Total Pageviews

Translate

Monday, October 26, 2020

The Curious Skill Of Walking Away

I think it's safe to say that I'd been doing IT troubleshooting for the past two decades. From college, Kalbe days, till now. I could tell you that there was an inexplicable fun in solving problems. Of course some days could be so miserable that I had to questioned myself, how on earth did I end up with this job again? Life as an IT man was pretty unpredictable that there was never a boring moment. That's what kept me going, I reckon.

Along the way, I learnt many things. Some weren't technical at all, including the one that I'd like to share with you today. This particular skill was rather unique and I couldn't say if I had mastered it properly, because it was a rather contradicting one. In order to understand why I said so, allow me to take one big round to explain.

You see, oftentimes, when I was so engrossed in troubleshooting, there was this lingering feeling that I was so close to solving it. Perhaps it got to do with my ego and, unfortunately, ego was a double-edged sword. As I pushed myself to carry on trying, I either made it or was misled even further from the truth.

This is where the skill of walking away became useful. I first stumbled upon this in college, when I got a problem with the html coding. I didn't really recall how or why I decided to walk away, especially from something as important as a dissertation for college degree, but it must be really bad that I really couldn't go any further. 

Much to my surprise, new ideas came rushing in not long after I stopped trying. I then realized that I had taken a wrong turn that the harder I tried, the worse it got. By walking away and letting go, albeit reluctantly, I accidentally gave myself a chance to look at things from a different angle.

I couldn't speak for others, but prior to this event, I often heard that giving up was so shameful that it was not even an option. Nobody told me that I could walk away for a while. Furthermore, this act of walking away was not the same as giving up. It was more like losing a battle, but you'd eventually return and win the war. 

Later on in life, I also learnt that the same skill was also useful in responding to others. To be specific, some emails could be downright rude and they pissed you off. Replying them immediately while you were angry might have a disastrous impact. You were not in the right mind and your judgement was clouded, therefore it was wiser for you to walk away. Just go and take a leak or something. You'd be surprised how this actually gave you time to process the unpleasant information and react to it in a better way. 

By now, hopefully you got the idea that walking away was not necessarily a negative or wrong thing to do. Doing so might actually provide you the solution you had been looking for. But like I said earlier, it wasn't a skill that came naturally, at least not for me. My biggest challenge was, sometimes I didn't always know when to stop. That, perhaps, is another skill that I've yet to learn, haha.

Do I stop or carry on?
Photo by Nicholas Tham.




Keahlian Dalam Berhenti Sejenak Dari Masalah

Kalau saya lihat kembali, rasanya tidak salah untuk berkata bahwa saya sudah bergelut di bidang IT troubleshooting selama dua dekade. Ya, mulai dari kuliah, waktu di Kalbe, sampai hari ini. Apa yang saya kerjakan ini memberikan kesenangan tersendiri. Tentu saja ada juga hari-hari yang begitu buruknya sehingga saya jadi bertanya sendiri, kenapa saya memilih profesi ini. Akan tetapi hidup seorang IT tidak pernah membosankan, terutama karena ada saja aneka masalah yang bermunculan setiap hari. Saya kira tantangan inilah yang membuat saya suka dengan pekerjaan saya. 

Selama 20 tahun ini, saya belajar banyak hal. Tidak semua bersifat teknis, termasuk juga apa yang hendak saya bagikan ini. Keahlian ini agak unik dan saya sendiri tidak begitu menguasainya. Untuk memahami kenapa saya berkata demikian, mari simak penjelasan berikut ini.

Yang namanya troubleshooting itu sangat menyita perhatian dan senantiasa ada kesan kalau masalah yang dihadapi sepertinya akan segera teratasi. Hal ini mungkin ada kaitannya dengan ego yang tak ubahnya seperti pedang yang tajam di dua belah sisinya. Semakin saya memaksakan diri untuk tetap mencoba, bisa jadi peluang saya untuk berhasil menjadi semakin besar. Di satu sisi, kalau saya salah langkah dari sejak awal, yang terjadi justru saya kian terjerumus lebih dalam lagi.  

Di situasi seperti inilah keahlian untuk berhenti sejenak dari masalah itu berguna. Saya pertama kali menyadari hal ini ketika saya menghadapi masalah dalam pemrograman html di semester terakhir kuliah. Saya tidak ingat lagi kenapa saya memutuskan untuk berhenti, terutama saat mengerjakan hal sepenting skripsi. Mungkin saja saat itu saya sudah benar-benar merasa buntu.  

Ketika saya melangkah pergi dari komputer, mendadak ide-ide baru bermunculan. Saya tertegun, lalu menyadari bahwa saya sudah keliru dari sejak awal, sehingga semakin dikerjakan, semakin salah pula jadinya. Ketika saya berhenti sejenak, secara tidak sengaja saya memberikan kesempatan bagi saya sendiri untuk melihat kembali apa yang saya kerjakan dari sudut pandang yang berbeda. 

Saya tidak tahu apakah anda sering mendengar tentang hal ini, tapi sedari kecil, saya sering mendengar bahwa menyerah itu adalah perbuatan yang memalukan. Menyerah itu bukan pilihan. Akan tetapi tidak pernah ada yang memberitahukan kepada saya bahwa sebenarnya saya bisa berhenti sejenak. Lebih penting lagi, berhenti sejenak itu tidak sama dengan menyerah. Mungkin lebih cenderung menyerupai kekalahan dari suatu pertarungan, tapi akhirnya kita akan kembali dan memenangkan pertempuran. 

Ketika usia saya kian bertambah, saya mengamati bahwa keahlian yang sama juga bisa dipergunakan saat kita hendak merespon pendapat orang lain. Lebih spesifik lagi, yang namanya email kantor itu kadang ada yang kasar isinya dan mengesalkan pula. kalau kita jawab langsung saat emosi kita terpicu, bisa saja timbul kesalahpahaman yang sebenarnya bisa dielakkan. Di saat seperti ini, lebih baik kita menjauh sebentar. Mungkin ke toilet dan kencing saja dulu, haha. Dalam waktu singkat, anda akan merasa lebih tenang dan bisa mencerna informasi dengan lebih rasional. Alhasil, anda pun bisa menyikapinya dengan lebih baik. 

Sampai sejauh ini, saya harap anda mengerti bahwa berhenti sejenak dari masalah yang sedang anda hadapi bukanlah sesuatu yang negatif. Justru sebaliknya, mungkin saja anda menemukan solusi yang tadinya anda cari-cari. Namun seperti yang saya jelaskan sebelumnya, keahlian ini bukanlah sesuatu yang terasa alami bagi saya. Tantangan terbesar saya adalah, terkadang saya tidak tahu kapan saya harus berhenti. Mungkin saja ini adalah sesuatu yang masih harus saya telaah dan pelajari, haha. 

Sunday, October 18, 2020

Book Review: Tintin

I told you before that comics were quite a permanent fixture in my childhood. In hindsight, the fact that I love reading might be started by this hobby of comics reading. I was lucky that a small town such as Pontianak had so much for kids to read. Back in the 80s and 90s, I read American comics featuring both DC and Marvel superheroes as well as Disney characters like Scrooge McDuck, European comics such as Smurf, Hong Kong manhua that was started by Tiger Wong and a lot of Japanese manga, for example One Piece.
 
