translator

The thing with knowing a foreign language or two is, you may end up doing a bit of translation here and there, especially if you have lived as long as four decades. My Mandarin was sufficient only to order some food while my French was barely enough to let me introduce myself, at least for now. But both my English and Bahasa Indonesia (it's kinda hard to tell which one is my primary language these days) were not bad at all that I did quite a fair bit of translation regularly for the past six years.

Yes, I did it first and foremost on Roadblog101, hence it was bilingual for those posts that were written by me. I think I was once questioned whether I used Google Translate to convert it to Bahasa. The answer is no. I always write in English, which is a much more versatile language and fun to write in, then I translate it into Bahasa. While it might not be immediately obvious to many, they were two different things. The first one was a creative process by putting thoughts into words. The latter one was almost like re-writing what I read so that the message was conveyed properly in Bahasa. It was an art by itself. Google Translate was all right, but it still couldn't imitate someone's style of writing.

Apart from that, I also helped translating the sermon slides recently. I couldn't help noticing that it wasn't as easy as it looked. The choice of words or phrases could be so peculiar at times that there was no way to translate them directly. More often than not, they got me thinking, why were they written like that? What did the writer actually want to say? I wouldn't say translating other people's work was enjoyable, but it was still doable. Just like when I did the ghostwriting. It was a chore, not a hobby.

The worst of them all was the live translation, apparently. It was quite an experience that I went through recently, so much so that it inspired me to look back and wrote this. I'm never good in verbal communication to begin with and I stutter from time to time. That, plus being a first timer doing a live translation for a fast-talking preacher, was one helluva rollercoaster! 

I remember thinking that it'd be computer-like, processing English and churning out Bahasa in real time. But of course the reality would be less than ideal. A human brain simply couldn't catch up! The moment I was stuck with a word, I'd be three or four sentences behind. That was also made worse by the habit of subconsciously trying to be a regular churchgoer. I'd sit back and try to relax only to realize that I was the translator. Needless to say, I felt like having butterflies in my stomach throughout the session, haha.

But the weirdest experience had to be the time when I was a translator for a foreigner who went through a divorce letter with his soon-to-be ex-wife's lawyer. It was horrible. I sympathized the guy who seemed to be on the losing side, but I had to be impartial and I answered truthfully only when I was asked. I couldn't give any advice or speak my mind. For a wage of SGD 50, the work was mentally exhausting!

Looking back, good to know that translating from English to Bahasa and vice versa was something that I could do. Perhaps I could put that in my resume, haha. But the process was often not something that I enjoyed. It was just done out of necessity or curiosity. In the meantime, I reckon I'd just stick with the IT job...




Penerjemah

Bilamana anda menguasai satu atau dua bahasa asing, anda mungkin pernah menerjemahkan sesuatu, terlebih lagi bila anda sudah hidup lebih dari 40 tahun. Mandarin saya pas-pasan, hanya cukup untuk memesan makanan, sedangkan bahasa Perancis saya untuk saat ini hanya sampai pada tahap memperkenalkan diri. Akan tetapi Inggris dan bahasa Indonesia saya cukup mantap (dan agak susah dibedakan, mana yang sebenarnya merupakan bahasa utama saya sekarang ini) sehingga saya sering alih bahasa dari Inggris ke Indonesia dalam enam tahun terakhir ini. 

Ya, bila anda simak Roadblog101, anda akan melihat bahwa artikel saya ditulis dalam dua bahasa. Seingat saya, pernah ada yang bertanya apakah saya menggunakan Google Translate untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Jawabannya adalah tidak. Saya selalu menulis dalam bahasa Inggris yang terasa lebih luwes dan menyenangkan untuk digunakan, kemudian saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. 

Mungkin banyak yang tidak tahu, tapi dua hal ini adalah proses yang berbeda. Ketika saya mulai menulis dalam bahasa Inggris, apa yang terjadi adalah sebuah proses kreatif yang menuangkan sebuah pemikiran menjadi rangkaian kata. Selanjutnya yang terjadi adalah semata-mata menulis kembali apa yang saya baca supaya intinya tersampaikan dengan baik dalam bahasa Indonesia. Ini merupakan seni tersendiri. Google Translate memang berguna, tapi alat bantu ini tidak bisa meniru gaya tulisan seorang pengarang.

Selain itu, sejak beberapa bulan terakhir ini saya juga membantu menerjemahkan presentasi khotbah gereja. Yang paling terasa adalah fakta bahwa proses ini tidak segampang apa yang saya duga sebelumnya. Ada kalanya kata atau frase dalam presentasi tidak bisa diterjemahkan secara langsung. Kalau sudah begitu, terkadang saya jadi bertanya, kenapa bagian ini ditulis seperti itu? Apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh penulisnya? Menerjemahkan karya orang lain adalah sesuatu yang tidak begitu saya nikmati, namun tetap bisa saya kerjakan. Sama halnya dengan menulis untuk orang lain. Rasanya seperti pekerjaan, bukan hobi.  

