Total Pageviews

Translate

Wednesday, February 12, 2025

Family And Friends

As my ex-housemates and I had our dinner on Sunday night, we talked about how long we had stayed in Singapore. We came here when we were in our twenties. With the exception of Endrico's younger sister, we are in our forties now. How time flies!

But most importantly, as I looked at them, I saw family and friends. Yes, I see them less now, but there was a time when they were the permanent fixtures in my life. Our lives intertwined until we outgrew that relationship. The thought of this prompted me to look back and discovered the four stages of family and friends in my life.

Before the dinner.
Photo by Surianto.

First and foremost, I was part of my Dad's family. As his firstborn, I had the best of 80s and early 90s had to offer in Pontianak. My Dad was never the award winning type, but in his imperfection, he was still the greatest Dad a son could have. 

From comics, anime, Godzilla, Nintendo, Michael Jackson, the first domestic as well as overseas trips, to a good ol' spanking and fatherly advice, I had it all. Friends ranging from Jimmy to Parno would come and play. I got chances to be naughty and had my fair share of mistakes. I learnt that I could be a champion, too. All I need is love. It was a brilliant childhood. 

Many years ago in Pontianak.

Even when he didn't do well later on in his life, Dad's absence still shaped my life forever in a good way. It set the stage for the second phase of my life. That's when I learnt how to be independent. I met the Beatles at the same time. I had neither regret or anger. Looking back, it was just meant to be this way. 

And also equally important was Eday and the high school friends. When you had friends that helped discovering your talent, gave you your sweet seventeen birthday and went through something as haunting as Temajoh with you, life had to be good indeed! Poor though I was financially, I was very rich at heart. Hey, I was in the band as a rock and roll singer! It couldn't get any better than this!

The sweet seventeen birthday.

That's also probably why I was never close with college friends. It was a different time. I gotta work seven days a week. But I remained close with those from high school such as Ardian and HM. Yes, just like what Ringo said, I got by with a little help from my friends. And when Eday, Endrico and others returned from Yogyakarta or Kuching, we would hang out. 

From high school, college, to those days in Jakarta, the friendship withstood the test of time. The dawn of technology such as mobile phone, emails and Yahoo! Messenger certainly helped. We even traveled a bit to Bandung and Bali. Along the way, I met some people that would become lifelong friends, too. Soedjoko, Sugiowono and, of course, Yani.

Soedjoko (right) in Pontianak, 2006.

Meeting Yani was the push factor I never knew I needed. Up until then, I was happy where I was. But even a happy-go-lucky guy could sense that it was time for a change. That's why Singapore happened. That's why Pheng iu, as Sudarpo would affectionately call us, happened. Thus began the third stage of my life. 

I wish I could tell you a story about how hard my life was in Singapore. That would make it more dramatic. But no, living in a foreign country with friends like them was so much fun. It was just the right time for us who were in our mid twenties then.

Prata with Pheng iu, after Wawa's performance.

We hung out together, we laughed a lot, we earned enough for us to save and spend. That's why we could make short movies and we could also travel. But most importantly, we had each other. I don't think we were ever really alone throughout those years.

From them, I learnt that you could dream of something and achieve it. That's how the short movies were made. From them, I learnt how fun traveling is. I just told Alfan again the time we sat behind the lorry in Bangkok and he laughed. From them, I learnt that the line between family and friends was blurry, so blurry that it felt the same to me. 

Visiting Melacca, 2009.

They were the closest and dearest people I had during this period. But in all fairness, Endrico, Surianto, Andy William and Jimmy Lim were there, so it didn't feel like losing touch with my high school friends. Again, it was just a different time, when we were trying to make a living and technology wasn't advanced enough yet for us to keep in touch. While BBM was wildly popular as we headed to 2010, it was only during WhatsApp era that we got together again. 

In the meantime, people came and went. Colleagues such as Bernard became good friends, too. But the Pheng iu gang was always there right till the end of an era: when I was ready for the fourth stage of my life. Surrounded by them in Singapore, Yani and I began our journey together. It was a long way home, if you knew what I meant. 

ROM day, 2011.
Photo by Endrico. 

In the past 15 years, some of us had gotten married. Kids were born. The good work we did continued until it became manageable. I could tell you this much: if you did your role well, then work life balance wasn't a myth! In my case, group chat was formed and high school friends were reacquainted again. The lockdown, the travels, we went through them all and lived to tell the story.

And the same life story brought us to that fateful night. There I was, having dinner together with those familiar faces. As I stared at the ever talkative Wawa, I recalled the good old days we had. We all had a pretty good time, didn't we? And I was thankful. Though not all of us were there that night, in my life, I'd loved them all. 

For a better tomorrow!





Keluarga Dan Teman

Sewaktu para mantan teman serumah dan saya menikmati makan malam bersama, kita juga bercakap tentang berapa lama sudah kita tinggal di Singapura. Kita datang ketika berumur 20an. Kecuali adik Endrico, kini kita di kisaran usia 40an. Betapa cepat waktu berlalu

Di tengah riuhnya suasana, saya memandang ke sekeliling. Yang saya lihat adalah keluarga dan teman. Ya, saya mungkin sudah jarang bertemu dengan mereka sekarang, namun ada suatu masa dalam hidup saya ketika kita selalu bersama. Hubungan kita begitu erat dan tak terpisahkan. Apa yang terlintas di benak saya ini membuat saya mengenang kembali dan menemukan empat fase berbeda dalam hidup saya. 

Sebelum makan malam.
Foto oleh Surianto.

Pertama-tama, saya tentulah merupakan bagian dari keluarga ayah saya. Sebagai anak pertama, saya mendapatkan yang terbaik dari tahun 80an hingga pertengahan dekade 90an di Pontianak. Ayah saya bukanlah tipe ayah paling ideal, namun di dalam ketidaksempurnaannya, dia adalah ayah terbaik yang bisa diharapkan oleh putranya. 

Dari komik, anime, Godzilla, Nintendo, Michael Jackson, liburan domestik dan juga luar negeri pertama, sampai hukuman fisik dan nasehat dari seorang ayah, saya memperoleh semuanya. Teman-teman dari kecil hingga SMP seperti Jimmy dan Parno sering datang dan bermain di rumah. Saya ada kesempatan untuk berbuat nakal dan melakukan kesalahan. Saya juga belajar bahwa saya bisa menjadi orang seorang juara. Yang saya perlukan hanyalah rasa cinta. Masa kecil saya penuh dengan kenangan yang baik. 