During that period, I noticed Tintin, too. I remember browsing through Destination Moon at my cousin's house. However, I wasn't a fan back then. Tintin had too much words to read, haha. Furthermore, it wasn't as funny as Asterix. It was only much later in life that I started to appreciate Tintin. The girl I liked, who turned out to be my wife now, was an avid fan. That's when I began reading Tintin again.

The framed covers Yani bought in Vietnam.

Now, the girlfriend effect aside, Tintin was actually cool. Of course Tintin wasn't as crazy as Asterix (anyway, one was Belgian, the other was French, haha), but he was just as adventurous. When I bought Yani the Adventures of Tintin that collected three stories in one book, I read it, too. I was impressed by the Broken Ear. Even the title sounded mysterious! That's when I found out that Tintin was fascinating, too.

Fast forward to year 2020, I suddenly saw an ad on Facebook that a Tintin box set, collecting stories from Tintin in America to Tintin and the Picaros, was offered at only SGD 55. To think that the usual price is about SGD 210 on bookdepository.com or USD 108 on Amazon.com! Yes, it wasn't a complete box set and I had no idea why Tintin in the Land of the Soviets, Tintin in Congo and Tintin and Alph-Art were excluded. But still it was a good deal, so I grabbed the box set immediately. 

The book I bought for her. It was through this book that I read the Broken Ear for the first time.  

That's how my adventure with Tintin resumed. The first book, Tintin in America, felt very odd and disjointed, but then it got better. The Blue Lotus was an early masterpiece. Chang, the Chinese character in the story, was actually based on Hergé's lifelong friend. He would reappear again 25 years later, this time in a story called Tintin in Tibet. This was also another good entry.

Now, how did I know this background story? Well, every time I finished an episode, I checked it out on Wikipedia. Some of Tintin's adventures, including the Blue Lotus, were very old that they were actually written before World War II. It portrayed events that happened during that period. Early stories felt stereotyping at times, but Hergé did his homework and his writing from the Blue Lotus onwards outgrew this kind of storytelling. 

Our latest Tintin box set and its content!

Apart from this, Hergé's effort in making his story as realistic as possible in the era before internet is also worth noting. Case in point, 15 years before Neil Armstrong became man on the moon, Tintin and friends set foot there and had a mind-blowing adventure. For a comic book, the details and accuracy were quite impressive.

Talk about Tintin's friends, one simply couldn't ignore the fun of having Captain Haddock around. He and his penchant for cursing made the story alive. My favourite is bashi-bazouk! I mean, how's an Ottoman soldier a curse word? Haha. Then there were Thomson and Thompson that provided, to be precise, a hilarious one liner.

Tintin did have a lot of recurring characters, be it bad guys or good guys. This, coupled with adventures such Prisoners of the Sun (another grand title that I like), the Castafiore Emerald (an unusual adventure at home) and Flight 714 to Sydney (Tintin's visit to Jakarta), is what made Tintin great. For a series that is almost 100 years old, it's amazing how Tintin stays readable and relevant. 

When the books are lined up, they spell Tintin!



Ulasan Buku: Tintin

Saya pernah bercerita sebelumnya bahwa komik senantiasa mengisi masa kecil saya. Kalau saya lihat kembali, hobi saya dalam hal membaca mungkin dimulai dengan komik. Saya beruntung karena meski kecil kotanya, Pontianak memiliki aneka komik bagi anak-anak tahun 80an. Saya membaca komik Amerika yang menampilkan para pahlawan super DC dan Marvel. Selain itu ada juga komik Disney seperti Donal Bebek dan Paman Gober. Lalu ada lagi komik Eropa seperti Smurf, komik Hong Kong seperti Tiger Wong dan komik Jepang seperti One Piece
 
Di masa ini saya juga sempat membaca sekilas tentang Tintin. Saya ingat bahwa saudara saya memiliki buku yang berjudul Ekspedisi ke Bulan. Akan tetapi Tintin panjang dialognya sehingga banyak yang harus dibaca, haha. Lagipula Tintin tidak selucu Asterix yang saya gemari pada saat itu. Setelah beranjak dewasa, saya baru kembali menyimak Tintin. Gadis yang saya sukai, yang kemudian menjadi istri saya, adalah penggemar Tintin. Dari sinilah saya mulai membaca Tintin lagi. 

The framed covers Yani bought in Vietnam.

Tanpa efek seorang pacar pun Tintin tetap enak dibaca. Ya, cerita Tintin memang tidak segila Asterix (jelas beda karena satu dari Belgia, satunya lagi dari Perancis, hehe), tapi seperti halnya Asterix, Tintin juga bertualang ke banyak tempat. Ketika saya membeli the Adventures of Tintin untuk Yani, saya juga membaca kisahnya dan terpesona dengan Patung Kuping Belah. Judulnya berkesan misterius! Dari buku inilah saya mulai menyukai Tintin. 

Kira-kira sebulan yang lalu, saya melihat iklan tentang koleksi Tintin di Facebook. Kumpulan ceritanya berawal dari Tintin di Amerika sampai dengan Tintin dan Picaros. Harganya cuma SGD 55 atau sekitar 600 ribu rupiah. Sekedar perbandingan, koleksi Tintin yang serupa dijual seharga SGD 210 (2,3 juta rupiah) di bookdepository.com atau USD 108 (1,6 juta rupiah) di amazon.com. Jadi iklan Tintin yang dijual di Shopee ini benar-benar banting harga. Ya, koleksi yang satu ini tidak menyertakan Tintin di Soviet, Tintin di Kongo dan juga Tintin dan Alph-Art, namun tetap saja menarik dengan harga semurah itu, jadi saya langsung memesan satu set.

Buku yang saya beli untuk Yani.  Lewat buku inilah saya membaca kisah Patung Kuping Belah untuk pertama kalinya.

Saya lantas melanjutkan lagi petualangan bersama Tintin. Kisah pertama, Tintin di Amerika, terasa seperti penggalan cerita yang digabung menjadi satu dan tidak terlalu berkesinambungan. Kendati begitu, Lotus Biru yang merupakan kisah ketiga di buku pertama adalah sebuah karya yang bagus. Chang, bocah Cina yang muncul di tengah cerita, terinspirasi dari teman baik Hergé yang juga sama marganya. Setelah episode ini, Chang muncul lagi 25 tahun kemudian di dalam cerita Tintin di Tibet. Ini juga kisah yang menakjubkan. 

Oh ya, mengapa saya bisa tahu latar belakang Chang? Setiap kali saya menyelesaikan satu cerita, saya membaca tentang sejarahnya di Wikipedia. Beberapa petualangan Tintin, termasuk Lotus Biru, ditulis sebelum Perang Dunia II. Kisah Tintin menampilkan peristiwa yang terjadi pada saat itu. Ada kalanya karya awal Hergé terkesan stereotip, namun Hergé lantas melakukan riset dan tulisannya mulai sejak Lotus Biru kian menjauhi stereotip pada saat itu. 

Kumpulan kisah Tintin.

Selain itu, upaya Hergé dalam membuat cerita yang akurat dan realistis di era sebelum internet juga menarik untuk dicatat. 15 tahun sebelum Neil Armstrong menjejakkan kaki di bulan, Tintin dan teman-temannya sudah menjelajah permukaan satelit bumi kita ini. Untuk ukuran komik, detil dan keakuratannya sangat mengesankan. 