Dan pengalaman terburuk sejauh ini adalah menerjemahkan secara langsung ketika pembicara sedang berceramah. Baru-baru ini saya alami peristiwa ini, begitu berkesan sampai-sampai menjadi inspirasi cerita kali ini. Saya tidak pandai berbicara menjabarkan sesuatu dan kalau dipaksakan, kadang terbata-bata. Hal ini, ditambah lagi dengan pengalaman pertama menjadi penerjemah untuk seorang pembicara yang cepat penuturannya, rasanya seperti sedang menaiki wahana rollercoaster

Sebelum mulai, yang terpikir di benak saya adalah sebuah proses seperti komputer yang menerima input dalam bahasa Inggris dan langsung menerjemahkannya ke bahasa Indonesia. Tapi tentu saja kenyataannya tidak akan semulus itu. Kinerja otak manusia tidak bisa mencerna data yang datang bertubi-tubi. Begitu saya tersangkut di satu kata, tiga atau empat kalimat pun terlewatkan dalam sekejap. Selain itu, saya sering kali tanpa sadar mencoba menyimak sebagai pendengar. Begitu saya duduk santai, lantas saya sadari bahwa saya adalah penerjemahnya. Rasanya tegang dan bikin mual, haha.  

Namun pengalaman teraneh adalah saat menjadi penerjemah untuk orang asing dan menjelaskan padanya apa isi surat cerai yang disampaikan oleh pengacara dari pihak istrinya. Sungguh tidak mengenakkan. Saya bersimpati pada pria yang dituntut ini, tapi saya tidak boleh memihak dan hanya bisa menjawab apa adanya ketika ditanya. Saya tidak bisa memberikan nasehat atau berbicara menurut pendapat saya. Untuk upah sebesar SGD 50, pekerjaan ini sungguh membuat cape mental! 

Kalau saya lihat kembali, menarik untuk diketahui bahwa menerjemahkan sesuatu dalam Inggris ke bahasa Indonesia dan juga sebaliknya adalah sesuatu yang bisa saya kerjakan. Mungkin saya bisa masukkan ini dalam pengalaman kerja saya, haha. Kendati begitu, seringkali prosesnya tidak begitu saya nikmati. Saya cenderung melakukannya karena perlu atau karena ingin tahu. Untuk sementara ini, mungkin saya tetap berkutat di bidang IT dulu saja...

Wednesday, September 28, 2022

Cobra Kai

I watched the original Karate Kid for the first time on Netflix a few months ago. I have to say that despite the hype, it wasn't a very good movie. It felt dated and low budget. I also had this impression that the movie seemed to end abruptly. But as someone who grew up in the 80s, the movie was a cultural phenomenon even in a place as remote as Pontianak. Well, the crane kick was, at the very least. The stance, it was world-famous. 

Years after I moved out from Pontianak, I saw a glimpse of Jackie Chan's Karate Kid. It didn't impressed me either. The one that caught my attention was the bits and pieces in How I Met Your Mother, a sitcom series that I enjoyed very much. Barney Stinson loved the Karate Kid, but instead of the protagonist, he liked the blonde one that many would deem as the bad guy in the movie. The scenes, especially in an episode called the Bro Mitzvah, were hilarious. Legend has it that the spoof renewed the interest in the Karate Kid and eventually inspired the birth of Cobra Kai.

In a way, it probably did. The story of Cobra Kai, especially the first season, was uniquely told from the perspective of Johnny Lawrence, a former bully from the Karate Kid and now a loser in his 50s. As far as I'm concerned, I didn't know any other series that did this and that made it all the more interesting. It took its time to tell just the right amount of story in a 30-minute format per episode. Enough to make you care about the characters. 

Johnny wasn't that smart, especially lacking in IT knowledge and he was as stubborn as hell (and these qualities made him unintentionally funny at times). Yet you'd believe that he was on the road to redemption, thanks to the accidental situation he was put into. You'd want to find out more and couldn't help clicking the next episode button! It was just that addictive, it'd get you hooked!

Now, if Johnny was supposed to the good guy, what happened to Daniel LaRusso then? He was not necessary a bad guy here because the world could apparently use two good guys, but he was having a hard time to believe that his former enemy would redeem himself. He certainly had his doubts after seeing the sign of Cobra Kai! Here was a dojo that taught the students to strike first, strike hard and no mercy! And Daniel surely had the first-hand experience with that kind of teaching!

As if the bad blood between the two wasn't good enough, the series also introduced the future generation in the form of Miguel, Robby, Samantha and others. They were given chances to shine or, to quote Johnny, to be badass. The writers put much effort on fleshing out their stories that by the end of it, you just gotta root for them! 

But apart from expanding to the future, the series also managed to look back and blend in perfectly with its past. The creators did it nice and slow, giving us the blast from the past bit by bit, season by season. By bringing back many characters from the Karate Kid series such as John Kreese, Ali, Chozen, Kumiko, Terry Silver, Jessica Andrews, Mike Barnes and many more, it became a universe of its own. Forget DCU, MCU, MonsterVerse or multiverse! Miyagi-verse certainly kicked ass!

I never cared much about the Karate Kid series before, but Cobra Kai was so old school and loveable. They didn't try very hard to create fighting scenes like Ip Man, but it just worked for the show. It was also so rich with Easter eggs, poking fun on mistakes they did during the Karate Kids. They also weren't afraid to rely on the good things they did back then. They built those up and gave the audience the moments we didn't know we had been waiting for. Many, such as Ghostbusters or Star Wars, had tried to have some form of continuity with their past, present and future, but none worked as well as Cobra Kai.