Bertahun-tahun silam di Pontianak.

Bahkan tatkala dia tidak berhasil dalam hidupnya, ketidakhadiran ayah saya pun masih membentuk hidup saya dengan baik. Fase kedua dalam hidup saya adalah dampak dari kegagalannya. Saya belajar mandiri. Saya juga berkenalan dengan the Beatles di saat yang sama. Alhasil, saya tidak menyimpan penyesalan ataupun kemarahan. Kalau saya lihat kembali, sepertinya inilah yang harus terjadi dan saya jalani. 

Dan yang tak kalah pentingnya juga adalah Eday dan teman-teman SMA. Bilamana anda memiliki para sahabat yang membantu anda menemukan bakat anda, sedaya upaya merayakan ulang tahun ke-17 anda dan melewati pengalaman yang menghantui anda secara harafiah seperti Temajoh, maka hidup anda pastilah baik! Meski saya miskin secara finansial, hati saya kaya-raya. Hei, saya juga di grup musik sebagai seorang penyanyi rock and roll! Hidup takkan bisa lebih bagus dari ini lagi!

Ulang tahun ke-17.

Mungkin karena ini pula makanya saya tidak dekat dengan teman-teman kuliah. Itu adalah masa yang berbeda. Saya harus bekerja tujuh hari seminggu. Tapi saya tetap dekat dengan mereka yang berasal dari satu SMA, misalnya Ardian dan HM. Ya, seperti kata Ringo, saya melewati semuanya dengan bantuan teman-teman saya. Dan saat Eday, Endrico dan yang lainnya kembali dari Yogyakarta atau Kuching, kita pun berkumpul lagi.

Dari zaman SMA, kuliah sampai saat saya hijrah ke Jakarta, persahabatan ini bertahan dan tak lekang oleh waktu. Munculnya teknologi seperti telepon genggam, email dan Yahoo! Messenger tentunya membantu. Kita bahkan sempat main ke Bandung dan Bali. Seiring dengan berjalannya waktu, saya juga bertemu dengan mereka yang menjadi karib juga. Ada Soedjoko, Sugiowono dan tentu saja Yani.

Soedjoko (kanan) di Pontianak, 2006.

Pertemuan dengan Yani menjadi dorongan yang ternyata saya butuhkan. Sampai sejauh ini, saya senang dengan hidup saya di Jakarta. Tapi bahkan pria yang riang dan santai pun tahu bahwa sudah saatnya berubah. Karena itulah saya ke Singapura. Karena itulah saya bertemu dengan Pheng iu, panggilan akrab yang dicetuskan oleh Sudarpo, yang artinya adalah teman. Fase ketiga dalam hidup saya pun dimulai. 

Sampai di sini saya sebenarnya berharap bisa bercerita tentang sulitnya nasib saya merantau di Singapura. Pasti efeknya akan lebih dramatis. Tapi kisahnya tidaklah begitu. Hidup di negeri asing bersama teman seperti mereka sangatlah seru. Usia pertengahan 20an adalah masa yang tepat bagi bujang dan dara untuk hidup dalam kebersamaan. 

Prata bersama Pheng iu, setelah pertunjukan Wawa.

Kita selalu berkumpul dan tertawa. Penghasilan kita cukup untuk ditabung dan juga dihamburkan. Karena itulah kita bisa membuat film dan berlibur bersama. Namun yang lebih penting lagi adalah, kita memiliki satu sama lain. Saya rasa kita tidak pernah benar-benar kesepian di tahun-tahun tersebut. 

Dari mereka, saya belajar bahwa kita bisa bermimpi dan menggapai impian tersebut. Dari situlah kita bisa membuat film. Dari mereka, saya juga belajar bahwa berlibur itu sangat menyenangkan. Di malam itu saya mengenang kembali saat duduk bersama Alfan di belakang lori yang mengelilingi Bangkok. Dia pun tergelak. Dari mereka, saya belajar bahwa teman dan keluarga itu tak jauh beda. Begitu miripnya sampai terasa sama bagi saya. 

Mengunjungi Melaka, 2009.

Mereka semua adalah teman-teman terdekat saya di periode ini. Akan tetapi tentu saja Endrico, Surianto, Andy William dan Jimmy Lim juga merupakan bagian dari Pheng iu sehingga saya tidak sepenuhnya putus hubungan dengan teman SMA. Masa itu bisa dijabarkan sebagai saat kita berjuang meniti karir dan teknologi yang ada belum memadai untuk menjangkau teman lain yang terpisah entah di mana. Meski BBM populer di tahun 2009-2010, baru di era WhatsApp semuanya bisa berkumpul lagi.

Sementara itu, aneka kenalan datang dan pergi. Para kolega seperti Bernard pun menjadi teman baik. Namun Pheng iu senantiasa bersama hingga saya siap menempuh fase ke-empat dalam hidup saya. Dikelilingi oleh mereka sebagai saksi, Yani dan saya memulai hidup bersama. Satu perjalanan panjang menuju rumah, jika anda tahu maksud saya.

Di hari registrasi pernikahan, 2011.
Foto oleh Endrico.

Dalam 15 tahun terakhir, beberapa di antara kita menikah. Anak-anak pun lahir. Kerjaan berlanjut sampai berjalan lancar. Saya bisa bersaksi tentang hal ini: jika anda mainkan peran anda dengan baik, keseimbangan antara kerjaan dan hidup bukanlah hal mustahil. Dalam kasus saya, grup SMA terbentuk dan waktu luang pun diselingi oleh kehebohan SMA lagi. Masa pandemik dan kebebasan berlibur sesudahnya kita lalui bersama dan semua menjadi cerita. 

Dan cerita kehidupan ini membawa kita kembali berkumpul di malam itu. Saya duduk di sana, bersantap dengan mereka yang akrab wajahnya. Saya menatap Wawa yang cerewet, lalu terkenang kembali ke masa-masa di Kembangan. Penuh cerita menyenangkan, bukan? Dan saya bersyukur. Meski tidak semuanya bisa berkumpul di malam itu, dalam hidup ini, saya menyayangi mereka semua. 