Berbicara tentang teman-teman Tintin, adalah Kapten Haddock yang membuat cerita menjadi lebih hidup. Saya suka sumpah serapahnya yang tidak karuan dan favorit saya adalah bashi-bazouk. Frase ini sebenarnya berarti prajurit bangsa Ottoman yang berasal dari Turki, haha. Kemudian ada lagi. Thomson dan Thompson, dua detektif yang tidak kompeten dan lucu komentarnya. 

Tintin memiliki banyak tokoh yang muncul berulang kali, baik karakter baik maupun jahat. Hal ini, ditambah lagi dengan petualangan yang menarik seperti Tawanan Dewa Matahari (satu lagi judul yang mistis dan mengesankan), Zamrud Castafiore (satu-satunya petualangan yang terjadi di rumah Kapten Haddock) dan Penerbangan 714 (Tintin mampir ke Jakarta), adalah alasan kenapa Tintin memang memukau. Untuk serial yang hampir berumur 100 tahun, luar biasa rasanya bahwa Tintin masih relevan dan enak dibaca. 

Kalau bukunya diurut, akan tereja nama Tintin!

Wednesday, October 14, 2020

The Mystery Of Staying Healthy

When I suggested to my daughter to turn off the aircon, she often replied me this, "you are from Pontianak, Papa. That's why you can stand the heat."

I'd smile when I heard that. I reckon there was some truth in her innocent comment. I don't recall complaining about the weather in Singapore and I certainly could sleep soundly without aircon at night. 

Furthermore, come to think of it, the concept of turning on the aircon just for us to hide beneath the comforter were a rather strange behaviour. It was like trying to stay warm in a room conditioned to be below 20 degrees. What a struggle! We might as well switch off the aircon and sleep without any blankets.

And that's exactly what I did last December, when my family went back to Bandung. Since I slept alone, I had the liberty of not switching on the aircon. I noticed that when the night was hot, there was this feeling that I had slept for long hours, though in reality it was only two or three hours. I knew this because sometimes I checked my phone when I woke up to drink water. After midnight, the temperature normally dropped and I really had a good sleep. It got even better when it was raining! Since then, I enjoy sleeping without aircon again. It felt just nice.

Right around the same time, I had a trip to Semarang with high school friends. I knew we'd hang out till late at night, so I took vitamin C as an antioxidant and a way to boost up immunity. Simply put, I didn't wish to fall sick, but long after holiday was over, the habit continued. My work could be stressful and long hours at times. Since I didn't eat fruits regularly, I thought vitamin C would help.

Now, up until here, you might be wondering why I'd been telling you two seemingly unrelated events. The truth is, I used to suffer from the complete package of illness every two or three months: sore throat, runny nose and fever. However, it'd been close to a year since I first did two things I mentioned above and I never fell sick thus far. I still sneezed a bit sometimes, but I had neither sore throat or fever. It was unprecedented! 

I don't really know which one is the main contributing factor of me being so healthy. There were times when I thought that perhaps it got to do with the mindset. I mean, yes, vitamin C might have done its job, but let's not discount the fact that I might have been subconsciously telling myself I always felt healthy after consuming vitamin C. Talk about the power of suggestion!

I did a basic check-up recently and the result was good, so there was no side effect of taking vitamin C for the past 10 months. It'd been quite unbelievable and miraculous, I'd say, because I never expected to be in such a good health for almost one year. I hadn't even touched my 14 days sick leave entitlement yet! What I did worked out well for me, so if this story makes any sense to you, feel free to give it a try!


Vitamin C and aircon.


Misteri Kesehatan

Setiap kali saya menyarankan putri saya untuk mematikan AC, dia sering menjawab saya seperti ini, "tapi Papa berasal dari Pontianak, makanya bisa tahan cuaca panas." 

Saya tersenyum saat mendengar celotehannya yang polos itu. Mungkin ada benarnya juga. Saya tidak ingat kalau saya pernah mengeluh tentang cuaca di Singapura dan saya tetap bisa tidur nyenyak tanpa AC di malam hari.

Kalau dipikirkan lebih lanjut, konsep menyalakan AC dan lantas bersembunyi di balik selimut itu sebenarnya agak janggal. Kita jadi seakan-akan mencari kehangatan di dalam ruangan yang kita atur temperaturnya sehingga berada di bawah 20 derajat. Akhirnya jadi semacam perjuangan! Daripada repot begitu, kenapa tidak kita matikan saja AC-nya dan tidur tanpa selimut? 

Dan ini yang saya lakukan di bulan Desember lalu, ketika istri dan anak-anak pulang ke Bandung. Karena tidur sendiri, saya memiliki kebebasan untuk tidak menyalakan AC. Saya amati bahwa di kala panas itu saya rasanya sudah tidur lama sekali, padahal kenyataannya cuma dua atau tiga jam. Saya bisa mengetahui hal ini karena saya memiliki kebiasaan untuk mengecek telepon genggam saat terbangun untuk minum air putih. Di tengah malam, cuaca akan berubah menjadi dingin dan jadi enak untuk tidur. Bilamana malam itu hujan, akan lebih nyenyak lagi tidurnya. Sejak itu, saya kembali menyukai tidur tanpa AC. Rasanya pas!  

Di saat yang hampir bersamaan, saya berlibur bersama teman-teman SMA ke Semarang. Saya tahu bahwa kita akan berbincang hingga larut malam, jadi saya rutin meminum vitamin C sebagai antioksidan yang berguna untuk menjaga imunitas tubuh. Kebiasaan ini lantas berlanjut. Pekerjaan saya terkadang panjang waktunya dan saya senantiasa harus berpikir cepat dan fokus untuk memecahkan masalah. Karena saya jarang makan buah, saya pun konsumsi vitamin C secara rutin. 

Sampai di sini, anda mungkin heran, kenapa saya bercerita tentang dua hal yang sepertinya tidak saling berkaitan ini. Jujur saya sampaikan bahwa sebelum ini, saya sering sakit tenggorokan, batuk, pilek dan demam setiap dua atau tiga bulan sekali. Namun sekarang, semenjak saya mulai melakukan dua hal di atas, hampir setahun lamanya saya tidak pernah sakit lagi. Terkadang saya masih bersin sedikit terutama di pagi hari, ketika bangun tidur, tapi tidak lagi sakit tenggorokan, batuk, pilek dan demam. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. 

Saya tidak tahu persis apa yang menjadi faktor utama dari kesehatan yang prima ini. Ada kalanya saya jadi merasa apakah ini hanya kekuatan pikiran semata, hehe. Ya, vitamin C memang ada khasiatnya, tapi mungkin juga kebiasaan mengkonsumsi vitamin C ini menjadi sugesti tanpa sadar bagi saya sehingga selalu merasa sehat. 

Baru-baru ini saya melakukan check-up tahunan dan hasilnya bagus. Tidak ada dampak negatif dari konsumsi vitamin C selama 10 bulan terakhir ini. Rasanya sulit dipercaya dan ajaib, sebab tidak pernah terpikirkan bahwa saya akan sesehat ini. Saya bahkan belum pernah cuti sakit sekalipun sepanjang tahun ini. Nah, jika semua ini terdengar masuk akal dan membuat anda terinspirasi, silahkan dicoba! 

Saturday, October 3, 2020

About Noodles

The food section was started with Fried Rice Mania simply because I am a big fan of fried rice. However, there was a time when that wasn't the case. I was brought up with a mindset that fried stuff was heaty, therefore it must be avoided at all costs. I never questioned the doctrine because indeed it got me sore throat and made me cough. Hence for the first 22 years of my life, my favorite food was actually noodles.