Right after I finished season 5, I watched again from the beginning. It was one helluva brilliant show, and it only got better as it progressed. The rewatch felt like rediscovering why I fell in love with the series a few years ago. The final battle with Terry Silver could have been the ultimate ending for the series, but no, it seems like they still have one more season to go and end this once and for all. Cobra Kai never dies!

PS: can't believe I can't get Coors Banquet here in Singapore!

Badass.



Cobra Kai

Baru-baru ini saya menonton Karate Kid di Netflix untuk pertama kalinya. Harus saya katakan bahwa meski sering terdengar namanya, filmnya tidaklah begitu bagus. Kesannya seperti film usang dan rendah anggarannya. Adegan tamatnya pun terasa terburu-buru. Namun sebagai seseorang yang tumbuh besar di tahun 80an, film ini merupakan fenomena budaya, bahkan di tempat terpencil seperti Pontianak. Paling tidak kita tahu tendangan bangaunya. Posenya memang terkenal. 

Bertahun-tahun kemudian, saya sempat melihat sekilas versi Jackie Chan. Karate Kid baru ini pun tidak mengesankan. Yang menarik perhatian justru referensi Karate Kid di How I Met Your Mother, salah satu serial komedi favorit saya. Barney Stinson menyukai Karate Kid, tapi bukan tokoh utamanya, melainkan pemuda pIrang yang sebenarnya merupakan musuh bebuyutan jagoan di film. Cerita tentang Karate Kid, terutama di episode yang berjudul Bro Mitzvah, luar biasa kocak. Konon berawal dari sinilah daya tarik terhadap Karate Kid kembali membumbung dan akhirnya menjadi inspirasi lahirnya serial Cobra Kai.

Cerita Cobra Kai, terutama di season pertama, sangat unik karena diceritakan dari sudut pandang Johnny Lawrence, anak muda jahat dari Karate Kid yang kini menjadi seorang pecundang di usia 50an. Sejauh yang saya tahu, sepertinya tidak ada serial lain dengan alur cerita seperti ini dan oleh karenanya sangat menarik. Ceritanya dibangun dengan pas dan proposional dalam format 30 menit per episode. Cukup untuk membuat penonton menjadi peduli dengan tokoh-tokohnya. 

Johnny tidaklah terlalu pintar, terutama dalam masalah IT. Dia pun keras kepala. Kombinasi semua ini membuatnya lucu tanpa disengaja dalam berbagai adegan, namun juga membuat anda bersimpati dengannya, bahkan penasaran bagaiamana situasi dan kondisi yang dilewatinya akan membawanya kembali ke jalan yang benar. Saya jadi selalu ingin tahu kelanjutannya dan tanpa sadar kerap kali menekan menu next episode! Begitu serunya cerita, sampai-sampai yang nonton jadi ketagihan.

Nah, kalau Johnny menjadi orang baik sekarang, lantas bagaimana dengan Daniel LaRusso? Dia tetap baik seperti semula dan jauh lebih sukses hidupnya sekarang, tapi dia masih sulit untuk percaya bahwa musuhnya ini bisa bertobat. Dia jelas ragu, terlebih lagi setelah dia melihat logo Cobra Kai! Ini dojo yang mengajarkan murid-muridnya untuk menyerang dulu, serang yang keras dan tanpa ampun! Daniel tentu takkan lupa dengan pengalamannya akan doktrin ini! 

Apabila perseteruan antara dua orang ini masih belum cukup, serial ini juga menampilkan anak-anak muda seperti Miguel, Robby, Samantha dan yang lain. Setiap tokoh ini juga memiliki alur cerita tersendiri yang memberikan mereka kesempatan untuk tampil memukau atau, mengutip kata Johnny, menjadi badass. Penulis serial ini tidak setengah dalam hati dalam bercerita sehingga penonton pun jatuh hati dengan mereka! 

Selain ekspansi ke masa depan, Cobra Kai juga kembali ke kisah masa lalu dan memanfaatkannya dengan baik. Idenya cemerlang, perlahan tapi pasti memberikan kita sedikit demi sedikit tokoh dari Karate Kid, mulai dari John Kreese, Ali, Chozen, Kumiko, Terry Silver, Jessica Andrews, Mike Barnes dan masih banyak lagi. Di era perfilman di mana kita mengenal DCU, MCU, MonsterVerse atau multiverse, Miyagi-verse memiliki tempat tersendiri di hati penonton.

Saya tidak pernah peduli dengan serial Karate Kid sebelum ini, tapi Cobra Kai menampilkan tahun 80an dalam kemasan modern sehingga begitu mempesona. Serial ini tidak menampilkan adegan pertarungan sebagus Ip Man, tapi apa adanya dan pas di cerita. Selain itu, ceritanya pun kaya dengan referensi masa lalu. Para penulisnya juga menggali kembali berbagai elemen cerita lama, membangun cerita baru dan memberikan hasil akhir yang tanpa sadar penonton nantikan. Banyak yang telah mencoba teknik ini, misalnya Ghostbusters atau Star Wars, tapi tidak ada yang sesukses Cobra Kai.