Untuk hari esok yang lebih baik lagi!

Monday, February 10, 2025

Time We Enjoy Wasting

Time we enjoy wasting... I suddenly thought of this when I had two separate conversations last week. First one was with my buddy Bernard while we were having Thai food for lunch. We were talking about the pace of life in Singapore. I shared with him that I actually liked it. Time passed in the blink of an eye as we headed towards the end of the line. 

Then at night, I had a call with my friend Eday. As he told me of the time he spent in Pontianak, I couldn't help imagining how slow it was. It was a different pace, so different than what he normally went through, that his work suffered and nothing got done. And he still had to endure that for another week. Suddenly I felt lucky that I wasn't there, haha. 

The point of the two stories got to do with what I always believe and hold dearly: time we enjoy wasting. My friend Jimmy always talked about living a long life. We even joked about skipping the Catholic Jubilee Year of 2025 event this year and as we can still attend the next one 25 years later at the age of 70 years old. 

Just to be clear, I have nothing against having a long life. But in honest truth, we don't know that. It's the one thing that we can't control. My experience taught me life can be so fragile that anything else can happen. Hence life shouldn't be about how long we live. It's always about the time well spent. 

When I worked, I gave my best. When I had to be a husband and a dad, I became one. When I rested, I spent time on the nonsensical stuff I enjoyed the most. When I earned my keep, I shared it with my family. In my spare time, I wrote what I had in mind, I traveled to places and also met the people I wanted to see. 

Yes, time indeed passed in the blink of an eye, but that was simply because it was the time I had enjoyed wasting. When I said that I liked how well paced Singapore is for me, that's what I meant. How about you?

Time I enjoy wasting...





Waktu Yang Dimanfaatkan Dengan Baik

Waktu yang kita habiskan... saya tiba-tiba berpikir tentang ini setelah melewati dua percakapan yang berbeda minggu lalu. Yang pertama adalah obrolan dengan rekan saya Bernard ketika kita menikmati masakan Thai di jam makan siang. Topik yang kita perbincangkan pada saat itu adalah cepatnya hidup di Singapura. Waktu berlalu dalam sekejap mata dan umur kita kian bertambah. 

Kemudian, di malam hari, saya berbicara dengan teman saya Eday. Selagi dia bercerita tentang liburannya di Pontianak, saya jadi membayangkan betapa lambatnya waktu berlalu baginya. Waktu berjalan perlahan di sana, berbeda dengan apa yang biasa dilaluinya, sampai-sampai apa yang hendak ia kerjakan pun terbengkalai. Dan dia masih ada seminggu lagi di Pontianak. Langsung saja saya merasa beruntung tidak berada di sana, haha. 

Jadi dua cerita di atas ada hubungannya dengan sesuatu yang saya pegang teguh: waktu yang kita habiskan dengan senang hati. Teman saya Jimmy suka berbicara tentang umur panjang. Kita bahkan bercanda bahwa tahun ini kita tidak pergi dulu melihat Pintu Suci di Vatikan karena kita masih bisa menghadiri perayaan berikutnya yang akan digelar 25 tahun kemudian, saat kita berusia 70 tahun. 

Perlu diklarifikasi bahwa saya tidak menentang konsep berumur panjang. Hanya saja, sejujurnya kita tidak pernah tahu akan berumur panjang atau tidak. Ini bukan sesuatu yang bisa kita kontrol. Pengalaman saya mengajarkan bahwa hidup itu rapuh dan segala sesuatu bisa terjadi. Jadi hidup itu seharusnya bukan tentang berapa panjang, tapi tentang waktu yang dimanfaatkan dengan baik. 

Ketika saya bekerja, saya usahakan semaksimal mungkin. Ketika saya harus menjadi seorang suami dan ayah, saya lakukan peran tersebut. Ketika saya bersantai, saya menikmati berbagai hal konyol yang saya sukai. Ketika saya menuai hasil kerja saya, saya bagikan dengan keluarga. Di waktu luang, saya pergi ke tempat yang ingin saya lihat, menemui mereka yang ingin saya temui dan menulis apa yang saya pikirkan. 

Ya, benar bahwa waktu berlalu dalam sekejap mata, tapi itu karena saya habiskan sebaik mungkin untuk segala sesuatu yang saya sukai. Ketika saya berkata bahwa saya suka dengan cepatnya hidup di Singapura, yang saya maksudkan adalah apa yang saya jabarkan di atas. Sekarang bagaimana dengan anda?

Saturday, February 1, 2025

Twelve Going On Thirteen

I have a confession. When your daughter is living under the same roof for the past 12 years with you and you see her everyday, it's easy to forget that she actually grows up and isn't always the same person you think you know. 

When I sat on my working desk at home and an older photo of Linda suddenly popped up on Google Nest Hub, I was reminded that she used to have a bang. Upon seeing that, it felt like, "oh my, when did her hairstyle change again?"

Things like this happened gradually that it escaped my attention. It also didn't help that Linda looked much younger than her peers. To put it mildly, elle est petite. On top of that, she was so comical that I could have failed to notice she did a good job growing up. 

Until the situation dictated otherwise. That's when I found out and felt so proud of her. Case in point, during the recent Chinese New Year's Eve. As I was about to leave office late in the afternoon, there was an emergency at home. Her younger sister Audrey looked seriously ill and Linda was the first to realize that. Then, when her mum got busy taking care of Audrey, Linda immediately called 999 for ambulance and reached out to me afterwards. 

It went well thanks to Linda. Now that I got time, I looked back, talked to her and thought about it. And I smiled. My daughter wasn't a kid anymore. She was going to be a teenager soon and in the time of need, she was calm and dependable, apparently. She remembered the number to call, she could handle a conversation with a police officer and she knew her own address. Well, not entirely, but she walked out of the front door to check our unit number.

In short, she got the job done singlehandedly. I never expected that, so it was a really nice surprise. Despite her antics, she was reliable. And I couldn't be more impressed. She might not be academically genius, but I somehow had a feeling that she'll be doing just fine in life...



Linda and her Gen Alpha lingo. 