Yam mie by my friend, Sunarto. His parents started Bakmie Kepiting "Hong Tian". 

We had talked about instant noodles before, so we'd skip it this round. The noodles that I was referring to here was what we called yam mie in Pontianak. Yes, noodles could be fried or served in a bowl soup, but yam mie was the finest culinary art that was ever crafted by the street food vendors back in the 80s. It was a bowl of greatness: noodles cooked with boiling hot water, then drained and stirred with pork, lard and vinegar, ultimately served with various toppings such as prawn, fish ball, fried wonton and, of course, crab meat. I had one at Bakmie Kepiting "Hong Tian" in Jakarta last December 2019 and it did taste like an extremely happy childhood!

From top left, clockwise: yamien at Lucky Mie, cwimie at Depot Hok Lay, bakmie Siang Kie and Bakmie Aloi. 

When I grew up and traveled to other cities in Indonesia, I learnt that Chinese from as far as Medan to Malang actually had a similar cooking style. Yes, the vinegar and crab meat ingredients are distinctively Pontianak, but other than that, the look and feel are quite similar. You might call it yamien in Tasik, cwimie in Malang, bakmie in Semarang, but they were essentially the same cuisines with different toppings. Only Bakmie Aloi had a slightly different appearance thanks to the thick noodles.

Enjoying our dinner at 999 Shan Noodle Shop.

As I started traveling around the region, it turned out that other countries also prepared the noodles in a similar manner. When I had my first overseas trip, I fell in love with kolo mee, a signature dish in Kuching. For easily the past 10 years in Singapore, I had been enamoured of Say Seng noodles. It was established in 1960 and based on the tagline, they served the authentic Teochew style. Even in a place as far as Yangon there was this delicious 999 Shan noodles. I concluded that if there was a Chinese population in town, you'd have to your noodles cooked this way. 

From top to bottom: kolo mee, Say Seng noodles and bakmie ayam.

But of course noodles aren't monopolized by Chinese alone. What the non-Chinese did added more varieties to noodles culture. As Muslims can't eat pork, they sell bakmie ayam. Good stuff. But as mentioned earlier, there are other ways of serving noodles. That's how we end up having Malay's mee rebus (served with sticky gravy), lor mee (served with even stickier gravy), Hokkien mee (fried and wet), Hong Kong noodles (fried and dry), Thai mee krob (crispy noodles), Indian mee goreng (it's red color!), Japanese ramen and soba (thin Chinese noodles and thick Japanese noodles), etc. The list is endless! Even the Europeans came up with the long lost cousin called pasta and I love aglio olio (spaghetti tossed in olive oil)!

First row, from left: mee rebus, white lor mee, Hokkien mee.
Second row: Hong Kong noodles, Thai mee krob, Indian mee goreng.
Third row: ramen, soba, aglio olio. 

In a world where we are spoiled with too many options that we may or may not like, it's good to have something as consistent as noodles. Regardless where you go, noodles will be there for you. But you know what's even more amazing? You can actually find all the cuisines I mentioned in the previous paragraph here in Singapore! Best place ever for noodles lovers!



Tentang Mie

Topik makanan di Roadblog101 dibuka dengan Fried Rice Mania karena saya memang penggemar nasi goreng. Akan tetapi ada suatu ketika di dulu kala dimana saya tidak kecanduan nasi goreng. Sedari kecil, saya dididik dengan pemahaman bahwa yang goreng-goreng itu bikin panas dalam, jadi sudah sepatutnya dihindari. Saya sendiri tidak pernah mempertanyakan hal ini, sebab buktinya saya jadi sakit tenggorokan dan batuk kalau kebanyakan makan makanan yang digoreng. Oleh karena itu, selama 22 tahun pertama dalam hidup saya, apa yang saya sukai itu sebenarnya mie. 

Yam mie yang dijual teman saya, Sunarto. Yang memulai usaha Bakmie Kepiting "Hong Tian" adalah orang tuanya.

Kita sudah berbicara tentang Indomie sebelumnya, jadi tidak kita bahas lagi pada kesempatan ini. Mie yang saya maksudkan kali ini adalah apa yang kita sebut yam mie di Pontianak. Ya, mie bisa saja digoreng atau dimasak kuah, tapi yam mie ini adalah seni memasak mie terbaik yang diciptakan oleh para penjual mie di tepi jalan. Pokoknya ada kehebatan tersendiri dalam satu mangkok ini: mie dimasak dengan air panas mendidih dan kemudian ditiris, lalu dikocok dengan minyak babi dan cuka, selanjutnya aneka lauk mulai dari udang, bakso ikan, pangsit goreng dan daging kepiting pun ditaburkan di atasnya. Terakhir kali saya mencicipi yam mie adalah ketika saya berada di Jakarta, bulan Desember 2019. Rasanya benar-benar seperti masa kecil yang bahagia! 

Dari kiri atas, searah jarum jam: yamien di Lucky Mie, cwimie di Depot Hok Lay, bakmie Siang Kie dan Bakmie Aloi. 

Ketika saya beranjak dewasa dan mulai berkelana ke berbagai kota di Indonesia, saya menyadari bahwa orang Tionghoa dari Medan sampai Malang memiliki cara memasak yang sama. Ya, cuka dan daging kepiting memang khas Pontianak, tapi rupa masakannya terlihat mirip. Di Tasik, orang menyebutnya yamien, di Malang, sebutannya adalah cwimie dan waktu di Semarang, kita mencicipi bakmie. Semua ini hampir sama. Yang membedakan cuma lauknya. Kalau Bakmie Aloi, mienya agak tebal. 

Menikmati makan malam di 999 Shan Noodle, Yangon.

Sewaktu saya mulai menjajaki mancanegara, saya lantas menyadari bahwa negara lain pun memiliki persamaan dalam hal menyajikan mie. Ketika saya keluar negeri untuk pertama kalinya, saya jatuh cinta dengan kolo mee di Kuching. Selama 10 tahun terakhir di Singapura, saya senang menyantap mie bakso ikan Say Seng yang konon mulai jualan mie Tiociu otentik sejak 1960. Bahkan tempat yang jauh seperti Yangon pun memiliki mie 999 Shan yang lezat. Saya jadi menyimpulkan, di mana ada populasi orang Cina, bisa dipastikan anda akan menemukan mie yang disajikan seperti ini. 

Dari atas ke bawah: kolo mee, mie baso ikan Say Seng dan bakmie ayam.

Akan tetapi mie kuning bukan saja dimonopoli oleh orang Cina. Yang non-Cina juga turut berperan dalam menciptakan aneka masakan berbasis mie. Kaum Muslim, misalnya. Karena babi itu haram, maka mereka menjual bakmie ayam. Sedap! Selain itu, seperti yang telah disinggung sebelumnya, ada banyak cara untuk memasak mie, jadi ada mie rebus ala Melayu (yang menggunakan kuah kental), ada lor mee (yang lebih kental lagi kuahnya), ada mie Hokkien (yang digoreng basah), ada mie Hong Kong (yang digoreng kering), ada Thai mee krob (yang renyah mienya), ada mie India (yang merah warnanya), ada ramen dan soba (mie tipis Cina dan mie tebal Jepang) dan masih banyak lagi. Tak habis-habis daftarnya! Bahkan orang Eropa juga memiliki makanan serupa yang disebut pasta. Saya suka aglio olio, spageti yang dikocok dengan minyak zaitun! 