Setelah saya menyelesaikan season 5, saya langsung tonton ulang lagi dari awal. Memang bagus kisahnya, dan kian bagus ketika cerita berkembang dan bergulir. Menonton ulang serial ini membuat saya menemukan kembali, kenapa saya suka cerita ini beberapa tahun silam. Sempat saya kira bahwa pertarungan terakhir dengan Terry Silver adalah akhir dari Cobra Kai, tapi tampaknya mereka masih memiliki satu season lagi sebelum benar-benar usai! Cobra Kai takkan mati! 

PS: sulit dipercaya bahwa saya tidak bisa mendapatkan Coors Banquet di Singapura!

Sunday, September 25, 2022

Fight Back To School

Looking back, I believe I did know to a certain extent that Asterix was originally a comic written in French. However, the language was so rarely spoken in Pontianak that the only exposure I had up till the 90s was comment allez-vous. It was a joke in Stephen Chow's God of Gamblers III: Back to Shanghai. 

The next exposure of French language would come from my friend Parno. During the presentation of his final paper in English, Parno replied to the lecturer with a confidence only he would have, "I don't know the answer in English, but I know how to phrase it in French." His reply was so hilarious and stunning at the same time. The fellow students burst into laughter while the lecturer was caught by surprise and didn't exactly know how to react to this unexpected response. 

J'adore! Paris, 2016.

Since that moment onward, only Parno would speak French from time to time. When we wrote a rap song called Everyday I Go To School, he threw in je ne sais pas in a tone that sounded humorous. Then of course there was this favorite word of his: j'adore. It was so memorable and closely associated to him that I actually stopped and took the picture when I saw the word on a Dior advertisement in Paris.

It was only when I moved to Singapore that I heard of French more frequently than before. I couldn't help noticing that there were a lot of French people in the trading industry. They were literally everywhere. I remember telling my friend Keenan during our lunch at Bonchon Chicken that perhaps we should pick up French, too. 

Talking about French lessons over a Korean meal.

That was in 2019 and I was toying with the idea of learning French from that moment on. COVID-19 came not long after that and went away earlier this year, but the idea lingered. A few months ago, when I met a French of Lao origin, I mentioned that I had always wanted to learn French. The name Alliance Française popped up, I checked it out and I enrolled myself. And I was a student again for the first time in forever. I took the Mandarin class when I was living in Jakarta and almost 20 years had passed since then.

Studying language in 2022 turned out to be a very different experience than what I had gone through before. The lesson was conducted via Zoom. The whiteboard, audio and video were well-supported by today's technology. It was a far cry from those days at Longman, an English course I had back in Pontianak, when listening to an English conversation from a cassette tape was a luxury that came once in a blue moon. Also gone were the days of flipping a thick dictionary. Not only we could easily google the meaning, we could also listen to the pronunciation of the word. On top of that, you could find free French lessons on Spotify, too.

Heading to Alliance Française.

Another interesting fact was how the perspective and experience of an adult helped me in learning a new language. As a kid below six, I recalled that picking up new languages was a very natural and effortless thing to do (I spoke Hakka, Teochew and Bahasa Indonesia pretty fluently). Throughout my teenage years, English was a struggle until the Beatles came along. But now, as an adult, I was surprised to discover that the approach was somehow quite methodical.

I reckon it got to do with the experience I went through in life. In my case, I did a lot of troubleshooting in IT, so I'd often observe and register the patterns of the French language. For example, I noticed that it tended to skip the pronunciation of the last letter of a word. If we used chinois and chinoise as references (the former was masculine whereas the latter was the feminine form of the word Chinese), you'd hear the letter s when pronouncing chinoise. Little things such as this did help me in learning French.

The podcast on Spotify.

But of course as a language, French could be pretty intimidating. While most of the alphabets had the same pronunciation as Bahasa, there was no way I could figure out how to pronounce words such as quatre or cinq at a first glance. The was also no way to tell the masculine or feminine form of a noun, except by memorizing it. Those challenges aside, it had been quite fun, though. Unlike English, French seemed to be more relax in term of the structure of the sentences. You could just put a question mark at the end of what would have been a positive sentence in English and you'd be doing just fine.

So what had I learned so far? 
Bonjour. Comment allez-vous? Je m'appelle Anthony. Et vous? Je suis Singapourien et j'ai 42 ans. Je suis née en Indonésie. J'habite à Singapour. J'aime le cinéma, la musique et la lecture. Je parle indonésien, anglais, chinois et français. Au revoir, à bientôt.



Kembali Ke Sekolah

Jikalau dilihat kembali, saya tahu bahwa komik Asterix itu aslinya ditulis dalam bahasa Perancis. Kendati begitu, bahasa ini sangat jarang terdengar di Pontianak sehingga yang saya ingat dari sejak kecil sampai tahun 90an hanyalah comment allez-vous. Ini adalah lelucon dalam film Stephen Chow yang berjudul God of Gamblers III: Back to Shanghai. 

Wawasan tentang bahasa Perancis selanjutnya datang dari teman saya Parno. Di saat makalah bahasa Inggrisnya diuji, Parno menjawab pertanyaan dari dosennya dengan rasa percaya diri yang hanya dimiliki oleh Parno seorang: "saya tidak bisa ungkapkan dalam bahasa Inggris, tapi bisa saya jabarkan dalam bahasa Perancis." Jawabannya begitu konyol dan mencengangkan. Para mahasiswa tertawa geli dan dosen pun terkejut, tidak tahu bagaimana harus menanggapi respon tak terduga ini. 