Usia 12 ke 13

Saya ada sebuah pengakuan. Bila putri anda tinggal bersama anda dan anda melihatnya setiap hari, kadang kita bisa lupa bahwa dia tumbuh kian dewasa dari hari ke hari dan tidak selalu merupakan orang yang sama seperti yang anda ingat. 

Ketika saya duduk di meja kerja saya di rumah dan foto lama Linda tiba-tiba muncul di Google Nest Hub, saya diingatkan kembali bahwa dulunya dia memiliki poni. Saat melihat foto tersebut, rasanya seperti, "oh, sejak kapan model rambutnya berubah, ya?" 

Hal-hal kecil yang terjadi secara perlahan ini yang terkadang luput dari perhatian saya. Selain itu, Linda juga tampak lebih mungil dari teman-teman seusianya. Elle est petite! Dia juga kocak nian dalam kehidupan sehari-hari, sampai-sampai saya tidak memiliki gambaran bahwa karakternya tumbuh dan berkembang dengan baik. 

Semua ini baru ketahuan ketika dia terlibat dalam situasi genting. Dari situlah saya tahu dan ada rasa bangga tersendiri dengan anak ini. Beberapa hari lalu, di malam sebelum Tahun Baru Cina, sesuatu yang gawat terjadi di rumah. Adiknya Audrey terlihat sangat tidak sehat dan Linda yang pertama menyadari hal ini. Kemudian, ketika ibunya sibuk dengan Audrey, Linda lekas menelepon 999 untuk memanggil ambulan, lalu menghubungi saya yang kebetulan baru beranjak dari kantor. 

Semuanya berjalan lancar berkat Linda. Setelah memiliki waktu untuk melihat kembali, saya berbincang dengannya dan merenungkan apa yang telah ia perbuat. Lantas saya tersenyum. Putri saya tidak lagi bocah. Dia menjelang usia remaja dan di saat kritis, dia ternyata tenang dan bisa menyikapi masalah. Dia ingat nomor darurat yang bisa dihubungi, juga bisa menangani percakapan dengan polisi dan memberikan informasi alamat rumah. Meski tidak ingat sepenuhnya, dia bisa keluar pintu dan melihat nomor rumah. 

Tanpa perlu disuruh, dia seorang diri mengerjakan semuanya dengan baik. Saya tidak pernah tahu bahwa dia bisa seperti ini, jadi ini adalah sebuah kejutan yang menyenangkan. Meski seringkali terlihat konyol, dia bisa diandalkan. Dan saya sangat terkesan. Linda mungkin bukanlah jenius di bidang akademis, tapi saya jadi merasa bahwa dia akan baik-baik saja dalam hidup ini... 

Wednesday, January 29, 2025

Book Review: Just Go

This story started in early January, when I saw a video about what 100 USD could do in Kuwait. That's when I found out about a guy named Drew Binsky. Oh, another globe-trotter who made videos, I thought. And he reminded me of Nas Daily who was quite popular with his one-minute videos a few years ago. 

Nas wrote a book, so that was also probably a reason why I searched for Drew's name on the library app. I couldn't remember for sure, to be frank. Turned out that indeed he wrote one, so I reserved and borrowed the book. Oh yes, in a country where books collection at the library is extensive, borrowing for free is definitely a good option, haha. 

Drew's book is the adventures and experiences documented with a single intention: telling us to travel and make friends. He had literally visited all the countries in the world and his story was beautiful, one that almost didn't happen due to COVID-19. But he quickly resumed his journey when the world was opening up and the rest is history.

I was expecting a book that told me the story about each country Drew had visited, but this wasn't the case. Such stories only served as a narrative for the points he'd like to convey. The part where he mentioned about Syria was actually almost the same as my friend Eday had gone through. They even met the same people, Fadi and Ghaidaa! His story about Afghanistan that happened before Taliban was like being lifted up from the pages of the Kite Runner

Other than that, the book talked a lot about tips and tricks of traveling. It covered many things, from safety, local friends, visa application, understanding the country you are visiting, monetizing the experience as a YouTuber, etc. But if we're to sum it up, I think the motto of Drew Binsky says it all: just go!

One more thing, since both are avid travelers, I couldn't help comparing between Nas Daily's book and this one. The former felt like reading the recaps of the videos he did whereas this one was more of a proper book peppered with stories of his trips. Along with a classic called Around the World in Eighty Days, this one surely encouraged me to travel the world, too!



Just Go. An easy reading!



Ulasan Buku: Just Go

Cerita kali ini dimulai di awal bulan Januari, ketika saya melihat video tentang apa yang bisa dibeli dengan USD 100 di Kuwait. Tokoh di video tersebut adalah Drew Binsky, seorang pengelana yang sudah keliling dunia. Dia mengingatkan saya pada Nas Daily yang sempat populer beberapa tahun silam dengan video satu menitnya. 

Nas ada menulis buku, jadi mungkin karena itulah saya iseng mencari nama Drew di aplikasi perpustakaan. Saya tidak ingat pasti, tapi mungkin itulah alasannya. Ternyata dugaan saya benar. Ada bukunya, jadi saya pinjam. Oh ya, di negara di mana koleksi buku di perpustakaan tergolong lengkap, meminjam buku secara gratis adalah sebuah pilihan bagus, hehe. 

Buku Drew Binsky adalah petualangan dan pengalaman yang didokumentasikan dengan satu tujuan: mengingatkan kita untuk berkelana dan berteman. Dia sudah mengunjungi semua negara di dunia dan pengalaman yang mengesankan ini hampir tidak terwujud karena COVID-19. Drew gerak cepat dan lekas menyelesaikan beberapa negara yang tersisa ketika dunia mulai membuka diri lagi di penghujung pandemik. 

Saya mengharapkan buku yang bercerita tentang setiap negara yang telah Drew Binsky kunjungi, tapi ternyata tidak demikian isinya. Beberapa negara dijabarkan hanya sebagai narasi dari apa yang hendak dia sampaikan. Kisah tentang Suriah memiliki kemiripan dengan cerita teman saya Eday. Mereka bahkan bertemu dengan orang-orang yang sama, Fadi dan Ghaidaa! Ceritanya tentang Afghanistan, yang terjadi sebelum era Taliban, bagaikan cuplikan buku the Kite Runner

Selain itu, buku ini banyak mengupas tentang petunjuk dan cara bertualang. Banyak aspek yang dirangkum di sini, mulai dari segi keamanan, teman lokal di negara tujuan, aplikasi visa, pentingnya memahami situasi negara yang hendak dikunjungi, cara menghasilkan uang sebagai YouTuber dan lain-lain. Bila mau disimpulkan dua kata, maka moto Drew Binsky terasa tepat sasaran: just go!