Baris pertama, dari kiri: mee rebus, lor mee putih, Hokkien mee.
Baris kedua: mie Hong Kong, Thai mee krob, mie goreng Indian.
Baris ketiga: ramen, soba, aglio olio. 

Di dunia dimana kita dimanjakan dengan begitu banyak pilihan yang kadang membuat bingung, bagus rasanya bahwa ada sesuatu yang konsisten seperti mie. Ke mana pun anda pergi, anda bisa menemukan mie. Namun apakah anda tahu apa yang lebih mencengangkan lagi? Di Singapura, kita bisa menemukan semua mie yang saya sebutkan di paragraf sebelumnya! Ya, Singapura adalah tempat paling tepat untuk para pencinta mie!

Sunday, September 27, 2020

Seize The Moments

This topic felt somewhat familiar. Probably I had said something about this before, but what you are going to read here would surely sound different. It was new and inspired by different experiences. In fact, the two experiences I had were as new as yesterday and today. It was uncanny. They were one day apart, so intriguing that I felt like writing about them.

I was craving for mui fan yesterday, so my wife and I went to an eatery nearby our house. While waiting for our dinner to be served, we talked about how I missed traveling. The conversation led to one regret that I had in life: my parents and I never really had an overseas trip that included my brother. Now that Dad is no longer with us, that trip is not going to happen anymore.

When Mum and I finally had a trip with my brother earlier this year.

Then I recalled the trip I had with my in-laws. In a blink of an eye, it's been seven years since we went to Bangkok. We talked about having another trip because one of my wife's siblings didn't join us at that time, but nothing was ever materialised since then. Funny how almost all of them could make it last time, but life had changed so much after that one and only overseas trip we had together. Que sera sera, I guess.

This morning, I had a chat with Wawa, one of a handful friends that has time to entertain my nonsense. Then we talked about Endrico and I sent her the picture below. When I did that, I noticed the date. It'd been almost a year since Semarang. I remember us talking excitedly about the overseas trip with other high school friends in order to celebrate the big 40. Endrico proposed Kota Kinabalu, but based on our polling result, it was decided that Da Nang would be our destination instead. Corona happened right after that. Everything was eventually put on hold until further notice.

The last time we had a trip with high school friends.

These three events got me thinking and the first one hit me the hardest. I really couldn't remember the reason why we didn't go as the whole family. Probably I was just being optimistic that one day my parents, brother and I would travel together. Little did I know that our last chance turned out to be the day we found out Dad had cancer. Definitely not a joyous one. I learnt it the hard way that for all the things that we didn't do, thinking that we'd still have a chance next time, they'd become regrets once you lost the chance forever. 

The bottom line is, when we have a chance to do things that matter to us, we better act on it. If whatever that we plan still fails due to unforeseen circumstances, at least we've tried. It'll become a failure that we can live with. I could say this because not all my plans were successful, but I could certainly look back and laugh about them. The one thing that I wanted but didn't do, it was no laughing matter. Believe me when I said it hurt, so don't make the same mistake as mine...


Tentang Sebuah Kesempatan

Topik kali ini terasa tidak asing. Mungkin saya sudah pernah menulis blog bernada serupa, tapi apa yang akan anda baca ini tetap akan berbeda isinya, terutama karena tulisan ini terinspirasi dari pengalaman yang baru saja terjadi. Ya, ada dua peristiwa yang terjadi kemarin dan pagi tadi. Dua hal ini ternyata memiliki kaitan satu sama lain, sehingga saya jadi tertarik untuk menulisnya. 

Di Sabtu malam, saya ingin menyantap mui fan yang sudah lama tidak saya cicipi, jadi saya dan istri pun mengunjungi tempat makan di dekat rumah. Sambil menunggu makanan dihidangkan, kami berbincang tentang betapa saya ingin berlibur lagi. Saya lantas bercerita tentang satu penyesalan yang terkadang melintas di benak saya: adik saya tidak pernah ikut saat saya berlibur bersama Papa dan Mama. Sekarang Papa sudah tiada, jadi tidak mungkin lagi untuk mewujudkan liburan ini.

Ketika adik saya turut berlibur bersama di awal tahun ini, Papa sudah tiada.

Kemudian saya teringat dengan liburan bersama keluarga besar istri. Hanya dalam sekejap mata, tujuh tahun sudah berlalu sejak liburan kami ke Bangkok. Terkadang saya, istri dan adik-adiknya membahas tentang liburan berikutnya, sebab ada satu dari mereka yang tidak ikut saat kita mengunjungi Thailand di tahun 2013. Hingga hari ini belum terwujud juga. Kalau dipikir lagi, entah kenapa dulu kebetulan bisa berlibur bersama. 

Pagi tadi, saya bercakap-cakap dengan Wawa lewat WhatsApp. Wawa ini salah satu dari sedikit teman yang mau meladeni perbincangan yang konyol dengan saya. Ketika nama Endrico muncul di tengah percakapan, saya mengirim foto di bawah ini kepada Wawa. Tanpa sadar saya amati tanggalnya. Sudah hampir setahun berlalu semenjak kita jalan-jalan ke Semarang. Saya ingat bahwa saat itu kita berdiskusi dengan penuh semangat tentang liburan keluar negeri bersama teman-teman SMA dalam rangka merayakan usia 40. Awalnya Endrico mengusulkan Kota Kinabalu, tapi hasil jajak pendapat menentukan Da Nang sebagai tempat tujuan kita. Setelah itu tiba-tiba COVID-19 melanda. Semuanya pun tertunda sampai hari ini.

Terakhir kali kita berlibur bersama teman-teman SMA.

Tiga peristiwa di atas lantas membuat saya merenung. Saya tidak ingat lagi, apa alasannya kenapa orang tua, saya dan adik saya tidak pernah berlibur ke luar negeri bersama, tapi mungkin saat itu saya optimis bahwa masih ada lain waktu. Tidak pernah terpikirkan oleh saya bahwa sekali-kalinya kita bersama di luar negeri adalah saat kita menyadari bahwa Papa mengidap kanker. Ini jelas bukan liburan yang saya harapkan. Dari situ saya belajar bahwa apa yang kita tunda hanya semata-mata karena kita merasa masih ada hari esok, bisa menjadi penyesalan begitu kita kehilangan kesempatan itu untuk selamanya.

Inti yang ingin saya sampaikan adalah, jika kita memiliki kesempatan untuk melakukan apa yang terasa penting bagi kita, maka sebaiknya kita melaksanakannya. Seandainya sudah dicoba pun masih gagal juga, setidaknya kita sudah berusaha. Kegagalan seperti ini akan menjadi sebuah kenangan tersendiri. Saya bisa berkata seperti ini karena tidak semua yang saya rencanakan itu berhasil, tapi saya bisa melihat kembali dan tertawa. Beda halnya dengan liburan keluarga yang tidak terwujud di atas. Ada rasa pedih setiap kali saya teringat kembali akan hal ini, jadi jangan sampai anda juga melakukan kesalahan yang sama seperti saya... 

Sunday, September 20, 2020

That Half An Hour

We had a regional meeting recently and all of us were given a chance to respond to a set of questions provided by the moderators. To be frank, I couldn't remember what the particular question was, but I recalled writing something like this: "eight hours of BAU (Business As Usual) work keeps the light on, but it's the half an hour we invest on thinking that makes a difference."