J'adore! Paris, 2016.

Sejak saat itu, hanya Parno yang terkadang bercakap-cakap dalam bahasa Perancis. Ketika saya dan Parno menulis lagu rap berjudul Everyday I Go To School, dia bergumam, "je ne sais pas," dengan intonasi yang datar dan lucu. Kemudian ada lagi kata favoritnya: j'adore. Begitu berkesan dan identik dengannya, sampai-sampai saya berhenti dan memotret iklan Dior ini di Paris

Tatkala saya pindah ke Singapura, bahasa Perancis pun mulai sering terdengar. Di dunia jual-beli saham tempat saya bekerja, ada banyak orang Perancis. Mereka ada di mana-mana, sampai suatu ketika saya akhirnya berkomentar pada teman saya Keenan saat kita sedang makan Bonchon Chicken di Boat Quay bahwa mungkin ada baiknya kita mulai belajar bahasa Perancis juga. 

Berbincang tentang kursus bahasa Perancis sambil menyantap makanan Korea.

Ide tersebut melintas di benak saya di tahun 2019. COVID-19 datang melanda tak lama setelah itu dan perlahan-lahan lenyap sejak awal tahun ini, tapi minat saya untuk belajar tetap ada. Beberapa bulan silam, saya kebetulan bertemu dengan seorang Perancis yang merupakan keturunan Laos. Saya katakan padanya bahwa saya ingin belajar, lalu direkomendasikan olehnya untuk mencoba di Alliance Française. Segera saya daftar dan akhirnya saya kembali ke bangku sekolah. Terakhir saya ambil kursus Mandarin itu saat saya tinggal di Jakarta dan hampir 20 tahun telah berlalu semenjak itu.

Belajar bahasa di tahun 2022 adalah satu pengalaman yang sungguh berbeda dengan apa yang saya lalui sebelumnya. Kelasnya diselenggarakan lewat Zoom. Papan tulis, audio dan video pun sangat didukung oleh teknologi masa kini. Jauh berbeda dengan masa di Longman, sebuah tempat kursus di Pontianak. Saat itu, mendengarkan percakapan bahasa Inggris lewat kaset adalah sebuah peristiwa langka. Kebutuhan untuk membolak-balik kamus pun hilang sudah. Sekarang ini saya cukup mencari terjemahannya di Google. Saya bahkan bisa dengarkan cara pengucapannya! Selain itu, pelajaran gratis juga bisa dengan gampang dicari di Spotify sekarang.

Menuju ke Alliance Française di kawasan Newton.

Satu hal menarik yang juga saya rasakan sekarang adalah betapa sudut pandang dan pengalaman orang dewasa sangat membantu dalam belajar bahasa. Sebagai anak kecil yang berumur kurang dari enam tahun, belajar bahasa tidaklah merupakan masalah. Saya bisa berbicara Hakka, Teochew dan Bahasa Indonesia dengan lancar. Di usia remaja, bahasa Inggris terasa susah sampai saya bertemu dengan the Beatles. Sekarang, sebagai orang dewasa, saya terkejut saat menyadari bahwa cara belajar saya menjadi lebih metodik. 

Saya yakin ini ada hubungannya dengan pengalaman yang saya dapatkan dalam hidup. Dalam hal ini, saya sering memecahkan masalah IT di kantor, jadi saya cenderung mengamati pola bahasa Perancis yang saya pelajari. Sebagai contoh, bahasa ini cenderung mengabaikan bunyi huruf terakhir dalam suatu kata. Jika kita gunakan chinois dan chinoise sebagai referensi (yang pertama adalah versi maskulin sedangkan yang kedua adalah bentuk feminim dari kata Cina), anda akan mendengar huruf s saat mengucapkan chinoise. Hal-hal kecil seperti ini cukup membantu saat saya belajar bahasa Perancis.  

Podcast di Spotify.

Namun tentu saja sebagai bahasa, Perancis tergolong sulit. Meski hampir semua abjadnya memiliki lafal yang sama dengan bahasa Indonesia, saya tidak akan tahu cara baca quatre or cinq dalam pandangan pertama. Bahasa Perancis juga tidak ada struktur untuk membedakan apakah kata benda ini adalah maskulin atau feminim. Ini hanya bisa dihafalkan. Walau ada tantangan seperti yang disebutkan di atas, bahasa Perancis juga bisa dikatakan lebih santai dalam hal struktur kalimat. Anda cukup letakkan tanda tanya di ujung kalimat yang sebenarnya merupakan kalimat positif dalam bahasa Inggris dan jadilah kalimat tanya. 

Jadi apa yang sudah saya pelajari sampai sejauh ini? 
Bonjour. Comment allez-vous? Je m'appelle Anthony. Et vous? Je suis Singapourien et j'ai 42 ans. Je suis née en Indonésie. J'habite à Singapour. J'aime le cinéma, la musique et la lecture. Je parle indonésien, anglais, chinois et français. Au revoir, à bientôt.

Sunday, August 28, 2022

Malaysia Boleh: Johor

If you checked out the Malaysia Boleh series, you'd notice that I only wrote about Kuching, Malacca, Kuala Lumpur and Penang. Despite the fact that it was right to Singapore, I didn't write about Johor. To tell you the truth, it was exactly due to its close proximity that Johor felt... hazy. It was like a place I'd go only for a short getaway, so short that it was often a few hours trip only. 