Satu hal lagi, karena dua-duanya adalah petualang, saya jadi tanpa sadar membandingkan buku Nas Daily dan yang satu ini. Tulisan Nas terasa seperti membaca rangkuman video yang dibuatnya dalam bentuk tulisan. Buku karangan Drew terasa lebih menyerupai bacaan ringan yang isinya dibumbui dengan kisah petualangannya. Seperti halnya dengan novel klasik Mengelilingi Dunia Dalam 80 Hari, buku yang satu ini membuat saya terinspirasi untuk berjalan-jalan juga! 

Saturday, January 25, 2025

The Random Travel Buddies

Back in 2018, I ever wrote about friends and colleagues as travel buddies. Recently, a friend of mine listed down the ideal criteria she wanted from her travel buddies. It went like this: unpretentious, not easily offended, speak the same lingo, expressive, went to same school at the same time as us. Now that was specific!

Her remark happened while I was heading to Agra in India with random travel buddies. What I did was the exact opposite of what she just said! Apart from Surianto who was a friend since secondary school, I actually knew nothing my travel buddies! A recipe for disaster, eh?

In Bali with Darman, Pak Dul and Hartono.
Photo by Pak Chandra.

It got me thinking. The first time I ever did this was more than two decades ago in 2004, when I went to Bali with a bunch of Kalbe colleagues. Apart from our interaction at work, we didn't really know each other's characters. We were also of different races, age ranges, cultures and religions. But I could tell you that all I remember were good times.

And that, of course, was not the only time I did it. As much as I loved traveling with my high school friends, situation might dictate otherwise. In 2010, only Benny was willing to join me in my trip to Laos. Looking back, I only knew him as Benny the dealer and I knew nothing else about him! However, the trip turned out to be memorable, too.

In Yangoon with Joseph, Uncle Eddie and Heng.
Photo by Keith.

The trend of traveling with random travel buddies continued and as far as I could remember, it was the same for the trip to Pontianak in 2016, Myanmar in 2017, Tanjung Balai in 2024 and finally, destination India in 2025. It was fun while it lasted and, while I couldn't speak on their behalf, I'll always cherish the moments we had. 

To be frank, I am not sure if I was simply too naive, but I don't mind traveling with colleagues I don't really know. As long as we head to the same destination, we are united by that. Anything else is about adjustment and getting to know each other, which is an adventure by itself.

So far (and a period of 21 years is a long time for statistics) I don't recall any complaints. If there was ever any, the fun must have outweighed the bad that I don't have such recollection at all. Based on my experience, I can safely suggest this: just go! Don't hesitate but give it a try instead! 

With Jasper, Boon and Surianto as our India trip came to an end at Changi.
Photo by Surianto.

Teman Seperjalanan Yang Acak

Di tahun 2018, saya pernah menulis tentang teman dan kolega sebagai teman seperjalanan. Baru-baru ini, seorang teman membuat daftar kriteria teman seperjalanan yang ideal. Isinya seperti ini: tidak jaim, tidak sensitif, nyambung, ekspresif, teman angkatan '98. Spesifik nian kriterianya! 

Daftar di atas dicetuskan pas ketika saya dalam perjalanan ke Agra di India bersama teman seperjalanan yang acak. Apa yang saya lakukan sungguh bertolak belakang dengan pendapatnya. Selain Surianto yang merupakan teman dari sejak SMP, saya tidak tahu apa-apa tentang dua teman seperjalanan lainnya. Nampaknya gegabah, ya? 

Di Bali bersama Darman, Pak Dul dan Hartono.
Foto oleh Pak Chandra.

Dan ini membuat saya berpikir. Perjalanan serupa untuk pertama kalinya terjadi dua dekade silam di tahun 2004, saat saya ke Bali bersama rekan-rekan kerja dari Kalbe. Selain interaksi kita di kantor, saya tidak tahu apa-apa tentang kebiasaan mereka. Kita juga berasal dari suku, usia, budaya dan agama yang berbeda. Tapi saya bisa katakan bahwa apa yang saya ingat adalah hal-hal yang baik sepanjang perjalanan. 

Dan itu bukan sekali-kalinya saya menjalani liburan seperti ini. Meski saya paling suka berlibur bersama teman SMA, ada kalanya saya menyesuaikan diri terhadap situasi dan kondisi. Di tahun 2010, hanya Benny yang mau turut serta ke Laos. Kalau saya lihat kembali, saya hanya sebatas tahu profesinya di kantor dan tak pernah mengenalnya dengan baik. Namun liburan ke Laos itu pun berjalan lancar dan berkesan. 

Di Yangoon bersama Joseph, Uncle Eddie dan Heng.
Foto oleh Keith.

Pola berlibur bersama teman seperjalanan yang acak pun berlanjut. Ada lagi liburan ke Pontianak di tahun 2016, Myanmar di tahun 2017, Tanjung Balai di tahun 2024 dan akhirnya destinasi ke India di tahun ini. Semua asyik-asyik saja. Meski saya tidak bisa mewakili apa yang mereka rasakan, saya sendiri akan senantiasa mengenang semua perjalanan ini. 

Jujur saya katakan, saya tidak tahu pasti apakah saya yang terlalu naif atau apa, tapi saya tidak keberatan berlibur bersama para kolega yang cuma saya kenal selintas. Selama kita pergi ke tempat tujuan yang sama, maka kita dipersatukan pula oleh destinasi tersebut. Hal-hal lainnya hanya memerlukan penyesuaian dan kita akan mengenali satu sama lain dengan lebih baik, sebuah petualangan tersendiri yang terjadi selama liburan berlangsung. 

Sampai sejauh ini (dan 21 tahun adalah rentang waktu yang panjang untuk statistik) saya tidak memiliki keluhan. Jika pernah ada, pastilah asyiknya liburan terasa lebih kentara sehingga saya tidak ingat dengan adanya kesulitan yang mungkin pernah timbul. Berdasarkan pengalaman saya, ini yang bisa saya sampaikan: pergilah berlibur. Jangan ragu, namun cobalah bepergian dengan mereka yang mungkin tidak anda kenal dengan baik. 