In order to understand how the sentence came about, I'd have you know that in my line of work, we were always swarmed by IT issues. Our team existed mainly because we were required to troubleshoot issues. Some were straightforward, others could be larger than life. We spent crazy amount of time rectifying the incidents, so crazy that oftentimes, the working hours had long ended before we knew it. 

Now, the most fundamental problem with the situation above is the fact that we were so busy fighting fire and we barely had time to think, let alone execute the plan we had in mind. It was easy to lose our footing and be dragged into the vicious cycle. We could have been going through the motion of fight-solve-repeat on daily basis. 

Then came the day I mentioned earlier. There was something about writing the sentence down, because it lingered in my mind long after the meeting was over. It was as if the truth was revealed and staring back at me. Funny how I never thought of it that way before! All this while, I had been subconsciously doing what I wrote. From time to time, I forced myself to spend time not only thinking, but also doing what I was thinking.

With such a little time that I had, I did things that nobody else cared about (you know how people tend to talk only). I replaced a decade-old SFTP with something new that could be used regionally, I decommissioned unused tables and so forth. I didn't do big things, but the sum of small things that turned out to be useful on our day-to-day activities. And I didn't look back until now.

The point I was trying to make is, I didn't set out to do great things. I just did them as pet projects, regardless how small, and not knowing that I was making changes. As I often said, I wasn't that smart, anyway. But I could do it because I made time and I did it because it was the right thing to do. Reading what I wrote myself made me realise that, apparently, I was making a difference. Good to know!

In a bigger picture, what I discovered is applicable in life, too. I mean, think about it. If you've been doing the same routine everyday and yet it seems like you're going nowhere, perhaps it's time to invest on that half an hour to think and do something different. It could be the life-changing thing you had been looking for...

That stressful corner of mine.
A candid photo by Sneaky Franky.



Setengah Jam Yang Berharga Itu

Baru-baru ini perusahaan mengadakan rapat regional dan setiap manajer diberi kesempatan untuk menjawab beberapa pertanyaan yang telah disiapkan oleh moderator. Saya tidak seberapa ingat lagi tentang pertanyaannya, tapi saya ingat betul tentang satu jawaban yang saya tulis berikut ini: "delapan jam dari BAU (pekerjaan rutin di kantor) memang menjamin kelangsungan usaha, tapi perubahan hanya terjadi ketika kita meluangkan setengah jam untuk berpikir."

Supaya anda mengerti kenapa saya menulis seperti itu, perlu saya jelaskan bahwa di bidang yang saya tekuni, yang namanya masalah IT itu selalu datang bertubi-tubi. Ada saja masalahnya, kadang dari user, kadang dari sistem itu sendiri. Tim saya dibentuk untuk menangani semua ini. Kadang gampang masalahnya, tapi ada juga yang luar biasa rumit. Kita menghabiskan begitu banyak waktu, tidak jarang sampai larut malam ketika perkara besar terjadi.  

Nah, ada satu problem yang paling mendasar dari situasi di atas. Karena kesibukan kita dalam menyelesaikan masalah setiap hari, kita hampir tidak pernah memiliki waktu untuk berpikir panjang, apalagi waktu untuk mengeksekusi apa yang sempat direncanakan. Mudah bagi kita untuk kehilangan pegangan dan terjebak dalam siklus ini. Bisa-bisa kita hanya menghadapi masalah, menyelesaikan masalah dan mengulangi hal yang sama lagi pada keesokan harinya.

Kemudian tibalah hari yang saya sebutkan di atas. Sesuatu terjadi ketika saya menuliskan kalimat tersebut, sebab saya jadi selalu memikirkannya bahkan lama setelah rapat usai. Kalimat ini bagaikan sebuah kebenaran yang tersingkap. Lucu rasanya bahwa saya tidak pernah berpikir seperti ini sebelumnya. Selama ini, saya tanpa sadar mengerjakan apa yang saya tulis. Saya menyempatkan diri bukan hanya untuk berpikir, tetapi juga melaksanakan apa yang ada di benak saya. 

Dengan sedikit waktu yang saya miliki, saya mengerjakan hal-hal yang diabaikan orang lain (anda tahu bagaimana orang seringkali hanya cuap-cuap saja, tapi tidak ada aksi). Saya mengganti SFTP usang yang sudah berusia 10 lamanya sehingga kantor-kantor di negara lain pun bisa menggunakannya. Saya melihat kembali tabel-tabel data dan saya bersihkan apa yang tidak diperlukan lagi. Selain itu, masih banyak lagi hal-hal serupa yang telah saya kerjakan. Saya tidak mengerjakan hal-hal besar yang membuat orang terpana, melainkan hal-hal sederhana yang kemudian terbukti berguna untuk aktivitas sehari-hari. 

Apa yang ingin saya sampaikan di sini adalah, saya tidak berpikir bahwa apa yang saya kerjakan akan mengubah IT secara drastis. Saya hanya mengerjakan apa yang saya bisa, tidak peduli seberapa kecil, dan saya tidak berpikir bahwa saya sedang membuat perubahan. Seperti yang sering saya katakan, saya tidak sepintar itu. Namun yang penting adalah saya bisa melakukan sesuatu karena saya meluangkan waktu dan saya mengerjakannya karena ini benar dan harus dikerjakan. Ketika saya membaca kembali apa yang saya tulis di saat rapat, saya jadi tertegun. Ternyata saya sedang membuat perubahan!

Pengalaman ini membuat saya sadar bahwa konsep serupa juga bisa diterapkan bukan hanya di IT, tetapi juga di dalam hidup ini. Coba anda pikirkan. Jika anda sudah melakukan rutinitas yang sama setiap hari dan sepertinya anda tidak tambah maju, mungkin anda perlu menyisihkan setengah jam untuk berpikir kembali dan melakukan sesuatu yang berbeda. Bisa jadi inilah perubahan yang sudah anda nantikan tanpa sadar selama ini...

Sunday, September 13, 2020

Why People Are Different

I had a drink with Franky three weeks ago. Spontaneously. We both had a long day in office and needed to chill a bit. I don't think we ever hung out like this before, drinking just the two of us, but I had a good time. With a glass of cold beer in hand, we talked mainly about life. 

Our conversation only re-emphasized what I had already known for the past 13 years: Franky was not only blessed with the ability to crunch numbers, he was also a hard-working man that always tried to ensure everything was right and in order. I admired him for that, but it must be a really stressful thing to do. And that's when he mentioned that I was so fortunate for being happy-go-lucky.

A glass of Guinness with Franky.

The remark was spot on. It got me thinking of how different we were. What he said was true. I mentioned the Aesop's fables about the grasshopper and the ants, then I told him sometimes I felt as if I was the grasshopper that played music and never prepared for winter. Not the best thing ever and I knew that. But how did I become like this again? I looked back as far as I could these past few days. Here's the observation I had. 

First of all, this is how I was wired since birth. Then the upbringing shaped me accordingly. I had a happy childhood. My parents weren't exactly the richest in Pontianak, but I always had enough. I could eat whatever I wanted. I had all the comics I wanted read. I watched all the cartoons and Japanese tokusatsu series we could find in Pontianak. I had all the games I wanted to play. Most importantly, I was always surrounded by friends. That's when I first learnt to share what I had with others.

P3, the best time (academically) in primary school days! Can you spot me?