At City Square, 2009.

As a result, I actually didn't know much about Johor. I did a quick get-in, get-out when I was looking for a job in Singapore. After that, I had a couple of day trips to Johor Bahru. I was at Larkin bus interchange and Senai Airport for a trip to Malacca and Kota Kinabalu in 2009. Then, in 2010, I had my first tandoori chicken in Pasir Gudang. I also had a lunch with Uncle Eddie and other ex-colleagues in Gelang Patah back in 2014. I remember seeing the signboad of Kluang and a glimpse of Segamat when I visited Wiwi in 2017.

But all those moments in Johor came and went like blurry images. I only understood it better this year, when I did the great crossing. That's when I really observed what Johor Bahru was like. Saw the Chinese and the Indian parts of it nearby the customs. Then, as I headed to Puteri Harbour for a Hard Rock moment, it dawned on me that Johor as a state was much more spacious and less compact than Singapore. During the visit with Alvin that happened about two months later, we went to Bukit Indah, a place that I visited two or three times before since I first entered Johor in 2006.

In Bukit Indah with Alvin and Landak.

And the last trip I had brought me to the easternmost tip of Johor: Desaru Coast. I always loved the idea of lazing around at the hotel and this one was exactly that. Between Westin and Hard Rock Hotel, I chose the latter. Wasn't that great, though. The swimming pool reminded me of Wild Wild Wet in Singapore. The hotel was less superior, too. You'd feel that there was nothing special with the beach, especially if you'd been to places like Bali or Boracay. On top of that, the nearest town with a decent food was about 10 KM away, so Desaru Coast was actually quite secluded.

I had never been to the west side of Johor, but Google Maps did show that there was a town called Batu Pahat and it was famous for durians. Now, conclusion? Even I felt that this was a rather uninspiring article, haha. It reflected the feeling I had about Johor. Unlike Penang or Malacca, it lacked character. One would arguably go there because everything was three times cheaper than Singapore, but that was pretty much it. Perhaps it was just hard to be special when the place was located so close to Singapore.

Family trip, 2022.
 


Malaysia Boleh: Johor

Jika anda melihat kembali serial Malaysia Boleh, anda akan menyadari bahwa saya hanya menulis tentang Kuching, Malacca, Kuala Lumpur dan Penang. Meskipun letaknya bersebelahan dengan Singapura, saya tidak menulis tentang Johor. Jujur saya katakan bahwa karena lokasinya yang berdekatan itulah maka Johor terasa tidak jelas. Saya hanya ke sana untuk liburan singkat, bahkan seringkali hanya beberapa jam lamanya di sana. 

Di City Square, 2009.

Alhasil, saya tidak tahu banyak tentang Johor. Saya beberapa kali masuk dan keluar dari Johor sewaktu saya mencari kerja di Singapura. Setelah itu saya, sempat mampir beberapa kali ke Johor Bahru. Saya berada di terminal bis Larkin dan bandara udara Senai untuk berlibur ke Melaka dan Kota Kinabalu di tahun 2009. Kemudian di tahun 2010, saya mencicipi ayam tanduri untuk pertama kalinya di Pasir Gudang. Saya juga makan siang bersama Uncle Eddie dan juga mantan kolega lainnya di Gelang Patah pada tahun 2014. Setelah itu saya sempat melihat papan nama Kluang dan juga melintasi kota Segamat saat mengunjungi Wiwi di Kota Kemuning. 

Tapi semua kenangan ini terasa buram dan kurang berkesan. Baru sekarang saya mulai memahami Johor, tepatnya ketika saya berjalan kaki menyeberang ke sana. Di saat itulah saya baru benar-benar mengamati, seperti apa sesungguhnya Johor Bahru ini. Sempat saya lihat bagian kota bernuansa Cina dan India di dekat perbatasan. Dari situ saya bertolak ke Puteri Harbour untuk membeli kaos Hard Rock. Selama perjalanan ke sana, saya lihat bahwa negara bagian Johor memang lebih luas dan tidak sepadat Singapura. Kunjungan berikutnya bersama Alvin juga membawa saya kembali ke Bukit Indah, tempat yang pernah saya singgahi dua atau tiga kali sebelumnya, sejak saya pertama kali menjejakkan kaki di Johor pada tahun 2006.

Di Bukit Indah bersama Alvin dan Landak.

Dan liburan terakhir pun membawa saya ke ujung timur Johor: Desaru. Saya selalu suka ide bersantai di hotel dan liburan kali ini terwujud persis seperti yang saya harapkan. Antara Westin dan Hard Rock Hotel, tentunya saya pilih Hard Rock. Tapi yang di Desaru ini tidak sebagus hotel serupa yang ada di Sentosa. Kolam renangnya pun mirip Wild Wild Wet di Singapura. Pantainya juga biasa, terutama bila anda sudah pernah berkunjung ke Bali atau Boracay. Selain itu, kota terdekat jaraknya 10 KM dari hotel, jadi lokasi Desaru ini sebenarnya agak terpencil.  