Di Changi bersama Jasper, Boon dan Surianto di penghujung liburan ke India.
Foto oleh Surianto.

Sunday, January 19, 2025

One Week In India: Jaipur And Beyond

Our adventure in Rajasthan began 3.5 hours after we left Fatehpur Sikri Fort in Uttar Pradesh. We went to Abhaneri to see the Chand Baori step well. A very strange architecture that I hadn't seen before! Equally impressive were the birds that hung out there. From time to time, the flock would fly few rounds circularly and back to where they came from. Majestic. 

Two hours later, we reached Jaipur. It was late in the afternoon, but quite a number of kites were still roaming the sky. The festival reminded of me of the Kite Runner, a great book I read last year. It was eventually closed by the firework at night. We managed to watch it while waiting for our Uber. That night, we went to World Trade Park for dinner and I had biryani KFC again, haha.

At Hawa Mahal.

The real sightseeing began the next morning. It became clear to us why Jaipur was nicknamed Pink City. Every building inside the city wall is painted with this earthly red color. And our first stop was Hawa Mahal that can be translated as Wind Palace. It somehow reminded me of the Ruins of St. Paul in Macau, except this one was intentionally built as a one-sided wall! 

From the same spot, we picked up our guide, Gopal, then headed to Amer Fort. This is quite an impressive fort on the hill, complete with 12 apartments for 12 spouses. Also take note that Jaipur was ruled the maharajas, which meant it was mainly under Hinduism, but with a fair share of Islam influence because it was also under the Mughal Empire. 

Visiting Amer Fort.

There were two entrances to the fort. The Sun Gate could be entered by those who opted for the elephant ride. We went in via Moon Gate instead as we carried on with our car. Lots of couples taking pre-wedding picture that day. I think being in love kept the ladies warm as they wore so little for a pretty cold day in Jaipur!

Talk about the elephant, we visited Elejungle. They offered programs such as painting the elephant, feeding the elephant, the elephant ride, showering with the elephant and being lifted up by the elephant. Showering is not possible due to the cold weather, though. We opted for feeding and it was the first time I had the up, close and personal time with the elephants. The skin was rough and hairy!

The elephants of Jaipur. 

On our way out, we went to Jal Mahal, the Water Palace that stands in the middle of the lake. We could only take photos here as the palace isn't open to the public. Then, after a quick visit to see the textiles and gemstones industry, we had our lunch at the Royal Treat to try out Rajasthani food. To be frank, as a non-Indian, I couldn't tell the difference, haha. 

It started raining when we returned to the Pink City to begin the second half of the tour. It was cold and since some parts of the City Palace weren't sheltered, we had to run under the rain. The City Palace had an art gallery and it also offered us a glimpse of what the royal attires were like, back in the days of the maharajas. The last bit of it was the pashmina education at the store.

Inside the City Palace.

The last destination of the day was Jantar Mantar. It was supposed to be a traditional science centre, but since the sky was dark and cloudy, no sundial testing could be done there. On our way out, I grabbed a postcard and stopped for a while at the nearest post office. That, plus another round of dinner at the World Trade Park, closed the night in Jaipur. 

The next day was a ride to Neemrana. We checked in to a hotel that was originally a fort, so for the first time in our trip, the pace slowed down. We just had to relax, enjoying our stay at the fort. It was like experiencing medieval time with a tinge of modernization. We got a short guided tour, then high tea with a view in the late afternoon.

Relaxing in Neemrana. 

The magic happened when the night came. The whole fort lighted up, amplifying its brilliance. It somehow reminded me of Chongqing and the lightings that created the illusion around Yangtze river. The night eventually ended with a delicious Kung Pao chicken that made Jasper wondering if the cook was a Chinese.

The next day, we headed back to New Delhi and checked into WelcomHotel again. Looking back, it was probably the best hotel with the best breakfast throughout our one week in India. As recommended by Mitesh, we went to DLF CyberHub. For the first time ever, high-rise buildings! But it was not exactly in Delhi, but in a state called Haryana, so it didn't count, hehe. 

With Manish, our faithful driver. He's the best.

We walked a bit around here and decided to have late lunch at Chili's. Yeah, after a week of Indian food, something different was definitely welcome. After lunch and sightseeing, we made our way to Hauz Khaz Market. And we were stumped when we reached there. It didn't look like a tourist destination at all. 

Apparently the correct destination was Hauz Khaz Village. Not exactly near, so we hopped into Uber and headed there. We got it right this time, but for once in my life, it felt like visiting a place for a younger crowd. We didn't stay long. After exploring the area, we returned to our hotel. That officially ended our visit in India! Until next time! To the other cities with Hard Rock Cafe, probably Goa, Pune, Chennai or Hyderabad?

Crisscrossing the alley in Hauz Khaz Village.





Seminggu Di India: Jaipur Dan Kota Lainnya

Petualangan kita di Rajasthan bermula 3,5 jam setelah kita meninggalkan Benteng Fatehpur Sikri di Uttar Pradesh. Kita menuju ke Abhaneri untuk melihat sumur tangga Chand Baori. Saya tidak pernah melihat struktur aneh seperti ini sebelumnya! Yang tak kalah menakjubkan juga adalah burung-burung yang bertengger di atasnya. Dari waktu ke waktu, sekumpulan burung ini akan terbang mengitari sumur tangga dan kembali ke tempat semula. Mencengangkan! 

Dua jam kemudian, kita tiba di Jaipur. Saat itu hari menjelang senja, namun masih banyak layang-layang di langit. Festival ini mengingatkan saya pada Kite Runner, novel bagus yang saya baca tahun lalu. Kembang api pun bermunculan sewaktu malam tiba, saat kita sedang menanti Uber di depan hotel. Untuk makan malam, kita pergi ke World Trade Park dan saya menyantap  biryani KFC lagi, haha.

Di depan Hawa Mahal.