Then there were life lessons. Dad made sure I understood that responsibility came before anything else. Only when it was done that I could have some fun. When I neglected this, I was punished, but then he explained to me why he whacked me. From Mum, I learnt how to save money. In hindsight, I didn't think she purposely taught me that. She simply refused to buy me things I liked, so I saved and bought them myself, haha.

I also had a good dose of laughter. I grew up watching Stephen Chow and his nonsense. This, I believe, enhanced the playfulness in me. I also figured out from early age that I would never be a tough guy. I mean, I cried when I saw something touching. When I was young, I was embarrassed by this. But it turned out to be alright. Instead of bottling up my feelings, I was able to let go. It was a relief to be able to express oneself healthily.

With my auntie and her husband.

When Dad went bankrupt and my family moved to Bekasi in West Java, life could have been tough for me. I could have been an angry young man, but luckily I was loved. My auntie took me in and together with her husband, they taught me what it meant to live independently as an occupant that paid no rent while staying at other people's house. I was a spoiled brat and it was during my stay here that I helped out with house chores. From this experience, I learnt about humility. 

Around the same time, I saw the Beatles for the first time. Life was great with rock and roll. Not only their music got me dancing and cheered me up when I was down, they also inspired and motivated me to learn English. When the Beatles sang All You Need is Love confidently, their lyrics filled me up with optimism. When I found myself in times of trouble, they told me to let it be. Then, years later, I learnt from John that, "life is what happens to you while you're busy making other plans," and, "after all is said and done, you can't go pleasin' everyone, so screw it!"

With my friend and mentor Rusli.

By the time I was working, what I learnt earlier in life turned out to be useful. I was able to admit that I wasn't good albeit reluctantly, as I had a young man's ego, too (this got better as I aged. I realized I didn't have to pretend that I knew or understand something when I actually didn't). That's how I ended up with people that I admired in life. I didn't suck up to them. I sincerely thought they were geniuses. They mentored and gave me chances along the way, brought me to a level I never imagined before. 

Life as a young adult could have been the lowest point of my life. I was so poor, but I was neither sad nor lonely. I had good times and good friends, from those days in Jakarta till the past 14 years in Singapore. On top of that, I met a girl I loved and she brought the best out of me. That's why I'm here today, as cheerful as ever.

With the girl of my dream in Chinese Garden, year 2006 and 2018.

When I went to Japan with my Dad right before he was diagnosed with cancer, we talked about what happened in the past. I realized that I neither blamed him nor had any regrets that our lives changed so much after his bankruptcy. It was through this experience I learnt that things happened for a reason. 

Another thing was, since Dad helped many people when he was well-to-do, I also learnt that people might not return the favor. That's the reality. That's just how life works, I guess. But I was proud of my Dad. He had the courage to make a difference in other people's lives. The world was a better place to be for them because he showed kindness. That's why I did the same. Kindness was something worth sharing.

Celebrating birthday with my daughter Linda. 

After becoming a father, I also started asking myself, "to what extent will one be considered as successful? How rich is rich?" Suddenly all the hard work in climbing the corporate ladder became trivial, because there was no end to it. I loved the work I was doing all this while, but I wasn't exactly lacking in anything, so I'd be damned if I wasn't there for my kids as they grew up. Balance was the key, so there I was, juggling my work, family and me-time on daily basis. I couldn't claim that I was very good in doing so, but it'd been manageable so far. I hope my wife and kids agree with my opinion, too, haha.

But we're not quite there yet. There was one final thing that changed my mindset since few years ago: death. Yes, people my age, be it poor or rich, died. Some knew their days were numbered, some just dropped dead. So I ticked off the bucket list whenever I could. I also made peace that I had provided as much as I could for the family, because to what extent would it be deemed as enough? But if I learnt of a thing or two from my own experience, one should not underestimate how resilient human beings could be. They'd be doing fine.

Visiting Strawberry Field. A dream achieved!

So why are we different again? This self-assessment did explain to me why. It was basically about the set of characters we were born with, moulded by the long process we went through in life. It took me years to gradually become a happy-go-lucky person I am today. How about you? Have you ever traced back to understand why you are this person today?



Mengapa Setiap Orang Berbeda?

Saya minum bersama Franky tiga minggu yang lalu. Saat itu kita lelah setelah seharian di kantor dan ingin santai sejenak sebelum pulang ke rumah, jadi kita pun spontan berjalan ke ALT Café and Bar. Dengan segelas Guinness di tangan, kita pun berbincang tentang kehidupan. 

Percakapan kita ini mengingat saya kembali apa yang sudah saya ketahui tentang Franky selama 13 tahun terakhir ini: selain kepiawaiannya dalam kalkulasi dan perhitungan, dia juga seorang pekerja keras yang selalu ingin memastikan bahwa semuanya selalu berjalan sesuai rencana. Saya mengaguminya dalam hal ini, namun saya rasa sifatnya ini membuatnya sering terlihat stres. Di saat itu pula dia lantas berkata bahwa saya beruntung karena senantiasa terlihat ceria dan tanpa beban. 

Segelas bir bersama Franky di dekat kantor.

Perkataannya sungguh tepat sasaran. Saya jadi berpikir, kenapa kita sebagai teman bisa berbeda seperti ini kepribadiannya. Saya lantas bergumam tentang dongeng seekor belalang dan para semut. Saya katakan padanya bahwa ada kalanya saya merasa seperti belalang yang senantiasa bermain musik dan tidak mempersiapkan diri untuk musim dingin. Ini bukanlah hal yang baik dan saya sendiri tahu akan hal ini. Lantas bagaimana ceritanya sehingga saya jadi seperti ini? Karena penasaran, saya melihat kembali sejauh saya bisa. Berikut ini adalah hasil pengamatan saya. 

Yang paling pertama adalah karakter dari sejak lahir. Pembawaan ini sudah dari sananya, terus dibentuk lagi di masa pertumbuhan. Saya memiliki masa kecil yang bahagia. Orang tua saya bukan yang paling kaya di Pontianak, tapi saya senantiasa berkecukupan. Saya bisa menyantap makanan yang saya sukai. Saya bisa membaca segala komik yang ada pada saat itu. Saya bisa menonton aneka kartun dan serial tokusatsu Jepang yang bisa didapatkan di Pontianak. Saya memiliki aneka game, mulai dari Game & Watch, Atari, Nintendo sampai Sega. Yang paling penting lagi adalah saya selalu memiliki teman bermain. Dari sinilah saya belajar untuk berbagi apa yang saya miliki dengan orang lain. 

Kelas tiga, masa paling gemilang di SD! Bisa tebak yang mana saya?

Kemudian ada pula pelajaran hidup. Ayah saya memastikan bahwa saya mengerti kalau tanggung jawab harus didahulukan sebelum saya menuntut hak saya. Ketika saya mengabaikan hal ini, saya pun dihukum. Selanjutnya ia jelaskan pada saya, kenapa saya dihajar dengan rotan. Dari ibu saya, yang saya dapatkan adalah pentingnya menabung. Kalau saya pikirkan lagi, sepertinya dia tidak pernah dengan sengaja mengajarkan saya untuk menabung. Dia hanya menolak untuk membelikan apa yang saya mau, jadi saya tabung dan beli sendiri, haha.  