Saya tidak pernah mampir ke sisi barat Johor, tapi dari Google Maps terlihat bahwa ada kota lain yang bernama Batu Pahat dan kota ini terkenal dengan duriannya. Nah, kesimpulannya? Bahkan saya sendiri beropini bahwa tulisan kali ini terasa miskin inspirasi, haha. Tapi inilah yang saya rasakan tentang Johor. Berbeda dengan Penang atau Melaka, Johor terasa kurang berkarakter. Banyak yang ke sana mungkin lebih cenderung karena barang-barangnya tiga kali lebih murah dari Singapura. Mungkin karena lokasinya yang terlalu dekat dengan Singapura, maka Johor terasa tidak istimewa. Lebih enak di Batam!

Family trip, 2022.

Sunday, August 14, 2022

Book Review: Zhuan Falun

I would categorise myself as an avid reader. There were times when I happened to read something unusual such as Hotel K and I still ended up finishing it at my regular reading speed, which was about a month per book. But for the first time ever in God knows how long, I actually struggled reading a book that it took me seven months to finish it. I put three new books from my favorite author aside because of this one!

I didn't really follow how this topic came about, but when I joined the conversation in our chat group, they were already talking about the controversial book. My friend Jimmy insisted that it was a good book and he challenged everyone to read it instead of just making comments based on what they might have heard. When I said I would read it, he imposed on me the condition that the book had to be read at least twice. I shot back that he must watch the eight-hour Beatles Anthology series twice as well.

Thus began the deal. The book was easily obtained from amazon.com. Once I got it, I immediately understood why he said many people he knew had had given up after few pages. The book was indeed controversial that it challenged the belief system one might have known his or her entire life. As an example, I had a Catholic background and I believed in Christianity. When we had the introduction of Buddhism during one of my talkshow sessions, I found myself subconsciously resisting what I heard.

This book was much more provoking than that, so the immediate response I had in mind was, "what an utter nonsense!" But we had a deal, so I took the empty glass approach. I knew nothing about this book, but I didn't need to judge it. I'd just read it and see what it was about. Once I adopted this mindset, the experience was not as revolting as before. But still it wasn't a pleasant reading experience. It was not engaging and it tended to be boring at times.

The author was Master Li. Throughout the book, he explained his version of qigong. I often associated this to a slow-moving exercise done by a bunch of old people in the park. Alternatively, I'd think of Jet Li doing some fancy moves in his movies. At the vaguest level, I seem to recall that it was practiced for healing purpose. But according to Master Li, this was a low level understanding of qigong.

His ultimate version of qigong was a very complex stuff involving karma, third eye and many Chinese jargons. Oh yes, he said stuff like de (the good substance), gong (the energy) fashen (the protective aura) and many more. These words were not translated in English that after a while, I just couldn't recall what they actually meant. It just reminded me of the word smurf, which could mean anything.

He then brought it up a notch by referencing heavily on Buddhism, Taoism and Chinese history. He talked about the enlightenment of Shakyamuni, which was all right. But then there were stuff like each Buddha owning one heaven, which meant there were multitudes of heavens. He also told the story about how he defeated the snake demon from Ming Dynasty. On one of the chapters, he talked about the same soul that lived in multiple dimensions and affected one another. Reading all this, I couldn't help thinking of Marvel's multiverse, starring Dr. Strange.

I mentioned earlier that I struggled reading the book. It was this mind-boggling part that deterred me from reading it. Certain parts of his preaching that reminded us not to show off and be righteous, they were fine. But most of the parts, such as the explaining he was the only who could install the wheel of Falun into somebody, were beyond my comprehension. I'm an IT guy and my idea of installation involved the next and install buttons.

It was a relief when I finished reading the book. I wanted to say that it was seven month of my life that I wouldn't get back, but I couldn't. If anything, it had been an unusual journey. Not life-changing like the Beatles, but it was definitely a glimpse of how astonishing that people would actually subscribe to this. But then again, perhaps the same would be said by the non-believers. 

As for our deal, I am quite certain that I'm not going to read it twice. It was, to put mildly, an exhausting experience. I'd like to resume those new books by Sinead Moriarty that I was supposed to read. And talk about the Beatles Anthology, Jimmy didn't watch it. He simply said that I didn't send him the DVD box set. Oh, but I will. Just wait for it! 

Zhuan Falun and the Beatles Anthology.



Ulasan Buku: Zhuan Falun

Saya cenderung berpendapat bahwa saya ini bisa dikatakan tergolong kutu buku. Bahkan di saat membaca buku dengan topik yang bukan pilihan saya pun, misalnya Hotel K, masih juga saya lahap dengan kecepatan membaca yang sama, kira-kira sebulan per buku. Tapi untuk pertama kalinya entah sejak kapan, saya berjuang keras dalam tujuh bulan terakhir untuk menyelesaikan satu buku. Bahkan tiga buku terbaru karangan penulis favorit saya jadi tertunda untuk dibaca karena buku yang satu ini. 

Saya tidak ingat bagaimana asal mula topik ini, namun ketika saya bergabung dalam percakapan yang sedang berlangsung di grup SMA, teman-teman sudah berbicara tentang buku yang kontroversial ini. Teman saya Jimmy bersikeras bahwa ini adalah buku yang bagus dan dia menantang yang lain untuk membaca dulu sebelum berkomentar panjang-lebar hanya karena apa yang mereka dengar. Ketika saya berkata bahwa saya akan membacanya, dia menekankan bahwa saya harus membacanya dua kali. Saya lantas berujar, kalau begitu dia juga harus menonton serial the Beatles Anthology yang berdurasi delapan jam sebanyak dua kali. 