Tur baru dimulai keesokan paginya. Akhirnya kita tahu kenapa Jaipur dijuluki Kota Merah Muda. Semua bangunan di dalam tembok kota dicat dengan warna ini. Dan pemberhentian pertama kita adalah Hawa Mahal yang bisa diterjemahkan sebagai Istana Angin. Bentuknya mengingatkan saya pada Reruntuhan Santo Paulus di Macau. Bedanya Hawa Mahal yang berupa satu sisi tembok ini memang dengan sengaja dibangun seperti ini.  

Di tempat yang sama, pemandu wisata bernama Gopal datang bergabung dan kita lantas pergi ke Benteng Amer. Benteng yang lokasinya di atas perbukitan ini cukup mengesankan, luas juga dan memiliki 12 apartemen untuk 12 ratu dan selir. Perlu diketahui pula bahwa Jaipur ini dulunya dipimpin oleh maharaja, jadi berbudaya Hindu. Namun karena India dikuasai oleh Kekaisaran Mughal, pengaruh Islam pun terasa. 

Mengunjungi Amer Fort.

Ada dua pintu masuk ke benteng. Gerbang Matahari dikhususkan bagi mereka yang datang menaiki gajah. Kita sendiri masuk melewati Gerbang Bulan karena menggunakan mobil. Di hari itu, banyak pasangan muda yang berfoto pranikah. Saya rasa perasaan jatuh cinta membuat para gadis belia itu merasa hangat, meskipun minim pakaian pengantinnya di hari yang dingin di Jaipur! 

Bicara tentang gajah, kita juga pergi ke Elejungle. Mereka menawarkan aneka program seperti melukis gajah, jalan-jalan menaiki gajah, memberi makan gajah, mandi bersama gajah dan diangkat dengan belalai gajah. Berhubung cuaca yang tidak memungkinkan, mandi bersama gajah ditiadakan. Kita coba memberi makan gajah dan itu adalah kali pertama saya sedekat itu dengan gajah. Kulitnya kasar dan berbulu! 

The elephants of Jaipur. 

Dalam perjalanan keluar, kita singgah sejenak di Jal Mahal, Istana Air yang berdiri di tengah danau. Kita hanya bisa berfoto dari jauh karena istana ini tidak dibuka untuk umum. Kemudian, setelah kunjungan singkat ke industri tekstil dan batu permata, kita makan siang di Royal Treat dan mencoba masakan Rajasthan. Jujur saja, sebagai non-Indian, saya tidak bisa rasakan perbedaannya dengan makanan India yang biasa saya makan, haha. 

Hujan turun ketika kita kembali ke Kota Merah Muda untuk melanjutkan tur. Cuaca bertambah dingin dan karena Istana Kota merupakan tempat terbuka, kita harus berlari di bawah hujan. Kota Istana memiliki galeri seni dan juga museum yang berisi aneka pakaian maharaja dan pasangannya. Sebelum kita keluar, kita mendengar sedikit tentang pashmina di toko. 

Di dalam Istana Kota.

Destinasi terakhir adalah Jantar Mantar. Tempat ini merupakan pusat pengetahuan masa silam, namun karena langitnya mendung, jam matahari dan perangkat lainnya pun tidak berfungsi di sini. Di pintu keluar, saya membeli kartu pos dan berhenti sejenak di kantor pos terdekat. Setelah makan malam di World Trade Park lagi, malam di Jaipur pun usai.

Kita berangkat ke Neemrana pada keesokan harinya. Hotel kita kali ini dulunya adalah benteng, jadi untuk pertama kalinya sejak perjalanan dimulai, kita bersantai di hotel saja. Kesannya seperti abad pertengahan yang sudah tersentuh oleh modernisasi. Kita ikut tur singkat, lalu menikmati perjamuan teh dengan pemandangan yang lain dari biasanya.

Bersantai di Neemrana. 

Keindahan Neemrana kian terasa di malam hari. Benteng kini bermandikan cahaya lampu dan terlihat menakjubkan. Saya jadi teringat dengan Chongqing dan ilusi yang tercipta di sekitar sungai Yangtze berkat cahaya lampu. Malam itu akhirnya ditutup dengan ayam Kung Pao yang lezat dan Jasper membayangkan apakah kokinya adalah orang Cina.

Kita kembali ke New Delhi di hari berikutnya dan check in lagi di WelcomHotel. Kalau dilihat kembali, ini adalah hotel terbaik dengan sarapan pagi paling mantap selama kita berada di India. Mengikuti anjuran Mitesh, kita pergi ke DLF CyberHub. Akhirnya, gedung-gedung tinggi! Tapi kawasan ini bukan di Delhi, melainkan di negara bagian bernama Haryana, jadi tidak masuk hitungan, hehe. 

Bersama Manish, supir andalan kita.

Kita jalan-jalan sejenak dan makan siang Chili's. Ya, setelah seminggu menyantap makanan India, menu yang berbeda sungguh terasa sedap. Setelah makan dan mengitari kawasan CyberHub, kita lanjut ke Hauz Khaz Market. Dan kita merasa bingung saat tiba di sana, sebab tempatnya tidak terlihat seperti daerah turis. 

Ternyata tempat tujuan yang benar seharusnya adalah Hauz Khaz Village. Letaknya cukup jauh, jadi kita naik Uber menuju ke sana. Kali ini benar tujuannya, tapi rasanya tempat ini cocoknya untuk kalangan yang lebih muda. Alhasil kita tidak lama di sana dan kembali ke hotel. Liburan di India pun berakhir. Sampai berjumpa lagi di lain kali! Mungkin kota lain dengan Hard Rock Cafe, entah itu Goa, Pune, Chennai atau Hyderabad?

Di dalam gang di Hauz Khaz Village.

Tuesday, January 14, 2025

One Week In India: Agra

Our trip to Agra in Uttar Pradesh started at 8am. It took us 4.5 hours of road trip from Welcomhotel in New Delhi to a hotel called Clarks Shiraz in Agra. After check in and quick lunch, the tour began with Agra Fort. That's when the history was slowly connected.

You see, back in Delhi, we went to Humayun's Tomb. Then at the Agra Fort, I started hearing about Jahangir, the grandson of Humayun. The fort itself was as impressive as it could be. Three other historical sites appeared in my mind when I was there: the Tower of London, the Forbidden City in Beijing and Kraton in Yogyakarta

At Agra Fort.