Saya juga banyak tertawa. Saya tumbuh dewasa sambil menyaksikan film-film Stephen Chow yang kocak dan konyol. Apa yang saya tonton ini mempengaruhi selera humor saya. Selain itu, saya juga sadar dari sejak dini bahwa saya bukanlah pribadi yang tangguh. Tidak jarang saya meneteskan air mata saat melihat sesuatu yang menyentuh perasaan saya. Dulu saya merasa malu dengan kelemahan saya ini. Setelah dewasa, saya menyadari bahwa menangis bukanlah perkara yang buruk. Kini saya tidak menyimpan perasaan sedih dan sakit hati karena saya bisa mengekspresikannya dengan baik. 

Bersama tante saya dan suaminya.

Tatkala ayah saya bangkrut dan keluarga saya pindah ke Bekasi, hidup seharusnya terasa susah. Kalau nasib berkata lain, saya bisa saja menjadi pemarah yang merasa hidup ini tidak adil, tapi saya beruntung karena tidak pernah kekurangan kasih sayang. Saya diperkenankan untuk tinggal di rumah tante saya dan diperlakukan dengan baik. Bersama suaminya, dia mengajarkan saya seperti apa yang namanya hidup mandiri saat tinggal dengan gratis di rumah orang lain. Sebelum ini, saya adalah anak manja yang senantiasa dilayani pembantu. Dari sini saya belajar untuk bertanggung jawab dalam tugas-tugas rumah di dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman ini mengajarkan saya, apa yang dimaksudkan dengan tahu diri.

Pada saat yang sama, saya juga melihat dan mendengarkan the Beatles untuk pertama kalinya. Hidup yang diiringi dengan rock and roll memang nikmat. Musik mereka tidak hanya membuat saya berjingkrak dengan hati senang, tapi juga memotivasi saya untuk belajar Bahasa Inggris. Ketika the Beatles menyanyikan All You Need is Love dengan penuh percaya diri, lirik mereka membuat saya merasa optimis dengan hidup ini. Sewaktu saya gundah-gulana, mereka meyakinkan saya untuk let it be. Lantas, bertahun-tahun kemudian, saya belajar dari John bahwa, "life is what happens to you while you're busy making other plans (hidup adalah apa yang terjadi ketika kita sibuk membuat rencana)," dan, "after all is said and done, you can't go pleasin' everyone, so screw it (meski pun kita berusaha semaksimal mungkin, tetap saja ada yang tidak senang dengan kita, jadi peduli setan)." 

Bersama Rusli, seorang teman dan mentor bagi saya.

Sewaktu saya memasuki dunia kerja, apa yang saya pelajari tentang kehidupan ini terbukti berguna. Saya bisa menerima kenyataan bahwa saya tidak ada apa-apanya bila dibandingkan yang lain. Awalnya ini tidak gampang, sebab bagaimanapun juga saya seorang anak muda yang memiliki ego. Namun seiring dengan bertambahnya usia, saya sadar bahwa saya tidak perlu berlagak tahu kalau saya memang tidak tahu. Berbekal sifat inilah saya bertemu dengan orang-orang yang saya kagumi. Mereka lantas mengajari saya tentang banyak hal dan memberikan saya kesempatan sehingga saya bisa menjadi lebih baik lagi di dalam hidup ini. 

Hidup di usia 20an boleh dikatakan sebagai titik terendah dalam hidup saya. Saya miskin secara finansial, tapi tidaklah sedih atau merasa sendirian. Justru sebaliknya, hidup saya diisi dengan kegembiraan dan teman-teman baik, mulai dari Jakarta sampai 14 tahun terakhir di Singapura. Selain itu, saya juga bertemu dengan wanita yang saya sukai, yang akhirnya membuat saya bertekad untuk memberikan yang terbaik dari kamampuan saya. Perjalanan hidup ini lantas membawa saya pada hari ini, lebih baik, tapi tetap riang seperti dulu. 

Bersama si dia di Chinese Garden, tahun 2006 dan 2018.

Tatkala saya pergi ke Jepang bersama ayah saya sebelum dia terdiagnosis mengidap kanker, kita bercerita tentang masa lalu. Saya menyadari bahwa saya tidak menyalahkan dia atas apa yang terjadi. Saya juga tidak menyesal bahwa hidup saya berubah total setelah dia bangkrut. Saya menjadi tahu bahwa di dalam hidup ini, sesuatu terjadi karena ada hikmahnya. Ya, mungkin pahit rasanya sewaktu mengalami, tapi suatu hari nanti kita mungkin mengerti saat kita melihat kembali. 

Satu hal lainnya adalah, karena ayah saya membantu banyak orang saat dia berjaya, saya juga belajar bahwa tidak semua orang membalas budi baiknya ketika dia mengalami kesusahan. Ini adalah kenyataan hidup. Akan tetapi saya bangga pada ayah saya. Dia memiliki ketulusan untuk membantu orang lain dan hidup mereka berubah menjadi lebih baik karena dia memberikan kebaikan kepada sesama. Karena inilah saya juga melakukan hal yang sama. Kebaikan adalah sesuatu yang layak dibagi, tapi tidak untuk digembar-gemborkan. 

Merayakan ulang tahun bersama Linda, putri saya. 

Sekarang, setelah saya menjadi seorang ayah, saya jadi bertanya, "seperti apa yang namanya sukses? Seberapa banyak pula kekayaan seseorang sehingga baru dianggap cukup?" Tiba-tiba saja kerja keras siang-malam untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi terasa tidak masuk akal, sebab semua ini tidak ada habisnya. Saya suka pekerjaan saya, tapi terus-terang saya tidak kekurangan, jadi betapa konyolnya saya jika saya sampai melewatkan masa pertumbuhan anak-anak. Keseimbangan adalah kuncinya, jadi saya berbagi waktu untuk pekerjaan, keluarga dan diri saya setiap hari. Saya tidak berani berkata dengan lantang bahwa saya sudah berhasil menjalankan ini dengan baik, tapi sampai sejauh ini tampaknya lumayan. Saya harap istri dan anak saya sepakat dengan pendapat saya ini, haha. 

Kita hampir sampai di penghujung cerita. Satu hal terakhir yang mengubah pemikiran saya hingga seperti sekarang ini adalah kematian. Ya, beberapa kenalan yang seusia dengan saya, miskin atau kaya, telah meninggal dunia. Ada yang tahu bahwa mereka mendekati ajal, ada pula yang mendadak wafat. Saya menyikapi kenyataan ini dengan mengejar impian-impian hidup saya sebisa mungkin. Saya juga meyakinkan diri saya bahwa saya sudah memberikan yang terbaik untuk keluarga saya, meski saya tidak tahu seperti apa baru dianggap cukup. Bilamana ada satu hal yang saya pelajari dari pengalaman hidup saya sendiri, kemampuan seseorang dalam beradaptasi itu biasanya melebihi perkiraan. Saya percaya bahwa istri dan anak-anak akan baik-baik saja jika sampai kesulitan melanda. 

Di Strawberry Field, Liverpool, tak jauh dari rumah John Lennon. Cita-cita tercapai.

Jadi kenapa setiap orang berbeda? Observasi terhadap diri sendiri di atas menjelaskan kepada saya kenapa. Pada dasarnya semua ini tergantung pada karakter kita dari sejak lahir, yang kemudian diasah dengan pengalaman hidup yang kita alami. Butuh waktu bertahun-tahun bagi saya untuk menjadi seorang yang riang dan tanpa beban. Bagaimana dengan anda? Pernahkah anda melihat kembali, kenapa hari ini anda menjadi seperti sekarang ini?