Terjadilah perjanjian baca-nonton ini. Buku ini kemudian saya dapatkan dari amazon.com. Begitu saya terima dan baca, saya langsung menyadari kenapa Jimmy berkata bahwa banyak kenalannya yang menyerah setelah membaca beberapa halaman pertama. Buku ini sungguh kontroversial dalam arti bertolak-belakang dengan apa yang mungkin telah dipercaya pembaca sepanjang hidupnya. Sebagai contoh, saya dibesarkan di lingkungan dan pendidikan Katolik dan saya juga percaya Kristen. Ketika seorang teman berbagi cerita tentang pengenalan agama Budha di acara obrolan santai yang saya selenggarakan, terus-terang saya juga tanpa sadar merasa sulit untuk percaya dengan pemaparannya. 

Dan buku ini jauh lebih provokatif. Apa yang langsung terpikir di benak saya adalah, "omong kosong macam apa ini." Tapi karena kita sudah berjanji, saya lantas menggunakan pendekatan cangkir kosong. Saya beranggapan bahwa saya tidak tahu apa-apa dan saya tidak perlu menghakimi apa yang ditulis di buku. Saya hanya perlu membaca dan mencari tahu, tentang apa buku ini sebenarnya. Begitu saya mengadopsi pemikiran ini, pengalaman membaca buku Zhuan Falun tidak lagi seburuk sebelumnya. Ya, memang masih tidak menyenangkan seperti buku lain yang biasa saya baca, tapi ini cenderung karena terasa membosankan.  

Penulis buku ini adalah Master Li. Lewat buku ini, dia memaparkan tentang qigong menurut versinya. Selama ini saya sering berpikir bahwa qigong ini olahraga pelan yang sering diperagakan sekumpulan orang tua di taman. Selain itu, hal yang sama juga mengingatkan saya tentang film Jet Li. Dan kalau saya tidak salah ingat, sepertinya pernah saya baca bahwa qigong ini semacam pengobatan tradisional yang menyembuhkan. Akan tetapi menurut Master Li, semua itu adalah pemahaman tingkat rendah tentang qigong

Versi qigong menurut Master Li sangatlah kompleks dan melibatkan karma, mata ketiga serta banyak istilah Mandarin. Oh ya, dia menggunakan kata-kata seperti de (substansi baik), gong (energi) fashen (aura pelindung) dan masih banyak lagi. Kata-kata ini, terutama yang jarang muncul, cenderung tak diingat artinya ketika muncul lagi bab berikutnya. Saya justru jadi teringat tentang kata smurf yang bisa berarti apa saja, tergantung kalimatnya.

Master Li kemudian membahas lebih dalam lagi dengan menggunakan banyak referensi Budhisme, Taoisme dan sejarah Cina. Dia berbicara tentang pencerahan yang dialami oleh Sakyamuni dan sampai sejauh ini masih bisa saya terima. Tapi dia kemudian membahas tentang satu Budha memiliki satu surga dan potensi keberadaan begitu banyak surga. Dia juga bercerita tentang bagaimana dia akhirnya memusnahkan siluman ular yang telah hidup dari sejak zaman Dinasti Ming. Di bab lainnya, dia berkisah tentang jiwa manusia yang hidup di berbagai dimensi dan mempengaruhi satu sama lain. Yang terbayang setelah membaca semua itu adalah kisah multiverse yang baru-baru ini muncul di film Marvel dan menampilkan Dr. Strange. 

Saya sampaikan di awal cerita bahwa saya berjuang untuk membaca buku ini. Adalah hal-hal yang mencengangkan di atas yang membuat saya enggan membaca lebih lanjut. Bagian di mana dia menasehati pembaca untuk tidak pamer dan bijak dalam menyikapi hidup adalah sesuatu yang bisa dicerna. Namun lebih banyak hal-hal yang sulit saya pahami, misalnya hanya dia yang bisa melakukan instalasi roda Falun ke tubuh seseorang. Bagi saya yang berprofesi di bidang IT, instalasi bisa dilakukan siapa saja dan hanya melibatkan tombol next dan install

Ada rasa lega setelah usai membaca. Ada pula niat untuk berkata bahwa tujuh bulan ini terbuang sia-sia, tapi sejujurnya tidak begitu. Ini adalah sebuah pengalaman yang unik. Tidak mengubah hidup saya seperti halnya the Beatles, tapi cukup memberikan gambaran tentang kenapa ada saja orang yang bisa percaya hal seperti ini. Di satu sisi, saya jadi berpikir bahwa hal yang sama pun bisa dikatakan oleh mereka yang tidak percaya dengan Yesus. 

Mengenai perjanjian kita di atas, saya tidak melihat kemungkinan bahwa saya akan membaca buku ini lagi untuk kedua kalinya. Bila saya simpulkan, membaca buku ini adalah sebuah pengalaman yang melelahkan. Lebih baik saya lanjut membaca tiga buku karangan Sinead Moriarty yang sudah saya beli. Dan, hei, bicara tentang the Beatles, Jimmy tidak menonton dokumenternya. Alasannya karena saya tidak mengirimkan DVD the Beatles kepadanya. Oh, kalau begitu akan saya kirimkan. Tunggu saja!