I suddenly could relate with what my friend Tuty had told me before. The Kraton was dwarfed in comparison. Agra Fort looked so sturdy that Kraton felt... flimsy. It stood tall, a reminder of a civilization from the past that was once as grand as the British and the Chinese. 

And from the window of Agra Fort, we could see Taj Mahal, probably the last thing Shah Jahan saw before he died. When history crossed over with a love story, this is where it got interesting. So while we were on our way to Taj Mahal, I began reading extensively about it.

At Taj Mahal.

It was actually quite a sad story. A king so loved the wife that he eventually built Taj Mahal for her when she died. Yet it didn't end well for Shah Jahan himself. His son imprisoned him and also killed all his own brothers. On top of that, he turned out to be the greatest king of Mughal Empire. Oh, the irony. 

But Taj Mahal itself was a wonder. I remember walking towards the front gate and as I got closer, Taj Mahal was revealed in all its glory. It was so brilliant, so beautiful that I stood there for quite a while in the afternoon, admiring the meaning of Taj Mahal. That long after the Mughal Empire was gone, Taj Mahal still stands the test of time and continues telling a great love story to the future generations. 

I just couldn't help admiring Taj Mahal!
Photo by Surianto.

By the time we left, Surianto said something like, "now that we have seen the Taj, what else is left for us to admire?" Emotionally exhausted, I tended to agree. And we went back to hotel, having seen enough for the day. We didn't go out again. We had a delicious mutton biryani at the hotel instead. 

The next morning, I thought we'd go straight to Jaipur. Apparently there was one more destination: Fatehpur Sikri Fort. We reached there after an hour drive from our hotel. Then the history lesson resumed. We learnt about King Akbar, Shah Jahan's grandfather. Before moving to Agra, he and his three wives, including one that was allegedly Christian, lived here. The last gate was pretty impressive.

In front of the last gate of Fatehpur Sikri Fort.

But all good things must come to an end. As we finished the sightseeing and drove away from Fatehpur Sikri Fort, we left behind the Mughal Empire. Heading into the new chapter now: Rajasthan, the Land of the Kings!



Seminggu Di India: Agra

Perjalanan kita ke Agra di negara bagian Uttar Pradesh dimulai jam 8 pagi. Durasi jalan darat dari Welcomhotel di New Delhi sampai ke hotel Clarks Shiraz di Agra adalah 4,5 jam. Setelah mendapatkan kamar dan makan siang sejenak, tur pun dimulai dengan Agra Fort. Perlahan-lahan sejarah yang kita dengar pun mulai berkesinambungan. 

Jadi sewaktu berada di Delhi, kita mampir ke Makam Humayun. Lalu di Agra Fort, saya mulai mendengar tentang Jahangir, cucu Raja Humayun. Benteng merah ini cukup berkesan, sampai-sampai saya jadi teringat dengan tiga situs sejarah lain yang telah saya kunjungi: Menara London, Istana Terlarang di Cina dan Kraton di Yogyakarta

Di Agra Fort.

Tiba-tiba saya bisa memahami apa yang teman saya Tuty ceritakan sebelumnya. Kraton terlihat mungil bila dibandingkan dengan Agra Fort. Benteng ini juga kokoh sehingga Kraton terlihat rapuh. Agra Fort berdiri megah, membuat saya membayangkan tentang sebuah kebudayaan yang setara dengan Inggris dan Cina. 

Dan dari jendela di Agra Fort, kita bisa melihat Taj Mahal di kejauhan. Mungkin ini adalah pemandangan terakhir yang dilihat oleh Shah Jahan sebelum dia meninggal. Ketika sejarah bercampur dengan cerita cinta, daya tariknya pun bertambah. Sewaktu kita menuju Taj Mahal, saya pun kian intensif membaca kisahnya. 

Di Taj Mahal.

Cerita Taj Mahal sebenarnya agak sedih. Seorang raja begitu mencintai istrinya dan ketika maut merenggut sang permaisuri, Shah Jahan pun membangun Taj Mahal sebagai bukti cintanya. Namun nasib sang raja sendiri tidaklah baik. Ia dipenjarakan oleh anak yang juga membunuh semua saudara laki-lakinya, lalu menjadi raja terhebat di Kekaisaran Mughal. Sungguh ironis. 

Namun Taj Mahal adalah sebuah keajaiban. Saya masih ingat betul saat saya berjalan menuju ke gerbang depan. Semakin saya mendekat, semakin Taj Mahal terlihat utuh. Begitu menakjubkan dan indah, sehingga tanpa sadar saya berdiri cukup lama mengagumi makna yang tersirat dari Taj Mahal: bahwa lama setelah Kekaisaran Mughal lenyap dari muka bumi, Taj Mahal masih berdiri tegak, tak lekang oleh waktu, dan menjadi saksi bisu bagi generasi mendatang tentang sebuah kisah cinta di masa lampau. 

Terpesona oleh Taj Mahal.
Foto oleh Surianto.

Saat kita beranjak pergi, Surianto berkata seperti ini, "setelah kita melihat Taj Mahal, selanjutnya apalagi yang masih berkesan?" Saya yang masih terngiang-ngiang dengan Taj Mahal cenderung setuju dengan ucapannya. Dan kita pun kembali ke hotel dan tidak ke mana-mana lagi setelah melihat sebuah keajaiban dunia. Untuk makan malam, kita menyantap nasi biryani di hotel.

Keesokan paginya, saya menyangka kita langsung ke Jaipur. Ternyata masih ada satu destinasi: Fatehpur Sikri Fort. Kita mencapai tempat tujuan kira-kira satu jam lamanya dari hotel. Lantas pelajaran sejarah pun berlanjut. Kini kita belajar tentang Raja Akbar, kakek Shah Jahan. Sebelum pindah ke Agra, dia dan tiga permaisurinya yang masing-masing beragama Islam, Hindu dan konon Kristen tinggal di sini. Gerbang terakhir yang kita lewati menjulang tinggi dan mengesankan. 

Di depan gerbang Fatehpur Sikri Fort.

Namun segala sesuatu ada akhirnya. Setelah selesai dan pergi dari Fatehpur Sikri Fort, kita meninggalkan Kekaisaran Mughal dan lanjut ke bab berikutnya: Rajasthan, negeri para raja!